Dalam artikel ini, penulis hendak mengangkat fakta lapangan, bagaimana hakim seringkali tidak mengerti hukum acara, meski mereka telah berpuluh tahun berkecimpung dalam dunia peradilan tentunya.
Hal yang sama juga seringkali penulis temui dalam mengurus perijinan yang notabene tidak bersangkut paut dengan hukum litigasi. Contoh, belum lama ini penulis mengurus izin legalitas perusahaan. Pihak dari suku dinas (Sudin), menyatakan bahwa dokumen prasyarat yang saya ajukan tidak lengkap, bahkan juga menyatakan bahwa permohonan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) untuk kantor perwakilan perusahaan yang saya ajukan ditolak, dengan alasan bahwa kantor perwakilan hanya berlaku untuk perusahaan asing.
Pejabat Sudin yang menyatakan demikian adalah pejabat tinggi yang paling berwenang di Kantor Walikota salah satu wilayah kota di DKI Jakarta. Mereka beralasan, bahwa hal itu sudah di \atur dalam UU PT. Namun, setelah penulis menelaah kembali UU PT maupun UU PMA, tidak ada satupun ketentuan yang menyatakan demikian. Terlebih perusahaan yang saya ajukan TDP Kantor Perwakilannya notabene ialah Perusahaan Swasta Nasional yang tidak tunduk pada UU Penanaman Modal.
Nampaknya para pejabat negara pelayan masyarakat tidak memahami bahwa untuk perusahaan swasta nasional yang tidak berstatus PMA maupun PMDN karena tidak menerima fasilitas istimewa penanam modal dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), maka ia tidak tunduk pada UU Penanaman Modal.
Segala argumentasi saya percuma di mata mereka. Saya sampaikan pula, regulasi teknis kementerian menyatakan untuk bidang usaha perusahaan yang saya ajukan TDP, hanya mengenal istilah Kantor Perwakilan, bukan kantor cabang, maka kami bersikeras untuk mengajukan permohonan TDP Kantor Perwakilan, bukan kantor cabang.
Terlepas dari itu, saya salut atas kinerja Sudin UMKM salah satu kota di Jakarta tersebut, mereka tetap open, melayani dengan hati, dan tiada pungli. Meski salah satu pejabatnya yang merasa sangat senior, dengan arogan menyatakan bahwa permohonan saya cacat, padahal faktanya pejabat itu sendiri yang gemar membuat aturan dan hukum sendiri.
Oleh atasan petinggi di Sudin tersebut, dirujuklah saya untuk langsung berkorespondensi dengan pejabat di Kementerian Perdagangan. Salut untuk para pejabat Kementerian Perdagangan, mereka sangat antusias dan responsif dalam melayani permasalahan dunia niaga.
Dengan cepat mereka membuat rapat koordinasi, dan disimpulkan bahwa Kantor Perwakilan bukan hanya untuk perusahaan asing di Indonesia, namun perusahaan lokal pun dapat memohon TDP Kantor Perwakilan.
Salah seorang pejabat dari Kementerian Perdagangan, menyatakan bahwa dirinya telah melakukan koordinasi internal dengan pihak Sudin. Ia memang menyayangkan sikap beberapa aparatur negara pada level front line yang langsung berhadapan dan melayani masyarakat, merasa dirinya telah senior dan telah lama berkecimpung di bidang itu sehingga ia merasa yang paling benar dan paling tahu, bahkan juga merasa lebih benar dan lebih tahu dari petugas dari Kementerian yang menegur ulahnya.
“Iya, jika memang benar dari awal. Jika dari awalnya dahulu itu saja pejabat itu sudah keliru menafsirkan prosedur atau ketentuan, berarti dari dulu hingga kini ia telah keliru melayani masyarakat. Terkadang kami di pusat ini pun kesulitan untuk menghadapi pejabat demikian di masing-masing Sudin,” tutur salah seorang pejabat di Kementerian Perdagangan yang penulis akui sangat responsif pelayannya.
Kembali ke isu hukum awal. Baru-baru ini terjadi sengketa antara Sumatra Partners LLC dengan firma hukum ABNR. Tampaknya yang menjadi pokok gugatan ialah Gugatan Perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH). PMH (tort law—tortious liability) memiliki karakter yang berbeda jenis dengan gugatan wanprestasi.
