SHIETRA
& PARTNERS Telah Kembali Aktif !
Kami putuskan
untuk mengaktifkan kembali publikasi dalam situs ini. Kami ucapkan pula kepada banyak pihak yang
telah memberi dukungan kepada kami.
Banyak kami
alami manis pahit sebagai konsultan hukum yang mengasuh situs ini. Meski sebelumnya
kami nyatakan tidak aktif, namun masih saja banyak yang meminta konsultasi
hukum kepada pihak kami.
Entah karena
budaya, atau memang tabiat manusia Indonesia yang unik, tanpa basa-basi mereka meminta
jawaban atas masalah hukum yang mereka hadapi. Namun, acapkali kami mendapati
pertanyaan atas permasalahan yang janggal. Jadi perlu kami tekankan, hukum
tidak akan memihak pada mereka yang tidak benar. Hukum bukan untuk
disalahgunakan, meski kita tahu, banyak celah hukum yang dapat disalahgunakan.
Cukup sering,
setelah kami jelaskan, pengguna jasa kami keukeuh pada pendapatnya sendiri
seolah lebih cerdas daripada seorang sarjana hukum. Jika demikian, lantas buat
apa menggunakan jasa kami sebagai konsultan?
Lebih sering
lagi kami temui, mereka yang mengaku sebagai kalangan tidak mampu, memohon
bantuan konsultasi hukum. Setelah cukup menguras banyak waktu dan tenaga,
ucapan terimakasih pun tidak kami dapatkan.
Demikianlah
manis-pahit kami selaku konsultan hukum yang mengasuh berbagai rubrik pada situs ini.
Sekali lagi,
kami ucapkan selamat kepada diri kami sendiri atas diaktifkannya kembali situs ini.
Bercermin
pada pengalaman kurang baik sebelumnya, dimana kami belajar bahwa menyediakan
jasa konsultasi secara Cuma-Cuma hanya akan diremehkan para pengguna jasa, maka
kami putuskan untuk menjadikan situs ini bersifat komersiel, dalam arti setiap
konsultasi hukum, baik email, YM, maupun via telepon, akan kami bebankan tarif.
Mohon pengertiannya,
karena inilah profesi tempat kami mencari penghasilan, dari ilmu serta
kompetensi yang tentunya tidak mudah kami dapatkan selama ini. Jadi, bila Anda meminta
pelayanan yang profesional, maka kami adalah orang yang tepat, meski demikian
sekali lagi, kami bukan konsultan hukum murahan.
Berbagai klien mengaku tidak punya uang, sehingga meminta konsultasi dan layanan hukum secara cuma-cuma, dimana objek sengketa bernilai miliaran rupiah hingga belasan miliar rupiah. Apakah pengakuan "saya tidak punya uang" demikian tidak menyakitkan hati seseorang yang berprofesi sebagai konsultan?
Bila profesi Anda dalam mencari nafkah menghadapi orang-orang yang meminta pelayanan dengan cuma-cuma, sama artinya mereka meminta Anda untuk memberikan makan pasir dan batu pada keluarga Anda. Bila Anda tidak terima diperlakukan demikian, hargai pulalah konsultan hukum Anda.
Adalah keliru menilai fee sarjana hukum sebagai "mahal". Ibarat pertunjukkan teater dan konser, mungkin konser itu sendiri hanya berlangsung dalam hitungan jam, namun persiapan dibalik konser tersebut, pelatihan, tata panggung dan pencahayaan, membutuhkan waktu mingguan hingga bertahun-tahun. Sama halnya dengan pelayanan konsultasi hukum oleh seorang sarjana hukum. Setiap patah kata merupakan konkretisasi pengayaan materi dan pembelajaran serta analisa yang memakan waktu serta sumber daya.
Artikel berikut khusus kami sertakan untuk menggambarkan “penyakit” hukum yang menimpa masyarakat Indonesia.
