Hukum yang Tidak Logis menjadi Panglima di Republik Indonesia

Artikel sederhana ini mengupas kejanggalan dalam praktik hukum Indonesia, dikarenakan lemahnya ilmu terapan/ilmu dasar hukum di Indonesia. Semakin dipikir, kita akan semakin gila, karena republik ini memiliki inkonsistensi hukum dalam penerapannya oleh aparatur negara. Tulisan ini sebagai sumbangsih penulis selaku sarjana hukum yang melihat langsung praktik hukum irasional di lapangan.
Dalam teori hukum, terdapat asas lex spesialis derogat legi generalis, yang artinya hukum yang spesifik mengatur hal tertentu, mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Terdapat pula asas hukum lain yang menyatakan bahwa lex posterior derogat legi priori, artinya hukum yang dibentuk belakangan/yang terbaru, mengesampingkan hukum yang terdahulu/yang lama.
Pertanyaannya, bila terdapat Undang-Undang KPK yang merupakan hukum spesifik di bidang KPK, kemudian di rancang dan disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka asas manakah yang berlaku ketika asas yang satu menyatakan hukum yang dibentuk belakangan/terbaru yang berlaku dan menyesampingkan yang lama, namun di sisi lain asas hukum juga mengatakan bahwa hukum yang spesifik mengesampingkan hukum yang bersifat umum, dimana UU KPK adalah spesialis dari KUHP yang bersifat umum.
Perdebatan antara KPK dengan legislatif demikian sebenarnya telah lama saya duga akan terjadi, bahkan semenjak saya duduk dibangku kuliah. Entah bagaimana Republik ini dapat tetap hidup dan berjalan meski konsep teori dasar dan ilmu terapan hukum saja begitu simpang-siur tanpa kepastian dan saling bertolak-belakang. 

Terdapat seorang dosen, yang ketika penulis pertanyakan kemungkinan “bom waktu” demikian, justru mengomentari bahwa logika saya lemah karena tidak paham kedua asas demikian. Apanya yang dapat dipahami dari kedua asas dasar yang saling bertumpang tindih dan bertolak belakang demikian? Sebagaimana dapat kita saksikan sendiri, kini perdebatan demikian sengit terjadi, tak lain “bom waktu” yang akhinya meletup—penulis tidak menyebutkan telah meledak, karena penulis yakin yang benar-benar merasakan ledakan bom waktu itu adalah masyarakat dibawah yang bersentuhan langsung dengan hukum yang cacat logika demikian.
Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK) tanpa batasan maksimum pengajuan PK. Artinya, tiada putusan yang final dan mengikat sebagaimana bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah, dimana bagaimana mungkin seorang yang dinyatakan bersalah dalam PK pidananya, kemudian dapat kita katakan sebagai terpidana yang bersalah bila belum benar-benar dinyatakan bersalah oleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, toh putusan PK terlebih kasasi saja masih dapat diuji ulang oleh PK kesepuluh kalinya, sebagai contoh ekstrim layaknya kasus Antazari Azhar sang mantan ketua KPK yang divonis penjara dengan tuduhan pidana pembunuhan. Meski putusan terhadap Antazari telah inkracht, namun siapa yang berani berkata secara lantang bahwa beliaulah pelaku pembunuhan tersebut?
Irrasional lainnya, ialah perilah asas larangan ultra-petita, atau hakim dilarang memutus melebihi apa yang diminta. Dalam putusannya belum lama ini, MK atas uji materiel UU Kepailitan menyatakan legal standing (kedudukan hukum) para pemohon uji yang materiel merupakan persero sebuah firma dinyatakan ditolak, karena para persero tersebut belum mengalami kerugian akibat keberlakuan UU Kepailitan yang mana berpotensi membuat seluruh harta pribadi para persero secara tanggung renteng akan dimasukkan dalam boedel pailit. Apakah MK harus menunggu jatuh korban dahulu baru kemudian menguji materiel UU Kepailitan tersebut sementara seperti yang kita ketahui bahwa putusan MK bersifat prospektif, dalam arti tidak dapat berlaku surut (retroaktif).
Jika prinsipnya MK menunggu jatuh korban dahulu, namun ketika korban benar-benar jatuh, dan kemudian memohon uji materiel, namun putusan MK tidak dapat diterapkan bagi dirinya, maka buat apa masyarakat repot-repot hendak mengajukan uji materiel tersebut? Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Namun, dalam putusan lain MK justru bersikap ultra petita dengan menyatakan MK tak dapat dievaluasi ataupun diawasi oleh Komisi Yudisial, meski asas hukum menyatakan bahwa hakim dilarang memutus perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Terdapat putusan MK lain yang mana ketika pemohon uji materiel ditolak namun MK tetap membuat pertimbangan hukum dengan alasan isu hukum yang diangkat dan diajukan penting untuk segera ditelaah diberi kesimpulan serta tafsiran pastinya sehingga tidak dinyatakan sebagai nebis in idem.

