Hak Buruh atas Gaji Perusahaan Pailit Vs. Hak Kreditor Separatis

KREDITUR SEPARATIS VS. HAK NORMATIF BURUH
(UU HAK TANGGUNGAN VS. UU KETENAGAKERJAAN)

Question: Bila buruh menuntut pesangon dari perusahaan yang gagal bayar, sementara aset perusahaan tersebut telah diikat dengan hak jaminan kebendaan (hak tanggungan ataupun fidusia), maka kedudukan siapakah yang didahulukan oleh hukum di Indonesia?
Brief Answer:  Tidak terdapat kesatuan praktik hukum di pengadilan maupun regulasi dan teori di Indonesia mengenai hal tersebut. Masih terdapat ketidakpastian hukum, namun secara politis bila aset tersebut berupa pabrik atau mesin yang dikuasai buruh, sekalipun kreditor separatis menang ditingkat pengadilan, berpotensi menjadi “menang diatas kertas”.

Explanation:

Pasal 1134 KUHPerdata: “Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya.”

PENDAHULUAN
KASUS PT. TEXMACO TAMAN SYNTHETICS
PT. Texmaco Taman Synthetics (PT. TTS), perusahaan tekstil yang berlokasi di Jawa Tengah, pada 1 April 2005 dinyatakan tutup dan semua karyawan dinyatakan Putus Hubungan Kerja (PHK). Pekerja yang diwakili oleh Serikat Pekerja dan PT. TTS mencapai kesepakatan yang dibuat dalam Perjanjian Bersama (PB), yang berisi:
1. Pihak-pihak menerima Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena perusahaan tutup sesuai pengumuman direksi tanggal 31 Maret 2005. Pekerja yang di PHK semuanya berjumlah 1019 orang.
2. PHK di atas terhitung mulai tanggal 8 April 2005.
3. PT. TTS memberikan hak-hak pekerja yang di PHK (pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak) yang sebesar satu kali ketentuan pasal 156 Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketengakerjaan (UU TK). Jumlah pesangon seluruhnya Rp. 18.261.000.000,-
4. PT. TTS akan membayar seluruh pesangon pada tanggal 30 April 2005.
PB tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Semarang tanggal 9 Mei 2006. PT. TTS tidak menepati janji untuk membayar pesangon, sehingga pada tanggal 25 Juli 2006 Serikat Pekerja PT. TTS mengajukan Permohonan Eksekusi terhadap aset-aset PT. TTS untuk membayar jumlah pesangon yang telah disepakati dalam PB. Atas permohonan eksekusi buruh, pada tanggal 7 Agustus 2007 PHI melakukan teguran terhadap PT. TTS selaku termohon eksekusi agar dalam waktu yang telah ditentukan undang-undang yaitu 8 (delapan) hari sejak teguran tersebut, agar menepati PB dan memberikan pesangon secara tunai sebesar 18.261.000.000,-
Atas teguran Ketua PHI tersebut, PT. TTS memberikan jawaban yang dimuat dalam bahwa PT. TTS telah membayar pesangon sejumlah 7.231.000.000,- sedangkan sisanya sebesar Rp. 11.030.000.000,- akan dibayar dengan mengangsur.
Dalam perjalannya, hingga setahun lebih PT. TTS tidak membayar kekurangan  pesangon pekerja sesuai dengan apa yang mereka sampaikan sebelumnya. Walaupun demikian, PHI semarang tidak dapat langsung melakukan sita eksekusi, dikarenakan asset-aset PT. TTS yang berupa mesin-mesin, tanah dan bangunan yang dimintakan sita eksekusi oleh buruh telah dibebani dengan Hak Tanggungan dan dijaminkan secara fidusia sebagai jaminan atas kewajiban PT. TTS kepada Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BBPN) yang kini lebih dikenal sebagai Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
Sebagai tindak lanjut, PHI Semarang memanggil serta meminta keterangan PPA selaku pemegang hak jaminan atas aset-aset PT. TTS. Dalam pemanggilan tersebut PPA memberikan keterangan bahwa PPA pernah melakukan pelelangan terhadap aset-aset Texmaco tetapi tidak berhasil dikarenakan tidak mencapai harga limit dalam pelelangan..
