KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Akta Perdamaian di Pengadilan (Acta Van Dading) Bersifat Inkracht, Seketika Berkekuatan Hukum Tetap

Question: Bila kami selaku para pihak dalam sengketa gugatan perdata, lantas bersepakat untuk membuat dan tunduk pada akta perdamaian, apakah dikemudian hari dapat diajukan banding atau upaya hukum lainnya terhadap akta perdamaian tersebut? Adakah kelebihan lainnya dari akta perdamaian?
Brief Answer: Akta perdamaian tidak dapat diajukan banding maupun upaya hukum lainnya, karena tunduk pada Pasal 1338 KUHPerdata: “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”—tentunya, dengan beberapa pengecualian. Akta perdamaian bersifat eksekutorial, dalam arti dapat langsung dimohonkan penetapan eksekusi pada pengadilan negeri bila salah satu pihak tidak menghormati isi yang tertuang/kesepakatan dalam akta perdamaian.
Explanation:  
Putusan hakim dalam sengketa perdata, dapat terjadi dalam dua bentuk, pertama ialah bentuk putusan dengan amar putusan yang dipertimbangkan oleh hakim itu sendiri (meski demikian hakim dalam perkara perdata terikat asas non-ultra petita, kecuali perkara pidana dimana hakim dapat memutus melebihi tuntutan JPU, jaksa penuntut umum). Kedua, jenis putusan yang mengesahkan akta perdamaian yang sebelumnya telah dibentuk dan disepakati oleh para pihak. Jenis yang pertama, dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, hingga PK. Sementara untuk yang kedua, seketika bersifat inkracht, alias berkekuatan hukum tetap yang “tertutup” upaya hukum terhadapnya.
Akta Perdamaian yang diputuskan oleh hakim, tidak dapat diajukan banding. Penjelasan Pasal 130 HIR (hukum acara perdata) mengatur bahwa: akta perdamaian yang dibuat secara sah akan mengikat dan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak dapat dilakukan upaya banding. Akta Perdamaian hanya dapat dibatalkan bila isi susbtansinya bertentangan dengan undang-undang.
 Akta Perdamaian yang diputuskan oleh hakim, memiliki kekuatan eksekutorial sama seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Sementara Akta Perdamaian di luar pengadilan, masih bisa disengketakan di pengadilan, entah menyangkut kebenaran isinya maupun untuk eksekutorialnya.
Namun, selalu ada escape clause, selalu ada pengecualian dalam hukum. Adapun dasar hukum lainnya terkait pembatalan akta perdamaian, ialah sebagai berikut:
Pasal 1858 KUHPerdata: “Di antara pihak-pihak yang bersangkutan, suatu perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu keputusan hakim pada tingkat akhir. Perdamaian itu tidak dapat dibantah dengan alasan bahwa terjadi kekeliruan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.”
Pasal 1859 KUHPerdata: “Namun perdamaian dapat dibatalkan bila telah terjadi suatu kekeliruan mengenai orang yang bersangkutan atau pokok perselisihan. Perdamaian dapat dibatalkan dalam segala hal, bila telah dilakukan penipuan atau paksaan.”
Pasal 1860 KUHPerdata: “Begitu pula pembatalan suatu perdamaian dapat diminta, jika perdamaian itu diadakan karena kekeliruan mengenai duduknya perkara tentang suatu alas-hak yang batal, kecuali bila para pihak telah mengadakan perdamaian tentang kebatalan itu dengan pernyataan tegas.”
Pasal 1861 KUHPerdata: “Suatu perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu, batal sama sekali.”

Meski demikian, hendaknya Akta Van Dading digunakan secara bijak dan "sehemat" mungkin, dalam arti perlu dipertimbangkan masak-masak sebelum memutuskan untuk mengikatkan diri dalam Akta Perdamaian di hadapan pengadilan ini.

Pernah terjadi pada suatu kasus perceraian antara pasangan suami-istri yang selalu cek-cok sehingga berujung pada gugatan perceraian. Pada saat gugatan dipersiksa oleh Pengadilan Negeri, sang istri mengajukan perdamaian yang kemudian disetujui penggugat sehingga lahirlah van dading. Entah mengapa, kemudian sang suami berubah pikiran, sementara van dading sudah terlanjut dikuatkan pengadilan. Ketika sang suami mengajukan upaya hukum banding agar perkawinan tetap dinyatakan putus karena perceraian, Pengadilan Tinggi menolak gugatan karena Penggugat dinilai terikat pada van dading yang telah ia sepakati dengan sang istri.

Mau tidak mau, Penggugat harus menunggu selama beberapa tahun lagi hingga terdapatnya kejadian baru sebagai alasan mengajukan cerai terhadap sang istri sebelum dapat kembali mengajukan gugatan perceraian baru dengan dasar fakta aktual terbaru (fakta hukum baru) pasca van dading agar terhindar dari resiko gugatan dinyatakan nebis in idem.

Sama halnya dalam kasus lainnya, bila antara para pihak terlanjur mengikatkan diri dalam van dading, bukan berarti salah satu pihak untuk selanjutnya dibenarkan untuk bersikap sewenang-wenang dan kembali mengulangi kesalahan yang sama maupun kesalahan baru lainnya. Pasca van dading merupakan fakta hukum baru yang dapat menjadi dasar pengajuan gugatan baru terhadap fakta hukum baru pasca terjadinya van dading tanpa resiko dinyatakan nebis in idem oleh pengadilan yang memeriksa dan memutus.

Lihat juga selengkapnya dalam:  

© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.