Bila PMH dasar hukumnya ialah Pasal 1365 KUHPerdata semata, maka gugatan wanprestasi dasar hukumnya ialah:
- Pasal 1239 KUHPerdata: "Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya.” Atau ketentuan Pasal 1236 KUHPerdata: “Debitur wajib memberi ganti biaya, kerugian dan bunga kepada kreditur bila ia menjadikan dirinya tidak mampu untuk menyerahkan barang itu atau tidak merawatnya sebaik-baiknya untuk menyelamatkannya.”; serta
- Kontrak / perjanjian.
Berbeda jenis dengan gugatan wanprestasi, meski sama-sama bergenus perdata, gugatan PMH tidak membutuhkan adanya kontrak diantara para pihak untuk dipersengketakan. Contoh, bila kasus gugatan perdata di Belanda yang memberikan ganti rugi bagi para ahli waris korban kekejaman Belanda di Indonesia. Tiada kontrak antara korban dan penjajah, maka perbuatan yang melanggar norma hukum umum, kesusilaan, moral, dan kepatutan dapat digugat PMH (Lihat pula Landmard decision Lindenbaum Vs. Cohen Arrest tahun 1919 yang diputus oleh Hoge Raad dan diberlakukan pula oleh para hakim Indonesia sebagai pedoman).
Pasal 1365 KUHPerdata: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.”
Karena spesies kedua gugatan perdata demikian diatas memiliki perbedaan karakter, dimana yang satu timbul karena pelanggaran/ingkar janji terhadap kontrak sementara yang lainnya ialah perbuatan yang melanggar hak subjektif pihak lain yang dilindungi oleh hukum, maka tak dapatlah antara satu gugatan perdata dicampur-adukkan satu sama lain.
Contoh, bila Anda menyewakan sebuah rumah, kemudian penyewa menunggak membayar sewa disamping itu juga telah menabrak pintu gerbang Anda hingga rusak, maka disini perlu kita pilah logika hukumnya, sebagai berkut:
- Anda selaku pemberi sewa, dapat menggugat perdata atas dasar wanprestasi penyewa, karena menunggak sewa, seseuai isi perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, namun dengan catatan dalam gugatan wanprestasi tersebut tak dapatlah Anda disinggung perihal pintu gerbang Anda yang rusak akibat penyewa karena berbeda ranah perdata yang menjadi karakteristik masing-masing;
- Setelah itu, Anda dapat menggugat kembali dengan nomor register perkara yang berbeda, yakni gugatan PMH atas nama si penyewa, dengan catatan JANGAN fokus pada status si perusak sebagai penyewa berdasarkan kontrak. Jadi, jangan singgung apapun perihal kontrak dalam gugatan PMH.
Masing-masing gugatan perdata diatas dapat diputus oleh pengadilan hingga berkekuatan hukum tetap, tanpa dinyatakan nebis in idem oleh hakim, karena memang berbeda ranah, berbeda karakteristik, berbeda dasar hukum gugatan, berbeda actus reus (perbuatan nyata sikap tindak),
Sebagai ilustrasi, terjadi gugatan perdata antara A dan B atas dasar gugatan wanprestasi. A meminjamkan sejumlah dana pada B, yang ternyata telah disalahgunakan oleh B. A menarik pula pihak kreditor ke dalam gugatan tersebut, agar kreditor tidak mengeksekusi agunan kredit yang macet. Padahal, antara A dan kreditornya, terkait hubungan kontraktual akta kredit yang tidak ada sangkut paut dengan B. terlebih, pilihan forum sengketa (choise of forum) antara A dan kreditornya ialah pengadilan/abitrase lain. Maka hakim wajib menyatakan bahwa kreditor A harus dikeluarkan sebagai pihak dalam gugatan, karena A tidak berhak menarik kreditornya sebagai tergugat dalam gugatan PMH terhadap B tersebut. Hal ini wajib di putus oleh hakim, karena terkait yurisdiksi kewenangan pengadilan dalam memeriksa dan mengadili, baik kompetensi relatif maupun kompetensi absolut.
