Hubungan Hukum antara Kasus Perdata dan Pidana yang Memiliki Kaitan Subjek, Objek, serta Fakta Hukum

Question: Apakah dakwaan pidana yang harus menunggu putusan perkara perdata atas satu subjek dengan objek dan fakta hukum yang sama, ataukah sebaliknya?
Brief Answer: Bersifat kasuistis. Dalam perkara dakwaan pencemaran nama baik yang pernah terjadi atas kasus Prita Mulyasari vs Rumah Sakit Omni, tuntutan yang dilayangkan Omni kepada Prita pada tingkat akhirnya (Peninjauan Kembali) merujuk pada hasil putusan kasasi perkara perdata yang menolak gugatan Omni, dengan menyatakan bahwa perbuatan Prita tidaklah termasuk pencemaran nama baik. Namun dalam kasus lain, dengan karakteristik fakta hukum yang berbeda, dapat terjadi sebaliknya, perkara perdata menunggu putusan hakim dalam perkara pidana. Meski demikian, hakim yang memeriksa terhadap satu perkara tidak terikat pada putusan hakim dalam perkara lain.

Explanation:  

Persidangan dalam perkara perdata hanya mengungkapkan proses pembuktian formil (apa yang tertuang dalam akta otektik, tanpa meninjau lebih jauh kebenaran substansi dan proses terjadinya akta tersebut, sebagai contoh). Berbeda dengan perkara pidana, dimana hakim terikat untuk sampai pada proses pembuktian dengan kebenaran materiel, sehingga tidak mengherankan bila terdakwa mengakui kejahatan yang telah dilakukannya, namun hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pidana tidak begitu saja menerima pengakuan terdakwa demikian. Hakim dalam perkara pidana akan menyelidiki mengapa terdakwa sampai mengaku demikian. Pengakuan Terdakwa demikian baru hanya akan menjadi fatal dalam perkara perdata yang bersifat formil semata.

Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun1956: “Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka  pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.” (Frasa “dapat” memiliki konotasi “dapat tidak”, juga “dapat bisa”. Artinya, tergantung pada kebijakan Majelis Hakim yang memiliki kewenangan/diskresi untuk itu. Sehingga, frasa “dapat” bukan merupakan suatu keharusan/imperatif, melainkan pilihan/fakultatif)

Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun1956: “Pertangguhan pemeriksaan perkara pidana, ini dapat sewaktu-waktu dihentikan, apabila dianggap tidak perlu lagi.”

Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun1956: “Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata tadi.“

Yurisprudensi Mahkamah Agung, lewat putusannya No.628 K/Pid/1984, yang mana dalam putusan pidana ini MA memerintahkan Pengadilan Tinggi Bandung untuk menunggu adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang memutuskan mengenai status kepemilikan tanah (perdata).

Begitupula yang digariskan dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung tanggal 21 September 2011, Komisi Bidang Pidana Umum perihal Prejudicieel Geeschll, yang merumuskan bahwa dalam perkara pidana yang didalamnya terdapat perkara perdata (prejudicieel Geschll) pada perkara pidana biasa secara kasuistis harus dilihat kecenderungan fakta hukumnya. Terhadap perkara korupsi tidak perlu diselesaikan perkara perdatanya dahulu karena perkara korupsi meruapkan exrtra ordinary crime.

Karena terdapatnya hubungan serta kedudukan timbal balik antara perkara perdata dan pidana (untuk kasus-kasus tertentu), benang merah diantaranya ialah kebenaran materiel yang diperoleh dari pemeriksaan perkara pidana akan memberi pengaruh serta konsekuensi logis input dari perkara perdata yang sedang diperiksa dan akan diputuskan. Namun dapat juga terjadi sebaliknya, misal seseorang terdakwa dituntut telah mencuri, namun hakim dalam perkara perdata yang bersangkutan telah membuktikan serta memutuskan bahwa barang yang “dicuri” demikian ternyata merupakan barang milik sah si “pencuri” itu sendiri.

Atas dasar teori dan praktik demikian, dapat kita simpulkan, untuk perkara dengan karakter tertentu, putusan perkara pidana akan menentukan terhadap putusan perkara perdata. Sementara untuk perkara dengan karakter lainnya, terjadi paradigma yang sebaliknya, putusan dalam perkara perdata menentukan akhir proses persidangan pidananya.

Namun dalam praktiknya, baik hakim yang memeriksa perkara pidana maupun yang memeriksa perkara perdata, tidak menunggu putusan dari perkara lainnya tersebut hingga berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Sehingga dapat terjadi skenario seperti ini: gugatà putusan perdata à tuntutan à putusan pidana à banding perdata à Putusan Pengadilan Tinggi Perdata à banding pidana à Putusan Pengadilan Tinggi Pidana à Kasasi perdata à putusan Kasasi perdata à kasasi pidana à Putusan kasasi pidana à Peninjauan Kembali kasus perdata à peninjauan kembali kasus pidana. Skenario tersebut sedikit banyak dapat kita temui dalam kasus Prita Mulyasari Vs Rumah Sakit Omni, dimana putusan perkara perdata pada hulunya menjadi penentu perkara pidana, dimana putusan perkara perdata yang telah inkracht memenangkan Prita dijadikan sebagai vonum (alat bukti baru) dalam tingkat Peninjauan Kembali perkara pidana sehingga Prita dinyatakan bebas dari pidana.

