Badan Hukum Yayasan Bebas dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah, maupun Pajak Penghasilan atas Hibah yang Diterimanya

Question: Apakah terhadap tanah hibah yang diterima oleh badan hukum berupa yayasan yang bergerak dibidang keagamaan maupun sosial dan kemanusiaan dikenakan berbagai beban pajak mulai dari pajak bumi dan bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh) atas hibah yang diterimanya maupun Bea Perolehan Hak Atas Tanah dari hibah sebidang tanah dan bangunan tersebut?
Brief Answer: Badan Hukum Yayasan yang bergerak dibidang keagamaan, sosial, pendidikan, kesehatan, serta kemansuiaan, dibebaskan dari PBB, BPHTB, maupun PPh atas objek hibah benda tak bergerak yang diterimanya.
Explanation:  

Pasal 2 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (UU BPHTB):
(1) Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
(2) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. pemindahan hak karena: … 3. hibah;”

Pasal 3 Ayat (1) UU BPHTB: “Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh:… f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.ß Artinya, yayasan yang bergerak dibidang keagamaan tidak terkena pungutan BPHTB.


Pasal 3 Ayat (1) UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (UU PBB): “Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang: a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;”

Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) UU PBB: “Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan.  Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut.” ß Artinya, yayasan yang bergerak dibidang non profit tidak terkena PBB.


Pasal 4 Ayat (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN (UU PPh): “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu  setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk: keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan.” ß Artinya, pemberi hibah kepada Yayasan non profit tak dikenai pajak penghasilan.

Pasal 4 Ayat (3) UU PPh: “Yang dikecualikan dari objek pajak adalah: harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;”


Pasal 1 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 604/KMK.04/1994 TENTANG BADAN-BADAN DAN PENGUSAHA KECIL YANG MENERIMA HARTA HIBAHAN YANG TIDAK TERMASUK SEBAGAI OBJEK PAJAK PENGHASILAN (Kepmenkeu 604/1994): “Yang dimaksud dengan :
a. Badan keagamaan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan, yang tidak mencari keuntungan;
c. Badan sosial adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan : … 7. kegiatan sosial lainnya; sepanjang badan sosial tersebut tidak mencari keuntungan;


Pasal 2 Ayat (1) Kepmenkeu 604/1994: “Harta hibaan yang diterima oleh badan-badan dan pengusaha kecil termasuk koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak termasuk sebagai objek Pajak Penghasilan sepanjang antara pemberi hibah dengan penerima hibah tersebut tidak ada hubungan usaha, kepemilikan, atau penguasaan.”

Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-05/PJ.4/19954 tertanggal 8 Pebruari 1995: “Dalam hubungan ini hendaknya diperhatikan persyaratan pokok menyangkut hibah yang memenuhi syarat sebagi bukan objek pajak, yaitu bahwa antara pemberi hibah dengan penerima hibah tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan; Apabila penerima hibah adalah badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, atau yayasan, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada butir 2, harus pula memenuhi syarat bahwa kegiatan dari badan atau yayasan tersebut dalam kenyataannya tidak mencari keuntungan.”

Dalam praktiknya sebagaimana SHIETRA & PARTNERS melihat realita yang terjadi, baik Yayasan yang bergerak dibidang pendidikan, agama, kebudayaan, sosial, dsb, tampaknya menjadikan Yayasan sekadar wadah usaha belaka. Pendidikan, agama, sosial, semua itu kini menjelma suatu komoditas "jualan" dengan embel-embel non profit yang senyatanya berorientasi profit. Bagaimana tidak, terbukti bahwa Yayasan dibolehkan untuk mendirikan badan usaha.

Ambil contoh sebuah Yayasan yang menjadi payung sebuah universitas swasta, para pengurus Yayasan bekerja full time, artinya digaji dari pemasukan universitas, dan besaran gaji ditentukan oleh pembina bersama-sama dengan pengurus Yayasan. Semakin besar pemasukan/pendapatan Yayasan, semakin besar pula gaji pengurus Yayasan dapat ditingkatkan.

Kini, pendidikan yang bernaung dibawah atap Yayasan, sejatinya menjadi komoditas belaka. Begitupula agama, "jualan" yang paling laku dan tidak pernah berhenti menghimpun dana masyarakat (berupa sumbangan, hibah, dsb), sementara pengawasan pemerintah begitu longgar dan lemah.

Yayasan dapat dan cenderung disalahgunakan bila tiada pengawasan yang ketat dan memadai dari otoritas. Untuk itu hendaknya berbagai keistimewaan perlakuan yang diberikan pemerintah kepada badan hukum Yayasan, hendaknya tidak disalahgunakan agar tidak menjadi pelanggaran terhadap tujuan utama konsepsi badan hukum Yayasan, non profit bagi pengurus maupun bagi pendirinya.

Memang, Yayasan dilarang melakukan bagi hasil usaha. Namun tidak terdaapt larangan tegas untuk menggaji pengurusnya. Jika murni non profit, semestinya seluruh pemasukan / pendapatan Yayasan disalurkan kembali 100% ke tengah masyarakat, bukan justru dikonversi menjadi gaji para pengurusnya.

Dengan fenomena tumbuh suburnya yayasan demi yayasan di Indonesia, sejatinya adalah perusahaan dengan baju/kemasan "Yayasan" dimana para pengurus dan pengelolanya bermental pengusaha yang berorientasi profit dan pasar, bukan pelayanan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.