Risiko Dibalik Hunian yang Tidak Bersertifikat, Sewaktu-Waktu dapat Diintervensi oleh Pihak Ketiga yang Memiliki Sertifikat Hak atas Tanah atas Rumah Milik Penghuni Tersebut, meski Penghuni telah Tinggal Selama Turun-Temurun Diatasnya

Question: Langkah apa yg harus kami tempuh sehubungan dengan sebidang tanah kami yang tiba-tiba disertipikatkan oleh orang lain, yang mana kami tidak memiliki bukti tertulis tentang dasar penguasan kami, namun secara turun temurun tanah tersebut kami kuasai, tapi tiba-tiba kami mengetahui bahwa tanah tersebut telah di sertipikatkan oleh orang lain beberapa tahun yang lalu tanpa sepengetahuan kami. 
Brief Answer: Pada dasarnya pihak Anda juga memiliki kelalaian untuk mengurus legatitas pertanahan Anda, sehingga mengakibatkan asumsi bagi pihak ketiga bahwa tanah yang Anda tempati adalah tak bertuan, sehingga tidak heran bila BPN menerbitkan surat sertifikat atas nama orang lain, karena setiap orang memiliki hak untuk mengajukan “permohonan hak atas tanah” dimana bila atas sebidang tanah tersebut belum terdapat sertifikat hak atas tanah yang membebaninya. Kini, banyak pemukinan liar, maka sebagai bukti dasar hak, diterbitkanlah sertifikat sebagai alat bukti kuat hak atas tanah. Definisi kuat disini, bukan berarti berlaku mutlak, karena masih dapat dibatalkan lewat proses gugatan di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tata Usaha Negara. Meski demikian, syarat utama pengajuan permohonan hak atas tanah, ialah pemohon telah menguasai secara fisik objek bidang tanah yang mana senyatanya tidak sesuai fakta bila memang bidang lahan telah dikelola oleh keluarga Anda secara turun-temurun.

Explanation:  

Pasal 19 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA ( UUPA)
 (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. (Note: yang dimaksud surat tanda bukti ialah sertifikat hak atas tanah oleh Badan Pertanahan Nasional)

Anda dapat meminta kompensasi secara wajar untuk relokasi pada pemilik sertifikat (bila Anda memang benar telah tinggal turun-temurun pada tanah tersebut, dalam arti Anda bukan pendatang dan pemukim liar), namun Perda DKI Jakarta menyatakan bahwa praktik “uang kerohiman” semacam itu tidak lagi diperbolehkan, bila anda memang tidak mau menempuh proses hukum, dalam arti mengalah untuk keluar.
Jika anda memilih langkah hukum, masih dimungkinkan untuk membatalkan sertiikat tersebut, lewat proses gugatan, selama: Pertama, minimum tanah tersebut telah Anda tempatkan selama 30 (tiga puluh) tahun; Kedua, sertifikat yang hendak diajukan gugat pembatalan tersebut belum lewat 5 (lima) tahun sejak diterbitkan.
Hal ini juga menjadi pelajaran bagi khalayak umum, agar penempat / pengelola tanah dapat segera mengurus permohonan hak atas tanah, sehingga tidak ada orang ketiga yang tiba-tiba muncul dan menyatakan bahwa ia pemilik resmi hak atas tanah, dimana orang yang mendaku tersebut secara hukum kuat karena memegang sertifikat sebagai tanda bukti kepemilikan hak atas tanah.
Untuk itu, bagi masyarakat yang telah menempati suatu bidang tanah, untuk jangka waktu minimum 30 (tiga puluh) tahun tanpa terputus dan tanpa pernah mendapat gangguan, maka dapat mengajukan sertiikat kepemilikan hak atas tanah, berupa sertifikat hak milik (SHM), karena menurut hukum perdata mengenai konsep hak yang timbul akibat lewatnya waktu (acquisitive verjaring), sebagaimana diatur dalam Pasal 1946 KUHPerdata: “Lewat waktu ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang.” Jo.. Pasal 1955 KUHPerdata: “Untuk memperoleh hak milik atas sesuatu dengan upaya lewat waktu, seseorang harus bertindak sebagai pemilik sesuai itu dengan menguasainya secara terus-menerus dan tidak terputus-putus, secara terbuka di hadapan umum dan secara tegas.”
Pasal 1957 KUHPerdata: “Seseorang yang sekarang menguasai suatu barang, yang membuktikan bahwa ia menguasai sejak dulu, dianggap juga telah menguasainya selama selang waktu antara dulu dan sekarang, tanpa mengurangi pembuktian hal yang sebaliknya.”
 Pasal 1958 KUHPerdata: “Untuk memenuhi waktu yang diperlukan untuk lewat waktu, dapatlah seseorang menambah waktu selama ia berkuasa dengan waktu selama berkuasanya orang yang lebih dahulu berkuasa dari siapa ia telah memperoleh barangnya, tak peduli bagaimana ia menggantikan orang itu, baik dengan alas hak umum maupun dengan alas hak khusus, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban.”
Pasal 1963 KUHPerdata: “Seseorang yang dengan itikad baik memperoleh suatu barang tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk dengan suatu besit selama dua puluh tahun, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan lewat waktu. Seseorang yang dengan itikad baik menguasai sesuatu selama tiga puluh tahun memperoleh hak milik tanpa dapat dipaksa untuk menunjukkan alas haknya.
Pasal 1965 KUHPerdata: “Itikad baik harus selalu dianggap ada, dan barangsiapa mengajukan tuntutan atas dasar itikad buruk, wajib membuktikannya.”
Perkara ini pun sekaligus sebagai pelajaran bagi calon peminat atas suatu tanah, agar sebelum mengajukan permohonan hak baru atas tanah kepada kantor pertanahan, agar sekiranya dapat meminta informasi kepada kantor pertanahan setempat, setidaknya untuk tiga pertanyaan mendasar, yakni:
1.    Apakah sudah ada sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan atas tanah yang diminati tersebut? (Jika pun sudah, pastikan apakah terdapat sertifikat ganda? Jika tidak, maka pastikan nama siapa yang tercantum sebagai pemilik hak atas tanah tersebut);
2.    Apakah di atas tanah tersebut dapat didirikan rumah atau ruko (bila hendak membangun ruko diatasnya) ataukah berdasarkan tata ruang wilayah setempat hanya diperbolehkan untuk ruang terbuka hijau yang tidak boleh didirikan bangunan terlebih IMB diatasnya?
3.    Jika pun boleh mendirikan bangunan, berapa lantaikah yang dapat didirikan?

