Debitor yang Menghalangi Appraisal dalam Rangka Kepentingan Lelang Kreditor Pemegang Hak Tanggungan

PERTANYAAN:  Bila aset jaminan debitor hendak dilelang, dimana ketentuan hukum lelang mensyaratkan adanya appraisal untuk nilai limit tertentu, namun debitor tersebut menghalang-halangi proses appraisal, sehingga petugas appraisal tidak dapat melaksanakan tugasnya, bagaimanakah posisi hukum kreditor?
JAWABAN SINGKAT: lakukan somasi (oleh bank kreditor), sekaligus menerangkan bahwa tindakan debitor justru merugikan dirinya sendiri, karena kreditor akan memakai hasil laporan appraisal lama saat pengajuan kredit. Upaya hukum ketika somasi gagal, lakukan gugatan perdata “Perbuatan Melawan Hukum” atau “wanprestasi”. Atas gugatan yang dimenangkan oleh kreditor, maka bila putusan tidak dijalankan, dapat diajukan eksekusi “pembukaan paksa pintu” atau sesuai permintaan dalam surat gugatan. Lelang pada dasarnya tetap dapat dilaksanakan dengan laporan apprasial cukup menerangkan bahwa objek penilaian tidak dapat dinilai dari dalam gedung/tanah—namun hanya hasil penilaian dari luar gedung/tanah, karena suatu sebab, maka debitor harus menerima hasil penilaian appraisal, meski hasil penilaian jauh di bahwa harga aktual dalam gedung. Atau, cukup gunakan hasil appraisal ketika aplikasi kredit diajukan debitor jauh sebelumnya, oleh sebab regulasi lelang tidak mensyaratkan batas waktu masa pakai dokumen appraisal (kecuali laporan hasil appraisal menyebutkan lain). Terhadap deditor demikian dapat pula dalam somasi diancam dengan Pasal 404 KUHP (Pidana) dengan ancaman penjara maksimum 2 tahun.

PEMBAHASAN:
Secara hukum tidak diijinkan polisi maupun TNI untuk mengawal sipil (tentara/polisi bayaran), tidak diizinkan untuk melaksanakan bisnis, juga tidak diizinkan untuk menangani perkara perdata. Polisi hanya berwenang menangani perkara pidana.
Kelemahan lembaga hukum Indonesia, sangat prosedural dan menuntut aspek formil, sehingga tidak ada langkah instan untuk pertanyaan diatas, kecuali menggunakan cara-cara “menyimpangi” hukum.
Bila debitor dibakingi oleh oknum militer, dapat mengajukan laporan kepada “polisi militer” agar dapat disidik oleh “Oditur militer”. Bagi oknum TNI yang kedapatan melakukan bisnis, terlebih bisnis ilegal, diancam tindak pidana militer. Jika ternyata oknum tersebut bukan militer, hanya mengenakan seragam militer, kepada sipil berbaju militer tersebut dapat dikenakan tindak pidana umum. (Pasal 39 Undang-undang Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia: “Prajurit dilarang terlibat dalam: kegiatan bisnis.” Dan Pasal 508 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengancam pidana kurungan bagi mereka sipil yang memakai atribur militer)
Bila menghadapi debitor yang asetnya dikawal oleh oknum TNI, langkah awal guna menghadapinya ialah dengan mengancam akan melapor pada Ankum (atasan yang berhak menghukum) berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 Tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata RI. Kemungkinan besar oknum TNI yang bersangkutan paham, dan tidak akan menghalangi proses appraisal. Seorang anggota TNI melakukan kesalahan disiplin keras, ketika ia menggunakan senjata menghadapi sipil, atau ketika ia melakukan aniaya terhadap sipil.
Namun, baik pengawal debitor maupun kreditor pun, secara hukum tidak dapat meminta pengawalan polisi, baik untuk membuka paksa pintu rumah, ataupun untuk mengamankan agar pintu tidak dibuka. Provos maupun Propam kepolisian RI berwenang memeriksa pelanggaran disiplin.
