Question:
Bagaimana langkah hukum (pemulihan hak) yang dapat ditempuh bila putusan
serta-merta pihak penggugat dikabulkan dan telah dieksekusi, namun pada
akhirnya putusan serta-merta tersebut dibatalkan?
Answer:
Terhadap putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu meski terhadap putusan pengadilan tingkat pertama tersebut dilakukan banding, perlawanan, maupun kasasi oleh pihak yang dikalahkan, diistilahkan sebagai putusan serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad). Artinya, putusan yang dijatuhkan dapat langsung dieksekusi, meskipun putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bila objek sengketa dalam perkara perdata (gugatan) tersebut masih dalam penguasaan Penggugat (dalam hal ini pemohon eksekusi lewat putusan serta-merta yang dikabulkan hakim) dan belum berpindah kepemilikan secara de jure (secara yuridis) kepada pihak ketiga, maka pemulihan dilakukan secara langsung dan tidak perlu ada gugatan baru dari Tergutgat (Termohon Eksekusi) baik peralihan tersebut dilakukan secara sukarela oleh Penggugat ataupun dengan eksekusi paksa.
Namun apabila objek sengketa telah beralih kepada pihak ketiga dengan alas hak (dasar hukum pengadilan hak) yang sah, maka pemulihan dari pihak ketiga tersebut harus melalui gugatan via pengadilan. Itulah sebabnya putusan serta-merta sangat jarang kabulkan oleh pengadilan, karena mekanisme pemulihan dan pembatalannya yang beresiko tinggi.
Perlu ditegaskan, pembeli (pihak ketiga) diatas yang bertiikad baik tidak dapat diganggu-gugat, sehingga bila objek sengketa telah berpindah tangan, maka gugatan yang diajukan ialah gugatan ganti-rugi, karena bentuk gugatan lain seperti pengembalian objek sengketa kepada penguasaan tergugat, adalah kurang mendukung dari segi preseden putusan pengadilan yang telah ada (yurisprudensi).
Untuk itu itulah Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 2000 jo. SEMA No.4 Tahun 2001 menegaskan syarat putusan serta-merta, selain telah mendapat izin dari Ketua Pengadilan Tinggi, juga sebelum melaksanakan eksekusi diwajibkan untuk memberikan jaminan dari pihak pemohon eksekusi paling minimum senilai harga yang sama dengan nilai objek sengketa.
Dikarenakan resiko dikabulkannya putusan serta-merta yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, mengingat putusan hakim pengadilan tingkat pertama tersebut dapat dibatalkan oleh hakim pengadilan tinggi maupun kasasi, maka tidak mengherankan berkembang wacana untuk menghapus lembaga hukum putusan serta-merta.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.6 Tahun 1975, tanggal 1 Desember 1975 jo. SEMA No.3 Tahun 1978, tanggal 1 April 1978 yang secara jelas menginstruksikan kepada Ketua/Hakim Pengadilan Negeri seluruh Indonesia agar tidak menjatuhkan Putusan Serta Merta walaupun syarat-syarat dalam Pasal 180 ayat (1) HIR (Kitab Hukum Acara Perdata) atau Pasal 191 ayat (1) RBg telah dipenuhi, kecuali “dalam hal-hal tidak dapat dihindarkan”.
SEMA No.3 Tahun 2000, mensyaratkan beberapa unsur untuk dapat dikabulkannya permohonan suatu putusan serta merta (uitvoerbaar bij vooraad), yaitu:
a.
Gugatan
didasarkan pada bukti surat otentik atau surat tulisan tangan yang tidak
dibantah kebenarannya tentang isi dan tandatangannya, yang menurut
undang-undang mempunyai kekuatan bukti;
b.
Gugatan
tentang hutang-piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah;
c.
Gugatan
tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain, dimana hubungan
sewa-menyewa sudah habis/lampau, atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya
sebagai penyewa yang beritikad baik;
d.
Pokok-pokok
gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-gini) setelah
putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
e.
Dikabulkannya
gugatan provisional, dengan pertimbangan hukum yang tetap (inkracht van gewijdsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok perkara
gugatan diajukan;
f.
Pokok sengketa mengeni bezitsrecht.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA. Budayakan
hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak
Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.