Question: Bila terjadi, debitor suatu bank yang aset agunannya telah beralih kepada pemenang lelang karena telah dieksekusi oleh kantor lelang negara (KPKNL), namun kemudian debitor tersebut menggugat bank dan pengadilan kemudian menjatuhkan sita jaminan (CB) kepada agunan yang telah balik-nama secara de jure kepada nama pemenang lelang, untuk mencabut sita jaminan tersebut karena ternyata penggugat mencabut gugatannya, siapakah yang akan dibebani biaya pencabutan sita oleh pengadilan dan kantor pertanahan?
Brief Answer: Secara logika dan dasar hukum acara perdata, serta berdasarkan kepatutan, kewajaran, dan keadilan, adalah beban dari penggugat yang tidak beritikad baik untuk dibebani biaya pencabutan. Sehingga, guna mitigasi tindakan penggugat yang tidak bertanggung jawab seperti melarikan diri, atau tidak pernah hadir dalam sidang sehingga gugatan dinyatakan gugur, itulah sebabnya penggugat dimuka diwajibkan untuk menyetor uang panjar ke rekening pengadilan, tujuannya adalah guna biaya pencabutan sita jika kemudian terbukti gugatan penggugat tidak berdasar. Namun dalam praktiknya, sekalipun gugatan penggugat pada akhirnya dinyatakan "Ditolak" atau "Tidak dapat diterima", bila Penggugat tidak secara sukarela mencabut sita jaminan, dan sekalipun amar putusan pengadilan menyatakan "tidak sah sita jaminan yang telah diletakkan", tetap saja pihak Tergugat yang dibebani biaya pencabutan sita jaminan. Pengadilan, dalam konteks ini, telah menjadi agen ketidakadilan itu sendiri bagi pihak Tergugat yang telah diperlakukan secara sewenang-wenang oleh pengadilan karena tidak mewajibkan uang panjar khusus untuk pencabutan sita jaminan seandainya gugatan pada akhirnya dinyatakan ditolak / tidak diterima.
Explanation:
Sita Jaminan (consevatoir beslag, dalam praktik sering diistilahkan dengan "CB")
“Sita jaminan tidak dapat dilakukan terhadap barang milik pihak ketiga.”
Putusan Mahkamah Agung tgl. 14-11-1974 No. 476 K/Sip/1974.
Sumber: Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Cetakan kedua, Mahkamah Agung RI, 1993, hlm. 368. ß Artinya, bila Pengadilan Negeri tetap membiarkan status objek dalam keadaan tersita, sementara fakta yuridis menegaskan bahwa yang disita adalah milik pihak ketiga (dalam hal ini seperti misal milik pemenang lelang eksekusi Hak Tanggungan), bukan milik penggugat, maka PN telah melakukan pelanggaran hukum yang dapat diproses ke hadapan Komisi Yudisial maupun oleh Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung.
AKIBAT HUKUM PUTUSAN GUGUR.
Akibat hukum putusan Gugur diatur dalam Pasal 77 Rv, antara lain: Pihak Tergugat, dibebaskan dari perkara dimaksud. (http://www.pa-bengkalis.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=108:gugur-dan-verstek-serta-perlawanan&catid=28:artikel) ß Artinya, posisi dan kedudukan hukum, serta hak dan kewajiban tergugat maupun pihak ketiga dikembalikan kepada posisi semula seperti tiada sita.
Dalam hal perkara digugurkan, Penggugat dapat mengajukan gugatan tersebut sekali lagi dengan membayar panjar biaya perkara lagi. Apabila telah dilakukan sita jaminan, maka sita tersebut harus diangkat. (BUKU II (PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS DAN ADMINISTRASI PENGADILAN dari http://www.pa-bengkalis.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=108:gugur-dan-verstek-serta-perlawanan&catid=28:artikel lihat juga http://pn-magelang.go.id/main/index.php/proses-beracara-perdata ) ß Artinya, uang panjar gugatan pertama hangus untuk menutupi biaya pengangkatan sita jaminan yang gugatannya digugurkan. Sehingga untuk kembali menggugat, maka ia wajib membayar kembali uang panjar, karena uang panjar dalam gugatan pertama yang gugur, sudah hangus untuk menutup biaya pencabutan sita. Ternyata, bunyi ketentuan demikian senada dengan ketentuan Pasal 124 HIR / 148 RBg (Kitab Hukum Acara Perdata)
BIAYA YANG DAPAT TIMBUL DALAM PERSIDANGAN
Jika selama pemeriksaan perkara atas permohonan salah satu pihak ada hal-hal/perbuatan yang barus dilakukan, maka biaya dibebankan kepada pemohon dan dianggap sebagai persekot biaya perkara, yang dikemudian hari akan diperhitungkan dengan biaya perkara yang harus dibayar oleh pihak yang dengan putusan Hakim dihukum untuk membayar biaya perkara, biasanya pihak yang dikalahkan. Pihak lawan, apabila ia mau, dapat membayarnya Jika kedua belah pihak tidak mau membayar biaya tersebut, maka hal/perbuatan yang barus dilakukan itu tidak jadi dilakukan, kecuali jika hal/perbuatan itu menurut Hakim memang sangat diperlukan. Dalam hal itu, biaya tersebut sementara akan diambil dari uang panjar biaya perkara yang telah dibayar oleh Penggugat (pasal 160 HIR). (http://pn-magelang.go.id/main/index.php/proses-beracara-perdata) ß HIR merupakan singkatan dari Herziene Indonisch Reglement, yang mana merupakan Kitab Hukum Acara Perdata, sehingga adalah logis uang panjar gugatan yang hangus untuk menutup biaya pencabutan sita jaminan. Karena biaya panjar yang dibayar dimuka oleh penggugat biasanya telah memperhitungkan komponen biaya bila sewaktu-waktu sita harus diangkat, maka pastilah masih tersisa uang panjar penggugat yang dapat menutupi biaya pencabutan sita. Jika ternyata panjar telah habis sementara sita belum diangkat oleh Penggugat yang gugatannya ditolak, maka sejatinya pengadilan telah melakukan judicial corruption terhadap hak-hak kebendaan Tergugat selaku warga negara (jus in rem).
