Somasi dan Wanprestasi (Ingkar-Janji) dalam Hukum Perdata

Question: Apakah untuk terpenuhinya kriteria cidera janji (wanprestasi, default ) dalam suatu hubungan kontraktual dipersyaratkan adanya somasi atau surat teguran untuk itu?
Brief Answer: Tidak ada kesatuan jawaban untuk setiap perkara. Secara singkat, bila dalam kontrak perjanjian telah dinyatakan dengan tegas dan terang bahwa dengan lewatnya jangka waktu perikatan untuk melakukan, untuk tidak melakukan, dan/atau menyerahkan sesuatu tidak dipenuhi sebagaimana mestinya, maka dengan lewatnya jangka waktu itu sudah merupakan bukti wanprestasi itu sendiri tanpa perlu lagi ditegaskan dalam somasi, karena dalam kasus ini somasi hanyalah bentuk/upaya baik-baik menyelesaikan permasalahan. Namun, bila topik permasalahan adalah seputar perjanjian kredit yang diikat hak jaminan kebendaan, untuk mengeksekusi agunan tersebut di kantor pelelangan umum dipersyaratkan adanya minimum 3 buah surat somasi (dimana kebiasaan pada umumnya memberikan jeda waktu 1 minggu untuk masing-masing somasi). Khusus untuk kontrak selain perjanjian kredit dengan pengikatan atas agunan, guna menghindari multitafsir atas wajib atau tidaknya dilayangkan somasi, dalam kontrak dapat ditambahkan satu klausul yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut: “Bila salah satu Pihak tidak melaksanakan perikatan dalam Perjanjian ini sebagaimana mestinya sebagaimana telah diatur dengan tegas dalam Perjanjian ini, maka dengan seketika dan sendirinya telah termasuk wanprestasi/cidera janji tanpa perlu dipersyaratkan adanya somasi untuk itu.”

Explanation:
Pasal 1243 KUHPerdata:Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.”
Bila melihat ketentuan pasal diatas, tampak seolah somasi adalah keharusan.

Pasal 1244 KUHPerdata : “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”
Namun bila mencermati Pasal 1244 KUHPerdata tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan secara implisit, kriteria wanprestasi muncul secara seketika dan otomatis atau sendirinya dengan tidak dipenuhinya perikatan (definisi perikatan dalam hukum perdata dapat ditemui dalam Pasal 1234 KUHPerdata: “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”)

Pasal 1245 KUHPerdata :Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.” Tidak terdapat persyaratan untuk mengartikan somasi yang dilanggarlah awal mula atau titik start terjadinya cidera janji, namun pelanggaran (sengaja maupun lalai) yang bersifat nyata atas isi kontrak (Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan, bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Maka, bila disamakan sebagai undang-undang, somasi bukanlah syarat.) dengan sendirinya adalah cidera janji (wanprestasi, default ).

Pasal 1246 KUHPerdata : Biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya, tanpa mengurangi pengecualian dan perubahan yang disebut di bawah ini.”

Merujuk pada keempat pasal hukum perdata diatas, tampaknya tanggung jawab hukum secara logikalah yang perlu dikedepankan, sebagaimana uraian berikut ini secara teoretis.

-       Seorang kreditur tidak perlu mengajukan somasi apabila debitur menolak pemenuhan prestasinya, sehingga kreditur boleh berpendirian bahwa dalam sikap penolakan demikian suatu somasi tidak akan menimbulkan suatu perubahan (HR 1-2-1957).
-       Somasi diperlukan untuk terjadinya wanprestasi alasannya sebagai berikut: bahwa pada kebanyakan perikatan yang tidak menunjuk suatu jangka waktu tertentu, tapa somasi debitur dianggap memenuhi prestasi tidak tepat pada waktunya. Bahkan bilamana tidak ditetapkan waktu terakhir untuk memenuhi prestasinya, maka harus diterima bahwa kreditur dapat meneriuma prestasinya setiap waktu dan waktu tersebut dapat diukur sampai kapan saja, tanpa adanya wanprestasi. (Marthalena Pohan, Wanprestasi (1989); sebagaimana dikutip oleh: Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan yang Lahir dari Hubungan Kontraktual, Cetakan Pertama, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), hlm. 35.) à dapat ditafsirkan secara a contrario, bila dalam kontrak telah ditentukan jangka waktu secara ketat dan tegas, maka tiada lagi alasan untuk adanya somasi yang mendahului wanprestasi.
-       Somasi tidak diperlukan untuk menentukan syarat wanprestasi dalam hal: (Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan yang Lahir dari Hubungan Kontraktual, Cetakan Pertama, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), hlm. 36—37)
·       apabila dalam perikatan itu sudah ditentukan jangka waktunya;
·       apabila dalam perikatan terkandung sifat perikatan, misalnya dengan “dwangsom”;
·       apabila prestasi itu hanya mempunyai arti, jika dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan (Pasal 1243 KUHPerdata);
·       apabila debitur melakukan perbuatan yang  bertentangan dengan kewajibannya;
·       apabila debitur menolak untuk melakukan prestasi (tidak mengaku adanya perikatan) dan kreditur dapat menerima, bahwa suatu somasi tidak akan membawa perubahan; apabila debitur mengakui sendiri bahwa ia wanprestasi;
·       apabila debitur tidak memprestir sebagaimana mestinya (niet behoorlijk gepresteerd), maka tanpa somasi ganti rugi dapat dituntut.

Sehingga, pada dasarnya somasi tidak dibutuhkan sepanjang terdapat 2 (dua) syarat:
-       isi perikatan dalam perjanjian telah mengatur batas waktu perikatan dengan tegas dan jelas;
-       bila ketentuan hukum spesifik di suatu bidang tidak mengatur lain. Contoh, berdasarkan Pasal 6 Ayat (5) Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor PER-03/KN/2010 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang, diatur bahwa Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) salah satu pra-syaratnya ialah adalahnya salinan/fotokopi bukti bahwa debitor wanprestasi, berupa peringatan-peringatan maupun pernyataan dari pihak kreditor.
Pada dasarnya tidak ada hukum yang mengatur bahwa somasi harus sebanyak maksimum 3 (kali) sebelum benar-benar dianggap tidak beritikad baik. Namun, praktik serta kebiasaan menggunakan toleransi/kebijaksanaan 3 (kali) somasi sebagai kelonggaran waktu, yang dalam hemat penulis tidak dapat diartikan sebagai imperatif harus sebanyak 3 (tiga) kali. Sehingga somasi sebanyak 1 (satu) kali saja sebetulnya sudah cukup, untuk mengingatkan pihak lain bahwa mereka lalai menghormati isi dalam kesepakatan; bilamana somasi demikian (meski hanya satu kali somasi) tidak diindahkan, sebetulnya sudah dapat ditarik bukti persangkaan bahwa pihak lain tersebut memang tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakan dan tunduk pada kontrak sebagaimana mestinya, terlebih bila perikatan dalam kontrak adalah perihal untuk “tidak berbuat sesuatu” namun secara senyatanya “sesuatu tersebut tetap dibuat”.
© Hak Cipta HERY SHIETRABudayakan hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.