Surat Dakwaan yang Digabungkan dan yang Dipisahkan (Split) antara Dua atau Lebih Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Subjek Hukum Terdakwa yang Sama

Question: Oleh Jaksa Penuntut Umum, saya didakwa Pasal 263 (penipuan) juncto Pasal 53 (percobaan) KUHP karena tidak berhasil melakukannya pada perbuatan saya tahun 2012, dimana ketika tahap pemeriksaan saya memberi keterangan pernah melakukan hal yang sama pada tahun 2010 yang mana pada tahun 2010 tersebut saya berhasil mengambil dana secara ilegal, dan kemudian dituangkan dalam BAP. Setelah melalui proses persidangan, saya diganjar 2 tahun oleh majelis hakim. Menurut saya, hukuman saya terlalu berat mengingat saya belum mendapatkan hasil. Tetapi mengingat saya pada tahun 2010 pernah melakukan hal yg sama dan mendapat uang secara ilegal, saya pikir hukuman 2 tahun termasuk dengan kejadian th 2010. Saya akhirnya menerima putusan tersebut. Setelah menjalani separuh masa hukuman, saya dikejutkan dengan kedatangan penyidik yang akan menbuat BAP untuk kasus saya yang kejadian tahun 2010. Yang ingin saya tanyakan, bila Jaksa kembali mendakwa saya, apakah dakwaan yang akan menyusul kemudian tersebut akan termasuk sebagai nebis in idem? Modus yang saya lakukan sama, tetapi ada perbedaan waktu. Mengingat hukuman saya 2 tahun yang menurut saya sangat berat bila harus ditambah hukuman kembali, apakah saya bisa mengajukan prinsip “atas pidana yang telah diputus tidak dapat didakwa dua kali” dalam pleidoi saya kelak?
Brief Answer: Bila tipe Surat Dakwaan (requisitor) dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) adalah berjenis penggabungan antara dua atau lebih tindak pidana, semisal antara perbuatan di tahun 2010 hingga tahun 2012, maka yang terjadi kemudian bila seseorang warga negara kembali didakwa atas perbuatan tahun 2011 yang telah diputus sebelumnya tersebut, maka berlakulah prinsip larangan nebis in idem. Sementara bila tipe/jenis Surat Dakwaan/tuntutan berjenis pemisahan/spilt antara dua atau lebih tindak pidana, maka pada dasarnya setiap tindak pidana di masing-masing waktu, misal perbuatan tindak pidana pada tanggal 5 Januari 2010 dengan perbuatan tindak pidana pada tanggal 7 Juni 2010 adalah perbuatan tindak pidana yang masing-masing berdiri sendiri sehingga dapat didakwa atas masing-masing tindak pidana atas masing kejadian dalam dua atau lebih waktu terpisah.
Explanation:

Sebenarnya dalam hukum pidana terdapat asas perlindungan bernama asas non self incrimination, dimana pengakuan Terdakwa tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti guna memberatkan kedudukan Terdakwa itu sendiri. Tidaklah dapat dibenarkan itikad baik Terdakwa dalam memberikan pengakuan justru menjadi bumerang bagi posisi hukum Terdakwa itu sendiri. Namun terlepas dari dianut atau tidaknya prinsip ini oleh Jaksa Penuntut Umum dan pengadilan, fakta aktual yang relevan tetap perlu disikapi bila kemungkinan terburuk (worst case) terjadi pada seorang subjek hukum.

BAP (berita acara penyidikan) bukan dasar penjatuhan jumlah pidana penjara, namun hanya berisi keterangan verbal lisan suatu kejadian. Perlu diperhatikan, apakah dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam sidang Bapak yang dahulu, kronologi peristiwa hanya fokus pada perkara pidana tahun 2012, ataukah juga termasuk peristiwa pidana tahun 2010? Apakah hakim dalam pertimbangan hukumnya merujuk pada peristiwa dengan dua waktu berbeda tersebut?

Pertanyaan demikian penting, oleh sebab dalam pidana terdapat istilah 'TEMPUS DELICTI". Artinya, dakwaan dibatasi pada scoop waktu dalam surat dakwaan. Jika Surat Dakwaan 2012 demikian hanya membatasi dakwaan pada tindak pidana tahun 2012, maka dakwaan hanya untuk perbuatan pidana yang dilakukan pada tahun 2012.

Sementara, bila dalam surat dakwaan disebutkan bahwa waktu kejadian adalah peristiwa sejak tahun 2010 hingga 2012, maka jika kini Anda didakwa kembali atas peristiwa tahun 2010, berlakulah asas larangan nebis in idem.