Pasal 226 HIR: “Jika gugatan itu diterima, maka penyitaan itu disyahkan dan diperintahkan, supaya barang yang disita itu diserahkan kepada penggugat, sedang jika gugatan itu ditolak, harus diperintahkan supaya dicabut penyitaan itu.” (Penjelasan Pasal 226 HIR: “Jika gugatan itu diterima, maka penyitaan itu disyahkan dan diperintahkan supaya barang yang disita itu diserahkan kepada penggugat, sedangkan jika gugatan itu ditolak harus diperintahkan supaya penyitaan itu dicabut.) ß Bila tiada putusan pengadilan yang menyatakan tergugat kalah, maka berlaku pulalah ketentuan ini.
Putusan “sah dan berharganya sita jaminan” hanya terdapat dalam amar putusan hakim. Sementara bila perkara gugatan gugur karena penggugat tidak pernah hadir maupun karena gugatan dicabut, maka atas sita jaminan tidak pernah dinyatakan “sah dan berharga” oleh hakim, sehingga bila pengadilan tetap membuat status objek gugatan tetap tersita, sama artinya telah melanggar hukum karena status tetap tersita hanya dimungkinkan selama hakim dalam amar putusannya menyatakan “sah dan berharga” atas sita jaminan yang telah dilakukan. Artinya, sita jaminan bersifat "bersyarat". Jika syarat "pernyataan sah dan berharga oleh hakim" dalam putusan penutupnya tidak terpenuhi, maka berlakulah "syarat batal", dalam arti dikembalikan segala sesuatunya ke kondisi semula (vide Pasal 1265 KUHPerdata).
Konsekuensi yuridis dari "Sita Jaminan dengan syarat batal demikian", maka GUGATAN GUGUR, DITOLAK SEPENUHNYA, ATAUPUN TIDAK DITERIMA, mengakibatkan POSISI HUKUM TERGUGAT KEMBALI DALAM POSISI SEMULA. Sementara bila status tergugat ataupun objek gugatan milik pihak ketiga tetap melekat sita, maka hal itu merupakan pelanggaran terhadap hukum acara perdata Pasal 226 HIR.
Konsekuensi yuridis dari "Sita Jaminan dengan syarat batal demikian", maka GUGATAN GUGUR, DITOLAK SEPENUHNYA, ATAUPUN TIDAK DITERIMA, mengakibatkan POSISI HUKUM TERGUGAT KEMBALI DALAM POSISI SEMULA. Sementara bila status tergugat ataupun objek gugatan milik pihak ketiga tetap melekat sita, maka hal itu merupakan pelanggaran terhadap hukum acara perdata Pasal 226 HIR.
Sita yang tidak dicabut maka merupakan kesewenang-wenangan terhadap masyarakat sipil yang tidak bersalah, tanpa batas waktu yang jelas, dan pihak ketiga maupun tergugat tidak dapat dibenarkan untuk dibebani biaya apapun selama tidak dinyatakan bersalah. Jika petugas pengadilan bersikukuh, tanya balik: “PASAL MANA YANG MENJADI DASAR HUKUM DAN Standart Operation Procedur (SOP) AGAR KORBAN YANG TIDAK BERSALAH YANG JUSTRU DIWAJIBKAN MENANGGUNG BIAYA PENCABUTAN SITA YANG TIDAK PERNAH DINYATAKAN SAH DAN BERHARGA OLEH HAKIM!?
Sebagai penutup, kembali SHIETRA & PARTNERS tegaskan, bahwa "sita jaminan" merupakan aksi pengadilan dengan "bersyarat batal". Kelalaian Penggugat untuk mencabut sita sementara gugatan tidak diterima atau bahkan ditolak, sama artinya dengan judicial corruption yang merampas hak kebendaan warga negara lain yang dijadikan pesakitan sebagai tergugat di persidangan.
Idealnya, Mahkamah Agung RI membuat aturan yang berlaku internal guna memperbaiki cacat hukum acara perdata yang selama ini terjadi, bukan menutup mata. Solusi yang paling rasional, ialah mewajibkan pemohon Sita Jaminan untuk membayar panjar sebanyak 2 (dua) kali biaya Sita Jaminan. Tujuannya, separuh uang panjar dijadikan sebagai jaminan, bila gugatan pemohon Sita Jaminan ternyata dikemudian hari dinyatakan ditolak / tidak diterima dalam amar putusan akhir pengadilan, sehingga separuh biaya panjar sita tersebut dipakai oleh panitera pengadilan untuk mencabut Sita Jaminan, alih-alih mewajiban pihak tergugat untuk mengeluarkan biaya pencabutan Sita.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.