LEGAL OPINION
Peran
Pemberitahuan Terjadinya Peralihan Piutang, kepada Debitor melalui / olehJurusita
Pengadilan, serta Perbedaan antara “Akta Cessie Bipartit” dan “Akta Cessie
Tripartit”
Question: Jika hendak membeli piutang dari suatu kreditor,
apakah cukup memberitahukan kepada si debitor bahwa sudah ada terjadi cessie,
ataukah perlu juga bantuan juru-sita di pengadilan untuk memberitahukan kepada
debitor? Apakah Cessie ataupun Subrogasi, butuh mendapatkan izin dari debitor
dari piutang yang dialihkan atau dibeli? Lalu, apakah bisa piutang atau hak
tagih ini, dibeli oleh calon kreditor orang-perorangan yang bukan perbankan
(pembeli piutang adalah orang pribadi)?
Brief Answer: Menurut teori, tidak dibutuhkan keterlibatan Jurusita
Pengadilan serta tidak disyaratkan adanya persetujuan dari sang debitor untuk
peralihan piutang yang terjadi akibat “cessie” maupun “subrogasi”, cukup berupa
pemberitahuan akan peristiwa terjadinya peralihan piutang (yang konsekuensi
yuridisnya juga terjadi peralihan hak tagih serta hak atas agunan)—namun teori
tinggal sekadar teori, dimana dalam praktiknya telah tumbuh preseden terkait “syarat
formal peralihan piutang”, contohnya ketika terjadi kepailitan yang menimpa
sang debitor dimana piutang kreditornya telah dialihkan kepada kreditor lainnya,
ternyata hakim menyatakan perlu adanya kewajiban pemberitahuan kejadian hukum
berupa peralihan piutang (cessie), pemberitahuan mana secara resmi kepada
sang debitur lewat perantara Jurusita Pengadilan, dimana bila syarat
formal demikian tidak terpenuhi maka pihak “Kreditor Baru” pembeli cessie tidak
akan dikategorikan sebagai “Kreditor Separatis” ketika sang debitor jathu dalam
kondisi pailit.
Putusan Pengadilan Niaga
Makasar Nomor 02/PDT.SUS.PAILIT/2014/PN.Niaga.Mks telah mengabulkan permohonan
kreditur cessionaries yang dikuatkan Mahkamah
Agung RI lewat Putusan Nomor 19 K/PDT.SUSPAILIT/2015. Akan tetapi, pada upaya
hukum Peninjauan Kembali Nomor 125 PK/PDT.SUS-PAILIT/2015, Mahkamah Agung justru
kemudian menganulir putusan sebelumnya, dengan alasan belum terpenuhinya syarat
formil peralihan piutang lewat mekanisme “cessie”, yakni belum diberitahukannya
peristiwa peralihan piutang kepada sang debitur secara resmi melalui Jurusita
Pengadilan.
Sementara itu teori
menyebutkan, tidak ada kewajiban pemberitahuan secara resmi melalui Jurusita Pengadilan,
karena Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengaturnya kewajiban
demikian, pemberitahuan cukup diajukan secara tertulis ketika diberitahukan
kepada debitur—meski, menurut SHIETRA & PARTNERS, yang menjadi pokok
permasalahan ialah rumusan Pasal 614 KUHPerdata yang demikian sumir, karena
tidak ditegaskan siapakah yang berwajib menyampaikan pemberitahuan kepada sang
debitor atas peristiwa cessie ataupun subrogasi ini, apakah oleh pihak
“Kreditor Lama”, “Kreditor Baru”, “Kreditor Lama” bersama dengan “Kreditor
Baru”, ataukah cukup oleh Jurusita Pengadilan.
Setidaknya terdapat beberapa
peristilahan dalam konteks “cessie”, antara lain : pemberitahuan (betekening), Kreditur Lama (cedent), Kreditur Baru (cessionaris), Debitur (cessus). Menurut Purwahid Patrik,
apabila “Cessus” tidak bersedia menerima,
menyetujui, ataupun tidak mengakui sahnya cessie, maka pihak “Cedent” atau pihak “Cessionaris” dapat meminta bantuan Jurusita untuk memberikan
pemberitahuan secara resmi kepada pihak “Cessus”
guna menginformasikan kepada sang debitor bahwa telah ada peristiwa /
terjadinya Cessie.
Kembali, teori menyebutkan, idealnya
pengalihan piutang atau Cessie hendaknya sejak awal sudah mengikut sertakan debitur
(cessus) dalam pembuatan akta
pengalihan piutang, sehingga
pemberitahuannya sudah diterima secara langsung pada saat terjadinya
penandatangan akta cessie oleh dan antara “Kreditor Lama” serta “Kreditor
Baru”.
Namun, teori yang demikian
ideal akan tetapi tidak realistis tersebut selalu terganjal dan membentur realita
dalam praktik, dimana kerapkali cessie baru ditawarkan kepada pihak ketiga oleh
sang kreditor, ketika sang debitor telah berstatus “Kredit Macet”, sehingga
debitor telah menjelma “tidak kooperatif” bahkan sukar dijumpai atau diharapkan
untuk daoat turut menanda-tangani Akta Cessie guna memberikan persetujuan
terjadinya peralihan piutang.
Rekomendasi berupa Debitor (Cessus) perlu turut diikut-sertakan sebagai para pihak saat penanda-tanganan Akta
Cessie, sehingga sang Debitor tidak dapat lagi membantah tidak sahnya cessie
serta pihak Kreditor tidak perlu lagi membuat pemberitahuan, akan selalu
menjumpai kesukaran tersendiri ketika hendak di-implementasikan. Kecuali, pihak
Debitor masih dapat dihubungi serta pihak Kreditor memberi “tawaran menarik”
kepada sang debitor, semisal akan diberikan “korting” / diskon total hutang
jika bersedia turut menanda-tangani akta cessie—dan inilah solusi paling ideal,
sehingga keterlibatan Jurusita Pengadilan tidak lagi dibutuhkan, karena dengan
turut ditangan-tanganinya akta cessie oleh pihak Debitor, maka pihak Debitor
akan dianggap seketika itu juga telah mengetahui sekaligus menyetujui
terjadinya peralihan piutang, sebagaimana asas akuntabilitas, transparansi,
serta partisipatif.
Ketika syarat mutlak peralihan
piutang berdasarkan “cessie” demikian belum terpenuhi, maka dianggap peralihan
piutang belum terjadi, sehingga Debitor berhak untuk melunasi hutangnya pada
“Kreditor semula” dimana pihak “Kreditor semula” wajib untuk menerima pelunasan
/ pembayaran dari sang Debitor, sebagaimana diatur dalam Pasal 1540 KUHPerdata
: “Apabila sebelum penyerahan suatu
piutang yang telah dijual, orangnya yang berutang membayar utangnya kepada
si penjual, maka itu cukuplah untuk membebaskan si berutang.”
Perihal siapa sajakah yang dapat membeli piutang
atau melakukan cessie? Berdasarkan praktik peradilan, telah dibentuk kaedah
preseden sebagai “best practice”
peradilan yang menyatakan dimungkinkan dan dibolehkan untuk terjadinya
perbuatan hukum jual-beli piutang atau peralihan dari “Kreditor Lama” kepada “Kreditor
Baru” yang berupa orang pribadi (orang-perorangan) yang notabene bukan badan
hukum juga bukan lembaga keuangan. Sehingga, cessie dapat “dibeli” oleh
seseorang / seorang pribadi yang membeli piutang atau hak tagih ini dari
kalangan “Kreditor Awal”.
PEMBAHASAN:
Pasal 613 Ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menjadi dasar hukum utama suatu perbuatan hukum
bernama “Cessie”, tepatnya terdiri
dari tiga ayat, yakni:
1.) Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh
lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah
tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang
lain.
2.) Penyerahan yang demikian bagi si berutang (debitor) tiada akibatnya,
melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis
disetujui dan diakuinya.
3.) Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan
penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk
dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.
Berarti secara eksplisit hukum
perdata memungkingkan cessie dilakukan oleh orang pribadi terhadap “orang
pribadi” non-bank ataupun non badan hukum. Meski badan hukum atau “orang
pribadi” yang membeli cessie bukanlah perbankan, namun dari berbagai putusan
pengadilan yang disinggung diakhir ulasan ini, ternyata pembeli cessie non-bank
juga dapat melakukan segala tindakan seperti bank dalam menghadapi debitor.
