KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Lex Spesialis Derogat Legi Generalis, Ketentuan yang Bersifat Khusus Mengesampingkan Ketentuan yang Bersifat Umum

Question: Bila pencurian dengan media internel / online dilakukan oleh seseorang pelaku tindak pidana, ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ataukah ketentuan dalam undang-undang tentang transaksi elektronik yang diterapkan, mengingat keduanya sama-sama mengatur hal tersebut?
Brief Answer: Ketentuan yang khusus mengesampingkan ketentuan yang umum. Berhubung KUHP bersifat ketentuan umum, dalam arti tidak spesifik, namun berlaku bagi setiap tindak pidana umum, maka berlakulah ketentuan seperti UU ITE (Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik) sebagai ketentuan yang bersifat khusus, kecuali peraturan yang khusus tidak mengatur suatu perbuatan spesifik tertentu maka dapat diterapkan ketentuan yang bersifat umum.
Explanation:
Pasal 63 Ayat (2) KUHP:  Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”

Kejadian atau peristiwa atau pertanyaan ini sering dilayangkan banyak pihak, dan menjadi celah hukum permainan para mafia hukum. Satu contoh yang banyak terjadi di lapangan, dimana seorang karyawan perusahaan asuransi yang melakukan tindak pidana penggelapan, berhubung perusahaan tempatnya bekerja telah dirugikan miliaran rupiah oleh karyawannya tersebut, maka terjadi “transaksi” jual-beli pengenaan pasal antara jaksa penuntut umum, sementara hakim terikat oleh dakwaan yang dirumuskan oleh jaksa, sehingga yang digunakan untuk mendakwa bukanlah dasar hukum UU Perasuransian, namun pasal penggelapan dalam KUHP. 

Mengapa? Oleh karena hukuman denda dalam UU Perasuransian lebih kecil meski ancaman penjaranya lebih besar dari KUHP. Perusahaan berpikir, dengan uang hasil penggelapan si karyawan, karyawan tersebut mampu membayar denda dengan uang hasil penggelapan yang ia lakukan, maka perusahaan rugi dua kali, tidak dapat dikembalikannya uang hasil penggelapan itu pada perusahaan, karena dibayar oleh karyawan untuk hukuman denda subsidair kurungan yang diterimanya.

Praktik mafia hukum demikian, memang keliru, dan sama kelirunya dengan pengenaan pasal penggelapan dalam KUHP, bukan pasal ketentuan pidana dalam UU Perasuransian yang bersifat lebih khusus dari KUHP.

Namun, disisi lain, perusahaan juga menghadapi dilema akibat cacatnya hukum acara pidana di Indonesia, dimana tiada ketentuan yang mengatur bahwa terpidana hanya dibolehkan membayar hukuman denda dengan uangnya pribadi, bukan uang hasil kejahatan yang dilakukannya. Maka menjadi ironis, dimana pelaku kejahatan pencurian atau penggelapan, membayar hukuman denda yang diterimanya dengan uang hasil pencurian atau penggelapan, namun praktik demikian justru dilembagakan dan dibudayakan menjadi kebiasaan lapangan oleh aparat yang berwenang itu sendiri, seakan terjadi pembiaran dan ketidakpedulian regulator penyusun kebijakan. Pada gilirannya, masyarakat umum yang menjadi korban sistem.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.