Direktur Tidak Membutuhkan Surat Kuasa dari Presiden Direktur / Direktur Utama

QUESTION:  Apakah seorang “direktur biasa” membutuhkan surat kuasa dari Presiden Direktur/Direktur Utama sebelum melakukan perbuatan hukum? Bagaimana dengan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum bagi kepala kantor cabang atau kantor representatif?
BRIEF OF ANSWER: Hukum korporasi Indonesia tidak dikenal istilah “Direktur”. UU No.40 Tahun 2007 mengenai Perseroan Terbatas hanya mengenal istilah “Direksi” dan “Anggota Direksi”, yang berarti seorang atau sekumpulan direktur, baik secara collegial maupun berdiri sendiri. Pasal 98 UU 40/2007 mengenai legal mandatory (kewenangan karena hukum) mengatur bahwa direksi berwenang melakukan perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan, bagi setiap anggota direksi, secara tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan oleh Anggaran Dasar (AD) bahwa hanya Presdir yang berhak melakukan hubungan hukum ke luar perusahaan. Artinya, bila AD tidak mengatur demikian, seluruh anggota Direksi berwenang melakukan hubungan hukum ke luar perusahaan tanpa surat kuasa dari presdir. Namun bila merujuk pada Pasal 92 UU 40/2007, yang mengatur bahwa Direksi berwenang menjalankan pengurusan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, artinya seorang direktur HRD tidak pada tempatnya menandatangani kontrak bisnis mewakili perusahaan dengan pihak luar yang merupakan/menjadi kewenangan naturaliah serorang direktur keuangan/operasional, meski tidak diatur secara tegas dalam AD. Sementara kepala kantor cabang maupun kantor perwakilan perusahaan asing, merupakan perpanjangtanganan atau quasi dari peran direksi kantor pusat.

EXPLANATION:
Mahkamah Agung lewat putusannya dalam perkara No. 2332 K/Pdt/1985 tanggal 29 Mei 1986, memutuskan: "Direktur suatu badan hukum dapat bertindak langsung memajukan gugatan dan tidak perlu lebih dahulu mendapat surat kuasa khusus dari Presiden Direktur dan para pemegang saham, karena Perseroan Tterbatas sebagai badan hukum dapat langsung diwakili oleh Direktur."
Lewat analogi putusan MA diatas, maka badan hukum yang memiliki anggota Direksi lebih dari satu orang, maka terhadap masing-masing anggota Direksi melekat suatu status sebagai legal mandatory.
Lihat Putusan MA-RI No.2332.K/Pdt/1985: “Untuk dapat mengajukan suatu gugatan tak perlu suatu Badan Hukum Perseroan Terbatas (PT) harus terlebih dahulu memperoleh surat Kuasa dari Presiden Direktur dan para pemegang saham, karena PT. sebagai suatu Badan Hukum dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dengan diwakili oleh Presiden Direkturnya. Dengan alasan ini maka gugatan dapat diterima.”
Direktur BUMN maupun BUMD dalam praktik peradilan di Indonesia, diklasifikasikan sebagai suatu persona standi in judicio (the full atuthorized, atau dapat menggugat dan digugat) sehingga disetarakan dengan prinsipalnya selaku corporate body (rechtspersoon). Atas kedudukannya sebagai legal mandatory tersebut, maka direktur badan hukum negara memiliki kapasitas sebagai wakil sah yang dapat bertindak sebagai kuasa menurut hukum. Lihat Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 2539K/Pdt/1985 tanggal 30 Juli 1987 yang menegaskan: "... direksi mewakili perusahaan daerah diluar dan di dalam Pengadilan, dia dapat sebagai pihak tanpa memerlukan kuasa dari pemda".
Begitupula kepala kantor cabang dari suatu perusahaan domestik di Indonesia, diklasifikasikan sebagai berkuasa penuh untuk dan atas nama principal-nya (kantor pusat) untuk diposisikan sebagai legal mandatory sehingga tidak memerlukan surat kuasa khusus setiap kali melakukan hubungan hukum pada pihak ketiga. Lihat putusan Mahkamah Agung No. 779 K/Pdt/1992 yang menyatakan: "Kedudukan pimpinan cabang suatu bank berwenang bertindak untuk dan atas nama pimpinan pusat tanpa memerlukan surat kuasa untuk itu, Oleh karena itu kuasa yang diberikan pimpinan cabang kepada seorang kuasa adalah sah."
Lihat pula Putusan MA-RI No. 951. K/Sip/1975, tanggal 8 Pebruari 1977: “Karena menurut  kenyataan sehari-hari Tergugat bertindak selaku Kepala Cabang PT. Pelayaran Rakyat Indonesia di Ujung Pandang, ia harus dipandang bertanggung jawab di dalam maupun di luar Pengadilan.” 
Putusan No. 26678K/PDT/1992: “Bahwa pengadilan tinggi telah keliru dalam pertimbangannya yang mengatakan bahwa bank duta cabang lhokseumawe hanya merupakan cabang dari bank duta pusat, dengan demikian tidak mempunyai legitimasi personal standi in yudicio, padahal cabang adalah perpanjangan tangan dari kantor pusat, oleh karena itu dapat digugat dan menggugat.”
Sementara bagi suatu representative office, hukum Indonesia memandangnya sebagai full authorized, sehingga kepala kantor perwakilan secara legal mandatory langsung menjadi “perpanjangan tangan” perusahaan induk sebagai kuasa. Kualitas atau kapasitas sebagai legal mandatory menjadikan kepala kantor perwakilan asing di Indonesia dapat menjadi pihak dalam melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga tanpa terlebih dahulu dipersyaratkan memiliki surat kuasa dari badan hukum prinsipalnya yang berdomisili di luar negeri.
Lihat yurisprudensi putusan Mahkamah Agung No. 2884 K/Pdt/1984 Tanggal 7 Mei 1987 yang menyatakan: "Jika ternyata kedudukan yang disandang sesorang adalah lembaga perwakilan (representative) menurut common law system (anglo saxon), hal ini tidak sama dengan pengertian dan bentuk kuasa yang dikenal dalam BW. In casu ternyata Tergugat adalah representative dari United Maritim Corp SA, sehingga dia sepenuhnya dapat digugat sebagai subjek yang langsung bertanggung jawab penuh, tanpa kuasa dari induk perusahaan".
Mengenai Surat Kuasa (SK), salah satu syarat formiil SK, baik surat kuasa umum maupun khusus (untuk bersengketa di pengadilan hanya dapat digunakan jenis SK khusus), ialah berbentuk tertulis, baik berwujud akta “dibawab tangan” (istilah akta mengartikan ia sengaja dibentuk sebagai suatu pembuktian), akta otentik (akta yang dibuat atau dilegalisir oleh notaris), atau berupa dokumen berlegalisir oleh ketua pengadilan negeri bilamana dibuat oleh panitera pengadilan. SK dibawah tangan secara sendirinya telah sah meskipun tanpa mendapat legalisasi oleh notaris. Lihat yurisprudensi Mahkamah Agung No. 779 K/Pdt/1992: "Tidak diperlukan legalisasi atas surat kuasa khusus dibawah tangan. Tanpa legalisasi surat kuasa khusus dibawah tangan telah memenuhi syarat formil".
© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.