Pada 20 November 2008 PHI mengirim surat kepada Ketua Mahkamah Agung (MA) untuk meminta petunjuk tentang Sita Eksekusi aset PT. TTS yang telah dikuasai oleh PPA karena berdasarkan Surat Edaran MA No. 02 Tahun 2003 tentang penyitaan Barang-barang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)/PPA, penyitaan harus mendapat izin dari Ketua MA. Hingga kini belum MA belum memberikan tanggapan dimana sampai saat ini pula tidak ada penyitaan aset-aset PT. TTS disamping ketiadaan tindak lanjut pembayaran pesangon pekerja PT. TTS.
Meski demikian, MA mengeluarkan Surat No.59/602/P/08/SK.Perd tanggal 10 Februari 2009 perihal mohon petunjuk tentang aset perusahaan yang dikelola oleh PT. PPA sehubungan dengan SEMA No. 3 tahun 2003 untuk menjawab surat yang sama yang disampaikan oleh Pengadilan Negeri Batang yang intinya MA memberikan jawaban bahwa:
– Bahwa barang-barang yang sudah dibebani Hak Tanggungan dan barang-barang yang sudah dijaminkan secara Fidusia hanya mungkin dilakukan sita persamaan.
– Bahwa kreditur yang piutangnya dijamin dengan hak tanggungan kedudukannya lebih tinggi daripada hak istimewa (1134 KUH Perdata)
Menurut pasal 95 ayat (2) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan  (UU KT) dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi, maka upah buruh dan hak-hak lainnya dari pekerja buruh merupakan piutang yang didahulukan. Yang menjadi pokok permasalahan, jika piutang tersebut berhadapan dengan piutang lain yang dijamin dengan Hak Jaminan Atas Kebendaan (Hak Tanggungan, Jaminan Fidusia, Gadai, dan Hipotek)?
Dalam undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan (UU Kepailitan) piutang kreditur dibagi menjadi tiga, yakni: kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren. Kreditur pemegang “hak jaminan atas kebendaan” disebut dengan kreditur separatis karena berdasarkan pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, kreditur tersebut berwenang untuk mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Separatis, dalam arti terpisahnya hak eksekusi atas benda-benda yang diagunkan dari harta yang dimiliki debitur pailit (boedel pailit). Dengan begitu kreditur separatis mendapat posisi lebih utama dalam proses kepailitan dibandingkan dengan debitor preferen yang termasuk didalamnya adalah upah buruh. Jadi menurut UU Kepailitan, posisi pemegang hak jaminan, didahulukan/lebih tinggi daripada pembayaran upah buruh.
Sedangkan dalam kasus PT. TTS, debitur memang sudah menyatakan tutup tetapi tidak ada yang mengajukan permohonan pailit. Untuk itu UU Kepailitan tidak memiliki relevansi dalam perkara a quo.
Menurut regulasi perburuhan, PB yang telah didaftarkan ke PHI, bilamana salah satu pihak tidak melaksanakan isi PB, maka pihak yang lain dapat mengajukan permohonan eksekusi ke PHI. Dalam kasus PT. TTS, oleh karena PT. TTS tidak mengindahkan PB, maka buruh dapat langsung mengajukan permohonan eksekusi ke PHI tanpa melalui gugatan.
MA dalam fatwanya menyatakan bahwa aset/barang yang telah dibebani hak tanggugnan dan barang barang yang diikat fidusia hanya dimungkinkan untuk dilakukan sita persamaan. Alhasil, permohonan sita eksekusi oleh pekerja kepada PT.TTS tidak dapat dilaksanakan karena aset-aset yang dimintakan sita eksekusi telah dibebani hak tanggungan maupun Fidusia, dengan demikian tidak dapat dilakukan sita jaminan (CB). Seandainya pun dapat dilaksanakan sita eksekusi dengan sita persamaan belum tentu pekerja akan mendapatkan pesangon karena menurut surat MA tersebut piutang dari Hak tanggungan dan Jaminan Fidusia lebih didahulukan dari pesangon buruh jadi seandainya aset-aset PT. TTS dilakukan sita eksekusi kemudian dilelang dan hasil lelang ternyata dikurangi piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia sudah habis atau bahkan kurang maka pekerja tidak akan mendapatkan apapun.

