(DROP DOWN MENU)

NEGATIVE THINKING merupakan Hak Asasi Manusia, Dunia ini Tidak Pernah Kekurangan Orang-Orang yang Suka Ingkar Janji

LEGAL OPINION

Ini adalah Dunia Manusia dimana Manusia menjadi Serigala bagi Sesamanya, bukan Surga yang Penghuninya Baik Semua

Vaksin Korban Keadaan Memakan atau Dimakan, NEGATIVE THINKING sebagai suatu Keharusan

Bela dan Jaga Diri merupakan Hak setiap Warganegara, yakni Hak untuk ber-NEGATIVE THINKING itu sendiri

Question: Ada sebagian orang, yang justru mengkritik dan menghakimi kita karena protektif menjaga diri, disebut sebagai berpikiran negatif (negative thinking) yang lalu menggurui atau bahkan mendikte kita untuk berpikiran positif (positive thinking). Sebenarnya bagaimana, pandangan yang benar atau cara menghadapi tekanan sosial semacam itu?

Brief Answer: Kita tidak punya kewajiban untuk menjadi “mangsa empuk” modus-modus ingkar-janji maupun perangkap penipuan lainnya. Kita memang harus berpikiran positif terhadap kehidupan dan atas hidup kita sendiri, namun tidaklah realistik bila kita “diharuskan” berpikiran positif terhadap setiap orang yang kita jumpai.

Yang disebut dengan pandangan yang rasional, ialah sudah benar memasang sikap “pra-sangka” prepare for the worse case, alias ber-negative thinking itu sendiri, karena kita hidup di dunia manusia—terutama di Indonesia, bangsa yang tidak takut berbuat dosa, mudah ingkar janji, tidak bertanggung-jawab, dan menjadi pelanggan tetap ideologi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, dimana kita ketahui bahwa hanya pendosa yang membutuhkan iming-iming “curang” semacam itu—bukan dunia surgawi dimana penghuninya hanya diisi oleh para dewata yang jujur dan baik serta penuh tanggung-jawab.

Memang tidak dapat kita pungkiri, tidak sedikit diantara pelaku kejahatan dan penipuan, yang justru tanpa malu menggurui calon korbannya untuk tidak ber-negative thinking terhadap diri sang pelaku kejahatan yang sedang melancarkan niat jahatnya, dengan modus kalimat sebagai contoh, “Jangan takut, percaya saja pada saya, saya sudah usaha ini sejak puluhan tahun lalu”, “Jangan belum apa-apa sudah berpikiran negatif, dong!”, “Kok kamu tidak percaya pada saya?! Saya ini seorang haj!”, “Ini bisnis kepercayaan!”, “Saya jamin! (namun tidak memberi jaminan apapun selain sekadar ‘lidah tidak bertulang’)”, “Berpikir positif-lah, agar auranya positif, tidak negatif!”, dan kalimat sejenis sebagainya, yang pada pokoknya menyudutkan pihak-pihak yang hendak “preventif lebih baik daripada kuratif”. Sikap preventif, adalah sudah benar dan patut diapresiasi, bukan justru disudutkan.

Cukup tanya kepada diri kita sendiri, sudah banyak atau tidaknya kita selama ini menjadi korban penipuan ataupun dirugikan modus “ingkar janji” oleh warga lain di negeri ini? Apakah semua pengalaman buruk tersebut, belum cukup memberi kita pelajaran mahal? Bila terdapat pihak-pihak yang menyudutkan posisi Anda yang sekadar memakai “hak untuk menjaga diri” (upaya preventif) agar tidak masuk dalam jebakan atau perangkap modus iming-iming ataupun penipuan lainnya, terutama dari potensi ingkar janji, dengan menghakimi pendirian Anda untuk ber-negative thinking, maka jawablah dengan jawaban yang cukup secara singkat namun tegas sebagai berikut:

Negative thinking adalah hak saya, bahkan sebagai bentuk tanggung-jawab saya kepada diri saya sendiri. ini hidup saya sendiri, jika bukan saya sendiri yang harus jaga diri baik-baik, lantas siapa? Semata agar tidak menyesal dikemudian hari, mengingat menyesal selalu datang terlambat. Lebih baik pahit di muka, daripada pahit di kemudian hari.

“JIka Anda mau ber-positive thinking, itu urusan Anda, silahkan saja. Namun Anda tidak punya hak untuk melarang orang lain untuk menjaga diri. Berpikiran negatif ialah HAK ASASI MANUSIA.