Dasar kewenangannya ialah Akta Kredit / Akta Pembiayaan itu sendiri, dimana
“Kreditor Baru” hanya sekadar menggantikan posisi “Kreditor Awal” lengkap
dengan segala hak dan kewajibannya, yang dikaitkan pula terhadap keberlakuan
norma Pasal 1338 KUHPerdata mengatur: “Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya.”
Pasal 613 Ayat (2) KUHPerdata
dapat ditafsirkan, bahwa karena cessie bisa dilaksanakan di luar sepengetahuan
debitur (cessus), maka sebelum ada
pemberitahuan terjadinya cessie, debitur dengan itikad baik, masih bisa
membayar secara sah kepada Kreditor Asal (cedent).
Sehubungan dengan perkembangan zaman, kiranya bisa disetujui, bahwa pemberitahuan
telah terjadinya cessie kepada debitur cukup dberikan secara tertulis saja,
asal pemberitahuan itu sampai pada debitur. (Rachmad Setiawan, J. Satrio,
Penjelasan Hukum tentang Cessie, Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010)—Namun,
itu adalah teori, praktik peradilan telah memiliki pendiriannya tersendiri,
lepas dari apapun teori menyebutkan.
Cessie merupakan penyerahan
tagihan atau pengalihan piutang. Yang disebut cessie adalah yang berupa
penyerahan tagihan “atas nama” (bukan “atas tunjuk” maupun atas order). Sementara
yang membedakan antara Cessie dan Subrogasi, Subrogasi bisa berupa penyerahan
tagihan “atas nama”, “atas pembawa”, juga “atas tunjuk” sehingga menjadi
selayaknya sebuah “surat berharga atas unjuk”.
Pengalihan piutang (salah satu
bentuk “surat berharga”, yang artinya memiliki nilai ekonomis serta dapat
diperjual-belikan), yang berklausul “atas pengganti” dilakukan dengan cara
endosemen (endosement, endorsement). Endosemen
adalah suatu cara penyerahan menurut hukum kepada pihak lain yang berkaitan
beralihnya hak milik atas surat berharga dimaksud. Setelah surat berharga
tersebut di-endosemen, surat berharga tersebut diserahkan secara fisik (dari
tangan ke tangan) kepada pemegang baru. Dengan perbuatan tersebut, pemegang
baru dapat memiliki semua hak yang timbul dari surat berharga tersebut,
termasuk hak eksekusi atas agunan kredit.
Ada dua model surat berharga,
surat berharga yang dapat dikembalikan kepada penjual surat berharga bila
debitor tidak bersedia membayar (diistilahkan “hak regres” atau revocable), dan model kedua adalah tipe
jual-beli putus, irrevocable—sehingga
segala resiko dikemudian hari menjadi tanggungan pribadi sang pembeli piutang /
penerima pengalihan tagihan.
Pasal 111 Kitab Undang-undang
Hukum Dagang (KUHD), menyebutkan: “Endosemen
itu harus tidak bersyarat. Setiap
syarat yang dimuat padanya dianggap tidak ditulis. Endosemen untuk
sebagian adalah batal. Endosemen atas-tunjuk berlaku sebagai endosemen dalam
blangko.”
Pasal 112 KUHD: “Endosemen itu harus diadakan di atas surat
wesel itu atau pada lembaran yang dilekatkan padanya (lembaran sambungan). Hal
itu harus ditanda-tangani oleh endosan. Endosemen itu dapat membiarkan pihak
yang diendosemenkan tidak disebut, atau endosemen itu terdiri dari tanda tangan
belaka dari endosan (endosemen blangko). Dalam hal yang terakhir, agar dapat
berlaku sah, endosemen itu harus dibuat di halaman belakang surat wesel itu
atau pada lembaran sambungannya.”
Pasal 113 KUHD: “Dengan endosemen itu semua hak-hak yang
bersumber pada surat wesel itu dipindahkan ke tangan pihak lain.”
Pasal 613 Ayat (3) KUHPerdata:
“Penyerahan setiap piutang karena surat
atas pembawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan setiap piutang
atas tunjuk dilakukan dengan cara penyerahan surat itu disertai dengan
endosemen.” Melihat rumusan redaksional pasal demikian, menjadi jelas bahwa
era pembentukan KUHPerdata dan KUHD ialah pada zaman yang sama, dimana “cessie”
dikonstruksikan menyerupai sebuah “surat berharga” yang dapat dialihkan.
Pengertian cessie dalam
keputusan pengadilan belum seragam. Ada yang menyatakan Akta Cessie batal,
karena penjualan tanah dan bangunan berada jauh di bawah harga pasar (Putusan
MA No. 1726/Pdt/1986, ttgl. 31 Mei 1980 tgl. 1 April 2004). Tidak dijelaskan
apa kaitannya antara jual-beli tanah dengan cessie.
Dalam peristiwa hukum berupa “cessie”,
terdapat seorang kreditur, yang mengoperkan / menyerahkan “tagihan atas nama”
miliknya—terhadap debiturnya—kepada pihak lain, sehingga dalam peristiwa cessie
ada pergantian figur kreditur satu kepada kreditor lainnya. Kreditur yang
mengoperkan tagihannya, dalam doktrin disebut dengan istilah teknis-hukum sebagai
“cedent” alias “Kreditor
Asal”. Sementara itu pihak yang menerima penyerahan—yang dalam hal itu menjadi “Kreditur
Baru”—disebut “cessionaris”. Sedangkan
dalam peristiwa cessie ini, pihak debiturnya tetap sama, hanya sekarang disebut
dengan istilah teknis-hukum sebagai “cessus”.
Yang terbanyak muncul dalam
praktik adalah penyerahan berdasarkan perjanjian jual-beli tagihan / piutang
atau istilah lainnya terkait cessie ataupun subrogasi. Jadi, bukan seluruh “perjanjian”
diserahkan, tetapi hanya benda yang berupa “tagihan atas nama” saja yang dioper
oleh cessionaris. Namanya saja “penyerahan tagihan atas nama”, bukan
“penyerahan perjanjian” yang melahirkan “tagihan atas nama”.
Ada ketentuan lain tentang penjualan
piutang, yaitu Pasal 1533 KUHPerdata, yang mengatakan, bahwa: “Penjualan suatu piutang meliputi segala
sesuatu yang melekat padanya, seperti penanggungan-penanggungan (borgtochten),
hak istimewa dan hipotek-hipotek.” Sebagai kesimpulan, ikatan berupa Hak
Tanggungan dan ikatan jaminan Fidusia dari “Kreditur Asal” pun ikut berpindah /
beralih pada pihak “Kreditor Baru”.
Hak atas piutang serta segala
sesuatu yang melekat sebagai turunannya seperti perjanjian accessoir berupa Hak
Tanggungan ataupun Fidusia, dianggap telah berpindah pada waktu Akta Cessie itu
dibuat, ataukah baru efektif terhadap pada waktu peristiwa perjanjian peralihan
piutang itu diberitahukan pada si berutang (debitor)? Baik KUHPerdata maupun
KUHD yang menjadi sumber acuan Cessie, justru tidak secara tegas mengaturnya,
sehingga tataran praktiknya menjadi penuh kerancuan serta ambigu.
Utang-piutang (tepatnya “hak
tagih”) dalam hukum perdata dapat dianggap sebagai “barang bergerak” tidak
berwujud yang dapat dialihkan dengan menggunakan mekanisme legal berupa cara-cara
tertentu sesuai koridor hukum yang berlaku. Salah satu cara ialah dengan
membentuk “lembaga pembiayaan” berbentuk perseroan terbatas, yakni perseroan
terbatas (PT) yang bergerak dibidang Factoring (anjak piutang) yang kegiatannya
meliputi jual-beli piutang dengan disertai diskonto sebagai margin keuntungan /
profit usahanya. Kelemahannya ialah, wajib berbentuk PT atau koperasi, dan
modal pendirian minimum sekian miliar Rupiah. Factoring atau anjak piutang
adalah variasi dari cessie, novasi, dan subrogasi.