Ancaman maksimum Pasal 263 KUHP ialah 6 (enam) tahun, dikurangi 1/3 (percobaan) maka menjadi maksimum ancaman yang dapat dijatuhkan ialah pidana penjara 4 (empat) tahun.  Pidana yang diputuskan hakim tahun 2012 masih separuh dari ancaman maksimum tersebut. Kami tidak tahu apa yang melatarbelakangi hakim sehingga memutus dengan jumlah waktu selama 2 tahun, apakah potensi kerugian yang dicoba dirogoh adalah besar atau kecil, itu bukan kewenangan kami menilai dan memutus.

Oleh karena ancaman maksimum dari Pasal 263 mengenai Penggunaan/Membuat Surat Palsu ialah selama 6 (enam) tahun penjara, maka berlakulah ketentuan Pasal 78 ayat (1) KUHP: "Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun ialah sesudah dua belas tahun." Artinya, kewenangan menuntut masih berlaku untuk kasus Bapak.

Pasal 76 KUHP:
(1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.
(2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal: putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.

Melihat kronologi perkara Bapak, kemungkinan besar dalam surat dakwaan sebelumnya tidak tercantum peristiwa tahun 2010, oleh karena karakteristiknya berbeda, antara tindak pidana yang selesai/berhasil dilakukan (2010) dan tindak pidana percobaan alias gagalnya tindak pidana bukan karena niat batin sang pelaku (2012). Hal ini yang menjadikan kendala memberatkan atas kasus Anda.

Namun atas putusan tahun 2012, dapat dijadikan dalil untuk meminta pertimbangan hakim, agar menjatuhkan pidana paling minimum.  

Didakwanya kembali seorang terpidana atas kejadian di waktu yang berbeda, terdapat pengaturan dalam Pasal 71 KUHP: "Jika seseorang setelah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama."

Namun kami berpendapat, Pasal 71 KUHP hanya berlaku dalam kasus perbuatan tindak pidana yang berbeda jenis delik dari yang telah diputus sebelumnya. Semisal bila tahun 2010 melakukan pencurian, namun tahun 2012 melakukan penganiayaan, dua karakter yang berbeda.

Meski antara "percobaan menggunakan surat palsu" dengan "menggunakan surat palsu" adalah dua peristiwa pidana yang berbeda, namun genusnya ialah delik yang sama, yakni sama-sama diatur dalam Pasal 263  Ayat (1) KUHP yang berbunyi: "Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun."

Tampaknya yang paling relevan ialah ketentuan Pasal 64 Ayat (1) KUHP: "Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat."

Perkara Anda tampaknya cukup kompleks, mengingat vonis yang pernah dijatuhkan ialah untuk tindak pidana tahun 2012 dimana Anda dikenakan pasal percobaan tindak pidana pemalsuan surat, sementara kini Anda menghadapi dakwaan pemalsuan surat tahun 2010. 

Jika sedari awal dalam tuntutan yang pertama kali Anda terima tidak memuat serta kejadian tahun 2010, maka vonis hukuman 2 tahun dari Majelis Hakim sebagai sanksi atas tindak pidana percobaan tampaknya belum mempertimbangkan delik pidana pada tahun 2010 tersebut, oleh sebab itu Jaksa Penuntut Umum tampaknya merasa perlu untuk kembali melakukan dakwaan kedua atas perbuatan tahun 2010.

Untuk dinyatakan sebagai satu perbuatan berlanjut sebagaimana Pasal 64 KUHP mengatur, tampaknya dakwaan terdahulu sudah terlanjut dijatuhkan vonis sebatas tindak pidana percobaan. Pasal 64 KUHP praktis hanya dapat digunakan bila dalam satu berkas dakwaan, meliputi suatu perbuatan berlanjut dalam rentang waktu yang telah ditentukan.

Kami asumsikan bahwa tuntutan yang Anda hadapi sebelumnya tidak menyertakan Pasal 64 KUHP. Oleh sebab itu jalan satu-satu bagi Jaksa Penuntut Umum untuk dapat dibenarkan kembali mendakwa Anda atas delik pada tahun 2010, maka Surat Dakwaan wajib menyertakan pula (juncto) Pasal 64 KUHP jo. Pasal 71 KUHP, sehingga majelis hakim dapat mempertimbangkan vonis yang telah dibebankan kepada Anda atas kejadian tahun 2012.
© Hak Cipta HERY SHIETRA. Budayakan hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.