TAFSIRAN YANG MENGIKAT
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.18/PUU-V1/2008 Tanggal 23 Oktober 2008 Kedudukan Buruh Berada Di bawah Kreditur Separatis: Berikut petikan dari pertimbangan hukum MK: “Selanjutnya hal tersebut tidak diartikan menyamaratakan seluruh komponen piutang yang dasar hukumnya masing-masing berbeda, yaitu undang-undang dan perjanjian. Kedudukan kreditor yang didasarkan pada jaminan (gadai, hipotek, fidusia, dan tanggungan) sejak awal telah mengurangi hak debitor atas harta/aset yang dijadikan jaminan, yang menyebabkan aset tidak dapat lagi dipandang sebagai hak milik penuh debitor, karena aset telah dibebani hipotek, fidusia, hak tanggungan, dan gadai yang mengurangi keleluasaan debitor untuk bertindak terhadap objek jaminan sebagai pemilik semu (pseudo eigenaar);.”
Salah satu pertimbangan putusan MK diatas juga menyatakan: “Selanjutnya hal tersebut tidak diartikan menyamaratakan seluruh komponen piutang yang dasar hukumnya masing-masing berbeda, yaitu undang-undang dan perjanjian. Kedudukan kreditor yang didasarkan pada jaminan (gadai, hipotek, fidusia, dan tanggungan) sejak awal telah mengurangi hak debitor atas harta/aset yang dijadikan jaminan, yang menyebabkan aset tidak dapat lagi dipandang sebagai hak milik penuh debitor, karena aset telah dibebani hipotek, fidusia, hak tanggungan, dan gadai yang mengurangi keleluasaan debitor untuk bertindak terhadap objek jaminan sebagai pemilik semu (pseudo eigenaar);
Pertimbangan hukum MK demikian diperkuat oleh Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 15 K/K/N/2007 tertanggal Juli 2007 halaman 5 alinea 2 dan 3, yang menolak permohonan dan karyawan (buruh) atas diserahkannya pembagian hasil aset yang telah dijaminkan kepada Kreditur Separatis.

ASET DEBITOR PAILIT YANG DIAGUNKAN DAN BOEDEL PAILIT
UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan (UU Kepailitan) disatu sisi menyatakan agunan debitor pailit tidak termasuk boedel pailit karena merupakan hak kreditor separatis, karena dapat dieksekusi seolah tidak terjadi pailit—dengan kata lain tidak tercampur dengan piutang para kreditor konkuren, hal mana logis karena sifat istimewa UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UU HT) memang mengatur demikian.
Namun disisi lain, UU Kepailitan dalam pasal lainnya justru menjadilah aset agunan debitor pailit sebagai boedel pailit sehingga tunduk pada ketentuan penundaan (stay) 90 hari, serta hanya dapat lelang parate eksekusi dalam jangka waktu insolvensi 2 (dua) bulan. Sehinngga membawa dampak berantai pada kedudukan dan kepentingan kreditor lainnya seperti para kreditor konkuren maupun preferen atas boedel pailit.
Polemik timbul, parate eksekusi yang dilaksanakan oleh kreditor separatis terhadap aset debitor pailit tidak sah, oleh karena mereka menganggap jaminan yang dibebani hak tanggungan merupakan bagian dari harta pailit (boedel pailit) yang mestinya dibagikan pada para kreditor konkuren maupun preferen.

