LEGAL OPINION KEPAILITAN DAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
Bagaimanakah kedudukan kreditor separatis pemegang hak jaminan yang diagunkan terhadap debitor pailit?
PENDAHULUAN
Pailit merupakan
lembaga hukum guna “penyitaan umum” terhadap seluruh kekayaan badan
hukum atau subjek hukum orang yang dinyatakan gagal bayar terhadap 2 (dua) atau
lebih kreditor, dimana debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Penetapan pailit bersifat “serta-merta”,
dalam arti dapat dijalankan meski sedang diajukan Kasasi maupun Peninjauan
Kembali. Dalam pailit, terjadi proses pemberesan hutang-piutang oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.
Tujuan utama penetapan pailit oleh pengadilan, baik atas permohonan
debitor itu sendiri maupun oleh kreditornya, ialah guna pencairan (penjualan)
terhadap harta kekayaan debitor pailit untuk membayar seluruh utang debitor
pailit tersebut secara proporsional dan sesuai dengan struktur (kedudukan) kreditor.
Namun, meski telah terdapat ketentuan hukum yang mengatur, ketentuan
hukum kepailitan bersifat multitafsir dan terdapat berbagai zona abu-abu dalam implementasinya.
KRITERIA
KREDITUR:
Terdapat
beberapa jenis kreditor yang dikenal dalam hukum kepailitan, yakni:
I.
Kreditor Konkuren. Dalam lingkup kepailitan, yang dapat digolongkan sebagai
kreditor konkuren (unsecured creditor) adalah kreditor yang piutangnya
tidak dijamin dengan hak kebendaan (security right in rem) dan sifat
piutangnya tidak dijamin sebagai piutang yang diistimewakan oleh undang-undang.
Singkatnya, kreditor konkuren ialah kreditor yang harus berbagi dengan para
kreditor konkuren lainnya secara proporsional, yakni menurut perbandingan
besarnya tagihan masing-masing dari hasil penjualan harta kekayaan debitor yang
tidak dibebani dengan hak jaminan (semacam Hak Tanggungan maupun Fidusia).
II.
Kreditor Preferen. Kreditor ini masuk dalam golongan secured creditors karena semata-mata sifat piutangnya
oleh undang-undang diistimewakan untuk didahulukan pembayarannya. Kreditor
preferen berada diurutan atas untuk didahulukan sebelum kreditor konkuren atau unsecured creditors lainnya. Utang debitor pada kreditor
preferen memang tidak diikat dengan jaminan kebendaan, tapi undang-undang
mendahulukan mereka dalam hal pembayaran, misal kepada pegawai atau pajak. Oleh
karena itu jika debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka prosedur
pembayaran terhadap kreditor preferen sama seperti kreditor konkuren, yakni
dengan cara memasukkan tagihannya kepada kurator untuk diverifikasi dan
disahkan dalam rapat verifikasi.
III.
Kreditor Separatis. Kreditor jenis ini diistimewakan karena didahulukan
diantara para kreditor yaitu kreditor yang memiliki hak istimewa (kreditor
preferen) dan kreditor pemegang hak jaminan atas kebendaan seperti gadai,
hipotik, hak tanggungan, maupun fidusia.
Sebenarnya
Kreditor Separatis juga merupakan Kreditor Preferen, hanya saja kelebihannya
ialah jaminan pelunasan hutang diikat dengan agunan/jaminan milik
debitor/penjamin hutang. Disebutkan “separatis”(pemisahan), karena kedudukan
kreditor tersebut dipisahkan dari kreditor lainnya, dalam arti ia dapat menjual
sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan yang terpisah dengan harta
pailit pada umumnya (namun ketentuan demikian diamputasi oleh UU Kepailitan,
dimana setelah masa insolvensi maka kedudukan separatis demikian menjadi tidak
lagi dapat dipakai kreditor).
Istilah
lainnya ialah ia merupakan kreditor pemegang hak jaminan yang memiliki hak
preferen sekaligus sebagai kreditor separatis, karena dalam sudut pandang ini
terdapat dua kategori: kreditor yang piutangnya dijamin dengan suatu agunan,
dan kedudukannya yang didahulukan dalam pemenuhan piutangnya.
Sehingga,
baik dalam hukum perdata maupun hukum kepailitan, dikenal 3 jenis istilah
kreditor, yakni kreditor konkuren, kreditor preferen, dan kreditor separatis.
Bandingkan dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berikut::
Pasal 1131: “Segala
barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada
maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan
debitur itu.” (kreditor konkuren)
Pasal 1132: “Barang-barang
itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil penjualan
barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali
bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.” (kreditor preferen)
Pasal 1133: “Hak
untuk didahulukan di antara para kreditur bersumber pada hak istimewa, pada
gadai dan pada hipotek. Tentang gadai dan hipotek dibicarakan dalam Bab 20 dan
21 buku ini.”
Pasal 1134: “Hak
istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang
kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya,
semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi
daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan
kebalikannya.” (kreditor separatis)
Pasal 1135: “Antara
pihak-pihak kreditur yang mempunyai hak didahulukan, tingkatannya diatur
menurut sifat hak didahulukan mereka. “
Pasal 1136: “Para
kreditur dengan hak didahulukan yang mempunyai tingkatan sama, dibayar secara
berimbang.” (kecuali pemengang hak
tanggungan peringkat II, maka yang didahulukan ialah pemegang hak tanggungan
peringkat I, karena atas satu objek tanah dapat dibebani dua atau lebih hak
tanggungan, kecuali dalam akta kredit ditentukan lain.)
Sehingga
bila melihat jenjang hierarkhinya, Kreditor Separatis oleh karena sifatnya yang
berdiri sendiri, maka memiliki kedudukan yang paling tinggi, lebih tinggi
daripada kreditor yang diistimewakan lainnya, sehingga dapat mengeksekusi hak
mereka seolah-olah “tidak terjadi kepailitan” (meski ketentuan UU Kepailitan
diamputasi oleh pasal lain dalam UU yang sama).
Singkatnya,
jika ada dari harta debitor yang diikat dengan hak tanggungan/fiducia, maka
atas objek harta debitor yang diagunkan tersebut, maka yang berwenang
didahulukan ialah kreditor separatis, sementara kreditor jenis lainnya sama
sekali tidak memiliki kewenangan atasnya. Namun atas harta milik debitor yang
tidak diikat sebagai jaminan, maka tiada istilah kreditor separatis, karena yang
ada hanya kreditor preferen atau konkuren.
Dalam
praktiknya, kreditor pemenang hak tanggungan sekalipun sering disebut sebagai
kreditor preferen (droit de preference), oleh karena secara logika, hak
istimewa kreditor preferen muncul karena perintah undang-undang, namun pemegang
hak tanggungan juga didahulukan/diistimewakan karena diamanatkan oleh ketentuan
hukum—sehingga dapat dikatakan bahwa kreditor separatis ialah kreditor preferen
didahulukan diantara para kreditor preferen lainnya yang tidak memegang hak
jaminan kebendaan.
Bandingkan
teori hukum kepailitan tersebut dengan UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang:
- Pasal
55 Ayat (1): “Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang
gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan.” (meskipun “eksekusi seolah-olah
tiada kepailitan, mohon perhatikan pula embel-embel dalam garis bawah diatas,
sehingga mengamputasi ketentuan itu sendiri, sehingga pasal multitafsir
demikian menjadi zona abu-abu bermainnya kurator nakal.)