Cara atau mekanisme lainnya dari
peralihan piutang ialah “Subrogasi” (pergantian kedudukan Kreditor) ataupun
novasi (pembaharuan utang), selain menggunakan “Cessie” (pengalihan piutang).
Kelebihan ketiga cara ini, dari berbagai putusan pengadilan, tidak wajib
berbadan hukum, bisa orang per orang, sehingga usaha perorangan non badan hukum
juga diperbolehkan, misal firma, CV, bahkan atas nama pribadi juga
diperbolehkan oleh hukum “dalam praktiknya”, karena yang berlaku ialah pasal
1338 KUHPerdata, yakni perjanjian kedua belah pihak berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuat dan menyepakatinya.
SUBROGASI
Pasal 1400 KUHPerdata: “Subrogasi atau perpindahan hak kreditur kepada seorang pihak ketiga yang
membayar kepada kreditur, dapat terjadi karena persetujuan atau karena
undang-undang.”
Pasal 1401 KUHPerdata: “Perpindahan ini terjadi karena persetujuan:
1.) bila kreditur, dengan menerima pembayaran dari pihak ketiga,
menetapkan bahwa orang ini akan menggantikannya dalam menggunakan hak-haknya,
gugatan-gugatannya, hak-hak istimewa dan hipotek-hipoteknya terhadap debitur.
Subrogasi ini harus dinyatakan dengan tegas dan dilakukan bersamaan dengan
waktu pembayaran.
2.) bila debitur meminjam sejumlah uang untuk melunasi utangnya, dan
menetapkan bahwa orang yang meminjamkan uang itu akan mengambil-alih hak-hak
kreditur; agar subrogasi ini sah, baik perjanjian pinjam uang maupun tanda
pelunasan, harus dibuat dengan akta otentik, dan dalam surat perjanjian pinjam
uangnya harus diterangkan bahwa uang itu dipinjam guna melunasi utang tersebut;
sedangkan dalam surat tanda pelunasan harus diterangkan bahwa pembayaran
dilakukan dengan uang yang dipinjamkan oleh kreditur baru. Subrogasi ini
dilaksanakan tanpa bantuan kreditur.”
Dari ketentuan di atas,
disimpulkan bahwa khusus untuk “Subrogasi”, terdapat kewajiban lebih spesifik,
yakni dilakukan dengan menggunakan akta otentik (notaris) barulah peralihan
piutang menjadi sah peristiwa hukumnya. Mekanisme “take over” terjadi ketika “Kreditor Baru” meminjamkan dana pada
debitor untuk melunasi hutang-nya pada “Kreditor Semula”, sebagaimana diuraikan
pada Ayat ke-2 Pasal 1401 KUHPerdata di atas, tergolong sebagai “peralihan
piutang yang terjadi karena persetujuan pihak Debitor itu
sendiri”, sehingga peran Jurusita menjadi tidak lagi diperlukan, sekaligus
mekanisme peralihan piutang yang paling dianjurkan sekaligus yang paling dapat
SHIETRA & PARTNERS rekomendasikan. Sementara itu, Subrogasi pada Ayat ke-1 pasal di atas, meski Akta Cessie sah mengikat para Kreditor yang bersepakat, namun tidak mengikat “pihak ketiga” (yakni sang Debitor) yang tidak pernah memberikan persetujuan.
Pasal 1402 KUHPerdata: “Subrogasi (yang)
terjadi karena undang-undang:
1.) untuk seorang kreditur yang melunasi utang seorang debitur kepada
seorang kreditur lain, yang berdasarkan hak istimewa atau hipoteknya
mempunyai suatu hak yang lebih tinggi daripada kreditur tersebut pertama;
2.) untuk seorang pembeli suatu barang tak bergerak, yang memakai uang
harga barang tersebut untuk melunasi para kreditur, kepada siapa barang itu
diperikatkan dalam hipotek;
3.) untuk seseorang yang terikat untuk melunasi suatu utang bersama-sama
dengan orang lain, atau untuk orang lain, dan berkepentingan untuk membayar
utang itu;
4.) untuk seorang ahli waris yang telah membayar utang-utang warisan
dengan uangnya sendiri, sedang ia menerima warisan itu dengan hak istimewa
untuk mengadakan pencatatan tentang keadaan harta peninggalan.”
Ketentuan berikut di bawah ini
menegaskan, pelunasan sebagian hutang debitor hanya mengakibatkan “subrogasi
yang tidak sempurna”, dalam artian hak atas jaminan kebendaan masih melekat
pada “Kreditor Semula”, sebagaimana diatur dalam Pasal 1403 KUHPerdata:
“Subrogasi yang ditetapkan dalam pasal-pasal yang lalu
terjadi, baik terhadap orang-orang penanggung utang maupun terhadap para
debitur; subrogasi tersebut tidak dapat mengurangi hak-hak kreditur jika ia
hanya menerima pembayaran sebagian; dalam hal ini, ia dapat melaksanakan
hak-haknya, mengenai apa yang masih harus dibayar kepadanya, lebih dahulu
daripada orang yang memberinya suatu pembayaran sebagian.”
Adapun rincian perbedaan “tipis”
yang menjadi pembeda antara “cessie” dan “subrogasi”:
- Cessie terjadi hanya karena
perjanjian, sedangkan Subrogasi dapat terjadi karena
perjanjian maupun undang-undang;
- Pada Cessie, persetujuan dari
debitor perlu dimintakan. Sedangkan pada mekanisme Subrogasi, justru peralihan
piutang bisa terjadi atas inisiatif yang berangkat dari pihak Debitor itu
sendiri.
- Pada Cessie, diwajibkan
adanya akta dibawah tangan atau akta otentik (istilah “atau” artinya
fakultatif, dapat memilih salah satunya sebagai alternatif). Sedangkan pada Subrogasi,
bila inisiatif berangkat dari pihak Debitor, maka dilakukan dengan akta otentik.
Sementara yang menjadi persamaan
antara “cessie” dan “subrogasi”, adalah perikatan yang lama (“perjanjian pokok”
berupa perjanjian hutang-piutang) tetap eksis serta berlaku, dimana juga dan
segala hak jaminan kebendaan (agunan) sebagai “perjanjian turunannya” turut beralih
kepada “Kreditor Baru”. Pengadilan juga berpendapat bahwa dengan
ditandatanganinya akta cessie oleh cedent
(penjual cessie) dan cessionaris
(pembeli cessie), maka hak milik atas tagihan telah beralih kepada pihak cessionaris—dimana praktik peradilan
ter-aktual menegaskan perlunya persetujuan pihak Debitor sebagai syarat formil
peralihan piutang lewat mekanisme “Cessie”.
Dalam peristiwa cessie, ada
kemungkinan bahwa sang Debitor tidak mengetahui adanya peralihan “hak tagih”
atas hutang-hutangnya, dari cedent
kepada cessionaris, karena cessie
bisa dilaksanakan tanpa turut sertanya debitur, maka debitur perlu
diberi-tahukan agar ia nantinya membayar kepada kreditur yang benar atau paling
tidak kepada orang yang bisa dianggap menggantikan kedudukan “kreditur awal”.
Namun debitor pun perlu perlindungan hukum agar tidak membayar pada pihak yang
tidak berhak, semisal seseorang mengaku-ngaku sebagai “kreditor baru” meski
senyatanya tidak. Sehingga, menurut SHIETRA & PARTNERS, khusus untuk
peralihan piutang yang tidak melibatkan Debitor, wajib berbentuk akta otentik pula,
agar terdapat sebentuk jaminan serta perlindungan dan kepastian hukum bagi
pihak Debitor ketika hendak melunasi.
Sebaliknya cessionaris juga
butuh perlindungan, agar nanti sesudah ia menjadi pemilik tagihan atas piutang
yang dibeli olehnya, bisa mengikat Debitur dan Debitor tersebut hanya bisa
membayar kewajiban pelunasan utangnya secara sah kepada dirinya—itulah
sebabnya, penting untuk memastikan bahwa pihak Debitor turut menanda-tangani
Akta Cessie sebagai bentuk persetujuan serta telah mengetahui atas peristiwa
hukum peralihan piutang ini.
