Answer:
Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan, yang
dimaksudkan dengan prestasi ialah: “Perikatan
ditujukan untuk memberikan sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.” Maka dalam
suatu kontrak, dapat terkandung satu atau bahkan ketiga unsur perbuatan
tersebut diatas.
Wanprestasi timbul karena tidak
dipenuhinya perjanjian (ingkar janji), yakni:
-
Tidak
melakukan apa yang ia sanggupi akan dilakukannya (tidak memenuhi seluruh
perjanjian);
-
Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan (contoh: hanya
memenuhi sebagian isi perikatan);
-
Melakukan
apa yang dijanjikan, tetapi terlambat;
-
Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Pada praktiknya, dalam kontrak biasanya dicantumkan
klausul yang menyebutkan bahwa pemutusan kontrak dapat dilakukan secara sepihak
bila hanya terjadi pelanggaran kontrak yang bersifat substansial, sehingga bila
pihak lain hanya abai untuk sedikit hal, maka hal demikian tidak dapat menjadi
alasan untuk membatalkan kontrak.
Juga dapat ditentukan dalam kontrak,
bahwa terhadap toleransi yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam
kontrak, tidak diartikan toleransi demikian akan dapat diterima atas
pelanggaran serupa di kemudian hari.
Yang penting untuk digaris bawahi atas
ketetuan wanprestasi, ialah kedua pasal KUHPerdata berikut:
-
Pasal 1244: “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan
bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu
atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh
sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya.
walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”
-
Pasal 1245:
“Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan
memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk
memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan
yang terlarang baginya.”
Sementara kapan wanprestasi ditentukan
kejadiannya, diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata: “Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta
sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila
perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu
yang ditentukan.” Ketentuan tersebut adalah ganjil dan janggal, karena bila
isi kontrak terlanggar, maka saat itulah terjadinya wanprestasi, tanpa perlu
terlebh dahulu dilayangkan surat teguran (somasi); kecuali bila perikatan terjadi karena perjanjian tidak tertulis barulah
somasi dibutuhkan untuk menetukan kapan mulai terjadinya wanprestasi.
Wanprestasi dikatakan baru terjadi ketika
pihak pelanggar dinyatakan lalai (ingebreeke)
menurut pasal diatas, mengandung konsekuensi somasi adalah wajib (biasanya
dilakukan 3 kali dengan masa jeda antara satu somasi dengan somasi berikutnya
ialah 7 x 24 jam. Meski ketentuan demikian adalah janggal, namun dalam praktiknya
somasi tetap dipersyaratkan untuk melakukan perbuatan hukum gugatan perdata
maupun eksekusi. Contoh, dalam lelang eksekusi Hak Tanggungan, menurut
ketentuan yang berlaku, kreditor wajib menyampaikan somasi minimum 3 (tiga)
kali atas wanprestasi debitor. Berikut latar belakang dikenalnya lembaga hukum
yang bernama somasi:
“Somasi diperlukan untuk terjadinya wanprestasi alasannya sebagai
berikut: bahwa pada kebanyakan perikatan yang tidak menunjuk suatu jangka waktu
tertentu, tapa somasi debitur dianggap memenuhi prestasi tidak tepat pada
waktunya. Bahkan bilamana tidak ditetapkan waktu terakhir untuk memenuhi
prestasinya, maka harus diterima bahwa kreditur dapat meneriuma prestasinya
setiap waktu dan waktu tersebut dapat diukur sampai kapan saja, tanpa adanya
wanprestasi.”
(Marthalena Pohan, Wanprestasi
(1989); sebagaimana dikutip oleh: Yahman, Karakteristik
Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan yang Lahir dari Hubungan Kontraktual,
Cetakan Pertama, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), hlm. 35.)
“Untuk menghentikan debitur dalam menunda-nunda pemenuhan
kewajiban prestasinya agar tidak bertentangan dengan kehendak debitur;
undang-undang memberikan suatu upaya untuk
mengingatkan debitur akan waktu terakhir untuk pemenuhan itu dengan
somasi dan sebagai pemberitahauan akan ganti rugi, apabila ia tidak
memperhatikan jangka waktu tersebut.”
(Ibid, hlm. 35—36.)
Somasi tidak diperlukan untuk menentukan
syarat wanprestasi dalam hal: (Yahman, Karakteristik
Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan yang Lahir dari Hubungan Kontraktual,
Cetakan Pertama, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), hlm. 36—37)
-
apabila dalam perikatan itu sudah
ditentukan jangka waktunya;
-
apabila dalam perikatan terkandung sifat
perikatan, misalnya dengan “dwangsom”;
-
apabila prestasi itu hanya mempunyai
arti, jika dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan (Pasal 1243 KUHPerdata);
-
apabila debitur melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan kewajibannya;
-
apabila debitur menolak untuk melakukan
prestasi (tidak mengaku adanya perikatan) dan kreditur dapat menerima, bahwa
suatu somasi tidak akan membawa perubahan; apabila debitur mengakui sendiri
bahwa ia wanprestasi;
-
apabila debitur tidak memprestir
sebagaimana mestinya (niet behoorlijk gepresteerd), maka tanpa somasi ganti
rugi dapat dituntut.”
Seorang kreditur tidak perlu mengajukan
somasi apabila debitur menolak pemenuhan prestasinya, sehingga kreditur boleh
berpendirian bahwa dalam sikap penolakan demikian suatu somasi tidak akan
menimbulkan suatu perubahan (HR 1-2-1957)
Logika pasal kewajiban somasi adalah
tidak logis, karena somasi dilayangkan atas dasar wanprestasi yang penerima
somasi lakukan, jadi bukan wanprestasi baru terjadi saat pihak tersebut tidak
mengindahkan somasi. Namun sekali lagi, praktik hukum perdata di Indonesia masih
mensyaratkan somasi sebelum mengajukan gugatan ataupun eksekusi. Untuk itu,
somasi dapat tetap kita layangkan guna “mengetuk” itikad baik dari pihak yang
wanpretasi.
Sementara akibat dari wanprestasi itu
sendiri diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata: “Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu,
wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi
kewajibannya.” Meski dalam praktikknya kerugian menjadi ranah perdata gugatan
Perbuatan Melawan Hukum (Tortious
Liability), sementara untuk gugatan wanprestasi (Contractual Liability) yang menjadi unsur ialah
hukuman untuk melunasi pokok hutang, denda, serta bunga.
Elemen “denda” dan “bunga” dalam kontrak
penting untuk dperhatikan, karena bila tidak maka sekalipun pihak pelanggar
kontrak telah melakukan pelanggaran berat dalam kontrak, akan sulit meminta hukuman
atas “denda” dan “bunga” semisal dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan untuk
dipenuhi pelunasannya terlebih dahulu, kecuali bila seorang pemegang Hak
Tanggungan (baik perorangan maupun badan hukum) merujuk kepada yurisprudensi MA
RI No.101076 K/Sip/1996 yang menyatakan bahwa meski telah diatur ataupun tidak
diatur besaran bunga dalam kontrak, maka yang berlaku ialah suku bunga kredit
yang berlaku di negara Republik Indonesia.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak
Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.