- Pasal
138: “Kreditor yang piutangnya dijamin
dengan gadai, jaminan fidusia,
hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang
mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit
dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan
dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta
diberikan hak-hak yang dimiliki kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut,
tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas
piutangnya.”
- Pasal
189 Ayat (4, b): “pemegang gadai, jaminan
fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya,
sejauh mereka tidak dibayar menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
55, dapat dilakukan dari hasil penjualan benda terhadap mana mereka mempunyai
hak istimewa atau yang diagunkan kepada mereka.”
- Pasal
191: “Semua biaya kepailitan dibebankan
kepada setiap benda yang merupakan bagian harta pailit, kecuali benda yang
menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 telah dijual sendiri oleh
Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak
agunan atas kebendaan lainnya.”
Menurut
teori, kedudukan Kreditor Separatis dipisahkan dari kreditor lainnya, dan objek
jaminannya juga dipisahkan dari harta pailit (boedel pailit). Adapun arti dari
kedudukan Kreditor Separatis di atas adalah dalam konteks pengeksekusian
jaminan utang. Kreditor separatis dapat menjual dan mengambil sendiri hasil
dari penjualan objek jamnan. Jika diperkirakan hasil penjualan atas jaminan
utang tersebut tidak dapat menutupir seluruh piutangnya, maka Kreditor
Separatis dapat memintakan agar terhadap kekurangan tersebut ia diperhitungkan
sebagai kreditor konkuren. Namun, bila hasil dari penjualan jaminan utang
melebihi nilai hutang-piutang, maka nonimal yang menjadi kelebihannya harus
dikembalikan kepada debitor.
Secara
singkat, bagi kreditor yang piutangnya dijamin dengan pengikatan hak tanggungan
maupun hak fiducia, kreditor tersebut termasuk dalam kategori kreditor preferen
sekaligus sebagai kreditor separatis.
Pada
masa pra-pailit, kreditor separatis dapat eksekusi barang jaminan lewat
mekanisme parate eksekusi.
Namun konsepsi hukum terhadap kedudukan kreditor separatis dalam masa periode pasca
pernyataan pailit, agak sedikit berbeda.
Kedudukan
kreditur separatis pada periode pra pailit dengan pasca pailit pada
dasarnya tetap mengacu pada pasal 55 Undang-Undang Kepailitan yaitu
kreditur separatis ditempatkan diluar dari kepailitan debiturnya karena sifat
jaminan piutang yang dimilikinya memberinya hak untuk mengeksekusi sendiri
barang jaminan guna pelunasan piutangnya. Namun demikian, Undang-Undang
Kepailitan juga mengatur kedudukan kreditur separatis pada periode setelah
debitur pailit sebagai berikut:
Pasal 56:
(1) Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam
penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan
pailit diucapkan.
(2) Penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku terhadap tagihan Kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak
Kreditor untuk memperjumpakan utang.
(3) Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak
bergerak maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda
bergerak yang berada dalam penguasaan Kurator dalam rangka kelangsungan usaha
Debitor, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan
Kreditor atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal
tersebut dikenal juga sebagai ketentuan yang mengatur tentang automatic stay, yang
diberlakukan bagi kreditur separatis setelah debitur dinyatakan pailit
ditetapkan. Berdasarkan ketentuan penangguhan eksekusi ini kreditur belum dapat
mengeksekusi sendiri haknya selama 90 hari.
Pasal 21 UU No.4 tahun
1996 tentang Hak Tanggungan, mengatur: “Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak
Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini.” Penjelasan pasal tersebut menerangkan: “Ketentuan ini
lebih memantapkan kedudukan diutamakan pemegang Hak Tanggungan dengan mengecualikan berlakunya
akibat kepailitan pemberi Hak
Tanggungan terhadap obyek Hak Tanggungan.”
Maka
bukankah ketentuan stay 90 hari menjadi ketentuan yang saling
kontradiktif?! Terlebih jika hak kreditor separatis diamputasi oleh UU
Kepailitan yang hanya membolehkan kreditor separatis menggunakan haknya
melelang objek hak tanggungan sebatas 2 (dua) bulan sejak masa stay berakhir (masa insolvensi)?!
Kontradiksi
hukum mulai muncul, salah satunya ialah ketika diatur dalam Pasal 14 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 93 /Pmk.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
menegaskan: “Dalam hal terdapat permohonan lelang
eksekusi dari kreditur pemegang hak
agunan kebendaan yang
terkait dengan putusan pernyataan pailit, maka pelaksanaan lelang dilakukan
dengan memperhatikan Undang-Undang Kepailitan.”
Akibat
dari “area abu-abu” dalam ketentuan hukum demikian, meskipun secara ilmu hukum,
peraturan menteri tidak dapat melanggar undang-undang (namun seringkali
dilanggar oleh pejabat teknis yang selalu mencari aman dengan berlindung
dibalik aturan peraturan menteri sekalipun itu bertentangan dengan
undang-undang ketika itu lebih menguntungkannya, atau sebaliknya berlindung di
balik undang-undang meski diatur berbeda dalam peraturan dibawahnya ketika
keadaan lain sebaliknya tersebut lebih menguntungkannya), ialah ketika deditor
sudah dinyatakan pailit dan kreditor pemegang hak tanggungan mengeksekusi, maka
dapat terjadi 2 kemungkinan:
- Bagi
kreditor, tentunya lebih menguntungkan bersikeras berpegang pada Peraturan
Menteri Keuangan yang menyatakan tunduk pada ketentuan hukum kepailitan,
sehingga debitor tidak lagi memiliki kewenangan untuk menggugat;
- Bagi
debitor pailit, tentunya akan berpegang pada ketentuan yang lebih
menguntungkannya, yakni UU hak tanggungan yang menyatakan”seolah-olah tanpa
pailit”.
- Namun,
lebih runyam ketika motif utama kreditor separatis ialah guna mampu lelang
dalam jangka waktu tidak terbatas 90 hari, maka ia akan bersikeras menggunakan
UU Hak Tanggungan sementara kurator pasti akan bersikeras pada UU Kepailitan.
Ketidakpastian hukum demikian selalu menjadi celah guna kepentingan bermain
saling kuat, dan biasanya yang berkuasa sebagai pemenang, karena yang berkuasa
dapat menentukan tafsir versi sepihaknya sendiri manakah yang berlaku (hakim).
Lebih lanjut, lihat contoh kasus dalam bab terakhir, dimana terdapat beberapa
putusan yang saling kontradiktif.
Ketika
seorang debitor dinyatakan pailit, bukan berarti debitor yang bersangkutan
tidak cakap lagi untuk melakukan perbuatan hukum dalam rangka mengadakan
hubungan hukum tertentu dalam hukum kekeluargaan, misalnya melakukan perkawinan,
mengangkat anak dan sebagainya. Debitor pailit hanya dikatakan tidak cakap lagi
melakukan perbuatan hukum dalam kaitannya dengan penguasaan dan pengurusan
harta kekayaannya. Dengan sendirinya segala gugatan hukum yang bersumber pada
hak dan kewajiban kekayaan debitor pailit harus dimajukan terhadap kuratornya.