Yang Mulia Ajahn Phra Rajvicitpatibhan
(Sunthon Nanasuntharo) menguraikan tentang psikologi orang sakit sebagai
berikut:
“Bilamana
kita sakit, perasaan bingung—kacau—gelisah akan muncul karena orang sakit
berkeinginan sembuh, maka ia menaruh harapannya pada dokter dan perawat. Dokter
dan perawat juga menyanggupi untuk merawatnya. Pasien bilamana telah sembuh, ia
pun tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Jika terjadi kematian, maka mereka
akan mencaci maki dokter. Kadang-kadang ada juga yang menyalahkan,
memperkarakannya hingga ke pengadilan. Dokter akhirnya disita surat ijin
praktiknya. Hal ini ada juga. Kalau kita perhatikan, maka sangatlah empati
kepada sang dokter.”
“Tidak
kurang dari 40% orang sakit, selama hidupnya memiliki perilaku yang merusak
kesehatannya sendiri, misalnya merokok, minum-minuman keras, bekerja
berkecimpung dengan unsur-unsur berbahaya/beracun, tanpa menggunakan pelindung.
Menggunakan waktu 4—50 tahun untuk merusak kesehatan. Begitu jasmani tidak
mampu bertahan lagi, muncul rasa takut terhadap kematian karena perilaku diri
sendiri. Ingin hidupnya dapat bertahan, lalu menaruh harapan pada dokter dan
perawat, begitu dokter merawatnya, namun penyakit belum sembuh, maka orang itu
mencaci sang dokter.”
“Ada juga yang bandel, dokter telah melarangnya, tapi ia
melakukannya. Dokter mengijinkannya/memerintahkan, ia mengabaikannya, tetapi
masih ingin sembuh. Orang seperti ini dinamakan “pasien yang tidak baik”. Saat
harus membayar biaya yang besar, dikarenakan berbagai penyakit yang diderita
akibat perilakunya yang tidak baik, merupakan penyakit yang sangat berbahaya,
misalnya minum-minuman keras hingga terjadi pengerasan hati/lever dan ginjalnya
rusak; kadang-kadang bersentuhan dengan unsur-unsur berbahaya/beracun tanpa
pelindung hingga timbul kanker; kadang-kadang suka makan-makanan yang
khusus/aneh hingga muncul penyakit dalam kantong empedu; ada juga yang darah dalam tubuhnya rusak; maka biayanya pun
lebih besar daripada mereka yang hanya bertujuan merawat kesehatan saja.
Pemerintah harus membayar biaya menjaga perawat bagi orang yang berperilaku
tidak baik, lebih besar daripada orang yang menjaga kesehatan. Tetapi jikalau
peralatannya tidak mencukupi, mereka menyalahkan dan mencaci-maki dokter,
mencaci-maki hingga nama rumah sakit tercemar, hal ini juga ada.”
“Penunggu pasien, membantu mengingatkan pesan dari dokter, tetapi
melakukannya tanpa perhatian, kadang-kadang malahan menjadi orang yang membantu
pasien memperburuk kondisi dengan berlaku sekehendak hati, memakan sesuatu yang
berbahaya, lalu menutup-nutupinya terhadap dokter.”
“Terkadang ada dokter (tetapi jumlahnya sedikit) yang tidak didukung
dengan pendidikan profesional yang memadai, bosan terhadap pasien yang miskin,
hanya bertujuan merawat orang yang kaya, atau tidak jujur dengan pasien,
merawatnya tidak dengan sungguh-sungguh, dengan harapan bilamana pasien
meninggal dunia, maka memperoleh manfaat dengan mengambil ginjal dan matanya.
Perilaku pasien, penunggu pasien, dokter amatlah kacau, tidak tahu siapa yang
salah siapa yang benar.”
(dikutip dari Phra Mahawirat Khemacari, Jagalah Batin di Kala Sakit, Penerbit
Buddha Metta Arama, 2010).
Bila
kita merujuk pada artikel diatas, orang yang terjerat masalah hukum acapkali
adalah pihak yang memang suka mencari masalahnya sendiri, kecuali ia yang
justru menjadi korban orang-orang yang melanggar hukum.
Jika Anda
adalah pelanggar, kemudian menjadi pesakitan, tentunya Anda patut membayar
mahal untuk itu, dalam arti luas. Namun kami sadari pula, pelayanan dari
aparatur negara sama sekali tidak memadai.
Cobalah
Anda berkonsultasi pada petugas pajak di kantor pajak, maka apapun pertanyaan Anda,
kondisi Anda, kasuistisnya perkara Anda, Anda tetap disuruh untuk membayar
pajak meski senyatanya ketentuan hukum perpajakan yang berlaku menyatakan
tidak.