Dalam uraian diatas, kita sudah menjadi mafhum, bahwa hukum lebih dari sekadar bunyi undang-undang diatas kertas. Hukum dapat menjelma demikian subjektif dan emosional.
Contoh lain, sebagai wakil miliaran kompleksitas di lapangan yang diakibatkan lemah atau cacatnya konsep ilmu dasar dan teori terapan dasar hukum di Indonesia, ialah perihal jaminan hak tanggungan. Kreditor pemegang hak tanggungan selain peringkat pertama, tidak dapat mengajukan eksekusi lelang hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang tentang Hak Tanggungan (UU HT), meski Pasal 6 maupun Pasal 20 UU HT tidak pernah menyatakan istilah “peringkat”.
Saya ambil ilustrasi sebagai berikut. Ketika kreditor pemegang hak tanggungan peringkat pertama juga sebagai pemegang hak tanggungan peringkat kedua, ketika peringkat pertama dihapus/di-roya karena akta kreditnya telah dilunasi debitor, namun kemudian terjadi kredit macet dikemudian hari, kreditor tidak dapat mengajukan lelang eksekusi hak tanggungan kepada kantor lelang negara (KPKNL) dengan alasan Pasal 6 UU HT haruslah pemegang hak tanggungan peringkat pertama yang boleh mengajukan lelang eksekusi demikian.
Adalah ganjil, ketika peringkat pertama telah hapus karena roya, kreditor yang sama demikian tidak dapat mengajukan lelang eksekusi hanya karena pihak pejabat lelang negara menafsirkan sepihak Pasal 6 UU HT sebagai pemegang hak tanggungan peringkat pertama, meski tiada satupun frasa “peringkat” dalam UU HT.
Seperti yang kita tahu, Pasal 1132 KUHPerdata mengatur perihal kreditor preferen, dan diantara para kreditor separatis pemegang hak tanggungan pun, terdapat kreditor preferen diantara mereka yang ditandai dengan istilah “peringkat” guna untuk membantu pengutamaan dalam pelunasan.
Sehingga, bila pejabat kantor lelang boleh menafsirkan sepihak sebagai “pemegang hak tanggungan (peringkat) pertama”, mengapa tidak boleh kita tafsirkan sebagai “pemegang hak tanggungan (preferen) pertama”? Sehingga, sekalipun kreditor tersebut merupakan pemegang hak tanggungan peringkat kedua, namun karena peringkat pertama telah hapus karena roya, namun ialah preferen pertama!
Pejabat lelang dari direktorat jenderal dalam diskusi dengan penulis, menyatakan bahwa agar penulis jangan asal tafsir. Meski sebagaimana kita lihat sendiri, pejabat tersebut sendiri menafsirkan secara sepihak ketentuan dalam Pasal 6 UU HT sebagai “(peringkat) pertama”. Ia kukuh dan ngotot meski secara logika menjadi aneh dan lucu. Ia juga menyatakan bahwa UU HT belum memiliki peraturan pelaksana, sehingga tidak dapat dijalankan. Berarti, ia hendak menampar wajahnya serta wajah instansinya sendiri dengan menyatakan bahwa kegiatan Kantor Lelang Negara (KPKNL) adalah menyalahi hukum karena telah melangsungkan banyak lelang eksekusi berdasarkan Pasal 6 UU HT yang tidak memiliki peraturan pelaksanaan.
Sedikit menyinggung soal peraturan pelaksana, lagi-lagi republik irrasional ini rajin untuk absen membuat peraturan pelaksana dari undang-undang yang dibuatnya sendiri. Lihat saja undang-undang tentang lingkungan hidup, undang-undang hak tanggungan, dan undang-undang lainnya, tanpa peraturan pelaksana. Ibarat membentuk undang-undang hanya untuk menjadi koleksi dari museum karena tidak dapat diimplementasi.
Pertanyaan berikutnya, manakah yang lebih tinggi hierarkhinya, undang-undang ataukah peraturan pelaksananya seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri atau yang setingkat itu? Jika Anda seorang idealis dan jenius ilmu hukum, Anda akan mengalami masa yang dinamakan frustasi, karena dalam praktiknya, para aparatur negara menjadikan diri mereka lebih tinggi dari undang-undang. Mereka bebas menafsirkan suatu ketentuan undang-undang, menambah luas atau sempit cakupan hak ataupun kewajiban dalam undang-undang. Sederhananya, logika saja kita bermain seperti berikut: bisakah undang-undang berjalan tanpa peraturan pelaksananya? Jika tidak bisa, berarti patah sudah undang-undang tentang peraturan perundang-undangan yang menyatakan hierarkhi undang-undang lebih tinggi dari segala peraturan pelaksananya, karena realitanya peraturan pelaksana dibawah undang-undang lebih "sakti" dari undang-undang.
