Pejabat Tata Usaha Negara yang Tidak Tunduk pada Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

Question: Apa yang akan terjadi bila Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN) tidak tunduk dan tidak patut atau tidak menjalankan isi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)? Kapankah warga negara atau suatu badan hukum perdata di Indonesia dapat mengajukan gugatan kepada pejabat tata usaha negara atas keputusan yang sumir atau tidak ada kepastian tanggapan/keputusannya, alias tidak memberi tanggapan ataupun tindak lanjut?
Brief Answer: Apabila setelah 60 hari kerja putusan PTUN yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima tergugat (dalam hal ini Pejabat TUN) tidak melaksanakan isi putusan untuk mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan;, Keputusan TUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Sementara dalam hal pejabat tergugat ditetapkan harus mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan dan disaat bersamaan menerbitkan Keputusan TUN yang baru, atau penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 UU PTUN dan kemudian setelah 90 hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua PTUN yang mengadili, agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan TUN.

Explanation:

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Gugatan (tata usaha negara) adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan.

Tergugat (tata usaha negara) adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Untuk itu sebelumnya perlu diterangkan bahwa, antara gugatan perdata dengan gugatan Tata Usaha Negara (TUN) adalah dua ranah yurisdiksi (kewenangan mengadili) yang saling berbeda. PTUN tidak memiliki kewenangan mengadili sengketa kepemilikan, namun semata berfokus pada memeriksa dan mengadili sengketa TUN, yakni keabsahan produk dari para pejabat TUN itu sendiri dalam hubungannya dengan warga negara yang merasa tidak diberikan pelayanan sebagaimana mestinya.

Pasal 116 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA (UU PTUN), mengatur:
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
(7) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 97 Ayat (9) UU PTUN: “Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa:
a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau
b. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
c. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.”

Pasal 3 UU PTUN:
(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat(2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak di terimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.


Note SHIETRA & PARTNERS: Sebagai update terhadap artikel tersebut diatas, telah terbit Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang telah merubah beberapa ketentuan mengenai UU PTUN, antara lain keputusan "fiktif negatif" kini bersifat "fiktif positif" dalam arti bila Pejabat TUN tidak menerbitkan suatu keputusan meski hal tesebut menjadi kewajiban jabatannya, maka diartikan pejabat tersebut dianggap "mengabulkan" permohonan warga negara, bukan lagi dianggap "menolak" karena diamnya atau abainya Pejabat TUN dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara.
Namun yang patut  disayangkan, UU Nomor 30 Tahun 2014 tidak membuat kaiah baru agar "uang paksa" bila pejabat yang bersangkutan tidak mau melaksanakan dan tunduk pada putusan PTUN, maka yang paksa akan disamakan dengan hutang sang pribadi yang menjabat, bukan menjadi hutang jabatan.
Dalam praktik, selama ini pejabat penerbit KTUN tetap tidak tunduk terhadap putusan PTUN, meski pula telah dibebankan "uang paksa", karena dinilai "uang paksa" tersebut dibebankan pada anggaran Pemerintah Daerah (Pemda) tempat pejabat tersebut menjabat. Jika Undang-Undang menegaskan secara konkret bahwa "uang paksa" tersebut menjadi beban hutang individu pribadi sang pejabat, maka pastilah pejabat yang bersangkutan akan tunduk pada isi putusan PTUN.
© Hak Cipta HERY SHIETRA. Budayakan hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.