Question: Bila kami selaku pembeli sebidang tanah dan rumah di atasnya, sementara pihak penjual tanah dan bangunan tersebut tidak segera mengosongkan tanah dan bangunan setelah akad jual-beli terjadi secara sah, maka bagaimana kedudukan hukum pihak pembeli?
Brief Answer: Pada dasarnya pihak pembeli rumah memiliki hak untuk langsung melayangkan surat teguran (somasi) kepada pihak penjual rumah agar pembeli dapat segera menempati rumah tersebut. Namun, bila tidak diperjanjikan kapan harus mengosongkan rumah, maka perlu diperhatikan kewajaran dan aspek manusiawi, sehingga penjual dapat memiliki waktu untuk mencari dan memindahkan perabot rumah, dimana hal demikian merujuk pada Pasal 1339 KUHPerdata, hukum kebiasaan yang berlaku. Idealnya ialah toleransi selama satu bulan pengosongan secara sukarela. Untuk itulah perlu ada ketegasan dalam kontrak atau akta jual beli, kapankah penjual secara efektif harus sudah pengosongkan objek tanah dan rumah. Bila sudah ditetapkan dalam kontrak, namun penjual ingkar janji, maka gugatan keperdataan atas dasar wanprestasi. Sementara bila tidak diatur, maka gugatan perdata perbuatan melawan hukum yang mejadi dasar hukum. Perincian ini ialah dalam konteks tiada hak membeli kembali pihak penjual sebagaimana dapat tertuang dalam kontrak jual-beli.
Explanation:
Sebelum merujuk pada dasar hukum, perlu diketahui oleh masyarakat umum, bahwa akta perjanjian pengikatan jual beli bukan merupakan dasar utama terjadinya peralihan hak atas tanah, namun yang menjadi dasar peralihan ialah sifat “terang” dan “tunai” dalam arti sertifikat hak atas tanah telah melalui proses balik-nama dan uang pembelian baru sebatas down payment (DP, alias belum lunas 100%). Jadi, tanggal peralihan bukanlah tanggal saat ditandatanganinya akta perjanjian pengikatan jual-beli.
Pasal 1519 KUHPerdata: “Kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual, timbul karena suatu perjanjian, yang tetap memberi hak kepada penjual untuk mengambil kembali barang yang dijualnya dengan mengembalikan uang harga pembelian asal dan memberikan penggantian yang disebut dalam Pasal 1532.”
Pasal 1520 KUHPerdata: “Hak untuk membeli kembali tidak boleh diperjanjikan untuk waktu yang lebih lama dari lima tahun. Jika hak tersebut diperjanjikan untuk waktu yang lebih lama, maka waktu itu diperpendek sampai menjadi lima tahun.”
Putusan MA. No. 3317 K/Pdt/1995 tanggal 11 September 1996: “Apabila Penggugat tidak dapat membuktikan bahwa telah diperjanjikan bahwa Penggugat berhak membeli kembali tanah yang telah dijualnya, maka gugatan Penggugat harus ditolak dan perbuatan Penggugat yang masih mengusai obyek sengketa yang telah dijualnya tersebut adalah merupakan perbuatan melanggar hukum yang merugikan Tergugat. Bahwa pemakaian atau penggunaan perumahan (Hak Rekuirasi) adalah sah apabila ada persetujuan dari pemilik.”
Putusan MA diatas sebenarnya dapat digunakan pula atas kasus sengketa kredit macet antara pihak kreditor dan pembeli hak atas tanah melalui pelelangan umum eksekusi agunan debitor. Dimana jamak kita temui pihak debitor tidak mengosongkan objek agunan yang telah dieksekusi, meski dalam praktiknya Akta Perjanjian Kredit antara kreditor dan debitor menyatakan dengan tegas bahwa debitor akan kooperatif terhadap proses eksekusi bila debitor wanprestasi membayar hutang-hutangnya. Namun putusan hakim di Indonesia cenderung kering, dan jauh dari keadilan. Debitor pun hanya berani menerima kucuran kredit tanpa rasa tanggung jawab ataupun malu atas perbuatannya yang mengorbankan pihak kreditor maupun pemenang lelang. Semoga untuk kedepannya praktik tersebut dapat berubah oleh hukum yang lebih adil dan lebih tegas.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.