Berikut akan saya beri contoh gamblang dan vulgar salah satu dari keganjilan yang telah membudaya di tengah birokrasi dan penulis alami sendiri sebagai wakil dari sekian banyak keganjilan penerapan hukum di Indonesia ini.
Sebelumnya, mari kita bermain dengan pertanyaan logika berikut: bila sebuah peraturan pelaksana mensyaratkan lima buah syarat untuk suatu hal agar permohonan dapat dikabulkan, lantas kemudian terbitlah undang-undang baru yang mengganti undang-undang lama, namun undang-undang baru tersebut hanya mensyaratkan tiga buah syarat saja untuk hal tersebut dapat dikabulkan permohonannya. Nah, pertanyaannya, dapatkah peraturan pelaksana menyimpangi undang-undang dengan cara membuat tambahan prasyarat atau justru mengurangi prasyarat menyesuaikan pengaturan dalam undang-undang? Manakah yang berlaku bagi pihak pemohon, cukup melengkapi tiga prasyarat atau diwajibkan lima syarat?
Akan kita temui dalam praktik, aparatur negara lebih mengedepankan peraturan pelaksana untuk mencari aman bagi posisi jabatannya sendiri, dan meraka lebih mudah mengorbankan masyarakat pemohon guna mencari aman. Mereka akan berkata, bahwa pemohon harus melengkapi lima prasyarat sebagaimana tercantum dalam peraturan pelaksana. Seluruh pejabat selalu berdalil bahwa setiap undang-undang memiliki peraturan pelaksananya, maka peraturan pelaksana itu yang menjadi tameng mereka, sekalipun peraturan pelaksana itu mereduksi atau memperberat prasyarat dalam undang-undang.
Sebagaimana baru-baru ini penulis menemui seorang pejabat di kementerian keagamaan, saya terkejut mendengar bahwa semua yayasan disamakan sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas), hanya karena dalam undang-undang ormas, disebutkan bahwa ormas dapat berbentuk salah satunya ialah badan hukum yayasan. Dalam hati saya berpikir, apakah yayasan pendidikan juga dapat dibilang ormas? Apakah tempat meditasi yang hanya dikelola/dipaniterai oleh satu dua orang, dapat dikatakan sebagai ormas? Memang salah satu bentuk ormas dapat berbentuk yayasan, namun apakah dapat dibenarkan bila kita menyatakan bahwa seluruh yayasan adalah ormas? Sayangnya, saya hanya masyarakat sipil yang mau tidak mau tunduk, karena pejabat memiliki kekuasaan dan sifatnya monopoli. Jika tidak ke pejabat tersebut, dapatkah saya mendapat izin di tempat lain? Pada praktiknya, bukan undang-undang yang selalu benar, tapi pejabat penguasa yang selalu benar, dan masyarakat sipil tiada artinya sama sekali selain “sapi perahan” di mata mereka.
Lebih aneh lagi, para pejabat di Badan Pertanahan Nasional pusat, tidak memiliki SOP yang mencakup seluruh kantor Pertanahan setempat yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota. “Silahkan tanya langsung saja ke kantor pertanahan setempat!” begitulah jawaban yang akan kita dapat bila mendatangi Kantor Pertanahan Jakarta Pusat maupun BPN sebagai induknya. Bila pejabat di kantor pusat saja tidak tahu atau tidak memiliki otoritas penerapan hukum pertanahan secara unifikasi di Indonesia, maka yang terjadi ialah raja-raja kecil pejabat kantor pertanahan yang dapat membuat celah pungutan liar (pungli) yang pada gilirannya menjadikan masyarakat umum sebagai tumbalnya.
Berikut contoh kasus lain, yang tentunya lebih irrasional dari sekedar teka-teki silang.
Pasal 2 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (UU BPHTB):
(1) Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
(2) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. pemindahan hak karena: … 3. hibah;”
Pasal 3 Ayat (1) UU BPHTB: “Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh:… f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.ß artinya, yayasan yang bergerak dibidang keagamaan tidak terkena pungutan BPHTB.

