Question:
Apakah terdapat batasan waktu bagi buruh atau karyawan dalam menunut hak
normatifnya seperti gaji dan pesangon setelah keluar dari tempatnya bekerja?
Brief Answer:
Ya, terdapat daluarsa atas hak buruh terkait hak-hak normatifnya, yakni 2 (dua)
tahun. Meskipun hukum perdata umum mengenal daluarsa hak selama 30 tahun, namun
karena regulasi ketenagakerjaan bersifat lebih spesifik, sesuai asas hukum lex spesialis derogat legi generalis,
maka yang berlaku ialah ketentuan hukum ketenagakerjaan yang membatasi tuntutan
hak buruh/karyawan atas gaji maupun hak normatifnya, sebatas 2 tahun setelah
hak tersebut timbul (bukan 2 tahun setelah tidak lagi bekerja pada suatu
tempat/perusahaan). Namun kaidah hukum demikian telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Perihal kadaluarsa hak normatif buruh, kembali pada pengaturan dalam KUHPerdata. Namun yang menjadi kendala utama dalam praktik ialah terkait "upah proses", dimana praktik banyak Pengadilan Hubungan Industrial hingga Mahkamah Agung RI pada praktiknya tidak saling seragam.
Explanation:
Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan: “Tuntutan pembayaran
upah pekerja / buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja
menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
timbulnya hak.”
Ketentuan dalam Pasal 96 UU 13/2003 telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi RI, sehingga tidak dapat lagi perusahaan menolak membayar hak normatif buruh / karyawan. Namun yang menjadi blunder saat kini, bagaimana dengan hak normatif pesangon berupa sekian kali upah, yang timbul akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sementara gugatan PHK dibatasi tempo waktu dengan ancaman kadaluarsa 1 (satu) tahun sejak terjadinya PHK? Itulah yang masih belum konsisten dalam praktik di Mahkamah Agung RI.
Permasalahan baru timbul, karena pasal dalam KUHPerdata justru menyatakan bahwa hak buruh untuk menagih upahnya hanya selama 1 tahun, justru lebih pendek dari UU Ketenagakerjaan. Disamping itu, apakah dengan dibatalkannya Ps 96 UU Ketenagakerjaan, mengakibatkan Pasal KUHPerdata dibawah ini hidup aktif kembali?
Pasal 1968 KUHPerdata: “Tuntutan para ahli dan pengajar
dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan, untuk pelajaran yang mereka
berikan dalam tiap-tiap bulan atau waktu yang lebih pendek; tuntutan para
pengusaha rumah penginapan dan rumah makan, untuk pemberian penginapan serta
makanan; tuntutan para buruh yang upahnya harus dibayar dalam bentuk uang
tiap-tiap kali setelah lewat waktu yang kurang dari satu triwulan, untuk
mendapat pembayaran upah mereka serta jumlah kenaikan upah itu menurut pasal
1602q; semua tuntutan ini kedaluwarsa dengan lewatnya waktu satu tahun.”
Pasal 1969 KUHPerdata: “Tuntutan para dokter dan ahli obat-obatan,
untuk kunjungan dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawatan dan pemberian
obat-obatan; tuntutan para juru sita, untuk upah mereka dalam memberitahukan
akta-akta dan melaksanakan tugas yang diperintahkan kepada mereka; tuntutan para pengelola sekolah-berasrama,
untuk uang makan dan pengajaran bagi muridnya; begitu pula tuntutan
pengajar-pengajar lainnya untuk pengajaran yang mereka berikan; tuntutan pada buruh, kecuali mereka yang
dimaksudkan dalam pasal 1968, untuk pembayaran upah mereka serta jumlah
kenaikan upah itu menurut pasal 1602q; semuanya kedaluwarsa dengan lewatnya waktu
dua tahun.”
Terhadap perusahaan yang lalai demikian, dapat dilakukan tuntutan baik secara pidana maupun perdata seesuai ketentuan sanksi dalam UU Ketenagakerjaan maupun UU Perdata dan Pidana pada umumnya.
Di sisi lain, hendaknya perusahaan segera melunasi segala gaji / upah buruh, karena bila buruh merasa sakit hati, mereka dapat saja menuntut upahnya 20 tahun kemudian, plus bunga dan "Upah Proses" sebagaimana kerap terjadi dalam praktik dan realita yang ada selama ini.
Dengan telah dibatalakannya ketentuan pasal Undang-Undang Ketenagakerjaan perihal kadaluarsa menuntut hak normatif buruh yang tertunggak, bila kita konsisten pada asas hukum umum bahwa bila lex spesialis gugur, maka lex generalis akan kembali bangkit, yang artinya KUHPerdata akan kembali bangkit menunjukkan supremasinya.
Dilematika terjadi, karena pengaturan dalam KUHPerdata perihal kadaluarsa menuntut hak buruh yang tertunggak, sama atau bahkan lebih buruk dari pengaturan dalam UU Ketenagakerjaan.
Oleh karenanya, kaum buruh/pekerja hendaknya tidak berbesar hati terlebih dahulu atas Putusan MK RI yang senyatanya cukup dilematis demikian, akibat Negara Kesatuan Republik Indonesia masih mengadopsi produk hukum KUHPerdata yang merupakan peninggalan Kolonial Belanda.
Dengan telah dibatalakannya ketentuan pasal Undang-Undang Ketenagakerjaan perihal kadaluarsa menuntut hak normatif buruh yang tertunggak, bila kita konsisten pada asas hukum umum bahwa bila lex spesialis gugur, maka lex generalis akan kembali bangkit, yang artinya KUHPerdata akan kembali bangkit menunjukkan supremasinya.
Dilematika terjadi, karena pengaturan dalam KUHPerdata perihal kadaluarsa menuntut hak buruh yang tertunggak, sama atau bahkan lebih buruk dari pengaturan dalam UU Ketenagakerjaan.
Oleh karenanya, kaum buruh/pekerja hendaknya tidak berbesar hati terlebih dahulu atas Putusan MK RI yang senyatanya cukup dilematis demikian, akibat Negara Kesatuan Republik Indonesia masih mengadopsi produk hukum KUHPerdata yang merupakan peninggalan Kolonial Belanda.
Sumber referensi: Putusan MK PUTUSAN Nomor 100/PUU-X/2012.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA. Budayakan hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak
Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.