(UU HAK
TANGGUNGAN VS. UU KETENAGAKERJAAN)
Question:
Bila buruh menuntut pesangon dari perusahaan yang gagal bayar, sementara aset
perusahaan tersebut telah diikat dengan hak jaminan kebendaan (hak tanggungan
ataupun fidusia), maka kedudukan siapakah yang didahulukan oleh hukum di
Indonesia?
Brief Answer:
Tidak terdapat kesatuan praktik hukum di
pengadilan maupun regulasi dan teori di Indonesia mengenai hal tersebut. Masih terdapat
ketidakpastian hukum, namun secara politis bila aset tersebut berupa pabrik atau mesin yang dikuasai buruh,
sekalipun kreditor separatis menang ditingkat pengadilan, berpotensi menjadi “menang
diatas kertas”.
Explanation:
Pasal 1134 KUHPerdata: “Hak
istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang
kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya,
semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi
daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas
menentukan kebalikannya.”
PENDAHULUAN
KASUS
PT. TEXMACO TAMAN SYNTHETICS
PT. Texmaco Taman Synthetics (PT. TTS), perusahaan
tekstil yang berlokasi di Jawa Tengah, pada 1 April 2005 dinyatakan tutup dan
semua karyawan dinyatakan Putus Hubungan Kerja (PHK). Pekerja yang diwakili
oleh Serikat Pekerja dan PT. TTS mencapai kesepakatan yang dibuat dalam
Perjanjian Bersama (PB), yang berisi:
1.
Pihak-pihak menerima Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena perusahaan tutup
sesuai pengumuman direksi tanggal 31 Maret 2005. Pekerja yang di PHK semuanya
berjumlah 1019 orang.
2.
PHK di atas terhitung mulai tanggal 8 April 2005.
3.
PT. TTS memberikan hak-hak pekerja yang di PHK (pesangon, penghargaan masa
kerja, penggantian hak) yang sebesar satu kali ketentuan pasal 156
Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketengakerjaan (UU TK). Jumlah pesangon
seluruhnya Rp. 18.261.000.000,-
4.
PT. TTS akan membayar seluruh pesangon pada tanggal 30 April 2005.
PB tersebut didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI) Semarang tanggal 9 Mei 2006. PT. TTS tidak menepati
janji untuk membayar pesangon, sehingga pada tanggal 25 Juli 2006 Serikat
Pekerja PT. TTS mengajukan Permohonan Eksekusi terhadap aset-aset PT. TTS untuk
membayar jumlah pesangon yang telah disepakati dalam PB. Atas permohonan
eksekusi buruh, pada tanggal 7 Agustus 2007 PHI melakukan teguran terhadap PT.
TTS selaku termohon eksekusi agar dalam waktu yang telah ditentukan
undang-undang yaitu 8 (delapan) hari sejak teguran tersebut, agar menepati PB
dan memberikan pesangon secara tunai sebesar 18.261.000.000,-
Atas teguran Ketua PHI tersebut, PT. TTS
memberikan jawaban yang dimuat dalam bahwa PT. TTS telah membayar pesangon
sejumlah 7.231.000.000,- sedangkan sisanya sebesar Rp. 11.030.000.000,- akan
dibayar dengan mengangsur.
Dalam perjalannya, hingga setahun lebih
PT. TTS tidak membayar kekurangan pesangon
pekerja sesuai dengan apa yang mereka sampaikan sebelumnya. Walaupun demikian, PHI
semarang tidak dapat langsung melakukan sita eksekusi, dikarenakan asset-aset
PT. TTS yang berupa mesin-mesin, tanah dan bangunan yang dimintakan sita
eksekusi oleh buruh telah dibebani dengan Hak Tanggungan dan dijaminkan secara
fidusia sebagai jaminan atas kewajiban PT. TTS kepada Negara yang berasal dari
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BBPN) yang kini lebih dikenal sebagai Perusahaan
Pengelola Aset (PPA).