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG YANG MEMBANGKANG PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menolak keberatan Bank BRI untuk membayar upah Nicolas S. Lamardan bersama 143 karyawan PT Pan Gas Nusantara Industri (PGNI) lainnya. PN Jakpus memerintahkan BRI untuk segera membayar upah Nicolas dkk sebesar Rp 8 miliar.
Tanggapan BRI, PT PGNI lah yang seharusnya membayar gaji Nicolas. Hal ini di dasarkan pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) yang telah dikuatkan oleh MA. Permintaan eks karyawan PGNI tersebut kepada BRI tidak sesuai dengan putusan MA. Pasalnya, dalam putusan MA No.3601 K/Pdt/2002 tertanggal 24 Juni 2003 yang menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan No. 518/PDT/2001/PT.DKI jo. No. 232/Pdt/G/1998/PN.Jkt.Tim;, tidak terdapat amar putusan yang menghukum BRI (tergugat X) untuk membayar gaji kepada pihak eks karyawan PGNI.
Pengadilan Negeri Jakarta Timur ketika itu memutus agar PT BRI memberikan tunggakan upah sebesar Rp 8 miliar kepada 143 orang mantan pekerja PT PGNI. Ketika beroperasi, PT PGNI mempunyai sejumlah hutang kepada PT BRI.
Setelah aset PT PGNI dijual, hasil penjualan itu disimpan di PT BRI. Sayangnya, kekurangan upah 143 mantan pekerja PT PGNI, tak kunjung dibayar usai aset milik PT PGNI terjual. Putusan PN Jaktim diperkuat lewat Putusan Pengadilan Tinggi di tahun 2002 dan Mahkamah Agung pada tahun 2003.
Singkat kisah, mantan karyawan PT PGNI menggugat ke pengadilan negeri, kemudian memenangkan sita jaminan atas aset PT PGNI yang ternyata saat itu berada di tangan Bank BRI. Bank BRI selaku “pemegang benda sitaan”, melakukan perlawanan ke hadapan pengadilan dengan status sebagai Pelawan melawan penggugat. BRI menyatakan, tidak pernah menerima titipan uang hasil penjualan asset PT PGNI sebesar 8 miliar rupiah.
BRI menerangkan, bahwa aset yang diambil dari PT PGNI ialah aset agunan dimana posisi kedudukan BRI ialah selaku kreditor separatis, yang kemudian agunan/jaminan kreditnya diserahkan kepada KP2LN untuk dijual. Asset tersebut pada saat dijual dalam status bersih dari beban-beban, karena sita jaminan yang sebelum dijatuhkan berdasar Berita Acara Sita Jaminan No. 232/Pdt.G/1998/PN.Jkt.Tim Jo No. 26/CB/PN.Jkt.Tim telah diangkat/dicabut dengan Putusan No. 223/Pdt.G/1998/PN.Jkt Tim tanggal 7 Juni 2001 yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung RI dengan alasan PUPN cabang Jakarta I/KP3N Jakarta I terlebih dahulu meletakkan sita eksekusi atas asset tersebut. Atas sita yang telah diletakkan atas suatu aset, yang dapat dilakukan semestinya ialah sita persamaan, bukan sita eksekusi diatas sita eksekusi.
Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan “dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja / buruh merupakan hutang yang didahulukan pembayarannya “, sementara penjualan asset PT PGNI tidak didasarkan pada suatu peristiwa kepailitan dan juga tidak pernah dilikuidasi (saat itu).
Bahwa dengan demikian apabila uang hasil penjualan asset tersebut kemudian oleh KP2LN diserahkan kepada BRI, hal tersebut adalah dalam konteks pembayaran sebagian kewajiban PT PGNI kepada pihak Pelawan, sehingga uang hasil penjualan asset yang berasal dari agunan kredit tersebut tidak lagi termasuk sebagai asset yang dapat disita eksekusi dalam perkara Karyawan PT PGNI melawan PT PGNI, karena sudah bukan merupakan asset PT PGNI lagi dan sudah dijual jauh hari sebelum adanya putusan perkara No. 232/Pdt.G/1998/PN.JKT.Timur.
Atas perlawanan atas sita jaminan dari BRI tersebut, MA dalam putusannya No. 1724 K/Pdt/2011, telah memutuskan dengan pertimbangan hukum yang demikian kering dan absurb, bahwa BRI dikalahkan, dan atas aset agunan debitor kepada kreditor separatis, beralih menjadi hak buruh selaku kreditor preferen.

KOMPLIKASI  PUTUSAN YANG MENGAMPUTASI HAK KREDITOR SEPARATIS (HAK TANGGUNGAN/FIDUCIA) DAN MENGGANGKAT DERAJAT KREDITOR PREFEREN (GAJI BURUH)
Dalam kaitan dengan pemenuhan hak-hak pekerja dari suatu perusahaan yang telah dinyatakan pailit, hukum hanya menerangkan bahwa sejak tanggal penetapan pailit, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan, merupakan utang harta pailit. Oleh karena jaminan hak tanggungan berada di luar harta pailit sesuai asas hukum jaminan, maka sebenarnya upah maupun hak pekerja tidak ada kaitannya dengan objek hak tanggungan. Kecuali bila dalam lelang eksekusi agunan terdapat nilai sisa, sisa hasil penjualan agunan tersebut barulah masuk dalam boedel pailit yang menjadi rebutan para kreditor lainnya.
Dapat ditemukan beberapa putusan pengadilan yang memberikan win-win solution berupa perintah agar bank selaku kreditor separatis membagi nilai hasil lelang eksekusi agunan kepada buruh dalam persenan tertentu (jamak putusan yang memerintahkan pembagian 12% dari harga lelang terbentuk untuk diserahkan pada buruh sebagai hak atas gaji tertunggaknya), meski senyatanya nilai hasil lelang tersebut baru menutup 20% dari total piutangnya.
Atas putusan hakim yang memerintahkan kreditor separatis agar membagi hasil lelang eksekusi hak tanggungan atas aset debitor kepada para karyawan dari debitor korporasi, dari segi kemanusiaan patut diapresiasi. Namun, dalam jangka panjang dapat menjadi preseden buruk bagi perbankan Indonesia.
Efek domino yang terjadi, perbankan menjadi overprotectif dalam menyalurkan dana kredit, akibat tiadanya kepastian hukum atas aset yang menjadi agunan terlebih bila menggarisbawahi perihal pengembalian piutang yang diberikan kepada debitor korporasi tersebut. Kucuran dana kredit menurun, dan bank akan bermain aman dengan investasi kepada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagaimana banyak dipraktikkan bank-bank asing di Indonesia. Efek berantainya, modal bagi industri menjadi tipis, maka roda ekonomi tidak akan bergerak, maka ekonomi makro akan runtuh.
Modal yang minim akan menghambat kegiatan produksi dan menurunkan pendapatan bidang industri, yang kemudian mendorong industri tersebut mengurangi biaya modalnya dengan cara efisiensi penggunaan bahan baku dan juga pengurangan tenaga kerja dalam rangka mempertahankan kelansgsungan usaha. Bila terjadi terus-menerus, angka pengangguran akan meningkat, pasokan produk hasil olahan produksi menurun sehingga terjadi inflasi. Putusan kontraproduktif yang tidak memiliki pertimbangan domino efek jangka panjang secara sosial-ekonomi.