Pasal 613 Ayat ke-2 KUHPerdata,
merumuskan aturan sebagai berikut : “Penyerahan
yang demikian bagi si berutang (debitor) tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan
itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis disetujui dan
diakuinya.” [Note SHIETRA & PARTNERS : Frasa hukum “atau”
memiliki arti alternatif, jadi dapat dipilih salah satunya. Pasal 613 Ayat ke-2
KUHPerdata di atas, dikutip dari KUHPerdata versi terjemahan Prof. R. Subekti,
yang dinilai lebih diakui terjemahannya oleh pengadilan di Tanah Air.]
Yang dimaksud dengan “si
berutang”, yang dalam peristiwa cessie adalah Debitur. Selanjutnya dari
kata-kata “tiada akibatnya” bisa ditafsirkan bahwa cessie yang telah terjadi
antara cedent dan cessionaris, tidak mempunyai akibat
hukum terhadap debitur (namun telah mempunya akibat hukum antara para pihak
yang bersepakat dalam Akta Cessie, yakni antara kedua pihak Kreditor), sebelum
ada pemberitahuan kepadanya atau cessie secara tertulis diakui oleh sang
Debitor.
“Tiada akibat hukum” di sini
artinya bahwa bagi Debitur, pihak krediturnya masih tetap “Kreditur Asal”, yang
dalam peristiwa cessie adalah cedent,
dengan konsekuensinya—sebelum ada pemberitahuan (dan diluar persetujuan atau
pengakuan secara tertulis)—Debitur masih dibenarkan untuk membayar kepada cedent sebagai pembayaran yang sah,
dengan akibat utangnya lunas, dimana selebihnya menjadi urusan atau sengketa
antara “Kreditor Asal” terhadap “Kreditor Baru”. Jadi, unsur “pemberitahuan”
dalam cessie tidak ada pengaruhnya terhadap beralihnya tagihan atas nama yang
di-cedeer.
Ketika disetujui oleh Debitor,
barulah Akta Cessie mengikat pula pihak Debitor, dimana ketika belum terdapat
persetujuan sang Debitor, maka Akta Cessie hanya mengikat secara internal
antara “Kreditor Asal” dan / terhadap “Kreditor Baru”—dimana juga menjadi
potensi resiko bagi “Kreditor Baru” bila dikemudian hari pihak Debitor tidak
memberikan persetujuannya, maka Akta Cessie tidak memiliki daya ikat terhadap
sang Debitor dari “Kreditor Asal”.
Karena tidak ada keterangan
tentang siapa yang harus “memberitahukan” cessie kepada cessus, maka bisa
disimpulkan, terdapat pendapat bahwa pemberitahuan itu bisa datang dari cedent dan/ataupun cessionaris, jadi bisa oleh salah satu, atau keduanya atau malahan
bisa oleh pihak ketiga seperti pihak Jurusita Pengadilan—dimana telah terdapat
preseden di Mahkamah Agung RI bahwa yang disebutkan terakhir itulah yang baru
dapat dianggap sebagai sah. Terlepas dari itu, SHIETRA & PARTNERS
menilai, demi perlindungan bagi pihak kreditor, pemberitahuan wajib diberikan
oleh pihak “Kreditor Asal” dan menyertakan pihak “Kreditor Baru” sebagai rangka
memperkenalkan kepada sang Debitor yang ketika hendak melunasi.
KESIMPULAN : Hak atas piutang dianggap
telah berpindah pada waktu Akta Cessie itu dibuat (secara internal semata,
antara “Kreditor Asal” dan “Kreditor Baru”); jadi tidak pada waktu akta itu
diberitahukan pada si berutang. Agar Akta Cessie menjadi memiliki daya ikat
pula terhadap pihak Debitor, maka perlu diberlakukan norma Pasal 1338 KUHPerdata,
yakni menyertakan pihak Debitor saat para Kreditor menanda-tangani Akta Cessie
atau dimintakan persetujuannya setelah itu (post
factum).
Sedangkan isi Akta Cessie harus
memuat: (i) hak tagih yang dialihkan; (ii) nama-nama dari cedent, cessionaris dan debitor
/ cessus; (iii) keterangan pernyataan
dari pihak cedent dan cessionaris atas pengalihan hak tagih;
(iv) tanda-tangan dari cedent dan cessionaris. Biasanya dalam Akta Cessie
diatur pula beding (janji-janji) tertentu, hak dan kewajiban masing-masing cedent dan cessionaris. Ditentukan pula siapa yang harus melakukan
pemberitahuan kepada debitur / cessus.
Dalam hal tidak ditentukan siapanya, maka masing-masing pihak berhak
memberitahukan pada debitor / cessus—namun
demikian, rincian di atas semata adalah teori, dimana konsekuensinya tanpa
persetujuan dari sang debitor, maka Akta Cessie hanya mengikat internal pihak
“Kreditor Asal” dan “Kreditor Baru” (sehingga menjadi percuma saja, karena hak
tagih terhadap debitor maupun hak atas objek jaminan / agunan tidak dapat
berlaku).
Cessie sebagai cara penyerahan
tagihan “atas nama”, mempunyai droit de
suite tanpa pemberitahuan, dalam arti kepemilikan atas “hak tagih” yang di-cedeer sudah beralih kepada cessionaris, walaupun belum ada
pemberitahuan kepada cessus. Hal ini
dikarenakan, dalam praktik pada umumnya orang tidak menghendaki diketahui bahwa
ia mempunyai utang, dan karenanya atas dasar itu dan di samping itu juga atas
dasar adanya ongkos-ongkos yang perlu dikeluarkan, biasanya tidak dilaksanakan
pemberitahuan penjaminan tagihan kepada cessus
(pemberitahuan mana tidak perlu lewat perantara Juru Sita dari Pengadilan),
sampai ada muncul kepailitan atau wanprestasi yang terjadi pada debitur.
Pemberitahuan kepada si berutang (cessus)
dapat dilakukan kemudian bila telah dianggap perlu oleh bank sebagai kreditur
dan cessionaris. Namun, sekali lagi,
kesemua itu adalah teori—sebatas teori yang tidak realistis, mengingat Pasal
1338 Ayat (1) yang menjadi “tulang punggung” (back bone) dari asas
konsensualisme “pacta sunt servanda”
menyatakan secara tegas bahwa perjanjian ataupun kesepakatan hanya mengikat
para pihak yang saling mengikatkan diri, tidak dapat mengikat pihak ketiga.
Dengan kata lain, Akta Cessie “Bipartit” demikian hanya mengikat antar para
Kreditor, tidak berlaku terhadap pihak Debitor yang tidak turut dilibatkan
dalam pembentukan Akta Cessie.
Akta Cessie, bagaimana pun, yang hanya melibatkan pihak
“Kreditor Asal” dan “Kreditor Baru”, tidak memiliki daya ikat terhadap Debitor,
kecuali Debitor turut menandatangani Akta Cessie. Apakah Akta Cessie seketika
itu juga sah sekalipun belum diberitahukan kejadian peralihan “hak tagih” atas
piutang itu kepada pihak Debitor? Tiada larangan untuk membuat Akta Cessie, sehingga
“syarat sah perjanjian” Pasal 1320 KUHPerdata maupun “causa yang sahih” Pasal
1337 KUHPerdata tidak terlanggar. Namun, menjadi pertanyaan besar yang
terpenting, apakah Akta Cessie demikian mengikat pula serta memiliki daya
pemaksa secara yuridis terhadap sang Debitor selaku “pihak ketiga”? Itulah
perbedaan paling prinsipil antara “Akta Cessie Bipartrit” dan “Akta Cessie
Tripartit”.