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara RI: “Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang: h. menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang; i. menjadi perantara/makelar perkara;”
Bila menggunakan mekanisme upaya hukum gugatan, maka terdapat 2 jenis gugatan yang dapat diajukan: gugatan Perbuatan Melawan Hukum ataupun gugatan wanprestasi (ingkar janji). Bila yang menjadi dasar ialah gugatan “Perbuatan Melawan Hukum”, maka dasar hukumnya ialah Pasal 1365 KUHPerdata: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.” Definisi melanggar hukum dalam perdata tidak hanya melanggar undang-undang, namun bisa juga melanggar kepatutan dan kesusilaan. Unsur berikutnya ialah bila memang terdapat kerugian pada kreditor (penggugat), maka bila terdapat hubungan antara kerugian yang sengaja ditimbulkan oleh debitor dengan kerugian yang diderita kreditor, maka gugatan dapat dikabulkan, semisal gugatan Perbuatan Melawan Hukum menghalangi appraisal, maka amar putusan akan mengabulkan permohonan dalam gugatan, semisal: “Memerintahkan Tergugat untuk membuka akses masuk rumah/gedung sehingga tidak menghalangi tugas appraisal.” Bila amar demikian tetap tidak dijalankan, sehingga guna menghindari putusan menang diatas kertas, maka dapat diajukan “permohonan eksekusi” guna melaksanakan putusan tersebut (bukan eksekusi penjualan hak tanggungan).
Bila dalam Akta Kredit tercantum ketentuan di bawah ini:
Pasal 11 Ayat (2) undang-undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, diatur bahwa: “Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain:
c. janji yang memberikan kewenangan kepada pe-megang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meli-puti letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji;
d. janji yang memberikan kewenangan kepada peme-gang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undangundang;
e. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;
k. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan me-ngosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;
…berarti kreditor dapat mengajukan gugatan wanprestasi terhadap debitor, atas dasar pelanggaran terhadap perjanjian, sehingga dapat meminta amar putusan sebagaimana gugatan “perbuatan melawan hukum”. Bila putusan demikian tidak ditepati, maka dapat dimintakan permohonan “eksekusi” kepada pengadilan (dalam hal ini permohonan eksekusi sesuai bunyi permohonan dalam surat gugatan, semisal “memperbolehkan masuk petugas appraisal”, dll)
Atas kedua jenis gugatan tersebut, pada dasarnya dapat disertakan pula tambahan dalam permohonan putusan, entah ganti-rugi atas perbuatan melawan hukum, atau bila gugatan wanprestasi dapat pula dimintakan nilai sesuai sanksi dalam perjanjian.
Bila tergugat membandel, dapat dimintakan Lembaga Paksa Badan (Gijzeling) guna melaksanakan isi putusan ataupun perjanjian. Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan diatur:
a. Paksa Badang adalah upaya tidak langsung dengan memasukkan seseorang debitur yang beritikad tidak baik ke dalam Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan oleh Pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya:
b. Debitur yang beritikad tidak baik adalah debitur, penanggung atau penjamin hutang yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang-hutangnya.
Pasal 4: “Paksa Badan hanya dapat dikenakan pada debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai hutang sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Pasal 5: Paksa Badan ditetapkan untuk 6 (enam) bulan lamanya, dan dapat diperpanjang setiap 6 (enam) bulan dengan keseluruhan maksimum selama 3 (tiga) tahun.
Pasal 6:
(1) Putusan tentang Paksa Badan ditetapkan bersama-sama dengan putusan pokok perkara.
(2) Terhadap debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai hutang kepada Negara atau yang dijamin oleh Negara, ketentuan ayat (1) tersebut diatas dilaksanakan secara serta-merta.
(3) Pelaksanaan putusan yang menyangkut pelaksanaan Paksa Badan dilakukan dengan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal 7:Kewajiban debitur yang didasarkan atas pengakuan hutang sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR/258 Rbg., Paksa Badan dapat diajukan tersendiri dan dilaksanakan berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri.”
Pasal 8: “Pelaksanaan Paksa Badan dilakukan oleh Panitera/Jurusita atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, bilamana perlu dengan bantuan Alat Negara.”
Pasal 9: “
(1) Biaya selama debitur yang beritikad tidak baik menjalani Paksa Badan, dibebankan kepada pemohon Paksa Badan.
(2) Selama menjalani Paksa Badan debitur yang beritikad tidak baik dapat memperbaiki kehidupannya atas biaya sendiri.

