Question:
Apakah terhadap setiap pelaku tindak pidana pasti dipidana? Misal bila
seseorang wanita mendapat ancaman pemerkosaan, akankah wanita tersebut akan
dipidana bila mencoba mencoba membela diri hingga pelaku yang mencoba memerkosa
tewas? Bagaimana bila ada orang yang hendak melindungi wanita tersebut, melawan
pelaku hingga mengakibatkan pelaku terluka bahkan meninggal? Contoh lain, bila
seseorang yang diancam akan dipukul, lantas karena reflek dan perasaan tertekan
melihat ancar-ancar pemukulan yang akan dialaminya, kemudian dengan cepatnya
melancarkan serangan balik (affrimative
action) sehingga pengancam itu sendiri yang terlebih dahulu terkena pukulan
pembelaan, maka dapatkah ia dipidana dengan alasan penganiayaan?
Brief Answer:
Tidak semua pelaku tindak pidana dipidana bila terdapat “alasan pembenar” dan/atau
“alasan pemaaf” yang telah diatur dalam hukum pidana Indonesia, dan konsep
hukum pidana tersebut dikenal sebagai “alasan penghapus sanksi pidana”, Untuk
kasus wanita yang hendak diperkosa, kemudian membela diri hingga pelaku
meninggal dunia, tidak selalu dapat dipidana bila saja tindakan wanita tersebut
tidaklah berlebihan (dalam arti bila kebetulan membawa benda tajam kemudian
menusuk jantung pelaku meski bisa saja wanita tersebut menusuk pada bagian yang
tidak vital). Namun karena khilaf dan panik, wanita tersebut menusuk pelaku
tepat di jantung hingga tewas, maka hal demikian masuk dalam kategori alasan
pemaaf. Alasan pemaaf tersebut belaku bagi pihak yang karena itikad baik hendak
melindungi kehormatan calon korban (Pasal 49 KUHP). Atas pertanyaan terakhir, terdapat
ketidakadilan dalam praktiknya, oleh karena siapapun yang bersalah, tetap
dianggap ia yang pertama kali memukul, bukan siapa yang pertama kali mengancam
akan menganiaya, sekalipun telah terdapat intimidasi dan gerak permulaan ancang-ancang
untuk memukul demikian (semoga praktik pidana yang tidak adil ini dapat berubah
dikemudian hari).
Explanation:
Tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Prinsip ini menjadi prinsip utama dalam hukum pidana. Yang dimaksud dengan "kesahan" itu sendiri terbagi menjadi dua kategorisasi, yakni kesengajaan dan kelalaian. Namun suatu aksi preventif / affirmative guna membela diri, tidak termasuk dalam kategorisasi "kesalahan".
Analogi dapat kita temukan dalam kasus "main hakim sendiri" (eigenrichting), semisal contoh dua orang terdampar di tengah lautan, sementara hanya terdapat satu buah papan pelampung yang hanya dapat membawa satu orang. Bila salah seorang diantara mereka melempar satu orang diantaranya hingga tewas tiada pelampung, maka tindakan demikian pun tidak termasuk suatu kesalahan, karena adanya pembelaan diri secara terpaksa sebagai suatu alasan pemaaf.
Ketentuan hukum mengenai hal tersebut diatur dalam Bab III Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan judul “hal-hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana”.
Analogi dapat kita temukan dalam kasus "main hakim sendiri" (eigenrichting), semisal contoh dua orang terdampar di tengah lautan, sementara hanya terdapat satu buah papan pelampung yang hanya dapat membawa satu orang. Bila salah seorang diantara mereka melempar satu orang diantaranya hingga tewas tiada pelampung, maka tindakan demikian pun tidak termasuk suatu kesalahan, karena adanya pembelaan diri secara terpaksa sebagai suatu alasan pemaaf.
Ketentuan hukum mengenai hal tersebut diatur dalam Bab III Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan judul “hal-hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana”.
Pasal 44 KUHP:
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan
kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena
penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah
sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
Pasal 48 KUHP: “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Contoh penerapan pasal ini, adalah bilamana seseorang diancam akan dibunuh maka melahirkan hak pembelaan diri karena terpaksa. Akan tetapi praktik peradilan menyebutkan, pembelaan diri ini harus bersifat proporsional. Seorang pencuri dibenarkan untuk teraniaya pemilik rumah, namun pemilik rumah tak dibenarkan untuk menembak pencuri itu hingga mati bila tiada alasan mendesak.
Pasal 49 KUHP:
(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau
ancaman serangan yang sangat dekat
pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa
yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena
serangan atau ancaman serangan
itu, tidak dipidana.
Pasal 49 KUHP tersebut merupakan pasal yang berlaku bagi pembelaan diri. Namun penulis tidak sepakat dengan praktik peradilan pidana yang mewajibkan, contoh kasus, korban harus teraniaya terlebih dahulu barulah ia dapat membela diri seperti pertanyaan terakhir diatas. Secara keadilan, semestinya bagi seseorang yang telah mendapat tekanan secara psikologis/kejiwaan, baik berupa intimidasi, ancaman, gerak-gerik permulaan hendak memukul, merupakan bentuk dari “ancaman serangan yang sangat dekat” maupun “keguncangan jiwa yang hebat” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 KUHP. Sehingga tidaklah dapat calon korban justru dikriminalisasi oleh mereka yang beritikad tidak baik. Unsur mens rea (maksud batin) perlu diperhatikan, siapakah yang terlebih dahulu memiliki niat untuk memukul dan menantang untuk bertarung (sebagai contoh), oleh sebab mereka yang hanya membela diri tidak memiliki niat untuk terlebih dahulu memukul, namun keadaan/kondisi aktual yang telah mendesak mereka.
Pasal 50 KUHP: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.” Misal seorang algojo yang melakukan eksekusi terhadap terpidana, ini merupakan alasan pembenar.
Pasal 51 KUHP:
- Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. (alasan pembenar)
- Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya. (alasan pemaaf)
Terhadap pelaku pembelaan diri sekalipun dijadikan "pesakitan" di persidangan, selama ia mampu mendalilkan kedudukan hukumnya berdasarkan alasan pembenar ataupun alasan pemaaf demikian, maka hakim wajib menjatuhkan amar putusan dengan bunyi: "Lepas dari segala tuntutan hukum."
…
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA. Budayakan hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak
Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.