Singkat kata, sahnya cessie
adalah sejak penandatanganan Akta Cessie antar kedua belah pihak Kreditor,
sedangkan pemberitahuan kepada pihak Debitur (betekening) mengakibatkan saat mulai timbulnya akibat hukum kepada
si berutang atas pengalihan piutang itu. Pasal 19 UU No 42 Tahun 1999 mengenai
Jaminan Fidusia disebutkan bahwa: pengalihan hak atas piutang yang dijamin
dengan fidusia akan mengakibatkan beralihnya “demi hukum”
segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada kreditur baru. Beralihnya
jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (1), harus didaftarkan oleh
kreditur baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Bagaimana bila atas
hutang-piutang tersebut debitor diikat dengan Hak Tanggungan? Jawabnya, Akta Cessie
dapat didaftarkan pada Kantor Pertanahan untuk dicatat pada Buku Tanah,
sehingga terjadi peralihan pihak Krditor Pemegang Jaminan Kebendaan Hak
Tanggungan. Isu hukum berikutnya, bisakah cessie dibeli oleh pihak yang bukan
lembaga badan hukum non-bank? Jawabnya: BISA, dan telah terdapat beragam
preseden baik sengketa di Pengadilan maupun lelang eksekusi Hak Tanggungan di
Kantor Lelang Negara oleh pihak pemohon lelang eksekusi ialah Kreditor
Perorangan pemegang agunan berdasarkan peralihan piutang (Cessie).
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UU HT): “Pemegang
Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.” Sehingga, cessie yang dilakukan
dapat dibeli oleh orang pribadi.
Pasal 16 UU HT:
(1) Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena
cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain, Hak Tanggungan tersebut
ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang baru.” [Note SHIETRA & PARTNERS : Istilah
hukumnya, “droit de suite”.”
(2) Beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada Kantor Pertanahan.
(3) Pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan mencatatnya pada buku tanah Hak
Tanggungan dan buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan
serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat Hak Tanggungan dan sertipikat
hak atas tanah yang bersangkutan.
(4) Tanggal pencatatan pada buku tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dan jika hari ketujuh itu
jatuh pada hari libur, catatan itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
(5) Beralihnya Hak Tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga
pada hari tanggal pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). [Note SHIETRA & PARTNERS :
Sekalipun demikian, syarat formal atau syarat sahnya peralihan piutang tidak
terlepas pada keberlakuan norma imperatif dalam KUHPerdata, sehingga tidak
semata pengaturannya terdapat dalam UU HT. Karenanya, secara sistematis
pengaturan dalam UU HT perlu dibaca dalam satu kesatuan rangkaian bersama
pengaturan dalam KUHPerdata terutama Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata.]
Penjelasan Resmi Pasal 16 Ayat
(1) UU HT: Cessie adalah perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh kreditor
pemegang Hak Tanggungan kepada pihak lain. Subrogasi adalah penggantian
kreditor oleh pihak ketiga yang melunasi utang debitor. Sehingga, jual-beli
piutang, bisa dilakukan baik lewat Cessie maupun dengan mekanisme Subrogasi—serupa,
namun berbeda sudut pandang pelakunya. Meski saling identik, ketentuan hukum
tentang Subrogasi lebih tegas mengatur serta menyatakan, bahwa segala hak
turunannya, semisal selain atas agunan jaminan, namun juga “hak gugat”, dsb,
beralih pada penerima subrogasi. Yang dimaksud dengan sebab-sebab lain adalah
hal-hal lain selain yang dirinci pada ayat ini, misalnya dalam hal terjadi
pengambil-alihan atau penggabungan perusahaan sehingga menyebabkan beralihnya
piutang dari perusahaan semula kepada perusahaan yang baru, termasuk juga
sebagai kategori “Subrogasi”.
Karena beralihnya Hak
Tanggungan yang diatur dalam ketentuan ini terjadi “karena hukum” (alias “demi
hukum”, otomatis keberlakuannya oleh pengaturan hukum itu sendiri), perbuatan
hukum tersebut tidak perlu dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
Pencatatan beralihnya Hak Tanggungan ini cukup dilakukan berdasarkan akta yang
membuktikan beralihnya piutang yang dijamin kepada kreditor yang baru.
Penjelasan Resmi dari UU HT
demikian menjadi menarik, karena artinya akta jual-beli piutang dapat dilakukan
dengan akta dibawah tangan, karena akta, menurut KUHPerdata dibagi menjadi dua,
yakni akta “dibawah tangan” dan “akta otentik”. Akta otentik dibentuk oleh
Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), atau oleh pejabat negara. Sementara
yang dimaksud dengan “akta” itu sendiri, ialah suatu bentuk tertulis di atas
kertas yang digunakan guna proses pembuktian hukum di kemudian hari. Tetapi,
apakah Kantor Pertanahan bersedia menerima akta selain akta otentik dari kalangan
Notaris / PPAT? Bolehkan jika berbentuk akta dibawah tangan yang dilegalisir
oleh Notaris?
Merujuk pada Pasal 617
KUHPerdata: “Semua akta penjualan, penghibahan, pembagian, pembebanan atau
pemindahtanganan barang tak bergerak harus dibuat dalam bentuk
otentik, atas ancaman kebatalan.” Ketentuan ini tidaklah eksplisit mengatur
apakah untuk cessie / subrogasi terhadap piutang yang diikat dengan Hak Tanggungan
wajib berbentuk akta otentik atau cukup akta “di-bawah tangan”, sekalipun kita
ketahui, bahwa piutang yang dialihkan mengandung pula hak atas agunan yang
diikat Hak Tanggungan? Itulah salah satu wujud nyata inkonsistensi pengaturan
dalam cluster hukum kita itu sendiri, sehingga menjelma rancu, ambigu, serta
membuka potensi bibit sengketa berkat sifatnya yang “multitafsir”.
Secara teoretis, cessie dapat
dituangkan dalam suatu akta “di-bawah tangan” maupun secara “akta otentik”,
asal di dalamnya tegas-tegas disebutkan bahwa “Kreditur Lama” dengan itu telah
menyerahkan hak tagihnya kepada pihak “Kreditur Baru”. Namun dalam
perkembangannya, cessie masuk ke dalam lembaga jaminan Fidusia maupun Hak
Tanggungan (bila terdapat hak ikutan berupa agunan yang diikat dengan jaminan Fidusia
maupun Hak Tanggungan), sehingga merupakan suatu keharusan untuk menuangkan cessie
dalam suatu akta otentik—kecuali, Cessie terjadi terhadap peralihan piutang
tanpa adanya jaminan kebendaan yang menyertai. Sebagai kesimpulan, akta “di
bawah tangan” untuk melakukan cessie, hanya sah dalam konteks peralihan piutang
tanpa ikutan berupa jaminan / agunan apapun seperti Hak Tanggungan
maupun Fidusia.
Pertanyaan berikutnya, apakah
artinya harus dianalogikan bila agunan debitor diikat dengan Hak Tanggungan
juga harus dengan akta notaris? Dapat disimpulkan, cessie dengan akta dibawah-tangan
bersifat cessie “sederhana”, dalam arti tagihannya tidak diikat dengan
jaminan Fidusia. Resiko lainnya, akta dibawah tangan dapat dibantah oleh salah
satu pihak di pengadilan, sementara akta notaris / otentik memiliki sifat
sebagai alat bukti yang kuat (pembuktian menurut hukum acara perdata bersifat
pembuktian “formil”), sekaligus jaminan bagi debitor serta kepastian baginya
kepada pihak siapakah hutang itu harus ia lunasi.
Pemberitahuan atas adanya
cessie, haruslah dalam bentuk tertulis baik berupa surat atau dokumen tertulis
lainnya, tidak harus dalam bentuk atau melalui suatu putusan pengadilan, karena
prinsipnya cessus mengetahui adanya
cessie kepada cessionaris. Namun, isu
hukum utamanya ialah, sekalipun Debitor mengetahui perbuatan hukum berupa
jual-beli piutang atau peralihan piutang demikian, apakah artinya sang Debitor
tidak boleh dan tidak memiliki hak untuk menolaknya? Jika sang Debitor tidak
pernah dimintakan persetujuan, maka mengapa Akta Cessie yang dibuat secara
Bipartit sebatas antar para Kreditor, menjadi mengikat pula terhadap sang
Debitor sehingga secara “vulgar” melanggar dan menabrak norma imperatif Pasal
1338 Ayat (1) KUHPerdata?
Setelah terjadinya perbuatan
hukum “Cessie”, kedudukan cessionaries
menggantikan kedudukan cedent, yang
berarti segala hak yang dimiliki oleh cedent
terhadap cessus dapat digunakan oleh cessionaries sepenuhnya, yakni berupa “hak
tagih”, piutang, penjaminan berupa “borgtocht”
(jaminan personal alias personal
guarantee, termasuk juga corporate guarantee),
maupun hak pelunasan yang bersumber dari eksekusi terhadap agunan bila disertai
agunan atas hutang-piutang yang dialihkan.
