BRIEF
OF ANSWER: Dalam hukum acara perdata, berlaku asas Nebis in Idem, dalam artian putusan
dengan objek sengketa, subjek yang terlibat sengketa, dasar hukum yang sama dan
telah mendapat kekuatan hukum tetap tidak dapat dipersengketakan ulang di
pengadilan. Namun untuk beberapa kasus spesifik tertentu, keberlakuan asas Nebis in Idem yang mendasarkan diri
pada asas kepastian hukum dapat disimpangi dengan asas keadilan dan kemanfaatan.
Itulah sebabnya Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menutup diri untuk menguji
materiil undang-undang atau pasal yang sama dengan yang dahulu pernah
diuji-materiil-kan, dengan ketetuan pengajuan uji materiil memaparkan
argumentasi dan dasar bernalar yang berbeda dari sebelumnya dengan suatu alasan
yang memadai yang mampu menyimpangi kemutlakan asas Nebis in Idem.
EXPLANATION:
· Sebuah
kasus baru-baru ini yang sebelumnya pernah saya tangani, ialah kasus sengketa
tanah yang berujung gugatan pada Kantor Urusan Perumahan (dahulu kala, masalah
hukum terkait sewa-menyewa menjadi yurisdiksi/kewenangan mengadili Kantor
Urusan Perumahan; sementara sengketa jual-beli rumah/tanah menjadi kewenangan
Pengadilan Umum. Namun kini semua menjadi kewenangan Pengadilan Negeri).
· Perkara
dimulai dari sewa-menyewa tanah yang terjadi pada tahun 1960, namun pangkal
masalah ialah tiada batas waktu sewa yang jelas dalam kontrak (kontrak tanpa
jangka waktu berakhirnya sewa semacam ini lazim ditemui pada kontrak masa
lampau). Pemberi sewa berkeras untuk mengambil kembali penguasaan rumah sewa,
sementara penyewa berkeras untuk menetap dalam status menyewa tanpa batas
waktu.
· Pada
tahun 1975 terjadi gugatan dari ahli waris pemberi sewa, namun atas alasan
sosial ekonomi, Mr. Sudargo Gaotama yang menjadi kuasa hukum penyewa selaku tergugat,
memenangkan kasus gugat-menggugat tersebut hingga inkracht, dengan putusan yang menyatakan bahwa keadaan sosial
penyewa perlu diperhatikan apakah mampu untuk mendapat tempat sewa rumah lainnya.
· Pada
tahun 1992 terbit Undang-Undang (UU) No. 4 tahun 1992 yang pada Pasal 12 ayat 6
berbunyi: “Sewa menyewa rumah dengan
perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah
berlangsung sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan telah berakhir
dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah berlakunya undang-undang ini.“ (UU tersebut
kini telah diganti dengan UU No. 1 tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman)
· Pasal
21 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) 44 Tahun 1994 tetang Penghunian Rumah
oleh Bukan Pemilik: “Sewa menyewa rumah
baik dengan perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis yang
tidak menetapkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992, dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3
tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut.” Artinya pada tahun 1995
kontrak sewa tanpa batas waktu dinyatakan berakhir demi hukum.
· Pada
prinsipnya “sewa-menyewa” dan “hak pakai” adalah dua konsep serupa. Pasal 49
Ayat (1) PP No.40 tahun 1996 diatur: “Hak
Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh
lima tahun dan tidak dapat diperpanjang.” Artinya, secara sendirinya sewa-menyewa
telah berakhir pada saat terbitnya PP No. 40 Tahun 1996 tersebut.
- Hal tersebut dipertegas dalam Yurisprudensi (putusan yang menjadi rujukan para hakim dikemudian hari dalam memutus suatu perkara yang serupa) Putusan Mahkamah Agung MA Nomor: 3280 K/Pdt/1995 Tanggal 20 Juni 1996: Sewa menyewa rumah dengan perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah ditentukan bersama dinyatakan berakhir dalam waktu 3 (tiga) tahun.
- Kini keadaan sosial-budaya-ekonomi telah berubah sejak saat putusan inkracht di tahun 1975 tersebut. Pemberi sewa tidaklah dimaksudkan oleh hukum untuk terus terikat dan tunduk pada putusan yang tidak membawa kepastian terhadap status sewa-menyewa, sehingga tidak dapat mengajukan gugatan baru atas objek dan subjek hukum sengketa yang sama. Untuk itulah asas Nebis in Idem perlu diperhalus dengan cara pengadilan umum yang tidak akan menolak gugatan yang diajukan pemberi sewa pada saat ini.
- Dengan konstruksi berpikir yang serupa, untuk itulah parlemen bersama presiden dapat mengesahkan kembali regulasi yang pernah dibatalkan MK sebelumnya, tanpa otomatis putusan MK sebelumnya membatalkan regulasi baru, namun lewat mekanisme uji materiil kembali jika terdapat keberatan dari masyarakat, dikarenakan keadaan faktual yang bisa jadi telah jauh berbeda dengan situasi dan kondisi pada saat dahulu kala. Begitupla proses PK “diatas” PK, dimungkinkan selama terdapat “alasan memadai” untuk diajukan ke hadapan pengadilan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak
Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.