Question:
Apakah karyawan dari suatu badan hukum dapat mewakili perusahaan bersidang di
pengadilan meskipun bukan seorang advokat?
Brief Answer:
Karyawan suatu badan hukum dapat beracara baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Logika sederhana, jika penggugat atau tergugat adalah subjek hukum atas
nama pribadi (bukan mewakili kepentingan lain), maka sekalipun ia bukan
Advokat, maka ia berwenang untuk maju menghadap beracara di persidangan guna
membela kepentingannya. Atas konsepsi hukum demikian, maka Mahkamah Konstitusi pada
tahun 2004 telah membatalkan ketentuan Pasal 31 UU Advokat yang hanya memberi
monopoli bagi advokat untuk beracara di persidangan.
Explanation:
Mahkamah Konstitusi (MK) RI dalam putusannya atas Perkara No.006/PUU-II/2004. atas uji materil Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), secara singkat memutuskan dengan pertimbangan sebagai berikut:
-
Pasal
31 UU Advokat yang mengatur mengenai monopoli beracara advokat telah dianulir
MK, dengan Amar Putusan berbunyi sebagai berikut:
-
”M E N G A D I L I
Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan;
Menyatakan,
Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan, Pasal 31 Undang-undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya.”
-
Pertimbangan
hukum (ratio decidendi) MK, secara
singkatnya ialah:
o
“Menimbang bahwa dalam kualifikasi
sebagaimana disebutkan di atas Pemohon merasa dirugikan oleh berlakunya UU
No.18 Tahun 2003, in casu Pasal 31, yang menyatakan, “Setiap orang yang dengan
sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai
Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah”, kerugian mana secara nyata telah
dialami Para Kuasa Pemohon yakni dalam wujud ditolaknya kehadiran Para Kuasa
Pemohon oleh pihak penyidik di Kepolisian Resort Malang pada saat melakukan
pendampingan selaku kuasa hukum dari seorang klien karena Para Kuasa Pemohon
tidak mampu menunjukkan identitas Advokat yang diminta oleh penyidik.”
(hlm. 28 Putusan MK)
o
“Menimbang pula bahwa UU No. 18 Tahun 2003
adalah undang-undang advokat yaitu undang-undang yang mengatur syarat-syarat,
hak dan kewajiban menjadi anggota organisasi profesi advokat, yang memuat juga
pengawasan terhadap pelaksanaan profesi advokat dalam memberikan jasa hukum,
baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu, tujuan undang-undang
advokat, di samping melindungi advokat sebagai organisasi profesi, yang paling
utama adalah melindungi masyarakat dari jasa advokat yang tidak memenuhi
syarat-syarat yang sah atau dari kemungkinan penyalahgunaan jasa profesi
advokat;” (Hlm. 31 Putusan MK)
o
“Menimbang bahwa sebagai undang-undang yang
mengatur profesi, seharusnya UU No. 18 Tahun 2003 tidak boleh dimaksudkan
sebagai sarana legalisasi dan legitimasi bahwa yang boleh tampil di depan
pengadilan hanya advokat karena hal demikian harus diatur dalam hukum acara,
padahal hukum acara yang berlaku saat ini tidak atau belum mewajibkan
pihak-pihak yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan pengacara
(verplichte procureurstelling). Oleh karena tidak atau belum adanya kewajiban
demikian menurut hukum acara maka pihak lain di luar advokat tidak boleh
dilarang untuk tampil mewakili pihak yang berperkara di depan pengadilan. Hal
ini juga sesuai dengan kondisi riil masyarakat saat ini di mana jumlah advokat
sangat tidak sebanding, dan tidak merata, dibandingkan dengan luas wilayah dan
jumlah penduduk yang memerlukan jasa hukum; (hlm 31—32 Putusan MK)
o
“…Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 dimaksud dapat
menjadi hambatan bagi banyak anggota masyarakat yang tak mampu menggunakan jasa
advokat, baik karena alasan finansial maupun karena berada di wilayah tertentu
yang belum ada advokat yang berpraktik di wilayah itu, sehingga akses
masyarakat terhadap keadilan menjadi makin sempit bahkan tertutup. Padahal,
akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain negara hukum
yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat diakses oleh semua orang
(accessible to all), sebagaimana diakui dalam perkembangan pemikiran
kontemporer tentang negara hukum. Jika seorang warga negara karena alasan
finansial tidak memiliki akses demikian maka adalah kewajiban negara, dan
sesungguhnya juga kewajiban para advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru
menutupnya (vide Barry M. Hager, The Rule of Law, 2000, hal. 33);” (hlm. 32
Putusan MK)
o
“Menimbang bahwa jika pun benar maksud
perumusan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 tersebut adalah untuk melindungi
kepentingan masyarakat dari kemungkinan penipuan yang dilakukan oleh
orang-orang yang mengaku-aku sebagai advokat, kepentingan masyarakat tersebut
telah cukup terlindungi oleh ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
sehingga oleh karenanya ketentuan Pasal 31 undang-undang a quo harus dinyatakan
sebagai ketentuan yang berlebihan yang berakibat pada terhalanginya atau
setidak-tidaknya makin dipersempitnya akses masyarakat terhadap keadilan, yang
pada gilirannya dapat menutup pemenuhan hak untuk diadili secara fair (fair
trial), terutama mereka yang secara finansial tidak mampu, sehingga
kontradiktif dengan gagasan negara hukum yang secara tegas dirumuskan dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;” (hlm. 33 Putusan MK)
o
“Menimbang pula bahwa, sebagai perbandingan,
akses terhadap keadilan dalam rangka pemenuhan hak untuk diadili secara fair
adalah melekat pada ciri negara hukum (rule of law), dan karenanya dinilai
sebagai hak konstitusional, sudah merupakan communis opinio sebagaimana
terlihat antara lain dalam putusan Pengadilan Inggris dalam kasus R v Lord
Chancellor ex p Witham (1998) yang di antaranya menyatakan, “... the right to a
fair trial, which of necessity imports the right of access to the court, is as
near to an absolute right as any which I can envisage... It has been described
as constitutional right, though the cases do not explain what that means” (vide
Helen Fenwick & Gavin Phillipson, Text, Cases & Materials on Public Law
& Human Rights, 2nd edition, 2003, hal. 142); (hlm. 33 Putusan MK)
o
“Menimbang bahwa dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat,
Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28F
UUD 1945 dan karenanya permohonan Pemohon a quo harus dikabulkan;” (hlm. 33
Putusan MK)
Dengan demikian, jika menghadapi kuasa
lawan yang merupakan seorang lawyer menyatakan keberatan atas karyawan
perusahaan yang maju sebagai wakil perusahaan ke hadapan persidangan namun
bukan seorang yang memegang lisensi pengacara, dapat ditunjukkan putusan MK
demikian kepada majelis hakim yang memimpin persidangan, dan atas putusan demikian,
tiada lagi yang perlu digentari dari gertakan lawan. Hal ini yang kemudian menjadi suatu best practice praktik peradilan.
Logika dibalik konstruksi hukum tersebut, mengingat Direksi suatu perseroan kerap kali bukan seorang pengacara, bahkan kemungkinan pula bukan seorang sarjana hukum. Namun konsep Badan Hukum ialah ia mampu dan cakap untuk menggugat ataupun digugat. Sehingga akses tehadap keadilan bukanlah monopoli pihak Advokat.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak
Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.