Terhadap permasalahan : Apakah
agar cessus terikat untuk tidak
membayar kepada cedent mutlak harus
ada pemberitahuan melalui exploit Juru Sita (dari pengadilan)? Menurut teori, tidak
wajib pemberitahuan oleh Juru Sita. Solusinya lainnya, dalam akta jual-beli
piutang, dapat dibuat klausul bahwa bila pihak “Kreditor Asal” kemudian hari
mendapat pelunasan dari Debitor, maka “Kreditor Asal” wajib seketika itu juga
memberitahu dan menyerahkan dana pelunasan tersebut pada “Kreditor Baru”—terutama
bilamana sang Debitor tidak menyetujui atau tidak memberikan persetujuan
terhadap peralihan piutang demikian sekalipun dirinya telah diberitahukan
tentang telah terjadinya peralihan piutang disertai “hak tagih”.
Konsekuensi dari pengalihan
piutang dalam cessie, memberikan hak bagi penerima cessie (cessionaris) untuk berkedudukan sebagai “Kreditur Baru” bagi
debitur (cessus), sehingga hubungan
selanjutnya antara “Kreditur Baru” dengan sang Debitur dan segala akibat dari
peralihan piutang itu memberikan hak bagi “Kreditur Baru” untuk mengajukan
gugatan secara keperdataan kepada sang Debitur maupun untuk mengajukan
permohonan lelang eksekusi Hak Tanggungan ataupun Fidusia, baik secara “fiat eksekusi” maupun “parate eksekusi”.
YURISPRUDENSI
- Putusan MA No. 1809
K/Pdt/2007 tanggal 28 Januari 2008 : “Utang
debitur akan tetap ada meskipun kreditur telah mengalihkan kembali piutang
secara cessie kepada pihak lain.”
- Putusan MA No. 2403 K/Pdt/2000
tanggal 13 Juli 2007 : “Penanggungan
(Bortocht) tidak memerlukan bentuk tertentu, hanya dipersyaratkan pernyataan
yang tegas. Legalitas penanggungan cukup dibuktikan dengan adanya pernyataan
tegas dari penanggung. Tanggung jawab cessus (debitur) untuk membayar hutang
kepada cessionaris yang terbaru.”
- Putusan MA No. 48 K/Pdt/2000
tanggal 18 Oktober 2002 : “Dalam
jual-beli piutang tidak ada aturan yang mengatur atau mengharuskan para
pihak yang terlibat jual-beli piutang untuk memberitahukan kepada debitur bahwa
utangnya telah dialihkan / dijual.” [Note SHIETRA & PARTNERS
: Maksudnya, legalitas peralihan hak piutang memang beralih seketika saat akta cessie
di-“ttd”, namun untuk mengikat pihak debitor agar melunasi pada pihak pembeli
cessie, maka pemberitahuan itu menjadi bersifat wajib. Kedua, agar Cessie
menjadi mengikat pula pihak Debitor, wajib ada persetujuan dari pihak Debitor.
Bila tidak, maka Cessie hanya menjadi memiliki daya ikat sebatas antar kedua
pihak Kreditor, tidak dapat mengikat Debitor selaku pihak ketiga dalam Akta
Cessie Bipartit demikian.]
Isu Hukum selanjutnya : DAPATKAH ORANG PRIBADI ORANG-PERORANGAN
MEMBELI CESSIE YANG MEMILIKI IKATAN TURUNAN BERUPA JAMINAN HAK TANGGUNGAN?
Jawabannya : Dimungkinkan, dibolehkan, serta diizinkan oleh
hukum—dimana sudah kerap terjadi pada praktiknya di lapangan Kantor Lelang
Negara maupun praktik di peradilan.
Penjelasan :
Hukum perdata tidak melarang
kemungkinan orang perorangan ataupun badan usaha non-bank untuk membeli cessie berupa
“hak tagih” yang memiliki turunan berupa ikatan Hak Tanggungan demikian, oleh
karena UU HT itu sendiri secara eksplisit menyatakan kebolehan sehingga
memungkinkan orang-perorangan memegang Hak Tanggungan.
Untuk lebih jelasnya, mengenai
seluk-beluk cessie dalam hukum, akan diangkat studi kasus terhadap tiga buah
putusan pengadilan, sebagaimana SHIETRA & PARTNERS uraikan dalam bentuk
resume perkara di bawah ini:
### PUTUSAN NOMOR : 157/PDT.G/2013/PN.BTM yang diputus
pada tanggal 26 September 2013.
Pengadilan Negeri Batam
mengadili dan memutus perkara gugatan perdata yang diajukan oleh seorang Penggugat,
yakni orang pribadi (bukan badan usaha dan juga badan hukum) melawan seorang Tergugat
(yang juga atas nama orang-perorangan).
Yang menjadi duduk perkaranya,
semula pada tanggal 2008, Tergugat menanda-tangani perjanjian kredit secara “dibawah
tangan” dengan PT. Bank Niaga, Tbk. dengan fasilitas kredit sebesar 216.380.000
dan berturut-turut menandatangani Akta Jual Beli dan Akta Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan.
Fasilitas kredit yang telah
diberikan oleh Bank Niaga berupa sebidang tanah bangunan di atasnya yang
terletak di Kota Batam, yang telah bersertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Karena
Tergugat telah lalai melaksanakan kewajiban pembayaran fasiltas kredit alias
“kredit macet”, maka pada 2012 Bank Niaga telah melakukan akta pengalihan
(cessie) piutang kepada PT. BOMA SUMBER ANUGAREH.
Setelah akta pengalihan
(cessie) hak tagih atas piutang beralih kepada PT. BOMA, diberitahukanlah
perihal tersebut kepada Tergugat namun tidak ada jawaban, dilanjutkan dengan
dilayangkannya tiga buah surat peringatan oleh PT. BOMA pada sang Debitor
(Tergugat). Oleh karena domisili PT. BOMA berkedudukan di Jakarta, sehingga
sangat kesulitan untuk melakukan pengurusan lebih lanjut, maka pada tahun yang
sama, telah menanda-tangani perjanjian pengalihan (cessie) piutang kepada
Penggugat di hadapan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Sehingga,
Penggugat notabene merupakan “Kreditor Ketiga”, karena telah terjadi dua kali
peristiwa Cessie.
Setelah akte perjanjian
pengalihan (Cessie) piutang beralih kepada Penggugat, Tergugat tetap berstatus
lalai melunasi hutang (“kredit macet” sebagai statusnya Debitor). Keunikan
perkara ini, ialah agar proses balik nama sertifikat atas nama Tergugat kepada
Penggugat di Kantor Pertanahan Kota Batam dapat diproses balik namanya, maka
berdasarkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan telah disetujui oleh
Tergugat untuk dialihkan jika terjadi kelalaian / macet pembayaran fasiltas
kredit tersebut, sehingga Penggugat meminta hakim agar proses balik nama
tersebut dikabulkan. [Note SHIETRA & PARTNERS : Hal demikian dalam
hukum perdata diistilahkan sebagai “milik
beding”, yang menurut preseden sifatnya “DILARANG”. Undang-Undang Hak
tanggungan Pasal 12: “Janji yang
memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak
Tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum.”]
Adapun yang kemudian menjadi
substansi atau bunyi dari pertimbangan hukum Majelis Hakim di Pengadilan : “Menimbang, bahwa oleh karena inti dari
Gugatan Penggugat adalah sebagaimana di dalam petitum No. 2 maka sudah
seharusnya pula petitum point 4 yang memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri
Batam untuk mengirim salinan Putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap
kepada Badan Pertanahan Nasional Kota Batam Kepulauan Riau, untuk diproses
balik nama dari Tergugat ke atas nama Penggugat harus pula dikabulkan.”