Sebagai tindak lanjut, PHI Semarang
memanggil serta meminta keterangan PPA selaku pemegang hak jaminan atas
aset-aset PT. TTS. Dalam pemanggilan tersebut PPA memberikan keterangan bahwa
PPA pernah melakukan pelelangan terhadap aset-aset Texmaco tetapi tidak
berhasil dikarenakan tidak mencapai harga limit dalam pelelangan..
Pada 20 November 2008 PHI mengirim surat
kepada Ketua Mahkamah Agung (MA) untuk meminta petunjuk tentang Sita Eksekusi
aset PT. TTS yang telah dikuasai oleh PPA karena berdasarkan Surat Edaran MA
No. 02 Tahun 2003 tentang penyitaan Barang-barang Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN)/PPA, penyitaan harus mendapat izin dari Ketua MA. Hingga kini
belum MA belum memberikan tanggapan dimana sampai saat ini pula tidak ada
penyitaan aset-aset PT. TTS disamping ketiadaan tindak lanjut pembayaran
pesangon pekerja PT. TTS.
Meski demikian, MA mengeluarkan Surat
No.59/602/P/08/SK.Perd tanggal 10 Februari 2009 perihal mohon petunjuk tentang
aset perusahaan yang dikelola oleh PT. PPA sehubungan dengan SEMA No. 3 tahun
2003 untuk menjawab surat yang sama yang disampaikan oleh Pengadilan Negeri
Batang yang intinya MA memberikan jawaban bahwa:
–
Bahwa barang-barang yang sudah dibebani Hak Tanggungan dan barang-barang yang
sudah dijaminkan secara Fidusia hanya mungkin dilakukan sita persamaan.
–
Bahwa kreditur yang piutangnya dijamin dengan hak tanggungan kedudukannya lebih
tinggi daripada hak istimewa (1134 KUH Perdata)
Menurut pasal 95 ayat (2) UU No. 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (UU KT) dalam
hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi, maka upah buruh dan hak-hak
lainnya dari pekerja buruh merupakan piutang yang didahulukan. Yang menjadi
pokok permasalahan, jika piutang tersebut berhadapan dengan piutang lain yang
dijamin dengan Hak Jaminan Atas Kebendaan (Hak Tanggungan, Jaminan Fidusia,
Gadai, dan Hipotek)?
Dalam undang-undang No. 37 tahun 2004
tentang Kepailitan (UU Kepailitan) piutang kreditur dibagi menjadi tiga, yakni:
kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren. Kreditur pemegang
“hak jaminan atas kebendaan” disebut dengan kreditur separatis karena berdasarkan
pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, kreditur tersebut berwenang untuk mengeksekusi
haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Separatis, dalam arti terpisahnya
hak eksekusi atas benda-benda yang diagunkan dari harta yang dimiliki debitur
pailit (boedel pailit). Dengan begitu kreditur separatis mendapat posisi lebih utama
dalam proses kepailitan dibandingkan dengan debitor preferen yang termasuk
didalamnya adalah upah buruh. Jadi menurut UU Kepailitan, posisi pemegang hak
jaminan, didahulukan/lebih tinggi daripada pembayaran upah buruh.
Sedangkan dalam kasus PT. TTS, debitur
memang sudah menyatakan tutup tetapi tidak ada yang mengajukan permohonan
pailit. Untuk itu UU Kepailitan tidak memiliki relevansi dalam perkara a quo.
Menurut regulasi perburuhan, PB yang telah didaftarkan ke PHI, bilamana
salah satu pihak tidak melaksanakan isi PB, maka pihak yang lain dapat
mengajukan permohonan eksekusi ke PHI. Dalam kasus PT. TTS, oleh karena PT. TTS
tidak mengindahkan PB, maka buruh dapat langsung mengajukan permohonan eksekusi
ke PHI tanpa melalui gugatan.