Pasal 3 Ayat (1) UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (UU PBB): “Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang :  a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;”
Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) UU PBB: “Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan.  Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut.” ß Artinya, yayasan yang bergerak dibidang keagamaan tidak terkena PBB.

Pasal 4 Ayat (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN (UU PPh): “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk: keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan.”
Pasal 4 Ayat (3) UU PPh: “Yang dikecualikan dari objek pajak adalah: harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;” ß Artinya, pemberi hibah dan yayasan penerima hibah tak kena pajak penghasilan maupun BPHTB.

Pasal 1 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 604/KMK.04/1994 TENTANG BADAN-BADAN DAN PENGUSAHA KECIL YANG MENERIMA HARTA HIBAHAN YANG TIDAK TERMASUK SEBAGAI OBJEK PAJAK PENGHASILAN (Kepmenkeu 604/1994): “Yang dimaksud dengan :
a. Badan keagamaan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan, yang tidak mencari keuntungan;
c. Badan sosial adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan : … 7. kegiatan sosial lainnya; sepanjang badan sosial tersebut tidak mencari keuntungan;

Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-05/PJ.4/19954 tertanggal 8 Pebruari 1995: “Dalam hubungan ini hendaknya diperhatikan persyaratan pokok menyangkut hibah yang memenuhi syarat sebagi bukan objek pajak, yaitu bahwa antara pemberi hibah dengan penerima hibah tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan; Apabila penerima hibah adalah badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, atau yayasan, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada butir 2, harus pula memenuhi syarat bahwa kegiatan dari badan atau yayasan tersebut dalam kenyataannya tidak mencari keuntungan.”
Namun praktiknya, tidak otomatis demikian. Sebuah yayasan tetap harus memohon rekomendasi dari para birokrasi yang dapat membebaskan sebuah yayasan dari pajak demikian. Artinya, pejabat lebih berkuasa dari undang-undang. Tanpa surat rekomendasi demikian, yayasan Anda, sekalipun bergerak dibidang keagamaan dan/atau sosial, tetap diwajibkan membayar pajak meski undang-undang diatas telah secara tegas dan jelas menyatakan bebas pajak. Bingung? Saya yang seolah Cum Laude hukum saja dibuat heran oleh praktik para pejabat negara.