Dari situ,
tumbuhlah konsultan pajak. Bukan para konsultan pajak yang keliru, namun mereka
tumbuh justru karena ulah pejabat pajak yang tidak profesional.
Sama halnya
dengan seorang konsultan hukum, mereka ada bukan untuk memeras Anda (memang
beberapa ada yang demikian, dengan sifat buruk mereka yang “berkaki dua”, dalam
arti secara diam-diam tanpa sepengetahuan Anda, kuasa hukum atau konsultan Anda
“berkong-kalikong” dengan lawan Anda.)
Konsultan
hukum ada karena ulah pejabat negara juga yang acapkali melanggar prosedural.
Sebagai
penutup untuk artikel ini, kami sertakan pula pembahasan hukum mengenai
penafsiran suatu perjanjian. Acapkali kita menemui kontrak yang kurang spesifik
atau perjanjian yang justru mubajir, dalam artian sangat detail namun justru
membuat bias substansi kesepakatan didalamnya.
Bila Anda
membuat kontrak/perjanjian, dimana kontrak tersebut tidak menyebutkan pemilihan
hukum negara lain yang mengatur, maka secara sendirinya kontrak Anda akan
ditafsirkan dan tunduk pada ketentuan hukum Negara Indonesia.
Pasal 1342 KUHPerdata: “Jika kata-kata suatu persetujuan jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya
dengan jalan penafsiran.” ß Namun bukan berarti bila satu pasal dalam kontrak
melanggar ketentuan hukum yang berlaku, secara sendirinya seluruh isi dalam
kontrak menjadi batal/gugur. Dapat disepakati para pihak dalam kontrak, bahwa
jika terdapat pasal atau ayat yang bertentangan dengan hukum positif, maka
hukum positif yang berlaku, dan pasal atau ayat lainnya tidak ditafsirkan turut
batal dengan sendirinya.
Pasal 1343 KUHPerdata: “Jika kata-kata suatu persetujuan dapat diberi berbagai tafsiran, maka lebih
baik diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat persetujuan itu, daripada
dipegang teguh arti kata menurut huruf.”
Pasal 1344 KUHPerdata: “Jika suatu janji dapat diberi dua arti, maka janji itu harus dimengerti
menurut arti yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, bukan menurut arti yang tidak memungkinkan janji itu
dilaksanakan.” ß
Disini kita melihat peran ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata, dimana kaidah yang
timbul dari praktik kebiasaan bisnis dan niaga memiliki peran substansial sebagai
kaidahnya. Begitupula ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa
perjanjian tidak dapat bertentangan dengan kepatutan dan susila.
Pasal 1345 KUHPerdata: “Jika perkataan dapat diberi dua arti, maka harus dipilih arti yang
paling sesuai dengan sifat persetujuan.”
Pasal 1346 KUHPerdata: “Perkataan yang mempunyai dua arti harus diterangkan menurut kebiasaan
di dalam negeri atau di tempat persetujuan dibuat.”
Pasal 1347 KUHPerdata: “Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap
telah termasuk dalam persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan dalam
persetujuan.”
Pasal 1348 KUHPerdata: “Semua janji yang diberikan dalam satu persetujuan harus diartikan dalam
hubungannya satu sama lain; tiap-tiap janji harus ditafsirkan dalam hubungannya
dengan seluruh persetujuan.” ß Istilah hukumnya, penafsiran sistematik.
Pasal 1349 KUHPerdata: “Jika ada keragu-raguan, suatu persetujuan harus ditafsirkan atas kerugian
orang yang minta diadakan perjanjian dan atas keuntungan orang yang mengikatkan
dirinya dalam perjanjian itu.”
Pasal 1350 KUHPerdata: “Betapa luas pun pengertian kata-kata yang digunakan untuk menyusun suatu
persetujuan, persetujuan itu hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan
kedua pihak sewaktu membuat persetujuan.”
Pasal 1351 KUHPerdata: “Jika dalam suatu persetujuan dinyatakan suatu hal untuk menjelaskan perikatan,
hal itu tidak dianggap mengurangi atau membatasi kekuatan persetujuan itu
menurut hukum dalam hal-hal yang tidak disebut dalam persetujuan.”
…
© SHIETRA & PARTNERS Copyright