Dengan
demikian dari pembahasan diatas di satu sisi menurut Pasal 55 UUK, bahwa setiap
kreditur yang memegang Hak Tanggungan dapat mengeksekusi haknya seolah-olah
tidak terjadi kepailitan, sehingga dapat dikatakan menurut ketentuan hukum
berdasarkan ketentuan Pasal 55 UUK kreditor pemegang Hak Tanggungan tidak
terpengaruh oleh putusan pailit tersebut. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 55
UUK sejalan dengan ketentuan separatis pemegang Hak Tanggungan sebagaimana
ditentukan oleh KUH Perdata. Akan tetapi, ketentuan Pasal 56 UU Kepailitan
dianggap bertentangan dengan UU Hak Tanggugnan, karena:
a. Pasal 56 menentukan bahwa hak eksekusi kreditur
separatis pemegang hak tanggungan ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama
90 hari terhitung sejak tanggal pailit ditetapkan;
b. Pasal 56 justru tidak sejalan dengan hak separatis dari
pemegang hak jaminan yang diakui oleh Pasal 55 itu sendiri;
c. Dari penjelasan Pasal 56 tersebut terlihat bahwa UU
Kepailitan tidak taat dan tidak konsisten;
d. Disatu sisi, Pasal 55 mengakui hak separatis kreditur
preferen, tetapi di pihak lain ketentuan Pasal 56 justru mengingkari hak
separatis tersebut karena menentukan bahwa barang yang dibebani hak agunan
tersebut merupakan harta pailit. Sehingga menjadi rancu, disatu sisi Pasal 55
menyatakan tidak termasuk boedel pailit, namun ketentuan pasal 56 menyatakan
termasuk boedel pailit. Kecacatan produk hukum demikian membuat keran besar
bagi para mafia hukum untuk bermain pasal untuk diperjualbelikan.
Dengan
adanya putusan pernyataan pailit mengakibatkan harta kekayaan debitor sejak
putusan tersebut dikeluarkan, masuk menjadi harta pailit (faillieten boedel),
debitor pailit demi hukum kehilangan hak penguasaan dan hak Tanggungan yang mempunyai
hak separatis, ditangguhkan untuk jangka waktu 90 hari. Ketentuan hukum
kepailitan demikian menjadi tidak konsisten satu sama lain. Disatu sisi
disebutkan bahwa untuk pemegang hak tanggungan dapat mengeksekusi seolah tiada
pailit, tapi disisi lain diwajibkan tunduk pada ketentuan masa tangguh 90 hari.
Maka antara UU HT, UU Kepailitan, dan PMK tentang Lelang, yang satu sama lain
saling menunjuk, menjadi seperti “lingkaran setan” yang tidak jelas
ketegasannya seperti apa.
UU
Kepailitan, tidak tegas dan tidak konsisten, sebab menambahkan embel-embel
ketentuan di dalam ketentuannya yang menyatakan eksekusi hak tanggungan atas
harta debitor pailit seolah tidak terjadi pailit, namun dengan syarat-syarat
beberapa ketentuan dalam UU Kepailitan tetap mengikat.
Ketentuan
Pasal Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan justru mengingkari hak separatis kreditor
pemegang Hak Tangggungan yang diakui oleh Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan,
karena menentukan bahwa yang dibebani dengan Hak Tanggungan merupakan harta
pailit.
Disini
terlihat bahwa UU Kepailitan tidak memisahkan benda-benda yang dibebani Hak
Tanggungan sebagai benda yang bukan merupakan harta pailit. Sehingga membuat
lembaga Hak tanggungan menjadi tidak ada artinya, filosofi dan tujuan dari
adanya Hak Tanggungan menjadi kabur. Pailit yang bersifat permohonan sehingga
produk hukumnya ialah penetapan, dalam pasal-pasal UU Kepailitan jamak dijumpai
istilah “putusan pailit”; hal-hal demikian menjadi bukti betapa kacaunya
pengaturan dalam UU Kepailitan.
Pasal
59 ayat (1) UU Kepailitan, menentukan bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan
baru dapat melaksanakan hak eksekusinya dalam jangka waktu paling lambat 2
bulan terhitung sejak dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 178 ayat (1) UU Kepailitan. Apabila dalam jangka waktu tersebut pemegang
Hak Tanggungan belum melaksanakan hak eksekusinnya terhadap benda yang menjadi
agunan, maka kurator harus menuntut kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan
untuk menyerahkan benda yang menjadi agunan tersebut untuk selanjutnya dijual
sesuai dengan cara-cara yang diatur oleh Pasal 185 UU Kepailitan, tanpa
mengurangi hak kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk menerima pelunasan dari
hasil penjualan tersebut (Pasal 59 ayat 2 Undang–undang Kepailitan No.37 Tahun
2004)
Pembagian
hasil penjualan harta pailit yang tidak diikat hak tanggungan/fiducia,
dilakukan berdasarkan urutan prioritas di mana kreditor preferen yang
kedudukannnya lebih tinggi mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditor
konkuren yang kedudukannya lebih rendah, dan antara kreditur yang memiliki
tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas
prorata/proporsional—namun bagi kreditor yang memegang hak tanggungan/fidusia,
atas piutang yang belum lunas maka statusnya atas harta debitor pailit yang
tidak diikat hak tanggungan/fiducia, maka statusnya hanyalah sebatas kreditor
konkuren.
EKSEKUSI HAK
TANGGUNGAN SEBATAS MASA INSOLVENSI
Hak
eksekusi kreditor preferen dimulai sejak debitor pailit dinyatakan dalam
keadaan insolvensi hingga paling lambat 2 bulan setelah dimulainya keadaan
insolvensi. Artinya, kesempatan kreditor preferen melaksanakan hak
eksekutorialnya hanya 2 bulan. Namun apabila telah lewat batas waktu yang telah
ditentukan eksekusi tidak terpenuhi maka kreditur harus menyerahkan barang yang
menjadi agunan kepada kurator untuk selanjutnya dijual di depan umum ataupun
dilakukan dengan izin Hakim Pengawas.
Pasal
21 UU Hak Tanggungan menyebutkan bahwa apabila pemberi Hak Tanggungan
dinyatakan pailit, maka pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan
segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan UU Hak Tanggungan. Dengan
demikian objek Hak Tanggungan tidak akan disatukan dengan harta kepailitan
(boedel pailit) untuk dibagikan kepada kreditor–kreditor lain (meski faktanya
berbeda menurut UU Kepailitan).
Eksekusi
kreditor pemegang hak agunan atas kebendaan dapat ditangguhkan untuk jangka
waktu 90 hari sejak tanggal putusan pailit ditetapkan. Menurut UU Kepailitan,
Penangguhan dimaksud bertujuan, antara lain untuk:
I.
Memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau
II.
Memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau
III.
Memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal.
Penjelasan
Pasal 56 Ayat (1) UU Kepailitan menjelaskan: “Selama berlangsungnya jangka
waktu penangguhan, segala tuntutan hukum Untuk memperoleh pelunasan atas suatu
piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan baik Kreditor
maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas
benda yang menjadi agunan.”
Pranata
hukum yang disebut sebagai penangguhan eksekusi jaminan utang (stay atau cool
down period atau legal
moratorium), terjadi karena hukum (by the operation of law), tanpa perlu
diminta sebelumnya oleh kurator. Sungguhpun hak untuk mengeksekusi jaminan
utang ada ditangan kreditor separatis), kreditor separatis tersebut tidak dapat
mengeksekusinya. Untuk masa tertentu, ia masih berada dalam masa tunggu,
setelah masa tunggu tersebut berlalu, ia baru diperkenankan untuk mengeksekusi
jaminan utangnya.