“Lagipula ini dunia manusia, terutama Indonesia, bukan alam surga yang isinya orang-orang baik semua. Anda sendiri juga telah ber-negative thinking terhadap saya, standar ganda! Jika Anda sendiri boleh dan pernah berpikiran negatif terhadap orang lain, mengapa Anda melarang orang lain untuk berpikiran negatif terhadap Anda?”

PEMBAHASAN:

Adalah cerminan mental atau kultur masyarakat yang belum beradab, ketika seseorang (justru) merasa tersinggung karena tidak dipercayai atau tidak mudah dipercayai ketika orang lain memilih untuk menjaga diri lewat “berpikiran negatif” (negative thinking), semisal menetapkan syarat seperti harus adanya “hitam diatas putih” mengingat “lidah tidak bertulang”, serta “preventif lebih baik daripada kuratif”—namun fakta realita di lapangan, penulis akui memang watak bangsa Indonesia belum memiliki kesadaran maupun pemahaman yang baik terhadap hak asasi setiap warganegara.

Akal sehat, merupakan filsafat tertinggi. Akal sehat, setidaknya “akal sehat milik orang sehat” bukan “akal sakit milik orang sakit”, sudah cukup menjelaskan bahwa “BERPIKIRAN NEGATIF ADALAH HAK ASASI SETIAP INDIVIDU” dan “setiap orang wajib menghormati hak orang lain untuk berpikiran negatif”. Jika seseorang merasa memiliki hak untuk dipercaya, maka orang lain pun punya hak untuk tidak percaya dan tidak mudah percaya kepada orang lain, dalam rangka bela dan jaga diri yang mana merupakan kewajiban masing-masing individu sebagai bentuk tanggung-jawab atas diri mereka masing-masing.

Dapat dipercaya, merupakan hasil dibalik proses panjang konsistensi antara ucapan dan perbuatan konkret yang nyata, bukan jalan pintas seperti “minta dipercayai”. Karenanya, berpikiran negatif bukanlah hal yang patut untuk di-tabu-kan, terlebih dicela dan dikritik, justru itu perlu mulai kita kampanyekan, dalam rangka “menjadi pengacara yang terbaik bagi diri kita sendiri”. Jika Anda menyewa seorang pengacara ataupun konsultan hukum, maka adalah tugas utama mereka untuk membisikkan hal-hal yang berbau “negative thinking”—mereka tidak dibayar dan disewa untuk membisikkan “positive thinking”.

Masyarakat yang menggunakan jasa konsultan hukum ataupun pengacara, bukan dalam rangka “ber-positive thinking”, justru disewa dengan bayaran mahal untuk “ber-negative thinking”, semisal untuk prepare for the worse case, mencari celah dimana pihak lawan dapat bermain dan menyalahgunakannya, mengkritisi potensi-potensi benih sengketa, mencegah lebih baik daripada mengobati, menuntut hitam diatas putih, meminta penjelasan sejernih-jernihnya, serta memetakan hak dan kewajiban masing-masing.

Menghakimi orang-orang yang sekadar memakai haknya untuk menjaga diri, sama artinya penghakiman yang tidak pada tempatnya, alias penghakiman oleh “hakim” yang tidak arif. Jika bukan diri kita sendiri yang betul-betul berupaya melindungi dan menjaga diri agar tidak terjebak masuk dalam perangkap atau modus kejahatan (terutama penipuan yang selalu menjadikan “iming-iming” sebagai pintu masuk modusnya), maka siapa lagi? Semua penjahat maupun para kalangan penipu, selama ini memiliki satu pola yang kongruen, yakni : mengaku-ngaku sebagai malaikat atau bersikap bak orang yang jujur, suci, juga bersih. Justru kita patut dan wajib makin menjaga diri menghadapi para manipulator pikiran semacam itu—termasuk terhadap mereka yang meminta kita untuk “berpikiran positif” terhadap diri mereka.

Sebagai “antidote” atau “vaksin” terhadap upaya manipulasi dari pihak-pihak yang menuntut kita untuk “berpikiran positif”—terutama tuntutan tersebut dialamatkan oleh pihak penyedia barang / jasa, kalangan mana perlu sangat kita waspadai dan wanti-wanti—dan disaat bersamaan menghakimi kita sebagai telah “ber-negative thinking”, seolah-olah berpikiran negatif adalah dosa besar dan kejahatan itu sendiri, maka penulis menciptakan “kredo” yang perlu kita tanamkan dalam keseharian, dengan cara melakukan repetisi kalimat-kalimat berikut ke dalam benak alam bawah sadar maupun alam sadar kita:

- Jangan bersikap seolah-olah kita tidak punya HAK untuk berpikiran negatif (dalam rangka menjaga dan melindungi diri, ataupun dalam rangka preventif agar tidak menunggu menyesal dikemudian hari);

- Jangan bersikap seolah-olah kita punya KEWAJIBAN untuk berpraduga positif terhadap semua orang yang kita jumpai;

- Jangan bersikap seolah-olah kita tidak punya PIKIRAN untuk menilai dan memutuskan sendiri;

- Jangan bersikap seolah-olah kita tidak punya DAYA TAWAR maupun PILIHAN BEBAS;

- Jangan bersikap seolah-olah kita bukan individu yang BEBAS dan MERDEKA dari penjajahan bangsa asing maupun pendiktean oleh bangsa sendiri;

- Jangan bersikap seolah-olah kita butuh IZIN ataupun KOMENTAR orang lain;

- JIka merasa takut, sungkan, tidak enak hati, rasa bersalah, maka JANGAN TUNJUKKAN, semata agar kita TIDAK “DIMAKAN” oleh orang-orang yang belum tentu memiliki itikad baik terhadap kita.

Secara pribadi, penulis pun kerap memiliki pengalaman tidak menyenangkan karena ketika penulis sekadar menggunakan hak untuk “berpikiran negatif” dalam rangka menjaga diri dan juga dalam rangka “menjadi pengacara bagi diri kita sendiri”, seketika itu pula dihakimi dan digurui seolah-olah penulis telah melakukan sebuah dosa besar atau kejahatan. Sebagai contoh, pernah terjadi pada suatu waktu, penulis mengunjungi salah satu kantor cabang perbankan nasional di Indonesia, untuk bertanya perihal produk keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan tersebut. Kalangan tenaga marketing, tidak terkecuali staf merketing perbankan, memang dilatih dan terlatih untuk “manis di muka”, jika perlu menyembunyikan “borok” dibaliknya—karena itu jelas ada “conflict of interest” ketika mereka bercakap-cakap dengan calon konsumen yang berkunjung, sebagai konteksnya.

Sebagai calon nasabah, tentulah posisi dan daya tawar kita menghadapi korporasi raksasa berkapitalisasi triliunan rupiah demikian, ibarat menghadapi atau berhadapan dengan “Goliat” dimana posisi dominan ada pada pihak tersebut, dimana pula nasabah tanda-tangan berbagai dokumen namun tidak satupun dokumen-dokumen tersebut diberikan kepada nasabah sebagai alat bukti setidaknya berupa rangkap (sehingga posisi konsumen selalu lebih rentan dan riskan), dimana pula yang lebih berpotensi “dizolimi” tanpa daya ialah nasabah alih-alih korporasi perbankan, maka sudah menjadi kewajiban moril setiap kalangan nasabah untuk menjaga diri dan memproteksi diri—tidak lain tidak bukan ialah “ber-negative thinking” itu sendiri. Tidak terkecuali bila Anda hendak menjadi konsumen produk asuransi, maupun produk-produk lembaga pembiayaan lainnya.

Yang unik, seolah mereka menerapkan kebijakan ber-“standar ganda”, dimana bila nasabah / konsumen disuruh dan diwajibkan untuk tanda-tangan “hitam di atas putih”, namun sebaliknya kalangan korporasi penyedia barang atau jasa tersebut hanya sekadar sesumbar janji-janji dan iming-iming verbal tanpa bersedia menuangkannya secara “hitam diatas putih”. Terlebih bila kita bicara perihal dana / uang yang tidak sedikit nilainya, maka adalah KEWAJIBAN HUKUM masing-masing calon nasabah / konsumen untuk betul-betul menjaga diri dengan baik—tidak lain tidak bukan ialah untuk “ber-negative thinking”. Pada saat itulah, “berpikiran negatif” bukan lagi sebentuk HAK, namun KEWAJIBAN kita terhadap diri kita sendiri sebagai bentuk tanggung-jawab diri.

Namun kita tidak punya kewajiban untuk membiarkan dan membuka diri menjadi “mangsa empuk” modus-modus kejahatan dan penipuan yang kian hari kian canggih, kian terselubung, kian terinstrumentalisasi, kian licik, dan kian tersistematisasi. Terlebih, ini dunia manusia, terlebih-lebih dunia manusia bernama Indonesia—yang mana setiap manusia dewasa sudah tahu sendiri betapa “agamais” namun disaat bersamaan tidak takut berbuat dosa-nya bangsa yang mengisi dan menjadi penduduknya—bukan alam surgawi dimana para penghuninya ialah para dewata yang jujur, adil, dan bersih serta bertanggung-jawab. Sehingga, kita perlu menyadari konteksnya dimana kita saat kini hidup sebagai seorang manusia. Hidup di Indonesia, taraf “WARNING” untuk “ber-negative thinking”, ialah derajat maksimum dari skala tertinggi.