PENUTUP DAN KESIMPULAN
Keberatan buruh pada dasarnya karena kurangnya pemahaman bahwa jaminan kebendaan yang dipegang kreditor separatis berada diluar harta pailit.
Menurut sifatnya, kedudukan para pekerja telah diatur dalam hukum perdata, namun bukan dari hasil penjualan objek agunan oleh karena berada di luar boedel pailit. Hanya saja sering penjelasan megnenai hal tersebut tidak disampaikan oleh kurator kepada para pekerja/buruh perusahaan pailit, bahkan dijadikan propaganda emosi pekerja yang pada gilirannya menimbulkan pertentangan antara kreditor separatis dengan para pekerja dari perusahaan pailit.
Mengingat bahwa  buruh/karyawan itu sendiri bisa jadi menjadi nasabah bank yang merupakan sumber dana pihak ketiga (DPK) dari bank (in casu kreditor separatis), maka bila bank menjadi kolaps karena kendala NPL (non performing loan), dapat dipastikan “menang jadi arang, kalah jadi abu”. Yang mengherankan, mengapa perusahaan bisa pailit tanpa mampu menutup hutang-hutangnya atau bahkan ditutup tanpa sebelumnya membayar gaji para pegawainya setelah menunggak berbulan-bulan? Bukankah hal tersebut bukti keteledoran Depnaker itu sendiri?

SUMBER PUSTAKA:
-        Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
-        Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang;
-        UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
-        UU No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan;
-        UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
-        Nurintan Rismauli Marpaung, Tesis Kendala Penerapan Parate Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Pada Masa Insolvensi Kepailitan Debitor Korporasi, (Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia: Jakarta, 2012).
-        Dwi Maryoso, “Posisi Pesangon Buruh Dibandingkan Hak Jaminan Kebendaan” dalam Guus Heerma van Voss dan Surya Tjandra (Editor), Bab-Bab Tentang Hukum Perburuhan Indoensia,  (Pustaka Larasan: Denpasar—Bali, 2012), hlm.153—160.
-        Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 1724 K/Pdt/2011 tanggal 28 November 2011.
-        Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.18/PUU-V1/2008 Tanggal 23 Oktober 2008.
-        Rivki, “PN Jakpus Perintahkan BRI Bayar Upah Eks Karyawan PT PGNI Rp 8 M”, http://news.detik.com/read/2012/11/14/154433/2091738/10/pn-jakpus-perintahkan-bri-bayar-upah-eks-karyawan-pt-pgni-rp-8-m?nd771104bcj, tgl 30 Oktober 2013, pkl 14.00 WIB.
-        Andi Saputra, “Bukan BRI, Tetapi PGNI yang Harus Bayar Gaji Karyawan”, http://news.detik.com/read/2012/02/06/144816/1835279/10/bukan-bri-tetapi-pgni-yang-harus-bayar-gaji-karyawan, tgl 30 Oktober 2013, phl 14.00 WIB.
-        Ady Td Achmad, “Abaikan Hak Pekerja, BRI ‘Ditegur’ Ombudsman”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt512b443580f6b/abaikan-hak-pekerja--bri-ditegur-ombudsman tgl 30 Oktober 2013, pkl 14.00 WIB.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.