Ketentuan
masa penagguhan menjadi kontradiktif, oleh karena justru kurator sendiri yang
main curang dengan start terlebih dahulu menjuali harta debitor pailit
sementara kreditor pemegang hak tanggungan maupun pemegang hak fiducia harus
menunda 90 hari, sementara perdamaian dapat saja terjadi seperti yang dimaksud
tujuan penundaan 90 hari diatas, juga harta pailit yang dijual oleh kurator
bisa jadi ialah harta debitor pailit yang diikat sebagai agunan/jaminan.
Pasal 185 UU Kepailitan:
(1) Semua benda harus dijual di muka umum sesuai dengan
tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal penjualan di muka umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercapai maka penjualan
di bawah tangan dapat
dilakukan dengan izin Hakim Pengawas.
(3) Semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak
dapat dibereskan maka Kurator yang memutuskan tindakan yang harus dilakukan
terhadap benda tersebut dengan izin Hakim Pengawas.
(4) Kurator berkewajiban membayar piutang Kreditor yang
mempunyai hak untuk menahan suatu benda, sehingga benda itu masuk kembali dan
menguntungkan harta pailit.
KESIMPULAN
Konon,
sebuah sumber menyebutkan, dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap
beberapa putusan hakim Pengadilan Niaga, semua perkara kepailitan diperiksa dan
diputus berdasarkan UU Kepailitan dan sama sekali tidak menyinggung ketentuan
Pasal 21 UU Hak Tanggungan. Segala akibat hukum atas pernyataan pailit baik
bagi debitor pailit maupun kreditornya adalah tunduk pada ketentuan–ketentuan
kepailitan.
Dari
uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa ketentuan Pasal 56 ayat 1 dan
Pasal 59 ayat 2 UU Kepailitan telah mengabaikan berlakunya hak separatis dari
kreditor pemegang hak Tanggungan, serta kreditor sebagai pemegang hak Tanggungan
telah kehilangan kedudukan sebagai kreditor separatis, disamping itu juga
ketentuan Pasal 59 ayat 1 dan ayat 2 adalah tidak realistis. Didalam praktik
sangat sulit dan bahkan hanpir tidak mungkin bisa dilakukan penjualan benda
yang menjadi agunan dalam jangka waktu 2 bulan.
Misalnya
sebuah bank yang menerima sebuah pabrik tekstil atau sebuah hotel berbintang
sebagai agunan berdasarkan pembenanan Hak Tanggungan, amat sulit untuk
melakukan penjualan benda angunan tersebut dalam jangka waktu 2 bulan. Proses
penjualan mulai dari persiapan transaksi kemudian pelaksanaan jual beli sampai
kepada penyelesaian pembayaran pabrik tekstil atau hotel berbintang tersebut
dapat memakan waktu lebih dari dua bulan, bahkan bisa sampai 1 tahun atau 2
tahun.
Penetapan
ketentuan bahwa hak eksekusi kreditor pemegang Hak Tanggungan harus
ditangguhkan untuk jangka waktu selama 90 hari merupakan ketentuan yang dapat
merugikan kreditor pemegang Hak Tanggungan yang mempunyai kedudukan sebagai
kreditor preferen atau yang diutamakan (asas droit
de preference). Peluang kerugian yang mungkin terjadi adalah kreditor
pemegang Hak Tanggungan adalah kreditor pemegang Hak Tanggungan mendapatkan
calon pembeli yang bersedia membeli benda yang menjadi jaminan tersebut dengan
harga mahal, akan tetapi kreditor pemegang Hak Tanggungan tidak dapat
melaksanakan hak eksekusinya karena adanya masa penangguhan tersebut dan
kesempatan tersebut belum tentu bisa diperolehnya pada saat masa penangguhan
berakhir.
Jika
benda yang dijadikan jaminan berupa rumah atau gedung yang tidak ditempati,
maka masa penangguhan tersebut dapt menurunkan nilai atau harga jualnya karena
ada kemungkinan rumah atau gedung yang tidak ditempati tersebut selama masa
penangguhan mengalami kerusakan yang mengakibatkan menurunnya nilai atau harga
jualnya. Lebih jauh lagi karena adanya masa penanggungan, parate eksekusi yang
diberikan oleh UU Hak Tanggungan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 6
menjadi tidak berguna lagi. Karena tujuan untuk memberikan kemudahan dan
kepastian bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan hak eksekusi
atas Hak Tanggungan menjadi tidak terwujud.
Apabila
dalam jangka waktu dua bulan kreditor tidak dapat menjual benda agunan tersebut
maka benda yang menjadi agunan harus diserahkan kepada kurator untuk dijual.
Hal ini berarti status kreditor sebagai kreditor preferen sekaligus separatis,
berubah menjadi kreditor preferen (Pasal 189 UU Kepailitan) yang tidak lagi
memiliki hak separatis, yang merupakan hak yang diberikan oleh UU Hak Tanggugan
kepada kreditor bahwa agunan yang dibebani dengan hak jaminan tidak termasuk
harta pailit, dan kreditor berhak untuk melakukan eksekusi berdasarkan
kekuasaanya sendiri (parate eksekusi) yang diberikan oleh undang-undang sebagai
perwujudan dari hak kreditor untuk didahulukan dari para kreditor lainnya.
Suatu
pendapat mengutarakan, bahwa masa tunda 90 hari melarang kreditor pemegang hak
tanggungan untuk melelang eksekusi, agar tidak mengobral-obral agunan debitor
pailit, adalah tidak berdasar, oleh sebab lelang eksekusi yang didasarkan pada penilai
appraisal tentunya tiada lagi alasan untuk melarang lelang tersebut. Ketentuan
UU Hak Tanggungan menjadi percuma karena status separatis hanya berlaku 2 bulan
saat kepailitan.
PENDAPAT HUKUM
Solusi
yang dapat saya tawarkan jika para pihak maupun hakim pengawas ngotot bahwa
agunan masuk dalam harta pailit, sehingga harus diurus kurator ketika masa
insolvensi 2 bulan pemegang hak tanggungan ataupun fiducia gagal mengeksekusi,
sehingga dengan trick licik dari kurator menjual dibawah tangan dengan harga
yang murah, atau dengan strategi super licik seperti kurator melelang 2 kali
dengan harga yang amat sangat tinggi sehingga tidak terjual ialah:
- Buah
laporan appraisal independen tandingan yang mencantumkan harga penilaian lebih
murah, untuk dikirim ke Ketua Pengadilan dan di Carbon Copy ke Hakim Pengawas
maupun Kurator yang bersangkutan;
- Jika
kurator tetap mencoba melelang dengan harga tinggi, sehingga tiada peminat
lelang, maka dengan berlindung dibalik kuasa undang-undang, kurator tersebut
menjual di bawah tangan dengan harga super murah dengan motif terselubung
dibaliknya, maka disparitas harga yang lebar demikian dapat menjadi dasar
mengajukan gugatan “perbuatan melawan hukum” di pengadilan terhadap kurator
tersebut yang telah salah gunakan wewenang;
- Pada
dasarnya mekanisme upaya hukum gugatan ganti rugi secara perdata masih terbuka
lebar, selama unsur-unsur “perbuatan melawan hukum” dalam permohonan ganti rugi
materiel perdata berikut ini terpenuhi, yakni:
§ Adanya
perbuatan melawan hukum seperti ketidakwajaran harga, ketidakpatutan, melanggar
kebiasaan dunia usaha properti;
§ Adanya
kesalahan kurator yang tidak mengindahkan dokumen laporan appraisal
perbandingan dari pihak kreditor pemegang hak tanggungan, bahkan bila telah
diberikan somasi mengenai harga limit lelang versi appraisal kurator yang
terlampau tinggi sehingga tidak memungkinkan adanya peminat lelang;
§ adanya
kerugian dari pihak penggugat berupa tidak terpenuhinya seluruh piutangnya yang
dijamin agunan;
§ serta
dapat dibuktikan kerugian tersebut ditimbulkan akibat penjualan dibawah tangan
oleh kurator bersangkutan.