4. Apakah atas bidang tanah tersebut dibebankan jaminan kebendaan dalam arti diagunkan kepada kreditor, atau bahkan disita jaminan oleh pengadilan?
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor Register 1409 K/Pdt/1996, tanggal 21 Oktober 1997, bahwa bila seseorang secara terus-menerus menguasai/menggarap tanah dan tidak pernah memindahtangankan kepada pihak lain, maka Ia adalah penggarap yang beritikad baik dan patut diberikan hak sebagai pemilik atas tanah.
Putusan Mahkamah Agung dengan Nomor perkara 2159 K/Pdt/2012, memutuskan bahwa bila mereka yang telah tinggal turun-temurun di atas tanah tersebut dapat membuktikan bahwa benar mereka telah tinggal lama diatasnya selama 30 tahun, di pengadilan ketika berhadapan dengan pemilik sertifikat hak atas tanah, terkait sengketa kepemilikan, maka mereka yang telah menempati secara turun-temurun yang dimenangkan. Untuk itu, bila pemilik sertifikat telah menandatangani akta jual-beli atau hibah dengan mereka yang telah telah menempati tanah tersebut secara turun-temurun, maka posisi pemilik sertifikat adalah kuat. Namun di sisi lain, praktik seperti demikian dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, karena pemilik sertifikat dapat sewaktu-waktu menerima gugatan dari para ahli waris penduduk setempat yang mengaku bahwa pendahulu mereka telah menempati tanah tersebut dan diwariskan kepadanya, sebagaimaan kerap terjadi dalam praktik sengketa pertanahan yang keruh.

Beberapa yurisprudensi terkait lainnya:
Putusan MARI No. 234 K/Pdt/1992 tanggal 20 Desember 1993: Bahwa buku Letter C desa bukan merupakan bukti hak milik, akan tetapi hanya merupakan kewajiban seseorang untuk membayar pajak terhadap tanah yang dikuasainya.
Putusan MARI. No. 3176 K/Pdt/1988 tanggal 19 April 1990: Tanah yang sudah jelas ada sertifikatnya tidak dapat diperjual belikan begitu saja berdasarkan surat girik, melainkan harus didasarkan atas sertifikat tanah yang besangkutan, yang merupakan bukti otentik dan mutlak tentang pemilikannya, sedang surat girik hanya sebagai tanda untuk membayar pajak.
Putusan MARI No. 3282 K/Pdt/1994 tanggal 27 Maret 1997: Pemberian hak atas tanah dapat dicabut kembali karena pertimbangan-pertimbangan yang keliru dengan cara pembatalan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri. Status kepemilikan hak atas tanah yang telah dicabut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri menjadi milik negara. Penggarap yang menguasai tanah milik negara mempunyai prioritas untuk memperoleh hak atas tanah.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.