Syarat dan Ketentuan dapat Berubah Sewaktu-Waktu Tanpa Pemberitahuan Terlebih Dahulu, merupakan Klausula Baku yang Ilegal, Dilarang oleh Hukum

Question: Apakah pernyataan pihak produsen/pelaku usaha yang mendalilkan pembebanan kewajiban kepada konsumen/nasabah dengan pencatuman “Perusahaan / pelaku usaha / bank berhak mengubah syarat dan ketentuan yang berlaku tanpa pemberitahuan” dapat dibenarkan secara hukum?
Brief Answer: Ketentuan demikian, karena bersifat sumir dan menggantung, maka dianggap sebagai klausula baku menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, dan setiap bentuk klausula baku pada prinsipnya dilarang. Prinsip ini juga berlaku bagi konsumen yang dihadapkan pada klausula “disclaimer” (pelepasan tanggung jawab hukum) yang biasanya jamak kita temui di dalam brosur penjualan properti, yang menyatakan secara sepihak bahwa jika terdapat perbedaan pada hasil akhir produk yang diserah-terimakan, maka perubahan atau perbedaan dari iklan adalah hak dari produsen/pelaku usaha, merupakan klausula baku yang dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan undang-undang mengenai perlindungan konsumen.
Explanation:  

Dalam suatu kejadian nyata, pada medio tahun 2010, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan seorang nasabah Standard Chartered Bank yang bernama Agus Soetopo, dimana Standard Chartered Bank yang merupakan bank asing tersebut diputus wajib membayar ganti rugi kepada nasabahnya tersebut.

Sengketa keperdataan demikian terjadi berawal dari pihak bank yang secara sepihak mendebet/memotong saldo rekening nasabahnya sebesar Rp.200.000 sebagai maintanance fee, sementara pihak nasabah sejak awal pihak nasabah tak pernah membuat kesepakatan soal pelayanan fee based income demikian dengan pihak bank, maupun informasi mengenai pembebanan cost demikian.

Bank mendalilkan, bahwa klausula demikian merupakan bentuk persetujuan secara diam-diam antara pihak bank dan pihak nasabah, yakni klausula yang menyatakan ‘Bank berhak mengubah syarat dan ketentuan yang berlaku tanpa pemberitahuan’. Namun pihak majelis hakim dalam putusannya menolak argumentasi demikian, karena dinilai sebagai bentuk ketentuan baku yang melanggar ketentuan Pasal 18 Ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen yang telah mengatur, bahwa: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

Lebih lanjut diatur pula dalam Pasal 18 UU tersebut, bahwa:
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

Berangkat dari pertimbangan demikian, hakim menilai bahwa kebijakan bank yang tidak memberikan informasi yang transparan, yang tidak benar, tidak jelas, serta tidak jujur, merupakan suatu pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen.

Pasal 19 Ayat (5) UU Perlindungan Konsumen juga mengatur, bahwa: “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.” Maksud dari ketentuan demikian, ialah bilamana konsumen/nasabah telah dari awal mengetahui fee demikian dapat dibebankan, dan bilamana konsumen/nasabah tetap turut serta sebagai konsumen/nasabah, barulah dapat diartikan sebagai penundukan diri serta pilihan hukumnya sendiri secara diam-diam atau tersurat, sehingga pelaku usaha tidak dapat dibebankan tanggung jawab ganti rugi.

Majelis hakim, dengan merujuk pada ketentuan Peraturan Bank Indonesia No.: 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, menyatakan bahwa pembebanan terhadap nasabah/konsumen tanpa sebelumnya dilandasi oleh kesepakatan, melainkan didasari klausula yang tidak dapat dipertahankan keabsahaanya, maka pembebanan demikian adalah tidak sah dan melanggar hak subyektif dari konsumen/nasabah.

Untuk itu, tepat sekiranya konsumen menyadari haknya, dan pelaku usaha turut pula menyadari kewajibannya, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen, bahwa: “Kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diteirma atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Klausul baku "syarat dan ketentuan berlaku dan dapat berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu" secara hakiki bersifat berat sebelah, disamping bersifat sepihak, perubahan syarat dan ketentuan tanpa kesepakatan lanjutan dari pihak lainnya merupakan pelanggaran Pasal 1338 Ayat (2) KUHPerdata yang mengantur bahwa atas kesepakatan yang telah dibuat, tidak dapat diubah oleh para pihak tanpa kesepakatan bersama.

Untuk menjadi pedoman konsumen, maka rambu-rambu mengenai hak dan kewajiban ini diatur dalam Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen, bahwa:
1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam la bel atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.