Putusan pailit oleh Pengadilan tidak mengakibatkan Debitor kehilangan
kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen handelingsbevoegd)
pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk
mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja. Dengan demikian, Debitor tetap
dapat melakukan perbuatan hukum berupa misalnya menikah, atau membuat
perjanjian kawin atau menerima hibah, atau bertindak menjadi kuasa atau
mewakili pihak lain, dan lain sebagainya. Akibat dari kepailitan hanyalah
terhadap harta kekayaan debitor. Debitor pailit bukan di bawah pengampuan. Debitor pailit
tidak kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum yang menyangkut
dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut pengurusan dan
pengalihan harta bendanya yang telah ada. Tindakan pengurusan dan pengalihan
harta bendanya berada pada kurator.
Debitor pailit tetap dapat melakukan upaya gugatan hukum, namun yang
menjadi rancu dan pertanyaan besar, bila gugatan yang diajukan debitor pailit
ialah berhubungan atau menyangkut aset hartanya, maka bukankah sepatutnya
menjadi kewenangan kurator? Saya pribadi menyimpulkan debitor pailit tidak lagi
berwenang menggugat kreditor pemegang hak tanggungan. Bila debitor pailit
merasa dirugikan, maka debitor pailit hanya berhak menggugat kurator secara
pribadi keperdataan, bukan kreditor terkait hartanya yang dieksekusi kreditor
separatis. Sehingga meski eksekusi hak tanggungan menurut UU Kepailitan
dinyatakan dapat dilakukan seolah-olah tidak ada pailit, namun mengingat
praktik PN Niaga justru hanya menggunakan UU Kepailitan, maka debitor pailit,
selama menyangkut harta asetnya, hanya dapat menggugat lewat kurator.
Namun terdapat satu asas dalam hukum acara perdata, yang
menyatakan bahwa “hakim dilarang menolak perkara”, sehingga sekalipun debitor
pailit tidak berhak melakukan gugatan terkai harta pailit sebagai objek
sengketa, karena yang berwenang untuk itu adalah kurator, namun hakim akan
tetap memeriksa dan memutus, lengkap dengan secara prosedural pembuktian dan
jawaban yang memakan waktu berbulan-bulan, meski sudah jelas ujung putusannya.
Meski demikian, gugatan yang diajukan oleh debitor maupun istri/suaminya
tidak menunda eksekusi lelang atas objek hak tanggungan. (Pasal 13 Ayat (1)
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang: “Dalam hal terdapat gugatan terhadap objek lelang hak
tanggungan dari pihak lain selain debitor/tereksekusi, suami atau istri
debitor/tereksekusi yang terkait kepemilikan, pelaksanaan lelang dilakukan
berdasarkan titel eksekutorial dari Sertifikat Hak Tanggungan yang memerlukan
fiat eksekusi.”)
PENUTUP
Pada
dasarnya tidak perlu gentar jika lelang agunan tak terdapat pembeli selama masa
insolvensi 2 bulan, dan kemudian kurator mencoba memancing di dalam air keruh,
dan hakim pengawas tidak memiliki itikad baik mengawasi (karena masih terhadap
jenjang atasannya yang dapat mengawasi hakim pengawas), selama kreditor siap
dan berani untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum secara perdata
kepada kurator dan hakim pengawasnya—dengan catatan langkah-langkah mitigasi
yang telah diuraikan dalam sub-bab “Pendapat Hukum” diatas dijalankan secara
teliti dan cermat.
Ada
pula yang berpendapat bahwa bila lelang eksekusi hak tanggungan terjadi pada
hari penetapan pailit dijatuhkan, lelang belum terlaksana, maka pelelangan
harus ditangguhkan. Hal tersebut menjadi celah hukum bagi debitor nakal.
Kreditor
separatis dapat melelang eksekusi seolah tidak terjadi kepailitan, begitu bunyi
UU Kepailitan, namun UU yang sama “menelan ludahnya” sendiri dengan kenyataan
bahwa apabila debitor pailit, bank tetap tidak dapat melaksanakan hak
separatisnya sebagaimana mestinya berkat penangguhan otomatis 90 hari yang akan
membatalkan lelang eksekusi yang tengah berjalan, serta diamputasi lagi
ketentuan 2 bulan insolvensi yang akan mematikan status kreditor separatis.
Alasan
mengada-ngada lainnya ialah ketika didalihkan bahwa penangguhan berguna agak
memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. Sangat tidak
beralasan. Hak jaminan kebendaan yang diatur undang-undang diabaikan hanya
karena debitor pailit, dimana sertifikat hak tanggungan itu sendiri adalah
konkretisasi dari kekhususan atau keistimewaan dari lembaga hak tanggungan,
kini diamputasi dengan alasan karena kurator dapat melaksanakan tugasnya secara
optimal. Justru dengan adanya hak separatis yang dapat melaksanakan lelang
eksekusi seolah-olah tidak terjadi pailit telah sangat mengurangi beban kurator
dalam melaksanakan tugasnya, dimana tentunya meminimalisasi fee kurator yang
harus dibebankan pada debitor pailit itu sendiri.
Kurator
pada dasarnya tidak dapat menjual dibawah tangan atas objek harta pailit, tanpa
persetujuan hakim pengawas. Ketika hakim pengawas “ada main” dengan kurator,
maka terjadilah perfect crime,
dan biarkan hukum karma yang bekerja untuk kita.
Secercah
cahaya dapat kita simak dalam sub-bab “Studi Kasus” dibawah ini, bagian putusan
Kasus III yang merupakan satu putusan kasasi yang memiliki nuasa berbeda
sendiri dari putusan kasasi maupun peninjauan kembali lainnya. Kita melihat,
putusan Mahkamah Agung atas isu yang sama saja dapat saling konflik, dalam arti
isu sama namun amar putusan dapat saling bertolak-belakang, adalah bentuk kasar
dari ketidakpastian hukum di Indonesia.
HUKUM HAK
TANGGUNGAN YANG TIDAK DILAKSANAKAN DALAM PRAKTEK (ALIAS PENYIMPANGAN HUKUM
DALAM PRAKTIK)
Pasal
21 UU Hak Tanggugan, mengatur: “Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan
pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang
diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini.” Penjelasan Pasal 21
tersebut menerangkan: “Ketentuan ini lebih memantapkan kedudukan diutamakan
pemegang Hak Tanggungan dengan mengecualikan berlakunya akibat kepailitan
pemberi Hak Tanggungan terhadap obyek Hak Tanggungan.”
Kendala
utamanya, banyak yang beritikad tidak baik mendalilkan bahwa ketentuan asas lex posterior derogat legi priori,
sehingga UU Kepailitan (2004) yang lebih baru mengesampingkan UU Hak Tanggungan
yang diundangkan lebih lama (1996). Namun saya pribadi berdasarkan asas Lex spesialis derogat legi
generalis, yang berlaku ialah UU Hak Tanggungan, merujuk pada Pasal 21 UU
HT diatas. Meski demikian, pada praktiknya Pasal 21 UU HT diatas tidak
diindahkan oleh hakim niaga (hanya Pengadilan Niaga yang berwenang memutus
sengketa pailit).