Jangankan saya atau Anda, pemerintah sendiri dibuat heran oleh peraturan yang mereka buat sendiri. Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam Undang-Undang terkait pertambangan tidak mengizinkan IUP untuk dijual kepada pihak ketiga, namun peraturan Pemerintah selaku peraturan pelaksana dari undang-undang menyatakan bahwa IUP dapat dijual kepada pihak ketiga. Alhasil. para investor asing mengajukan gugatan melawan pemerintah yang dinilai tidak becus menyusun regulasi.
Undang-undang, menurut teori hukum (sayangnya tidak konsisten di Indonesia), bersifat unifikasi, artinya berlaku secara merata dan diterapkan sama di seluruh tanah bumi nusantara. Pada praktiknya, pejabat teknis dapat menyimpangi bahkan mengangkangi juklak dan juknis yang dibuat oleh pejabat yang lebih tinggi. Pertanyaan sederhana bagi mereka yang memahami hukum perburuhan, apakah serikat buruh wajib memiliki surat kuasa dari para anggotanya ketika ketua serikat buruh menandatangani perjanjian bersama yang isinya perihal PHK massal karyawan dengan pihak manajemen perusahaan? Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta mewajibkan surat kuasa dari masing-masing buruh anggotanya kepada ketua serikat buruh, namun Pengadilan Hubungan Industrial Bandung menyatakan tidak perlu surat kuasa demikian. Kementerian Tenaga Kerja pun bingung sendiri selaku pejabat pembuat regulasi. Celah hukum tetap dibiarkan "menganga" demikian lebarnya.
Berminat dengan contoh kasus lainnya? Berikut mengenai isu Badan Hukum dan hak milik atau tanah.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Permohonan penggugat-pembanding supaya tanah-tanah sengketa dinyatakan sebagai milik Pesamuan Gereja Kristen Jawi Wetan dapat dikabulkan karena dalam pasal 49 (1) Undang-undang No. 5/1960 disebutkan "Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi....................dst".
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 18 - 12 - 1975 No. 1008 K/Sip/1972. Dalam Perkara : lshak lawan Ds. Soeharto. dengan Susunan Majelis : 1. R. Saldiman Wirjatmo SH. 2 Indroharto SH. 3.   R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
         
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA):
(1) Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah: “Badan-badan hukum yang disebut dibawah ini dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada pasal-pasal 2, 3 dan 4 peraturan ini:
c. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama;
d.  Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial

Pasal 4 PP 38/1963: “Badan-badan keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha keagamaan dan sosial.”

Sementara itu Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan (UU Yayasan) menyatakan dengan tegas bahwa: “Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), memperoleh pengesahan dari Menteri.”

Pasal 1 angka 1 UU Yayasan juga menyebutkan: “Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.”

Namun, menjadi ganjil bilamana pihak Notaris/PPAT maupun Kantor Pertanahan setempat meminta prasyarat surat rekomendasi dari kementerian agama dan Surat Keputusan dari BPN yang menyatakan yayasan pemohon sebagai badan hukum yang dapat memilik SHM. Tanpa kedua surat tersebut, meski anggaran dasar (AD) telah jelas merujuk pada jenis kegiatan dan bidang keagamaan dan telah mendapat Tanda Daftar Lembaga Keagamaan dari Departemen Agama, sebagaimana kemudian dibentuklah UU Yayasan yang menyatakan bahwa yayasan merupakan badan hukum, namun pada praktiknya yayasan tidak dapat secara otomatis memiliki SHM, baik atas dasar hibah maupun jual-beli.

Bila dahulu kala sebelum terbentuknya UU Yayasan, warga negera yang mendirikan suatu yayasan, akan memaklumi prasyarat agar yayasan mereka dapat dinyatakan sebagai badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UUPA lewat surat keputusan sebagai badan hukum yang dapat memiliki SHM, namun surat semacam Surat Direktur Jenderal Agraria Dan Transmigrasi No. Sk/1/Dd AT/Agr/67 Tentang Penunjukan Badan-Badan Gereja Roma Katolik Sebagai Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Tanah Dengan Hak Milik, apakah masih diwajibkan di zaman kontemporer ini setelah UU Yayasan diterbitkan dan lewat penafsiran sistematis dapat disimpulkan bahwa yayasan keagamaan adalah badan hukum sebagaimana di maksud Pasal 21 UUPA?