Terhadap gugatan Penggugat,
tiba-lah pada amar putusan, dimana pengadilan kemudian membuat putusan sebagai
berikut:
3. Menerima dan mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya
4. Menyatakan Tergugat telah lalai melaksanakan kewajiban pembayaran
fasilitas kredit sehingga beralasan hukum bahwa Tergugat telah melakukan
Wanprestasi.
5. Menyatakan perjanjian pengalihan hutang dari PT. BOMA SUMBER ANUGERAH
kepada Penggugat adalah sah dan berlaku serta memiliki kekuatan hukum yang mengikat;
6. Memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri Batam untuk mengirimkan
salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap ke Kantor Badan Pertanahan
Nasional Kota Batam Kepulauan Riau untuk diproses balik nama Penggugat.”
Putusan di atas adalah contoh kasus
yang secara terang-benderang sedang melanggar serta menyimpangi hukum, dimana
hakim turut serta menjadi aktor pelakunya, sehingga tidak dapat dibenarkan
untuk kembali berulang, serta perlu dikoreksi dalam tingkat Banding maupun
Kasasi. Setidaknya, praktik pada dunia peradilan tidak men-tabu-kan Cessie oleh
orang-perorangan non-perbankan.
### Putusan Mahkamah Agung Nomor 119 PK/TUN/2013
Penggugat adalah atas nama
orang-perorangan pribadi (bukan badan hukum dan bukan badan usaha), begitupula
dengan Tergugat II (ahli waris debitor), sementara Tergugat I adalah Kantor
Pertanahan. Gugatan diajukan ke hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dalam perkara ini, yang menjadi
objek sengketa adalah Surat Kepala Kantor Pertanahan suatu Kabupaten perihal “Pencatatan
Akta Cessie”. Penggugat menggugat Kantor Pertanahan karena menolak pencatatan
akta cessie. Penggugat adalah Pembeli Hak Tagih atas Piutang (Cessionaries) dari PT. Bank Swadesi,
Tbk, Penjual Hak Piutang (Cedent) hal mana sesuai dengan Akta Perjanjian
Pengalihan Piutang (Akta Cessie).
Piutang dimaksud adalah seluruh
hak tagih, manfaat dan kepentingan lainnya yang dimiliki oleh PT. Bank Swadesi,
Tbk., termasuk di dalamnya adalah Hak Tanggungan atas 3 (tiga) bidang tanah
yang menjadi agunan jaminan pelunasan hutang kepada Kreditor atas perjanjian
hutang-piutang yang menjadi pokok perjanjiannya.
Penggugat kemudian bermaksud
mendaftarkan Akta Cessie tersebut, guna dicatatkan dalam Buku Tanah Sertipikat
pada Kantor Pertanahan sebagai peralihan Kreditor Pemegang Jaminan Kebendaan Hak
Tanggungan, sebagaimana memiliki pijakan dasar hukum berupa norma Pasal 94 Ayat
(1) Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1997 menyatakan : “Pemeliharaan data
pendaftaran tanah dilaksanakan dengan pendaftaran perubahan data fisik dan /
atau data yuridis obyek pendaftaran tanah, yang telah terdaftar dengan
mencatatanya di dalam daftar umum sesuai dengan ketentuan di dalam peraturan
ini.”
Tiada faedah bisnisnya membeli
piutang (Cessie) bila tidak disertai ikutannya berupa hak atas agunan,
sebagaimana mendapat legitimasinya lewat Pasal 94 Ayat (2) Huruf (e) Perturan
Menteri yang sama di atas, menyatakan pula secara lebhi eksplisit: “Perubahan data yuridis sebagaimana dimaksud
adalah peralihan hak tanggungan.”
Pasal 121 Ayat (1) peraturan
yang sama, mengatur pula : “Permohonan pendaftaran
peralihan hak tanggungan diajukan oleh kreditur baru sebagai
pemegang hak tanggungan yang baru dengan menyertakan:
a Sertipikat Hak Tanggungan;
b Surat Tanda Bukti Beralihnya Piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan
berupa: (1) Akta Cessie atau Akta Otentik yang menyatakan adanya Cessie
tersebut. (2). Akta Subrogasi atau Akta Otentik yang menyatakan
Subrogasi tersebut; [Note SHIETRA & PARTNERS : Frasa “atau” menjadi jawaban
pertanyaan sebelumnya, Akta Cessie yang terkait jaminan Hak Tanggungan dapat
dilakukan dalam bentuk “akta dibawah tangan” ataupun akta otentik yang dibuat
oleh /di hadapan notaris.)
c Identitas Pemohon dan / atau Surat Kuasa tertulis apabila permohonan
pendaftaran tersebut diajukan oleh pihak lain.”
Penggugat selaku pembeli cessie
kemudian menulis surat permohonan pencatatan Akta Cessie atas “hak tagih” yang
telah dibeli oleh pihak Penggugat, agar kedudukannya resmi dikukuhkan sebagai “Kreditor
Baru” pemegang jaminan kebendaan Hak Tanggungan. Namun lewat surat jawabannya, pihak
Kantor Pertanahan ternyata menolak permohonan dimaksud, dengan alasan sedang
dipersengketakan oleh Tergugat II.
Gugatan perdata yang telah
diajukan oleh ahli waris Debitor dalam nomor perkara gugatan lain tersebut
dahulu telah pernah diputus yang amar pokoknya menyatakan “menolak” gugatan
sang ahli waris Debitor, putusan mana telah berkekuatan hukum tetap, inkracht.
Meski telah inkracht, ahli waris Debitor dimaksud kembali
menggugat dan diputuskan oleh pengadilan bahwa gugatan ahli waris ditolak
karena nebis in idem, alias telah
diputus dengan berkekuatan hukum tetap sebelumnya sehingga tak dapat lagi
diajukan gugatan ulang.
Setelah itu Penggugat dalam
nomor perkara kini, kembali mengajukan pencatatan Akta Cessie pada Kantor Pertanahan.
Namun kantor pertanahan kembali menolak pencatatan dengan alasan yang sama,
yakni Akta Cessie tersebut sedang dipersengketakan di pengadilan.
Gugatan ulang atas putusan yang
sebelumnya sebenarnya telah inkracht,
membuktikan bahwa gugatan yang diajukan oleh ahli waris Debitor hanyalah upaya
rekayasa hukum untuk menghalangi atau menunda-nunda permohonan pencatatan atas
Akta Cessie. Untuk itu, demi kepastian hukum, Penggugat kemudian lewat
gugatannya memerintahkan agar pihak Kantor Pertanahan membatalkan atau mencabut
surat penolakan tersebut, dan memerintahkannya untuk mencatat Akta Perjanjian
Pengalihan Piutang (cessie).
Yang menjadi putusan dari
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) ialah: Mengabulkan gugatan Penggugat untuk
seluruhnya, menyatakan batal surat penolakan pencatatan Akta Cessie dan
memerintahkan Kantor Pertanahan untuk mencatat Akta Perjanjian Pengalihan
Piutang (cessie) dalam buku tanah. Putusan tersebut kemudian dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang kemudian dikuatkan pula oleh putusan
Mahkamah Agung RI dalam tingkat kasasi. Ahli waris debitor kemudian mengajukan Peninjauan
Kembali, yang juga tentunya ditolak oleh Mahkamah Agung RI.
### Putusan Pengadilan Negeri Probolinggo No.
32/Pdt.G/2013/PN.Prob tanggal 21 November 2013
Seorang pribadi orang-perorangan
selaku Penggugat melawan Tergugat yang merupakan sepasang suami-istri. Semula, Tergugat
pernah mengadakan Perjanjian Kredit dengan PT BANK DUTA, berdasarkan Akta
Pengakuan Hutang. Terhadap kredit tersebut, Tergugat menjaminkan tanah sebagai agunan
(dahulu bernama hipotik). Karena kemudian terjadi “kredit macet” oleh pihak
Debitor, maka pihak Kreditor menyerahkannya pada BPPN (Badan Penyehatan
Perbankan Nasional), berdasarkan akta jual beli dan penyerahan piutang. Karena
masih terjadi pula “Kredit Macet”, maka BPPN mengalihkan piutang pada Bank
Danamon berdasarkan Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan.
