Question:
Siapakah yang harus membuktikan suatu dalil atas suatu hak? Tentunya sukar
sukali membuktikan adanya itikad baik sementara saya dijadikan tergugat, maka
siapa yang sebetulnya harus membuktikan?
Brief Answer:
Dalam hukum perdata, siapa yang mendalilkan, maka ia yang harus membuktikan, meski dalam praktiknya tidak terdapat garis embarkasi sedemikian kentara.
Itikad baik tergugat selalu dianggap ada, selama penggugat tidak mampu
membuktikan adanya unsur itikad tidak baik dari tergugat. Begitupun dalam
pidana, Jaksa Penuntut Umum (JPU) memiliki beban pembuktian yang diarahkan
kepada JPU itu sendiri untuk menghadirkan bukti dan saksi apakah terdakwa benar
telah melakukan tindak pidana. Namun khusus untuk tindak pidana korupsi,
kolusi, dan nepotisme, maka beban pembuktian yang diterapkan hakim dalam
pengadilan tindak pidana korupsi, ialah pembuktian terbalik secara terbatas,
dalam arti terdakwa tipikor itu sendiri yang harus membuktikan bahwa
kekayaannya adalah bersih karena bersumber dari pendapatan yang bersih. Yang
paling ekstrim dari kesemua itu ialah UU Pencucian Uang yang kini seringkali
dipakai secara berpasangan dengan UU Tipikor oleh hakim Pengadilan Tipikor.
Explanation:
Pasal
1965 KUHPerdata: “Itikad baik harus selalu dianggap ada, dan
barangsiapa mengajukan tuntutan atas dasar itikad buruk, wajib membuktikannya.”
Pasal
572 KUHPerdata: “Setiap hak milik harus dianggap bebas.
Barangsiapa menyatakan mempunyai hak atas barang orang lain, harus membuktikan
hak itu.”
Pasal
1865 KUHPerdata: “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu
hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk
membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian
yang dikemukakan itu.”
Pasal 37 A Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami,
anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya,
maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat
alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Ketentuan mengenai beban pembuktian
terbalik (secara terbatas, karena Jaksa Penuntut Umum pun diwajibkan untuk
membuktikan, serta penerapannya yang hanya terbatas di tingkat dakwaan di
hadapan pengadilan) dalam perkara korupsi di atas bersifat spesialis (menyimpangi)
ketentuan dalam hukum acara pidana umum yang dalam Pasal 66 KItab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa: “Tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian.”
(penjelasan Pasal 66: “Ketentuan ini
adalah penjelmaan dari asas "praduga tak bersalah”)
Pasal 19
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (UU
Perlindungan Konsumen):
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau
setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7
(tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.Pasal 20 UU
Perlindungan Konsumen: “Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan
yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.“
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut
merupakan kesalahan konsumen.
Pasal
21 UU Perlindungan Konsumen:
(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang
diimpor apabila importasi barang
tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing
apabila penyediaan jasa asing tersebut
tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
Pasal
22 UU Perlindungan Konsumen:
“Pembuktian terhadap ada tidaknya
unsur kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha tanpa
menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.”
Pasal
23 UU Perlindungan Konsumen:
“Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak
memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1),ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),
dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke
badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.“
Pasal
88 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya,
dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
“
(penjelasan Pasal 88 UU Lingkungan Hidup:
“Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab
mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan
oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini
merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada
umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau
perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas
tertentu.”
Yang paling ekstrim dari kesemua
ketentuan hukum diatas dapat kita temui pada:
Pasal
77 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (UU Pencucian Uang): “Untuk
kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa
Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.”
Pasal
78 UU Pencucian Uang:
(1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta
Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan
perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA. Budayakan hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak
Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.