Kesimpangsiuran
regulasi hukum mengenai kepailitan dapat disimak dalam putusan Mahkamah
Konstitusi dalam putusan perkara 18/PUU-VI/2008 hlm.83, bahwa: “Hak gadai,
hipotek, fidusia, dan hak
tanggungan lainnya tidak termasuk boedel pailit yang akan dieksekusi. Kreditor
separatis berhak mengeksekusi sendiri barang-barang jaminan yang ada dalam
kekuasaannya. Dalam hal masih terdapat kekurangan setelah eksekusi atas barang
jaminan yang ada dalam kekuasaannya, kreditor separatis berhak atas boedel
pailit sebagai kreditor konkuren, sebaliknya dalam hal terdapat kelebihan dari
piutangnya maka kelebihan tersebut harus dimasukkan sebagai boedel pailit.” Jika tak masuk dalam boedel pailit,
berarti tetap dapat digugat, oleh kurator, namun mengapa tunduk kepada
ketentuan insolvensi 2 bulan sehingga lebih dari itu pemegang jaminan tak dapat
eksekusi sendiri, dengan kata lain menutup peluang lelang ulang jika lelang
sebelumnya dinyatakan Tidak Ada Peminat (TAP)?
Menurut
asas hukum lex spesialis
derogat legi generalis, sebenarnya
yang berlaku ialah UU Hak Tanggungan bagi kreditor separatis, sehingga tiada
lagi ancaman hanya dapat eksekusi selama masa insolvensi selama 2 bulan.
Mengapa? Oleh sebab dalam boedel pailit (UU Kepailitan), terdapat didalamnya
harta debitor untuk pelunasan piutang kreditor konkuren, dan terdapat di
dalamnya hak kreditor preferen serta separatis. Oleh karena itulah, berdasarkan
rasio dan ilmu hukum, UU Hak Tanggungan bersifat lebih spesifik (lex
spesialis) dalam arti mengatur secara spesifik dan khusus dari eksekusi
harta pailit dari boedel pailit UU Kepailitan. Maka adalah beralasan bila
kreditor separatis selaku pihak yang paling berkepentingan dalam pelunasan
hutang debitor untuk bersikeras dan kukuh untuk menggunakan haknya sesuai UU
Hak Tanggungan.
Kejanggalan
lain, ada yang menyebutkan bahwa kreditor separatis berkonotasi pemisahan
karena kedudukan kreditur tersebut dipisahkan dari kreditur lainnya, dalam arti
ia dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan yang
terpisah dengan harta pailit pada umumnya. Untuk itu kreditur pemegang hak
jaminan, barang jaminan (agunan) tidak termasuk harta pailit. Namun, jika tidak
masuk dalam harta pailit (boedel pailit), mengapa harus tunduk pada masa
penundaan 90 hari dan hanya dapat lelang eksekusi pada masa insolvensi dengan
mengamputasi hak kreditor pemegang hak tanggungan setelahnya? Secara diam-diam
dan tidak jantan UU Kepailitan membuat sifat hak tanggungan menjadi “banci”,
dalam arti dikatakan bukan bagian dari boedel pailit serta dapat dilakukan
seolah-olah tiada pailit, namun harus tunduk pada UU Kepailitan yang sangat
merugikan kedudukan kreditor separatis demikian.
Secara
akal sehat, adalah tidak masuk akal kreditor separatis tunduk pada ketentuan
masa tunda 90 hari meskipun debitor dinyatakan pailit, karena ketika debitor
dinyatakan pailit, dimana tujuan pailit ialah untuk melindungi kepentingan
kreditor, justru debitor pailit mendapat keistimewaan berupa ditundanya hak
kreditor separatis untuk lelang eksekusi. Justru tanpa pailit, kreditor
separatis dapat langsung lelang eksekusi ketika status pinjaman telah masuk kredit
macet.
ALTERNATIF
LAIN
Dalam
hal pemberesan atas harta terpailit undang-undang memberikan kewenangan tidak
hanya kepada kurator swasta, namun kepada Balai Harta Peninggalan (lembaga
pemerintah). Balai Harta Peninggalan merupakan suatu badan pemerintahan yang
merupakan bagian dari Departemen Kehakiman. Balai Harta bertindak mellaui
kantor perwakilannya yang terletak dalam yurisdiksi pengadilan yang telah
menyatakan debitor pailit. Pada saat ini terdapat Balai Harta Peninggalan di
lima lokasi, yakni: Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, dan Ujung Pandang.
Setelah
adanya putusan/penetapan pailit oleh PN Niaga, tugas Balai Harta Peninggalan
selaku Kurator dalam melaksanakan upaya pemberesan atas harta terpailit/debitur
yaitu:
- Membuat
daftar tagihan para kreditur dan disahkan pada rapat verifikasi;
- Melaksanakan
penjualan harta kekayaan pailit apakah melalui lelang umum atau dibawah tangan
dengan ijin hakim pengawas setelah terlebih dahulu ditaksir oleh Tim Penilai
(appraisal);
- Melaksanakan
pembayaran kepada para kreditur sesuai dengan sifat tagihannya;
- Memberikan
perhitungan dan pertanggungjawaban mengenai pengurusan / pemberesan yang
dilakukannya kepada Hakim Pengawas.
STUDI KASUS
KASUS I
Kasus
Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) berikut ialah seputar penurunan
harga jual aset pailit. Berdasarkan Surat Pernyataan yang dibuat oleh Drs. Ec.
Eddy Susanto, S.H untuk penjualan mesin-mesin pabrik Kurator Almarhumah Siti
Zaitin Noor, S.H., M.H tidak melakukan penjualan harta pailit tersebut melalui
penjualan lelang setelah gagal melakukan penjualan lelang terhadap asset
tersebut pada lelang I dan II;
Bahwa
Kurator tersebut menjual langsung harta pailit tersebut kepada pembeli yakni PT
Dharma Putra Kalimantan Sejati yang merupakan peserta tunggal dalam lelang II
dengan harga dibawah harga pasar yakni hanya Rp.5.250.000.000,- ;
Bahwa
menurut Termohon PK dalam Laporan Akhirnya menyatakan akibat berlarutnya
penguasaan pada tanggal 11 Desember 2008, telah dilakukan pengurangan harga
atas mesin-mesin Debitur Pailit tersebut dengan harga Rp.5.250.000.000
sedangkan berdasarkan penilaian harga dari Appraisal PT Laksa Laksana
sebagaimana tanggal 22 Juni 2006, harga terhadap mesin-mesin tersebut mencapai
Rp.20.683.080.000,00 dan terhadap Laporan Akhir Termohon PK tanggal 7 Agustus
2009 tersebut telah dikabulkan oleh Hakim Pengawas tanggal 19 Oktober 2009;
Ssdangkan
diketahui berdasarkan penilaian harga dari Appraisal PT Laksa Laksana, tanggal
22 Juni 2006, harga terhadap mesin-mesin tersebut mencapai Rp.20.683. 080.000,-
dimana seharusnya jumlah sebesar Rp.20.683.080.000,- tersebut bisa mengurangi
hutang Pemohon PK terhadap kreditornya.