MA dalam fatwanya menyatakan bahwa
aset/barang yang telah dibebani hak tanggugnan dan barang barang yang diikat
fidusia hanya dimungkinkan untuk dilakukan sita persamaan. Alhasil, permohonan
sita eksekusi oleh pekerja kepada PT.TTS tidak dapat dilaksanakan karena
aset-aset yang dimintakan sita eksekusi telah dibebani hak tanggungan maupun
Fidusia, dengan demikian tidak dapat dilakukan sita jaminan (CB). Seandainya pun
dapat dilaksanakan sita eksekusi dengan sita persamaan belum tentu pekerja akan
mendapatkan pesangon karena menurut surat MA tersebut piutang dari Hak
tanggungan dan Jaminan Fidusia lebih didahulukan dari pesangon buruh jadi
seandainya aset-aset PT. TTS dilakukan sita eksekusi kemudian dilelang dan
hasil lelang ternyata dikurangi piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan dan
Jaminan Fidusia sudah habis atau bahkan kurang maka pekerja tidak akan
mendapatkan apapun.
TAFSIRAN
YANG MENGIKAT
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.18/PUU-V1/2008
Tanggal 23 Oktober 2008 Kedudukan Buruh Berada Di bawah Kreditur Separatis: Berikut
petikan dari pertimbangan hukum MK: “Selanjutnya
hal tersebut tidak diartikan menyamaratakan seluruh komponen piutang yang dasar
hukumnya masing-masing berbeda, yaitu undang-undang dan perjanjian. Kedudukan
kreditor yang didasarkan pada jaminan (gadai, hipotek, fidusia, dan tanggungan)
sejak awal telah mengurangi hak debitor atas harta/aset yang dijadikan jaminan,
yang menyebabkan aset tidak dapat lagi dipandang sebagai hak milik penuh
debitor, karena aset telah dibebani hipotek, fidusia, hak tanggungan, dan gadai
yang mengurangi keleluasaan debitor untuk bertindak terhadap objek jaminan
sebagai pemilik semu (pseudo eigenaar);.”
Salah satu pertimbangan putusan MK diatas
juga menyatakan: “Selanjutnya hal
tersebut tidak diartikan menyamaratakan seluruh komponen piutang yang dasar
hukumnya masing-masing berbeda, yaitu undang-undang dan perjanjian. Kedudukan
kreditor yang didasarkan pada jaminan (gadai, hipotek, fidusia, dan tanggungan)
sejak awal telah mengurangi hak debitor atas harta/aset yang dijadikan jaminan,
yang menyebabkan aset tidak dapat lagi dipandang sebagai hak milik penuh
debitor, karena aset telah dibebani hipotek, fidusia, hak tanggungan, dan gadai
yang mengurangi keleluasaan debitor untuk bertindak terhadap objek jaminan
sebagai pemilik semu (pseudo eigenaar);”
Pertimbangan hukum MK demikian diperkuat oleh
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 15 K/K/N/2007 tertanggal Juli 2007 halaman
5 alinea 2 dan 3, yang menolak permohonan dan karyawan (buruh) atas diserahkannya
pembagian hasil aset yang telah dijaminkan kepada Kreditur Separatis.
ASET
DEBITOR PAILIT YANG DIAGUNKAN DAN BOEDEL PAILIT
UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan (UU
Kepailitan) disatu sisi menyatakan agunan debitor pailit tidak termasuk boedel
pailit karena merupakan hak kreditor separatis, karena dapat dieksekusi seolah
tidak terjadi pailit—dengan kata lain tidak tercampur dengan piutang para
kreditor konkuren, hal mana logis karena sifat istimewa UU No.4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan (UU HT) memang mengatur demikian.