Penerbitan Surat keputusan dari kantor pertanahan demikian adalah dalam rangka pengisian kekosongan hukum, yaitu saat belum terbitnya UU Yayasan, sehingga yayasan tetap dapat memiliki SHM sebagaimana telah dinyatakan dalam Pasal 21 UUPA. Namun setelah UU Yayasan terbit, secara sosial dan filosofis, hal demikian menjadi tumpang tindih. Bilamana UU Yayasan telah menyatakan secara eksplisit bahwa yayasan adalah badan hukum, dan Akta Pendirian, Anggaran Dasar, maupun tanda daftar yayasan yang diterbitkan Kementerian Agama telah menyatakan dengan tegas sebagai yayasan yang bergerak dibidang keagamaan, maka masih adakah pembenaran dari pihak kantor pertanahan yang mensyaratkan adanya surat keputusan dan rekomendasi demikian? Merujuk pada ilmu perundang-undangan, peraturan pelaksana tidak dapat menyimpangi ketentuan yang lebih tinggi, undang-undang.
Namun nyatanya dalam praktik, berbeda, bukan?! Yang biasa itu, artinya tak selalu benar. Karena banyak kebiasaan yang didasari oleh mindset keliru dan cacat rasio. Semakin kritis masyarakat pemohon, semakin mengawur juga pejabat tersebut menjadi. Pejabat yang memonopoli sehingga memiliki kekuasaan secara politis demikian dalam praktiknya, meski tidak tertulis, adalah berada dalam puncak tertinggi dalam hierarkhi perundang-undangan, bahkan lebih tinggi dari undang-undang.
Lihatlah praktik lainnya dimana pejabat di kantor pertanahan menolak alat bukti putusan pengadilan yang dipublikasi dari situs resmi pengadilan negeri yang menyatakan pemohon blokir atas tanah dinyatakan kalah, namun oleh kantor pertanahan atas tanah tersebut tetap diblokir karena menolak alat bukti informasi yang dihadirkan secara digital elektronik meski undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan dengan tegas:
Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE):
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Pasal 6 UU ITE: “Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.”
Situs pengadilan merupakan situs resmi pemerintah sebagai wujud keterbukaan informasi publik, maka tiada alasan untuk menolak alat bukti otentik seperti informasi yang tertuang dalam situs resmi lembaga negara yang mana juga tidak terbatas pada situs resmi pengadilan.

Lebih lanjut tentang kejanggalan lain yang terjadi di pengadilan negeri republik korupsi ini—meski lebih tepat dijuluki negeri kolusi, karena kolusi di negeri ini lebih tinggi dari angka korupsinya—adalah sebagai berikut, dan juga nyata. Seorang penggugat yang adalah seorang debitor dari bank, menggugat bank selaku kreditornya dan mengajukan sita jaminan atas tanah yang dahulu ia agunkan. Sita jaminan dijatuhkan pengadilan. Kemudian debitor tersebut mencabut gugatannya, dan status tanah yang ternyata jauh sebelum proses gugatan telah dibalik-namakan pada pihak pemenang lelang eksekusi hak tanggungan atas aset agunan debitor/penggugat yang wanprestasi karena gagal bayar (kredit macet) tersebut, terus sebagai tanah berstatus sita jaminan meski gugatan telah dinyatakan gugur karena pencabutan gugatan oleh debitor.
Oleh pihak pengadilan, pemenang lelang yang tidak dapat menjual atau menjadikan jaminan fasilitas kredit atas tanah yang telah dibelinya melalui lelang, tetap dalam status tersita, meski hukum menyatakan bahwa sita jaminan tidak dapat dilakukan pada benda milik pihak ketiga selain pemohon sita, kecuali pemenang lelang bersedia membayar biaya pencabutan sita. Bila dipikirkan, semakin dipikir semakin gila, bukannya bertambah cerdas dan bijak mengikuti praktik hukum di Indonesia. Bila fair, mestinya penggugat yang membayar biaya cabut sita karena tidak berhak menyita, dan pengadilan pun tidak dibenarkan menyita aset milik pihak ketiga.