Namun
dalam amar putusannya, Mahkamah Agung menolak PK dengan alasan: “Bahwa Laporan
Akhir kepailitan telah disetujui oleh Hakim Pengawas perkara kepailitan dalam
perkara a quo sehingga perbuatan pengurusan dan pemberesan yang dilakukan oleh
Kurator sudah sah sebagaimana telah dipertimbangkan dalam putusan kasasi
perkara a quo, oleh karena itu pertimbangan tersebut telah tepat dan tidak
terdapat adanya kekhilafan hakim dalam putusan tersebut;”
KASUS II
Kasus
Peninjauan Kembali (PK) yang diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA) ini sama
uniknya, sama dengan kasus diatas, yakni Putusan No. 133 PK/Pdt.Sus/2011,
dimana pemohon PK ialah PT KATAN PRIMA PERMAI selaku debitor pailit, yang
mencoba melakukan upaya hukum melawan para kuratornya.
Pokok
perkaranya, debitor pailit mempermasalahkan tindakan Hakim Pengawas yang telah
menerima dan menyetujui laporan akhir dan Daftar Pembagian Terakhir Dan Penutup
yang dibuat oleh Tim Kurator kepailitan. Atas daftar pembagian terakhir dan
penutup tersebut, ada bantahan/keberatan dari Debitor Pailit. Kreditor PT. Bank
Negara Indonesia (Persero), Tbk. ternyata juga mengajukan bantahan/keberatan
atas Daftar Pembagian Terakhir Dan Penutup tersebut.
Pembantah
adalah Kreditor Separatis dengan jumlah tagihan yang diakui sebesar Rp
43.321.623.725,- dan USD 6.675.909.14 sebagaimana Daftar Hutang para Kreditur
PT. Katan Prima Permai (debitor pailit). Atas lelang pertama aset harta pailit
oleh kurator, diperoleh angka Rp 10.817.750.000,00. Namun, debitor
mempertanyakan pengeluaran sebesar Rp 8.458.859. 522,- oleh Kurator, apakah
tidak berlebihan pengeluaran oleh Kurator hanya selisih sedikit dengan hasil
penjualan asset harta pailit, untuk apa saja dan atau pekerjaan apa saja yang
dilakukan oleh Kurator sehingga memakan bermilyar-milyar pengeluaran?!
Terhadap
hasil penjualan harta pailit sebagaimana disebutkan di atas, jika dibandingkan
dengan penilaian Appraisal independen yang ditunjuk oieh Kurator yakni
penilaian dari PT Laksa Laksana (Property Appraisers & Consultant),
tanggal 22 Juni 2006, maka nilai harganya jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan hasil penjualan Kurator
Debitor
pailit juga mempermasalahkan Penjualan Aset (Harta) Pailit dibawah harga Pasar
pada Lelang Kedua. Selain Debitur Pailit tidak pernah mengetahuinya, harga
penjualannya sangat rendah dibandingkan dengan penilaian yang dilakukan oleh
Appraisal. Laporan Akhir, Kurator menyatakan harga yang terbentuk adalah Rp
2.680.000.000;-, Kurator juga menyatakan bahwasanya harga terbentuk itu
dikurangi dengan seluruh pengeluaran yang dilakukan Kurator yakni sebesar Rp
1.615.184.627;-, meski tidak jelas rincian/akuntabilitas pengeluaran tersebut.
Atas
mesin-mesin milik debitor pailit, dijual seharga 5.250.000.000,- sedangkan
berdasarkan penilaian harga dari Appraisal PT Laksa Laksana, harga terhadap
mesin-mesin tersebut mencapai Rp 20.683.080.000,- Debitur Pailit tidak
dapat menerima hasil penjualan mesin-mesin itu, terlebih jika dibandingkan
dengan perkiraan penjualan PT Laksa Laksana, perbedaannya sangat jauh dan
signifikan. Kurator mengabulkan dan menerima permintaan pembeli untuk
menurunkan harga, sedangkan harga yang disepakati sesuai pengikatan jual beli
adalah Rp 7.000.000.000,- sehingga diturunkan menjadi senilai demikian.
Mernurut
perhitungan dan rincian debitor pailit, terdapat selisih antara penjualan dan
lelang yang dilakukan oleh kurator dengan nilai harga pasar maupun appraisal,
sebesar selisih 21.602.080.000,-. Yang menjadi keberatan debitor pailit,
seharusnya Debitur Pailit dengan penjualan harta pailit dan pengeluaran Kurator
yang tidak terlalu besar itu dapat membayar hutang-hutangnya kepada Kreditur
dengan jumlah yang signifikan. Akan tetapi dengan hasil penjualan Kurator yang
demikian, ditambah pengeluaran Kurator yang cukup besar maka yang terjadi
pembayaran atas hutang-hutang Debitur Pailit kepada Kreditur menjadi tidak
signifikan.
Amar
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya No.
10/Pailit/2005/PN.Niaga Sby. Jo Nomor 01/PKPU/2006/ PN.Niaga Sby tanggal 15
Juni 2010 adalah sebagai berikut:
- Menyatakan
tidak sah pembagian hasil penjualan harta pailit PT Katan Prima Permai (Dalam
Pailit) untuk alokasi biaya kepailitan sebesar Rp 751. 542.882,- kecuali
terhadap Pengeluaran III No. 10 biaya tiket, akomodasi, transportasi perjalanan
sebesar Rp 268. 292.882,-;
- Menyatakan
tidak sah pembagian hasil penjualan harta pailit PT Katan Prima Permai (Dalam
Pailit) untuk alokasi biaya penjualan di bawah tangan atas aset-aset PT Katan
Prima Permai (Dalam Pailit) (Artha Grasia) sebesar Rp 52.500.000,- (lima puluh
dua juta lima ratus ribu rupiah);
- Menyatakan
tidak sah pembagian hasil penjualan harta pailit PT Katan Prima Permai (Dalam
Pailit) untuk alokasi imbalan jasa likuidator sebesar Rp 100.000.000,- (seratus
juta rupiah);
- Menyatakan
tidak sah pembagian hasil penjualan harta pailit PT Katan Prima Permai (Dalam
Pailit) untuk alokasi cadangan biaya dalam rangka proses likuidasi sebesar Rp
220.000.000,- (dua ratus dua puluh juta rupiah);
- Menyatakan
tidak sah pembagian hasil penjualan harta pailit PT Katan Prima Permai (Dalam
Pailit) untuk alokasi ahli waris sebesar Rp 125.000.000,-;
Yang
mengejutkan, putusan Mahkamah Agung RI No. 682 K/Pdt.Sus/2010 tanggal 21
Desember 2010 memutuskan, putusan PN Niaga dibatalkan, dan mengadili sendiri
dengan amar putusan bahwa kurator dimenangkan.
Dipermasalahkan
pula biaya keamanan asset sebesar Rp.210.250.000,- setelah penjualan lelang
yang dibebankan kepada harta pailit karena setelah penjualan lelang selesai
pengamanan aset menjadi tanggungjawab pemenang lelang bukan menjadi beban harta
pailit, belum lagi biaya-biaya tidak wajar lain yang secara logika memang tidak
masuk akal seperti biaya pengosongan lahan yang memang sudah kosong sebelumnya,
biaya sewa yang tidak perlu karena terdapat pabrik yang tidak digunakan,
Pengeluaran
dalam pengurusan oleh kurator dan penjualan aset pailit yang tidak jelas dan
nilainya cukup besar, dipandang merugikan debitor pailit dan harta pailit itu
sendiri. Seharusnya dengan pengeluaran yang rasional dan penjualan yang benar
dapat membayar hutang-hutangnya debitor pailit kepada kreditor dengan jumlah
yang signifikan. Akan tetapi dengan hasil penjualan oleh kurator yang demikian,
ditambah pengeluaran kurator selama masa pemberesan yang cukup besar maka yang
terjadi pembayaran atas hutang-hutang debitor pailit kepada kreditor menjadi
tidak signifikan; sebaliknya kurator justru mengambil keuntungan diatas derita
pihak lain.
