Arbitrase Memiliki Kompetensi Absolut untuk Mengadili Gugatan Perbuatan Melawan Hukum antara Para Pihak yang Tunduk dalam Perjanjian Arbitrase

Question: Apakah dalam suatu perjanjian yang di dalamnya tertuang arbitrase sebagai pilihan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul hanya berlaku untuk sengketa yang didasarkan pada sengketa wanprestasi ataukah juga ketentuan yurisdiksi arbitrase berlaku pula bagi gugatan “Perbuatan Melawan Hukum” (PMH) bagi pihak dalam perjanjian tersebut?
Brief Answer: Ya, tetap menjadi kompetensi absolut dari arbitrase untuk memeriksa dan memutus gugatan PMH demikian. Untuk itu perlu ditegaskan dalam perjanjian, arbitrasi dipilih hanya untuk sengketa wanprestasi, sementara untuk sengketa PMH maka dipilih pengadilan negeri Jakarta, sebagai contoh.
Explanation:

Petunjuk Mahkamah Agung Berkaitan dengan persoalan teknis-yudisial yang telah dirumuskan dalam Rakernas Denpasar September 2005, dalam Bagian I mengenai Kompetensi Absolut, disebutkan bahwa: “Pengadilan Negeri / Umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara yang para pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase, walaupun hal tersebut didasarkan pada gugatan perbuatan melawan hukum.”

Maka, petunjuk MA demikian diatas merupakan ketentuan yang menutup peluang bagi penggugat untuk menggugat atas dasar PMH yang dilakukan tergugat ke hadapan Pengadilan Negeri bila dalam surat perjanjian perdata (kerja sama, sewa-menyewa, hutang-piutang, dsb) untuk masalah sengketa telah dipilih arbitrase untuk memeriksa dan memutus.

Sebenarnya, ketentuan demikian adalah janggal, dikarenakan suatu gugatan wanprestasi didasarkan pada kontrak, dimana pilihan forum (choise of forum) ialah arbitrase, maka terkait sengketa atas perjanjian yang tidak berjalan sebagaimana mestinya (default, atau wanprestasi), maka para pihak harus tunduk pada ketentuan arbitrase-lah satu-satunya lembaga yang berwenang mengadili (yurisdiksi kompetensi absolut).

Sementara, yang dimaksud dengan gugatan berdasarkan “perbuatan melawan hukum” (PMH, atau dikenal juga dengan istilah Tortious Liability), maka dasarnya bukanlah perjanjian tersebut, namun perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang hukum keperdataan (KUHPerdata dan segala undang-undang turunan lex spesialisnya) maupun bertentangan dengan kepatutan, kesusilaan dan moralitas yang tidak diatur dalam perjanjian itu sekalipun (lihat Arest Hoge Raad 1919 Lindebaum Vs. Cohen).

Maka adalah ganjil bila Pengadilan Negeri (PN) tidak menerima gugatan PMH atas dasar pertimbangan bahwa pilihan sengketa dalam perjanjian antara penggugat dan tergugat jauh hari sebelumnya memilih arbitrase sebagai kompetensi absolutnya.

Untuk menghindari keganjilan demikian, untuk mempertegas, dapat ditambahkan dalam klausul perjanjian, bahwa untuk sengketa terkait perjanjian, maka dipilihlah arbitrase untuk memutus, namun untuk sengketa terkait perbuatan melawan hukum atau yang diluar sangkut-paut perikatan dalam perjanjian maka yang dipilih ialah Pengadilan Negeri, sebagai contoh, bila tidak ingin kedua jenis gugatan tersebut hanya dapat diperiksa dan diputus oleh arbitrase.

Namun, perlu diingat, tak semua pilihan hukum dapat ditangani oleh abitrase. Semisal Badan Abritase Nasional Indonesia (BANI), bila Anda memilih hukum yang menafsirkan dan mengatur adalah hukum Jepang, sebagai contoh, tetap saja BANI tidak memiliki Arbiter yang memahami hukum Jepang. Jadi, bijaklah dalam memilih hukum yang mengatur para pihak dalam perjanjian.

Hendaknya kita tidak memaksakan hukum, bila kita tidak ingin "dijauhi" oleh hukum. Sesuai perikatan dan hubungan bisnis dengan hukum yang ada dan karakteristik negara tempat bisnis akan dijalankan, ketimbang memaksakan untuk memberlakukan hukum dari negara tempat asal sang investor asing.
© Hak Cipta HERY SHIETRABudayakan hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.