KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Pengalihan Piutang dapat Dilakukan dengan Akta di Bawah Tangan maupun Akta Notaris

Question: Apakah cessie dan/atau subrogasi wajib dilakukan dengan akta notaris? Apa juga yang dimaksud dengan akta? Apa pula yang menjadi perbedaan antara cessi dan subrogasi?
Brief Answer: Dapat dilakukan dengan akta dibawah tangan, tidak diwajibkan berbentuk akta notariel, kecuali subrogasi yang dicetuskan oleh debitor. Meski demikian, untuk piutang dengan nominal besar, guna menghindari sengketa dikemudian hari dan demi kepastian hukum bagi debitor ketika hendak melunasi, patutlah sekiranya peralihan piutang itu dituangkan dalam bentuk akta otentik. Cessie ialah pengalihan “hak tagih”, sementara dalam subrogasi yang terjadi ialah pengalihan piutang. Pada prinsipnya sama, oleh karena tidak membuat suatu perbedaan apapun pada penghujungnya.
Explanation:  

Sebelumnya perlu SHIETRA & PARTNERS jelaskan perbedaan antara istilah “akta”, “non-akta”, dan “akta dibawah tangan”. Akta notariel tentunya telah dikenal oleh umum, yakni akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, atau oleh notaris (karena notaris itu sendiri menurut undang-undang, merupakan seorang pejabat umum yang berwenang memakai cap lambang negara dalam dokumen yang diterbitkannya). 
Sementara yang dimaksud dengan “akta” itu sendiri ialah karena sifatnya yang memang dari awal diperuntukkan sebagai alat pembuktian di pengadilan bila dikemudian hari terjadi sengketa. Sementara catatan-catatan semacam “surat cinta”, sedari awal memang bukan ditujukan untuk alat bukti di pengadilan, maka sifatnya ialah surat biasa (non-akta).
“Akta dibawah tangan” artinya akta yang dibuat bukan oleh pejabat negara ataupun notaris, misal direksi suatu perusahaan membuat risalah rapat. Sementara risalah lelang, misalkan, oleh karena diterbitkan oleh pejabat negara yang bertanda-tangan diatasnya, ia bersifat sebagai “akta otentik”. Konsekuensinya, karena akta diperuntukkan bagi alat pembuktian, maka ia wajib dibubuhi materai diatasnya, karena bila tidak, seandainya dikemudian hari benar-benar terjadi sengketa yang perlu dibawa ke ranah pengadilan, maka menurut ketentuan hukum materai yang berlaku saat tulisan ini disusun, terhadap alat bukti akta yang tidak bermaterai tersebut wajib dikenakan denda sebesar 200%. Misal jika materai Rp.6.000, maka dendanya ialah sebesar Rp.12.000;-. Namun, perlu dipahami bahwa tiadanya materai dalam akta bukan menjadikan akta tersebut tidak lagi diakui oleh hukum.

Pasal 1867 KUHPerdata: “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan.”

Pasal 1868 KUHPerdata: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.”

Pasal 1869 KUHPerdata: “Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak.”

Pasal 1870 KUHPerdata: “Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya.”

Pasal 1871 KUHPerdata: “Akan tetapi suatu akta otentik tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai penuturan belaka, kecuali bila yang dituturkan itu mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta. Jika apa yang termuat dalam akta itu hanya merupakan suatu penuturan belaka yang tidak mempunyai hubungan Iangsung dengan pokok isi akta, maka hal itu hanya dapat digunakan sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.”

Pasal 1872 KUHPerdata: “Jika suatu akta otentik, dalam bentuk apa pun, diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata.” Yang dimaksud dengan diduga palsu, ialah terkait perkara dalam ranah hukum pidana yang bisa saja berjalan pararel dengan perkara gugatan perdata. Dalam hukum acara perdata, hakim terikat prinsip kebenaran pembuktian formil, sehingga bukan pada tempatnya hakim dalam perkara perdata mempertanyakan kebenaran isi dari akta otentik. Kecuali dihadapkan dua buah akta otentik yang saling bertolak belakang, semisal SHM dengan dua nomor namun atas lokasi tanah yang sama, maka hakim pengadilan perdata tetap dapat membuktikan dengan sistem pembuktian materiel (tidak hanya formil belaka lagi.)

 Pasal 1874 KUHPerdata: “Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.”

Pasal 1874a KUHPerdata: “Jika pihak yang berkepentingan menghendaki, di luar hal termaksud dalam alinea kedua pasal yang lalu, pada tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, dapat juga diberi suatu pernyataan dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa si penanda tangan tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada si penanda tangan, dan bahwa setelah itu penandatanganan dilakukan di hadapan pejabat tersebut.” (inilah yang dimaksud dengan mengakta-otentikkan suatu akta di bawah tangan, semisal risalah Rapat Umum Pemegang Saham yang semua berbentuk akta di bawah tangan, kemudian oleh notaris dituangkan dalam bentuk suatu akta notariel. Sehingga model akta notaris atas keputusan RUPS suatu perseroan terbatas memiliki dua model: Pertama, notaris bersangkutan menghadiri RUPS dan menuangkan peristiwa dalam RUPS itu langsung dalam akta, atau mengakta-otentikkan suatu akta risalah yang dibawah tangan.)

Pasal 1875 KUHPerdata: “Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka; ketentuan Pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu.”

Pasal 1400 KUHPerdata: “Subrogasi atau perpindahan hak kreditur kepada seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditur, dapat terjadi karena persetujuan atau karena undang-undang.”

Pasal 1401 KUHPerdata: “Perpindahan itu terjadi karena persetujuan:
1. Bila kreditur, dengan menerima pembayaran dan pihak ketiga, menetapkan bahwa orang ini akan menggantikannya dalam menggunakan hak-haknya, gugatan-gugatannya, hak-hak istimewa dan hipotek-hipoteknya terhadap debitur; Subrogasi mi harus dinyatakan dengan tegas dan dilakukan bersamaan dengan waktu pembayaran.
2. Bila debitur menjamin sejumlah uang untuk melunasi utangnya, dan menetapkan bahwa orang yang meminjamkan uang itu akan mengambil alih hak-hak kreditur, agar subrogasi ini sah, baik perjanjian pinjam uang maupun tanda pelunasan, harus dibuat dengan akta otentik, dan dalam surat perjanjian pinjam uang harus diterangkan bahwa uang itu dipinjam guna melunasi utang tersebut; sedangkan dalam surat tanda pelunasan harus diterangkan bahwa pembayaran dilakukan dengan uang yang dipinjamkan oleh kreditur baru. Subrogasi ini dilaksanakan tanpa bantuan kreditur.
© Hak Cipta HERY SHIETRA. Budayakan hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.