Karena sifatnya kasuistis, maka sebagaimana ditegaskan dalam SURAT Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1980 Tentang "Prejudicieel Geschief", disebutkan bahwa:
Dalam hal ini diputuskan ketentuan perdata dulu sebelum dipertimbangkan  penuntutan pidana.
"Question prejudicielle au jugement" menyangkut permasalahan yang diatur dalam  Pasal 81 KUHP; Pasal tersebut sekedar memberi kewenangan bukan kewajiban, kepada Hakim Pidana untuk menangguhkan pemeriksaan, menunggu putusan Hakim Perdata mengenai persengketaannya.
Diminta perhatian, bahwa andaikan Hakim hendak mempergunakan lembaga hukum ini, Hakim Pidana ini tidak terikat pada putusan Hakim Perdata yang bersangkutan seperti dinyatakan dalam Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 1956.“

Jawaban yang paling tepat ialah: kasuistis. Amatlah fatal bila jawaban diberikan secara "pukul rata" Dalam praktik, hal ini dapat menjadi demikian rancu sekaligus kompleks sebagaimana SHIETRA & PARTNERS temui. Berikut ilustrasi absurb dalam sengketa di pengadilan yang terjadi dalam realita.

Seorang pengusaha dipidana oleh rekan usahanya, karena telah menggelapkan dana hasil usaha. Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim mengabulkan dakwaan Jaksa, dengan menyatakan bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana penggelapan.

Beberapa waktu kemudian, setelah pengusaha tersebut menjalani masa hukumannya dan bebas dari penjara, diajukanlah gugatan perdata terhadap mantan rekan usaha yang telah menjebloskannya ke dalam penjara. Dengan alat bukti yang ada berupa akta perjanjian bisnis, sang pengusaha hendak membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan kejahatan yang dituduhkan, karena semua laporan keuangan dibuat sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian.

Untuk itu dirinya kemudian mengajukan gugatan perdata meminta ganti-rugi atas wanprestasi pihak mantan rekan usaha yang telah memenjarakan dirinya. Yang kemudian terjadi, Majelis Hakim perkara perdata demikian sumir membuat pertimbangan hukum, hanya dengan merujuk pada alat bukti putusan perkara pidana yang telah menjerat sang Penggugat, sehingga praktis Majelis Hakim sama sekali tidak melakukan penilaian dan pembuktian terhadap substansi perikatan dalam akta kerja-sama yang sebelumnya disepakati Penggugat dan Tergugat.

Jika saja Majelis Hakim dalam perkara perdata tidak mencampur aduk perkara pidana dan perdata, namun secara independen dan mandiri memeriksa dan memutus tanpa "direcoki" hasil putusan perkara pidana, maka terbuka kemungkinan putusan perkara perdata dapat menjadi langkah koreksi terhadap perkara pidana yang telah mengkriminalisasi sang Penggugat.

Sikap formil hakim demikian bersifat fatalistis dan kerap terjadi dalam praktik litigasi yang mengedepankan sikap pragmatis, terbukti telah banyak memakan "korban" sistem.

SHIETRA & PARTNERS berpendirian, seyogianya hakim dalam tingkat Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi (judex factie) maupun Hakim Agung tingkat kasasi (judex jure) tidak mencampur aduk perkara pidana dan perkara perdata, dengan cara membiarkannya berjalan secara paralel.

Dalam arti, Majelis Hakim dalam perkara pidana, perlu menutup "mata" atas putusan perkara perdata, begitupula sebaliknya, dengan kata lain bersikap mandiri dan tidak "latah" atau mem-"beo". Hanya Hakim Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali yang pada hulunya berwenang memeriksa dan memutus dua perkara, baik perdata dan pidana, yang masing-masing telah berkekuatan hukum tetap, untuk di-cross examination guna menentukan apakah derajat putusan inkracht perkara perdata yang menentukan finalisasi perkara pidana, atau sebaliknya putusan inkracht perkara pidana yang menjadi faktor penentu penutup dari perkara perdata.

Prita Mulyasari yang tidak memahami falsafah jenjang peradilan, bersama kuasa hukumnya sempat mengadukan Majelis Hakim tingkat kasasi pidana yang menjatuhkan vonis penjara kepada dirinya kepada Komisi Yudisial, karena Majelis Hakim tersebut tidak menghiraukan putusan kasasi perdata yang (yang terbit lebih dahulu) dengan amar menolak gugatan RS Omni. Barulah kemudian Hakim Agung tingkat PK Pidana menjadikan putusan kasasi perdata yang telah inkracht sebagai bukti baru bagi perkara pidana yang setelah itu menyesuaikan amar pidana senada dengan putusan perkara perdata.

Disini, baik hakim dalam tingkat Pengadilan Negeri hingga Kasasi, tidak dibenarkan menjadikan putusan perdata ataupun putusan pidana sebagai variabel bebas. Hakim, ketika membuat pertimbangan hukum serta putusan sebagai variabel terikat, wajib menjadikan karakterisitk serta sifat maupun pola perkara kasuistik yang dihadapkan kepadanya sebagai variabel bebas.

Sebagai contoh, putusan perkara pidana telah membuktikan bahwa Tuan A telah memalsukan tanda tangan Tuan B dalam akta, berdasarkan uji laboratorium forensik. Maka putusan perkara pidana dapat dijadikan alat bukti aktual dalam perkara perdata ketika Tuan A hendak menggugat wanprestasi Tuan B, dimana hakim akan menolak gugatan karena akta tersebut telah  terbukti dinyatakan palsu secara pidana.

Pada kesempatan lain, bagaimana mungkin seseorang dalam hubungan rekanan kerja-sama bisnis usaha dinyatakan telah melakukan penggelapan ataupun penipuan, ketika sengketa perdata diantara mereka belum diputus terlebih dahulu guna membuktikan siapa yang sebenarnya telah dirugikan. Adalah sangat berbahaya ketika hakim perkara perdata mengekor putusan hakim perkara pidana dalam konteks kasus semacam ini, ataupun juga sebaliknya, tentunya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.