Penulis menyarankan pada pihak pengadilan, semestinya pemohon sita jaminan dibebankan biaya panjar dua kali nilai ketentuan yang ada, yakni satu kali besaran untuk biaya sita, dan satu kali besaran sisanya untuk dana tertahan bila seandainya gugatan permohon sita kalah pada akhirnya maka biaya tertahan tersebut secara otomatis digunakan untuk mencabut sita jaminan oleh pengadilan.
Cobalah Anda konsultasi pada pihak pegawai kantor pajak, apakah atas penghasilan Anda dikenai pajak atau tidak, sebagai contoh A mulai efektif bekerja pada PT. B pada bulan November dengan gaji Rp. 10.000.000;- apakah pada tahun buku akhir Desember memasuki awal tahun baru ia wajib membayar pajak penghasilan dimana ia baru efektif bekerja selama dua bulan dengan total pendapatan masih kurang dari PPh tidak kena pajak (hitungan satu tahun)? Pasti jawabnya yang akan Anda dapatkan: “Bayar, kena pajak! Karena bila dihitung secara per bulan maka masih melebihi PPh tidak kena pajak!” Namun meski secara nyatanya, oleh pihak konsultan pajak, sang karyawandinyatakan tidak kena pajak. Itulah mengapa, konsultan pajak laku di negeri ini. Karena bila petugas kantor pajak jujur, profesional, konsisten, dan kompeten, konsultan hukum dan konsultan pajak tidak laku di negeri ini. Justru fungsi konsultan hukum dan pajak adalah guna menghindari masyarakat agar tidak tertipu oleh pejabat negara itu sendiri.
Pernahkan Anda sadari, mengapa begitu banyak konsultan hukum dan kantor hukum di negeri ini? Karena aparatur negara pembentuk dan penerap hukum tidak becus melayani masyarakat di bidang hukum. Mereka sekedar hit and run. Negara yang bertanggung jawab, indikatornya ialah negara tanpa konsultan hukum maupun konsultan pajak, karena aparatur pajaknya memadai, jujur, dan kompeten; serta aparatur instansinya menguasai hukum, komprehensif, jujur, saling berkoordinasi dengan baik, dan memiliki SOP yang holistik.
Lihatlah bagaimana fenomena tidak "pede"-nya insitusi negara ketika digugat korporasi asing, dengan menyewa pengacara ataupun konsultan hukum mahal. Padahal senyatanya otoritas negara itu sendiri yang membuat peraturan hukum diatas kedaulatan negaranya sendiri. Lantas mengapa otoritas negara harus menyewa konsultan dan pengacara swasta alih-alih maju sendiri dengan jumlah PNS yang demikian masih tersebut? Artinya, selama ini pejabat negara dan ribuan PNS negeri ini telah membodohi publik dengan berbagai regulasi yang tidak kompeten karena disusun dan dibuat oleh mereka yang tidak kompeten.
Sebagai kasus penutup, pernah suatu ketika penulis beradu argumen dengan seorang pejabat lelang di kantor lelang negara (KPKNL), yang mana pihak pejabat lelang bersikukuh tidak mau melelang, karena menurut peraturan menteri keuangan, bila terdapat gugatan pihak ketiga, maka lelang eksekusi hak tanggungan dibatalkan. Pertanyaannya, bila pihak ketiga yang menggugat adalah seorang kreditor konkuren dari debitor yang sama dengan debitor dari bank pemegang hak tanggungan, maka dapatkah dibenarkan lelang dibatalkan dengan mengorbankan hak dari kreditor separatis/preferen?
Penulis berdebat hingga hampir dilempar keluar dari kantor lelang negara oleh para aparatur negara yang selalu berlindung di balik peraturan pelaksana meski peraturan pelaksana tersebut jelas-jelas bertentangan dengan undang-undang yang menyatakan bahwa kreditor preferen memiliki hak yang diistimewakan dari kreditor lainnya, dan sekalipun terdapat banyak kreditor, kreditor preferen akan didahulukan untuk pelunasannya, maka seharusnya lelang eksekusi hak tanggungan tetap berjalan karena pemohon lelang adalah kreditor separatis dan/atau preferen. Sehingga gugatan pihak ketiga dari kreditor konkuren kepada pihak debitor, sejatinya tidak diprioritaskan. Pada akhirnya, lelang tetap dibatalkan, kreditor separatis menjadi korban kebodohan aparatur negara yang tidak kompeten namun diberikan kekuasaan, karena kekuasaan politis adalah panglima hukum, fakta yang pahit, namun itulah keadaannya praktik di lapangan.

Itulah faktanya, senyatanya. Das sollen, bukan das sein. Anda akan frustasi bila Anda seorang idealis dan jenius hukum. Bila Anda jenius hukum, sayang sekali, republik irrasional ini tidak tepat buat Anda, karena republik irrasional hanya mampu melahirkan praktik hukum yang iirasional. Right man in the right place.
Tidak ada harapan bagi negeri irrasional ini. Semakin lama akan semakin terdegradasi jika kekuasaan politis menjadi panglima hukum. Hukum menjadi kian identik dengan mereka yang memiliki kekuasaan politis. Para aparat mengangkangi hukum, menjadi supir daripadanya, dan pada akhirnya masyarakat awam menjadi sapi perahan dan tumbal.

Para sarjana hukum pun terheran-heran dengan hukum versi pejabat dan aparatur negara, bagaimana dengan masyarakat awam?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.