Status macetnya fasilitas
kredit yang semestinya dilunasi / dicicil oleh pihak Debitor, berlangsung sejak
tahun 1991/1992, hingga pada tahun 2006, Bank Danamon mengklaim bahwa total
tunggakan debitor sebesar 400 juta Rupiah, sementara pokok hutang awalnya hanya
40 juta Rupiah. Namun, kredit masih berstatus macet, sehingga karenanya piutang
Bank Danamon dan segala turunan ikutannya dialihkan (cessie) kepada pihak Penggugat,
berdasarkan Akta Notariel Perjanjian Pengalihan Piutang.
Oleh karenanya, posisi status Kreditur
atas hutang Tergugat telah berpindah dari Bank Danamon kepada Penggugat, dengan
demikian segala hak piutang yang dimiliki oleh Bank Danamon atas Tergugat
beralih kepada Penggugat dengan segala konsekuensi yuridisnya.
Dengan beralihnya hak piutang
tersebut kepada Penggugat, diklaim oleh Penggugat bahwa secara hukum Penggugat
berwenang untuk melakukan penagihan kepada Tergugat selaku debitur, atas segala
kewajiban-kewajiban yang harus diselesaikannya akibat dari hutang-hutang / kredit
macet tersebut, dan Penggugat juga berwenang untuk melakukan segala upaya-upaya
hukum lainnya sehingga Tergugat dapat menyelesaikan segala kewajibannya selaku
Debitur ataupun penjamin yang bertanggung-jawab terhadap pembayaran hutang yang
menjadi kewajibannya.
Dengan beralihnya hak piutang
kepada Penggugat, maka Tergugat diklaim mempunyai kewajiban untuk membayar
hutangnya kepada Penggugat sebesar Rp.420.083.887,68 (yang mana pada mulanya
pokok hutang hanya 40 juta Rupiah, alias berlipat-ganda hingga 1.000% akibat
bunga, “bunga berbunga”, denda, dsb.
Ternyata hingga tatkala piutang
atas Tergugat tersebut dialihkan kepada Penggugat oleh Kreditor sebelumnya,
dengan melalui mekanisme yuridis bernama Cessie, Tergugat tetap tidak bersedia
membayar hutangnya kepada Penggugat, dimana hal tersebut berarti bahwa Tergugat
telah wanprestasi. [Note SHIETRA & PARTNERS : Tentu saja, hutang
telah menjelma 1.000% dari pokok hutang semula, siapakah atau debitor manakah yang
akan bersedia melunasinya? Itulah jebakan paling utama skema hutang-piutang
yang menyertakan ketentuan perihal bunga, denda, pinalti, dsb, hingga “bunga
berbunga” yang kian menjerat layaknya praktik “rentenir” itu sendiri, namum di-legalkan
oleh otoritas negara.]
Untuk itu Penggugat selaku
penerima peralihan piutang lewat Cessie kemudian hendak menjual agunan untuk
dilelang. Kemudian, Penggugat juga mengajukan sita jaminan atas objek agunan. Karena
Tergugat tidak hadir dalam sidang, maka hakim menganggap Tergugat telah
melepaskan haknya untuk membela diri.
Dalam amar putusan, yang
mengejutkan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri terhadap gugatan sang “Kreditor
Baru” kemudian memutuskan:
1. Menyatakan Tergugat tidak hadir
walaupun telah dipanggil secara sah dan patut;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dengan verstek;
3. Menyatakan sah menurut hukum Perjanjian Kredit antara Tergugat dengan
PT. Bank Duta Cabang Probolinggo sebagaimana Akta Pengakuan Hutang atas hutang
sebesar Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah), adalah sah menurut
hukum
4. Menyatakan sah menurut hukum pengalihan piutang (cessie) dari PT Bank
Danamon Indonesia Tbk. Pusat di Jakarta kepada Penggugat atas piutang terhadap
Tergugat berdasarkan Akta Notariil Pengalihan Piutang (cessie);
5. Menyatakan segala hak yang timbul atas piutang PT Bank
Danamon Indonesia Tbk. kepada Tergugat beralih kepada Penggugat;
6. Menyatakan Penggugat berhak untuk melakukan penagihan kepada Tergugat
maupun upaya hukum lain yang berkaitan dengan pengembalian / pembayaran atau
pemenuhan prestasi oleh Tergugat sebagai debitur;
7. Menyatakan menurut hukum jumlah piutang Penggugat kepada Tergugat
adalah sebesar Rp. 420.083.887,68 (empat ratus dua puluh juta
delapan puluh tiga ribu delapan ratus delapan puluh tujuh rupiah enam puluh
delapan sen);
8. Menyatakan Tergugat telah melakukan wanprestasi (ingkar janji) kepada
Penggugat;
9. Menghukum Tergugat untuk membayar hutangnya kepada Penggugat sebesar
Rp. 420.083.887,68;
10. Menghukum Tergugat untuk membayar bunga sebesar 19 % (prosen) per
tahun dari Rp. 420.083.887,68 (empat ratus dua puluh juta delapan puluh tiga
ribu delapan ratus delapan puluh tujuh rupiah enam puluh delapan sen) kepada
Penggugat, terhitung sejak perjanjian pengalihan piutang dari PT Bank Danamon
Tbk kepada Penggugat pada tanggal 10 Oktober 2006 sampai dengan dipenuhinya pembayaran
hutang (prestasi) oleh Tergugat; [Note SHIETRA & PARTNERS : Apakah pernah
disepakati, antara “Kreditor Baru” dan pihak Debitornya, bahwa atas tunggakan
hutang dibebani bunga senilai 19% demikian? Jika tidak, maka gugatan “wanprestasi”
ini menjadi rancu.]
11. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan jaminan hutang berupa sebidang
tanah yang terletak di Kelurahan Tisnonegaran, Kecamatan Mayangan, Kotamadya
Probolinggo seluas 1.970 m2 (meter persegi) sebagaimana Sertipikat Hak Milik
Nomor 121/Tisnonegaran kepada Penggugat untuk selanjutnya dijual lelang guna
memenuhi kewajiban hutang Tergugat.”
Catatan penutup SHIETRA
& PARTNERS : Mengapa isu hukum dalam ulasan ini menjadi penting? Pernah
terjadi, para ahli waris dari almarhum debitor hendak berlomba-lomba (“berebutan”)
menebus hutang pewaris pada sebuah bank, dengan tujuan agar dapat menguasai
warisan, meski itu tidak logis sama sekali. Namun pihak bank tidak bersedia menerima
pelunasan tersebut, karena antar ahli waris sedang bersengketa perihal warisan
di pengadilan.
Hal ini tersangkut-paut dengan
agunan alm. debitor pada bank. Ketika kita telah menyadari bahwa orang-perorangan
dapat menerima peralihan piutang, maka sejatinya bank dalam hal ini selaku
kreditor dapat menawarkan mekanisme Cessie (lebih tepatnya mekanisme “Subrogasi”
kepada salah seorang ahli waris yang hendak melunasi utang almarhum pewaris
tersebut.
Tujuannya, tidak lain agar “bunga”,
“bunga berbunga”, “bunga atas denda”, “bunga atas pinalti”, “denda”, “denda
atas bunga”, “denda atas denda”, “denda atas pinalti”, “pinalti”, “pinalti atas
bunga”, “pinalti atas denda”, “pinalti atas pinalti”, dan lain sebagainya tidak
kian membuat total hutang menjadi “membengkak” berkali-kali lipat sementara
sengketa warisan biasanya sangat berlarut-larut serta memakan waktu yang cukup
panjang sehingga signifikasinya ialah secepat mungkin menebut objek agunan agar
tidak terjebak pada “lingkaran setan” hutang-piutang yang demikian “menjerat”, terutama
ketika pihak Kreditor ternyata tanpa persetujuan pihak Debitornya mengalihkan
piutang kepada “Kreditor Baru” yang bergaya “mafia”.
Itulah mengapa SHIETRA &
PARTNERS memiliki semboyan “Law Makes
Easy”. Solusi atas permasalahan hukum terletak di dalam hukum dan logika
hukum itu sendiri. Konsultasikan masalah hukum Anda pada Konsultan Hukum, untuk
kepastian serta keakuratan opini hukum atas peristiwa hukum konkret yang Anda hadapi
atau akan hadapi sebagai langkah mitigasi.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.