Namun disisi lain, UU Kepailitan dalam
pasal lainnya justru menjadilah aset agunan debitor pailit sebagai boedel
pailit sehingga tunduk pada ketentuan penundaan (stay) 90 hari, serta hanya dapat lelang parate eksekusi dalam
jangka waktu insolvensi 2 (dua) bulan. Sehinngga membawa dampak berantai pada
kedudukan dan kepentingan kreditor lainnya seperti para kreditor konkuren
maupun preferen atas boedel pailit.
Polemik timbul, parate eksekusi yang
dilaksanakan oleh kreditor separatis terhadap aset debitor pailit tidak sah,
oleh karena mereka menganggap jaminan yang dibebani hak tanggungan merupakan
bagian dari harta pailit (boedel pailit) yang mestinya dibagikan pada para
kreditor konkuren maupun preferen.
PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG YANG MEMBANGKANG PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN
Jakpus) menolak keberatan Bank BRI untuk membayar upah Nicolas S. Lamardan bersama
143 karyawan PT Pan Gas Nusantara Industri (PGNI) lainnya. PN Jakpus memerintahkan
BRI untuk segera membayar upah Nicolas dkk sebesar Rp 8 miliar.
Tanggapan BRI, PT PGNI lah yang
seharusnya membayar gaji Nicolas. Hal ini di dasarkan pada putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) yang telah dikuatkan oleh MA. Permintaan eks
karyawan PGNI tersebut kepada BRI tidak sesuai dengan putusan MA. Pasalnya,
dalam putusan MA No.3601 K/Pdt/2002 tertanggal 24 Juni 2003 yang menguatkan
putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan No. 518/PDT/2001/PT.DKI jo. No. 232/Pdt/G/1998/PN.Jkt.Tim;,
tidak terdapat amar putusan yang menghukum BRI (tergugat X) untuk membayar gaji
kepada pihak eks karyawan PGNI.
Pengadilan Negeri Jakarta Timur ketika
itu memutus agar PT BRI memberikan tunggakan upah sebesar Rp 8 miliar kepada
143 orang mantan pekerja PT PGNI. Ketika beroperasi, PT PGNI mempunyai sejumlah
hutang kepada PT BRI.
Setelah aset PT PGNI dijual, hasil
penjualan itu disimpan di PT BRI. Sayangnya, kekurangan upah 143 mantan pekerja
PT PGNI, tak kunjung dibayar usai aset milik PT PGNI terjual. Putusan PN Jaktim
diperkuat lewat Putusan Pengadilan Tinggi di tahun 2002 dan Mahkamah Agung pada
tahun 2003.
Singkat kisah, mantan karyawan PT PGNI menggugat ke pengadilan negeri,
kemudian memenangkan sita jaminan atas aset PT PGNI yang ternyata saat itu
berada di tangan Bank BRI. Bank BRI selaku “pemegang benda sitaan”, melakukan
perlawanan ke hadapan pengadilan dengan status sebagai Pelawan melawan
penggugat. BRI menyatakan, tidak pernah menerima titipan uang hasil penjualan
asset PT PGNI sebesar 8 miliar rupiah.
BRI menerangkan, bahwa aset yang diambil
dari PT PGNI ialah aset agunan dimana posisi kedudukan BRI ialah selaku
kreditor separatis, yang kemudian agunan/jaminan kreditnya diserahkan kepada
KP2LN untuk dijual. Asset tersebut pada saat dijual dalam status bersih dari
beban-beban, karena sita jaminan yang sebelum dijatuhkan berdasar Berita Acara
Sita Jaminan No. 232/Pdt.G/1998/PN.Jkt.Tim Jo No. 26/CB/PN.Jkt.Tim telah
diangkat/dicabut dengan Putusan No. 223/Pdt.G/1998/PN.Jkt Tim tanggal 7 Juni
2001 yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung RI dengan alasan
PUPN cabang Jakarta I/KP3N Jakarta I terlebih dahulu meletakkan sita eksekusi
atas asset tersebut. Atas sita yang telah diletakkan atas suatu aset, yang
dapat dilakukan semestinya ialah sita persamaan, bukan sita eksekusi diatas
sita eksekusi.
Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan “dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan
Peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja / buruh merupakan hutang yang didahulukan pembayarannya “, sementara
penjualan asset PT PGNI tidak didasarkan pada suatu peristiwa kepailitan dan
juga tidak pernah dilikuidasi (saat itu).
Bahwa dengan demikian apabila uang hasil
penjualan asset tersebut kemudian oleh KP2LN diserahkan kepada BRI, hal
tersebut adalah dalam konteks pembayaran sebagian kewajiban PT PGNI kepada
pihak Pelawan, sehingga uang hasil penjualan asset yang berasal dari agunan
kredit tersebut tidak lagi termasuk sebagai asset yang dapat disita eksekusi
dalam perkara Karyawan PT PGNI melawan PT PGNI, karena sudah bukan merupakan
asset PT PGNI lagi dan sudah dijual jauh hari sebelum adanya putusan perkara
No. 232/Pdt.G/1998/PN.JKT.Timur.
Atas perlawanan atas sita jaminan dari
BRI tersebut, MA dalam putusannya No. 1724 K/Pdt/2011, telah memutuskan dengan pertimbangan
hukum yang demikian kering dan absurb, bahwa BRI dikalahkan, dan atas aset agunan
debitor kepada kreditor separatis, beralih menjadi hak buruh selaku kreditor
preferen.
KOMPLIKASI
PUTUSAN YANG MENGAMPUTASI HAK KREDITOR
SEPARATIS (HAK TANGGUNGAN/FIDUCIA) DAN MENGGANGKAT DERAJAT KREDITOR PREFEREN
(GAJI BURUH)
Dalam kaitan dengan pemenuhan hak-hak pekerja
dari suatu perusahaan yang telah dinyatakan pailit, hukum hanya menerangkan
bahwa sejak tanggal penetapan pailit, upah yang terutang sebelum maupun sesudah
putusan pernyataan pailit diucapkan, merupakan utang harta pailit. Oleh karena jaminan
hak tanggungan berada di luar harta pailit sesuai asas hukum jaminan, maka
sebenarnya upah maupun hak pekerja tidak ada kaitannya dengan objek hak
tanggungan. Kecuali bila dalam lelang eksekusi agunan terdapat nilai sisa, sisa
hasil penjualan agunan tersebut barulah masuk dalam boedel pailit yang menjadi
rebutan para kreditor lainnya.
Dapat ditemukan beberapa putusan
pengadilan yang memberikan win-win
solution berupa perintah agar bank selaku kreditor separatis membagi nilai
hasil lelang eksekusi agunan kepada buruh dalam persenan tertentu (jamak
putusan yang memerintahkan pembagian 12% dari harga lelang terbentuk untuk
diserahkan pada buruh sebagai hak atas gaji tertunggaknya), meski senyatanya
nilai hasil lelang tersebut baru menutup 20% dari total piutangnya.
Atas putusan hakim yang memerintahkan kreditor
separatis agar membagi hasil lelang eksekusi hak tanggungan atas aset debitor
kepada para karyawan dari debitor korporasi, dari segi kemanusiaan patut
diapresiasi. Namun, dalam jangka panjang dapat menjadi preseden buruk bagi
perbankan Indonesia.
Efek domino yang terjadi, perbankan
menjadi overprotectif dalam menyalurkan dana kredit, akibat tiadanya kepastian
hukum atas aset yang menjadi agunan terlebih bila menggarisbawahi perihal
pengembalian piutang yang diberikan kepada debitor korporasi tersebut. Kucuran dana
kredit menurun, dan bank akan bermain aman dengan investasi kepada Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) sebagaimana banyak dipraktikkan bank-bank asing di Indonesia.
Efek berantainya, modal bagi industri menjadi tipis, maka roda ekonomi tidak
akan bergerak, maka ekonomi makro akan runtuh.