Dalam
novum (bukti baru) dipaparkan bukti bahwa proses lelang telah terdapat
kecurangan penurunan harga dari mekanisme yang semestinya. Namun, MA dalam
putusan PK menyatakan: “Bahwa Laporan Akhir kepailitan telah disetujui oleh
Hakim Pengawas perkara kepailitan dalam perkara a quo sehingga perbuatan
pengurusan dan pemberesan yang dilakukan oleh Kurator sudah sah sebagaimana
telah dipertimbangkan dalam putusan kasasi perkara a quo, oleh karena itu
pertimbangan tersebut telah tepat dan tidak terdapat adanya kekhilafan hakim
dalam putusan tersebut;…” Ketika
hakim pengawas dan kurator bersimbiosis mutualisme, maka terjadilah law as a tool of crime, a perfect crime.
KASUS III (sebuah
putusan yang lain dari yang lain)
Perkara
kasasi dengan perkara No.576 K/Pdt.Sus/2011 antara Bank Mandiri selaku kreditor
pemegang hak tanggungan melawan kuratornya. Permasalahan utama dalam perkara
ini, kreditor separatis gagal menjual hak tanggungan dan fiducia yang
dipegangnya dalam pelelangan karena nilai piutang mencapai 51 miliar rupiah,
sehingga kesulitan menjaring calon pembeli dalam jangka waktu insolvensi 2
bulan. Setelah lewat jangka waktu insolvensi, kreditor menyerahkan benda
fidusia kepada kurator, sementara penguasaan hak atas tanah agunan belum
dilimpahkan kepada kurator, sehingga kurator menggugat kreditor separatis
tersebut agar menyerahkan penguasaan atas aset agunan debitor pailit.
Sementara
Pasal 59 ayat (2) UU Kepailitan mengatur, bahwa setelah lewat jangka waktu
insovensi 2 bulan, Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi
agunan untuk selanjutnya dijual dibawah tangan. Tanah agunan sejatinya dalam
perkara ini adalah hak kebendaan dari seorang penjamin perorangan (personal
guarantee), sehingga semestinya tidak masuk aset boedel pailit, namun oleh
kurator dinyatakan sebagai boedel pailit.
Argumen
Kreditor, kedudukan hukum Penjamin/Pemberi Jaminan atau Penanggung Hutang
(apakah berupa jaminan pribadi atau jaminan kebendaan) adalah tetap merupakan
subyek hukum yang terpisah dari debitur yang dijaminnya. Bila Debitur yang
dijaminnya dinyatakan pailit tidak secara otomatis penjamin atau penanggung
hutang tersebut secara serta merta juga menjadi pailit. Oleh karena itu juga
tidak benar bila dinyatakan bahwa harta benda atau kekayaan Penjamin atau
penanggung hutang harus dimasukkan dalam boedel pailit (atas kepailitan Debitur
yang dijaminnya). Untuk menyatakan penjamin yang notabene adalah subyek hukum
mandiri, menjadi subyek hukum yang pailit, harus diajukan permohonannya
tersemdiri.
Yang
menarik, kreditor mempunyai interpretasi atas ketentuan insolvensi 2 bulan
boleh menjual hak agunan, dengan menyatakan: “Secara khusus kiranya perlu
diperhatikan bahwa batas waktu 2 bulan (60 hari) untuk mengeksekusi Hak
Tanggungan adalah kurang rasional bila harus sampai tuntas. Yang harus dinilai adalah apakah dalam waktu 2 bulan setelah Debitur Pailit dinyatakan
insolvensi Kreditur Separatis sudah
(mulai) melakukan eksekusi apa belum.”
Atas
pertimbangan tersebut, MA dalam amar putusannya menyatakan gugatan kurator
ditolak dengan pertimbangan:
§ Bahwa
Sertifikat tanah sengketa bukan atas nama debitor pailit;
§ Bahwa
sertifikat adalah akta otentik yang tidak dapat di kesampingkan dengan akta
dibawah tangan, sekalipun itu pernyataan dari pemberi jaminan.
§ Bahwa
Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dihubungkan dengan ayat (1) maka sesuai dengan penjelasan Pasal tersebut yang
harus melaksanakan haknya adalah kreditur (i.c. Tegugat). Tergugat sudah mulai
melaksanakan haknya, dengan cara menjual lelang sebagaimana di dalilkan
Penggugat dalam gugatannya, berarti kreditur (Tergugat) sudah melaksanakan
haknya
§ Bahwa
karena kreditur sudah melaksanakan haknya maka kurator (i.c. Penggugat) tidak
dapat menuntut penyerahan agunan tersebut.
EPILOG
Jamak
kita temui putusan MA yang menyatakan penjualan dibawah tangan objek hak
tanggungan oleh kurator meski nilai jualnya sangat rendah, namun kreditor
separatis selalu kalah dalam amar putusan—hanya karena satu alasan politis: “Penjualan
dibawah tangna oleh kurator telah disetujui oleh hakim pengawas”. (lihat
putusan kasasi oleh MA dalam Putusan No. 158 K/Pdt .Sus/2011)
Contoh
kasus terakhir itulah satu-satunya putusan MA yang memberi tafsir lain dari
masa insolvensi, diaman kreditor separatis hanya boleh lelang agunan selama 2
bulan, lalu selebihnya dari jangka waktu itu maka yang berwenang hanya kurator,
terpatahkan. Dalam perkara ini, ditafsirkan bahwa definisi masa insolvensi,
bahwa dalam 2 bulan itu kreditor separatis sudah harus mulai aksi, meski belum
terjual dalam 2 bulan itu, tapi tetap punya hak melelang lewat dari 2 bulan itu.
Sumber bahan:
- Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata;
- Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang;
- UU
No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
- UU
No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan;
- Putusan
Mahkamah Agung No. 133 PK/Pdt.Sus/2011;
- Putusan
Kasasi MA No.576 K/Pdt.Sus/2011;
- Putusan
kasasi oleh MA dalam Putusan No. 158 K/Pdt .Sus/2011;
- Situs
Balai Harta Peninggalan Jakarta, “Kurator dalam Kepailitan”, diakses dari http://bhpjakarta.info/index.php?option=com_content&view=article&id=181&Itemid=136
- Artono
Rooseno, Tesis Magister Kenotariatan dengan judul Akibat Hukum Putusan Pernyataan
Pailit Bagi Debitor Terhadap Kreditor Pemegang Hak Tanggungan, Universitas
Diponegoro: Semarang, 2008.
- Adem
Panggabean, Makalah “Kedudukan Kreditur Separatis Dalam Hukum Kepailitan”.
- Sheila
Posita, Actio
Pauliana Untuk Melindungi Budel Pailit Dari Perbuatan Debitor Yang Dapat
Merugikan Kreditor (Skripsi),
(UII Fakultas Hukum: Yogyakarta, 2010).
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak
Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.