Bila ada diantara warga lainnya yang tidak setuju, atau berkeberatan atas pilihan hidup dan sikap pola pikir kita yang tegas menjaga diri sebagai sebentuk kewajiban dan tanggung-jawab diri, maka silahkan diri mereka sendiri yang “ber-positive thinking”—dan mereka sendiri pula yang akan menjadi “mangsa empuk” modus-modus penipuan dan kejahatan dimana negara seolah-olah tidak benar-benar hadir di tengah masyarakat, disamping konsekuensi yang juga akan mereka tanggung dan pikul sendiri saat “menyesal datang terlambat”. Tiada seorang pun diluar diri kita, yang berhak untuk menghakimi ataupun mendikte apa yang menjadi pikiran dan pilihan sikap berpikir kita.

Saat penulis meminta bukti “hitam diatas putih”, pihak perbankan lewat petugasnya hanya sekadar menjanjikan, mengiming-imingi, dan sebatas kata-kata yang mana tidak dapat dipegang ucapannya dikemudian hari. Dunia ini tidak pernah kekurangan orang-orang yang ingkar janji terhadap diri kita, dan kita pun tidak perlu jatuh pada lubang yang sama untuk kesekian kalinya, seolah-olah belum cukup banyak kita selama ini telah terkena modus penipuan dan korban ingkar janji. Lantas, masih belum cukup sampai disitu, sang petugas perbankan lantas menghakimi penulis sebagai telah “ber-negative thinking”, dan meminta penulis untuk “ber-positive thinking” agar “aura-nya positif”.

Masih juga belum cukup sampai disitu, sang petugas perbankan menyatakan bahwa perbankan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)—sekalipun OJK tidak pernah benar-benar efektif mengawasi lembaga keuangan maupun lembaga pembiayaan, mengingat masif dan maraknya pelanggaran terhadap hak-hak konsumen / nasabah oleh pihak perbankan di Tanah Air maupun lembaga pembiayaan lainnya, dimana pula sejatinya sumber daya manusia OJK terbatas sifatnya, disamping fakta realita (be realistic!) menggambarkan fenomena “de facto” seolah OJK hendak berkata kepada publik luas : “Kami tidak mungkin mengawasi sampai sebegitunya! Di Indonesia ini ada ribuan kantor cabang bank maupun lembaga pembiayaan, tidak mungkin satu per satu kami awasi dan tidak mungkin pula kami masuk ke dalam sistem dan dapur rahasia usaha milik korporasi tersebut!”, sebagaimana benar-benar pernah diakui oleh salah seorang pejabat otoritas tersebut kepada penulis dalam suatu kesempatan.

Jika calon konsumen diwajibkan oleh sang petugas perbankan untuk “ber-praduga positif” terhadap mereka, itu berarti sang petugas telah melakukan lakon “standar ganda”, dimana lembaga perbankan itu sendiri melakukan “profiling” terhadap profil penulis, menerapkan asas “prudent” (kehati-hatian) dalam menyediakan jasa keuangan, dan meminta segala “hitam diatas putih” berisi tanda-tangan penulis. Itulah yang disebut sebagai, sikap “mau menang sendiri”. Manipulasi-manipulasi pikiran semacam itu, cukup semudah kita lakukan “counter narasi” dengan argumentasi sebagai berikut : “Saya punya hak untuk menjaga diri, dan itu tanggung-jawab saya terhadap diri saya sendiri. Negative thinking merupakan HAK ASASI SAYA, adna tidak punya hak untuk melarang saya berpikiran negatif agar tidak menyesal dikemudian hari!

Itulah bukti konkret, betapa manusia merupakan “makhluk irasional”, yang seringkali kita harus terlebih dahulu merepotkan diri berdebat dan beragumentasi, tidak jarang secara panjang-lebar. Disebut sebagai irasional, mengingat untuk pemahaman dasar semacam “negative thinking merupakan hak asasi setiap / masing-masing individu”, pun sampai-sampai masih perlu diajarkan dan disampaikan, meski setiap manusia dewasa berakal sehat dapat berpikir dan menyadarinya sendiri, terkecuali selama ini mereka terbiasa dengan “akal sakit milik orang sakit”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.