Dalam laporan hasil penilaian oleh appraisal, dapat disertakan berita acara bahwa atas objek agunan tidak dapat diakses karena kendala tidak diizinkan oleh debitor, sehingga penilaian didasarkan atas asumsi luas bangunan dan tanah dengan dibandingkan atas nilai pasal tanah dan bangunan yang diestimasi pula dari kondisi fisik bangunan dari tampak luar. Maka bila hasil appraisal tidak akurat, pihak appraisal maupun kreditor tidak dapat dipersalahkan secara hukum, dan pertimbangan tersebut pun dapat disebutkan dalam somasi, guna memberi peringatan atas tindakan debitor yang dapat menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Appraisal dapat melakukan kunjungan beberapa kali dengan saksi, berupa kepala desa yang ditemani balai lelang maupun pihak bank sendiri, warga setempat, kepala RT/RW. Atas semua mitigasi tersebut, tidaklah dapat appraisal maupun kreditor disebut melakukan perbuatan melawan hukum ketika debitor nakal mencoba menggugat.
Pasal 18 Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor Per-03/Kn/2010 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang mengatur:
(1) Dalam hal bank kreditor akan ikut menjadi Peserta Lelang pada Lelang Eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT, Nilai Limit harus ditetapkan oleh Penjual berdasarkan hasil penilaian dari Penilai.
(2) Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penilai yang sudah terdaftar pada Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
(3) Bank kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan surat pernyataan bahwa objek lelang telah dinilai oleh Penilai.
Pada dasarnya, dari berbagai regulasi lelang, tidak ada satupun ketentuan yang mewajibkan appraisal untuk menilai berdasarkan seluruh aset yang berada dalam satu gedung atau tanah tertutup tanpa mendapat akses ke dalamnya. Ibarat rumah tak berpenghuni, karena debitor menghilang, sebagai contoh, apakah seorang appraisal harus membobol kunci pintu gerbang/pintu masuk rumah debitor yang menhilang tersebut? Jika hal demikian dilakukan, sama artinya dengan tindak pidana kriminalisasi. Maka cukup disertakan keterangan dalam laporan hasil appraisal, bahwa kondisi bangunan atau tanah adalah sedemikian nyatanya di lapangan, maka pertanggungjawaban demikian adalah cukup, tanpa resiko kalah dalam gugutan (hakim dilarang tolak perkara, jadi tetap diputus meski hasilnya telah jelas).
Dalam somasi juga dapat disebutkan, bahwa jika appraisal tidak dapat melakukan tugasnya karena dihambat debitor, maka kreditor akan menggunakan hasil appraisal jauh hari sebelumnya ketika aplikasi pembukaan kredit diajukan debitor, sehingga bila nilai aset saat ini telah jauh meningkat, maka akan kontraproduktif terhadap debitor yang tidak kooperatif itu sendiri.
Hukum pidana telah mengatur tindakan debitor yang menghalang-halangi demikian:
Pasal 404 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun:
2. barang siapa dengan sengaja untuk seluruhnya atau sebagian, menarik barang milik sendiri, atau kalau bukan demikian untuk pemiliknya, dari ikatan hipotik atasnya, dengan merugikan pemiutang hipotik (hak tanggungan);
4. barang siapa dengan sengaja, untuk seluruhnya atau sebagian, menarik suatu barang milik sendiri atau kalau bukan demikian, untuk pemiliknya, dari ikatan kredit atasnya, dengan merugikan pemegang ikatan.
Prinsipnjnya laporan appraisal cukup menyertakan hasil penilaian dari luar gedung (bila terpaksa) dengan menyebutkan pertimbangan hambatan di atas, mengingat ketentuan Pasal 551 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: “Barang siapa tanpa wenang, berjalan atau berkendaraan di atas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.” (nilai nominal rupiah dalam KUHP yang dibentuk 200 tahun lalu itu kini disesuaikan dengan nilai uang kini, maka menurut hukum pidana, nilai denda demikian dikalikan 10.000.

Note SHIETRA & PARTNERS: Sebagai update artikel hukum tersebut diatas, dalam praktik terdapat beragam jenis laporan appraisal KJPP yang berani melakukan penilaian atas suatu objek bangunan (agunan) yang akan dilelang eksekusi dengan membuat pernyataan bahwa penilaian dilakukan dengan pengamatan dari luar objek agunan dengan alasan tidak diberi akses masuk oleh penghuni, dsb. Dalam praktiknya, sebagai best practice, Kantor Lelang Negara tidak menolak laporan appraisal demikian.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.