Kita dapat melihat, aturan yang telah jelas saja dalam praktiknya dapat terjadi berbagai penyimpangan. Bagaimana jika aturannya bias, tidak jelas, rancu, atau dualistis? Aturan yang bias, bercelah, dualistis, kontradiktif, adalah ladang empuk mereka yang memiliki kekuasaan sebagai alat untuk melakukan pungutan liar (pungutan liar). Senyatanya, banyak SOP yang dilanggar di insitusi negeri, bukan hanya karena aparaturnya saja, namun ada peran andil masyarakat itu sendiri yang mencoba menyogok sehingga terpupuklah budaya “kongkalikong” kolusi yang mengakar keras.
Kembali pada kasus sengketa antara Sumatera Partner LLC terhadap ABNR di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan baru-baru ini, dimana hakim pada akhirnya memutus dengan amar yang menyatakan bahwa gugatan "Niet Onvankelijk Verklaard", alias tidak dapat diterima dengan alasan kurang pihak yang ditarik sebagai tergugat.
Sumatera Partners dalam kacamata konsep esensi hukum perdata, memang tepat tidak menarik pihak lain yang memang tidak dapat ditarik sebagai pihak dalam gugatan terhadap ABNR yang dinilai malpraktik dalam memberi jasa hukum. Hanya pihak yang relevan terhadap pokok permasalahan saja yang wajib ditarik sebagai tergugat.
Penggugat tidak menarik suatu perusahaan lain karena antara penggugat dan perusahaan lain tersebut terikat kontrak dengan pilihan sengketa di arbitrase, maka adalah bukan yurisdiksi absolut Pengadila Negeri untuk mempertemukan keduanya sebagai penggugat—tergugat. Bilamana tetap ditarik sebagai tergugat, maka pasti akan dinyatakan “tidak dapat diterima” pula oleh hakim, karena memang bukan yurisdiksinya.
Kedua, objek yang disengketakan berbeda. Untuk konflik hukum antara penggugat dengan ABNR, pokok yang disengketakan mengenai legal opinion yang menyimpang sebagaimana diberikan konsultan hukum ABNR terkait jasa due legal dilligent terhadap perusahaan lain yang disinggung diatas. Bukan mengenai wanprestasi yang dilakukan perusahaan lain kepada penggugat. Sekalipun penggugat hendak menggugat perusahaan lain yang terikat kontrak tersebut, maka itu bisa dilakukan penggugat di hadapan arbitrase sesuai klausul kontrak dengan pokok gugatan wanprestasi.
Namun secara pribadi, penulis menilai bahwa pihak notaris pembuat akta fidusia memang perlu ditarik sebagai tergugat, oleh sebab perkara utama sengketa ialah kelalaian ABNR mengecek keabsahan objek fidusia karena dibelakang hari Penggugat baru mengetahui bahwa objek jaminan fidusia telah di-fidusia gandakan. Dalam hal ini pihak notaris pun telah lalai melakukan cross check terhadap validitas objek jaminan.
Akan tetapi bila kita merujuk pada analogi konsep pemecahan dakwaan (split) sebagaimana biasa dilakukan seorang jaksa terhadap terdakwa, maka hingga saat ini tiada hukum acara perdata yang mewajibkan seorang penggugat untuk menjadikan satu seluruh tergugat dalam satu buah gugatan tunggal. Karena tiada pengaturan spesifik dalam undang-undang, maka sejatinya penggugat dapat memilih, apakah hendak menggugat satu per satu dalam register perkara berbeda, ataukah menjadikannya satu dalam sebuah gugatan tunggal.
Akan tetapi bila kita merujuk pada analogi konsep pemecahan dakwaan (split) sebagaimana biasa dilakukan seorang jaksa terhadap terdakwa, maka hingga saat ini tiada hukum acara perdata yang mewajibkan seorang penggugat untuk menjadikan satu seluruh tergugat dalam satu buah gugatan tunggal. Karena tiada pengaturan spesifik dalam undang-undang, maka sejatinya penggugat dapat memilih, apakah hendak menggugat satu per satu dalam register perkara berbeda, ataukah menjadikannya satu dalam sebuah gugatan tunggal.
Demikian telaah hukum kami, dengan catatan segala konten publikasi dalam situs ini maupun artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembaca untuk mencermati dan menelaah ulang, mengingat hukum bersifat tentatif, dalam arti peraturan tertulis maupun praktik peradilan dapat berubah sewaktu-waktu dengan demikian deras dan dengan demikian cepatnya.
Sekian dan terimakasih, semoga bermanfaat.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.