Pencabutan Surat Kuasa dan Bersidang untuk dan Atas Nama Diri Sendiri

Question: Bila kami hendak mencabut surat kuasa kami dari kuasa hukum, apakah hal tersebut hak prerogarif kami selaku pemberi kuasa yang dapat melakukannya sewaktu-waktu tanpa syarat apapun dalam arti penerima kuasa wajib menyerahkan kembali kuasa seketika dan sekaligus? Benarkah bahwa warga sipil tidak dapat beracara seorang diri atau mewakili dirinya sendiri di persidangan, sebab kuasa hukum saya menakuti saya dengan berkata bahwa beracara di pengadilan adalah domain eksklusif seorang pengacara?
Brief Answer: Terdapat dua isi hukum atas pertanyaan Saudara/i. Pertama, tiada ketentuan yang menyatakan bahwa beracara di pengadilan wajib didampingi seorang pengacara. Rv (rechtsvordering) memang mengatur hanya seorang pengacara yang dapat bersidang, namun sejak kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah memilih adopsi HIR/RBg alih-alih tunduk pada Rv, sehingga praktis Rv tidak lagi diakui secara yuridis. Banyak kasus di pengadilan, baik pidana maupun perdata, dimana pihak principal hadir untuk dan atas nama dirinya sendiri tanpa disampingi kuasa hukum berupa seorang advokat dari kantor hukum. Banyak terdengar kabar bagaimana advokat bermain "dua kaki" dengan pihak lawan. Untuk itu cermat memilih kuasa hukum adalah penting. Kedua, mencabut surat kuasa adalah hak prerogratif pemberi kuasa, dimana pemberi kuasa dapat mencabut kuasanya kapan pun itu, sekalipun tanpa alasan untuk itu, dan penerima kuasa wajib menyerahkan kembali surat kuasanya seketika dan sekaligus.
Explanation
Pasal 1792 KUHPerdata: “Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.”
Pasal 1793 KUHPerdata: “Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah tangan, bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa itu.”
Pasal 1813 KUHPerdata: “Pemberian kuasa berakhir: dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa; dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa.” ß Frasa “dengan pemberitahuan” berarti, bila penerima kuasa tidak menerima penarikan demikian, suatu itikad tidak baik, pemberi kuasa dapat mencabut kuasanya dengan cara pengumuman dalam media massa atau pada mading kelurahan setempat domisili penerima kuasa.
Tanya: Bagaimana jika dalam surat kuasa tercantum klausul "kuasa mutlak"? Draf surat kuasa dibuat oleh pengacara kami, sehingga kami hanya dapat menandatanganinya saja tanpa tahu konsekuensi pemberian kuasa mutlak demikian.

Jawab: Bila merujuk pada ketentuan Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), disebutkan bahwa pemberian kuasa berakhir saat dicabut oleh pemberi kuasa, atau saat pemberi kuasa jatuh pada kondisi pailit atau terkena ampu. 
Terdapat bukti argumentasi bahwa pemberian kuasa tidak boleh bersifat "mutlak", yakni jika pemberi kuasa jatuh kedalam keadaan pailit, maka apakah berarti penerima kuasa lebih berhak daripada seorang kurator? Jika seorang pemberi kuasa jatuh dalam keadaan ter-ampu, maka yang berwenang atas segala kepentingan dirinya ialah sang pengampu, otomatis penerima kuasa gugur kewenangannya sejak saat terjadinya penetapan ampu.
Dengan analogis argumentasi yang sama, ketika seorang pemberi kuasa menarik kembali kuasa yang telah ia berikan, penerima kuasa tidak memiliki hak untuk menolak dengan dalil adanya klausul "mutlak" dalam surat kuasa, karena Pasal 1813 KUHPerdata hanya dapat ditafsirkan/dimaknai sebagai hak prerogatif pemberi kuasa yang tidak dapat disimpangi, sebagaimana kasus analogi pailit atau ter-ampu-nya  pemberi kuasa. Secara penafsiran sistematis, bukti argumentasi tersebut diperkuat oleh keberlakuan Pasal 1814 KUHPerdata dibawah ini:

Pasal 1814 KUHPerdata: “Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya bila hal itu dikehendakinya, dan dapat memaksa pemegang kuasa untuk mengembalikan kuasa itu bila ada alasan untuk itu.” ß Frasa “bila hal itu dikehendakinya” dapat ditafsirkan sebagai hak istimewa pemberi kuasa yang dapat menarik sewaktu-waktu tanpa syarat apapun dan harus dipenuhi penerima kuasa.
Namun, perlu diperhatikan ketentuan Pasal 1815 KUHPerdata: “Penarikan kuasa yang hanya diberitahukan kepada penerima kuasa, tidak dapat diajukan kepada pihak ketiga yang telah mengadakan persetujuan dengan pihak penerima kuasa karena tidak mengetahui penarikan kuasa itu; hal ini tidak mengurangi tuntutan hukum dari pemberi kuasa terhadap penerima kuasa.”
Pasal 1816 KUHPerdata: “Pengangkatan seorang penerima kuasa baru untuk menjalankan suatu urusan yang sama, menyebabkan ditariknya kembali kuasa penerima kuasa yang pertama, terhitung mulai hari diberitahukannya pengangkatan itu kepada orang yang disebut belakangan.” ß Meski demikian, asas publisitas dan transparansi tetap harus dihormati pemberi kuasa.
, , ,
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.