Modal yang minim akan menghambat kegiatan
produksi dan menurunkan pendapatan bidang industri, yang kemudian mendorong
industri tersebut mengurangi biaya modalnya dengan cara efisiensi penggunaan
bahan baku dan juga pengurangan tenaga kerja dalam rangka mempertahankan
kelansgsungan usaha. Bila terjadi terus-menerus, angka pengangguran akan
meningkat, pasokan produk hasil olahan produksi menurun sehingga terjadi
inflasi. Putusan kontraproduktif yang tidak memiliki pertimbangan domino efek
jangka panjang secara sosial-ekonomi.
PENUTUP
DAN KESIMPULAN
Keberatan buruh pada dasarnya karena kurangnya
pemahaman bahwa jaminan kebendaan yang dipegang kreditor separatis berada
diluar harta pailit.
Menurut sifatnya, kedudukan para pekerja
telah diatur dalam hukum perdata, namun bukan dari hasil penjualan objek agunan
oleh karena berada di luar boedel pailit. Hanya saja sering penjelasan megnenai
hal tersebut tidak disampaikan oleh kurator kepada para pekerja/buruh
perusahaan pailit, bahkan dijadikan propaganda emosi pekerja yang pada
gilirannya menimbulkan pertentangan antara kreditor separatis dengan para
pekerja dari perusahaan pailit.
Mengingat bahwa buruh/karyawan itu sendiri bisa jadi menjadi
nasabah bank yang merupakan sumber dana pihak ketiga (DPK) dari bank (in casu kreditor separatis), maka bila
bank menjadi kolaps karena kendala NPL (non
performing loan), dapat dipastikan “menang jadi arang, kalah jadi abu”. Yang
mengherankan, mengapa perusahaan bisa pailit tanpa mampu menutup hutang-hutangnya
atau bahkan ditutup tanpa sebelumnya membayar gaji para pegawainya setelah
menunggak berbulan-bulan? Bukankah hal tersebut bukti keteledoran Depnaker itu
sendiri?
SUMBER PUSTAKA:
-
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata;
-
Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang;
-
UU No.
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
-
UU
No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan;
-
UU No.13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
-
Nurintan
Rismauli Marpaung, Tesis Kendala
Penerapan Parate Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Pada Masa
Insolvensi Kepailitan Debitor Korporasi, (Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia: Jakarta, 2012).
-
Dwi
Maryoso, “Posisi Pesangon Buruh Dibandingkan Hak Jaminan Kebendaan” dalam Guus
Heerma van Voss dan Surya Tjandra (Editor), Bab-Bab
Tentang Hukum Perburuhan Indoensia,
(Pustaka Larasan: Denpasar—Bali, 2012), hlm.153—160.
-
Putusan
Kasasi Mahkamah Agung No. 1724 K/Pdt/2011 tanggal 28 November 2011.
-
Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) No.18/PUU-V1/2008 Tanggal 23 Oktober 2008.
-
Rivki,
“PN Jakpus Perintahkan BRI Bayar Upah Eks Karyawan PT PGNI Rp 8 M”, http://news.detik.com/read/2012/11/14/154433/2091738/10/pn-jakpus-perintahkan-bri-bayar-upah-eks-karyawan-pt-pgni-rp-8-m?nd771104bcj,
tgl 30 Oktober 2013, pkl 14.00 WIB.
-
Andi Saputra, “Bukan BRI, Tetapi PGNI yang Harus
Bayar Gaji Karyawan”, http://news.detik.com/read/2012/02/06/144816/1835279/10/bukan-bri-tetapi-pgni-yang-harus-bayar-gaji-karyawan,
tgl 30 Oktober 2013, phl 14.00 WIB.
-
Ady
Td Achmad, “Abaikan Hak Pekerja, BRI ‘Ditegur’ Ombudsman”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt512b443580f6b/abaikan-hak-pekerja--bri-ditegur-ombudsman
tgl 30 Oktober 2013, pkl 14.00 WIB.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak
Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.