(DROP DOWN MENU)

Ambiguitas Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Penyidik Kepolisian kepada Kejaksaan

ARTIKEL HUKUM

Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) semestinya Bukan hanya Tidak Wajib, namun juga Tidak Perlu Disampaikan Penyidik Kepolisian kepada Institusi Kejaksaan

Seorang Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI, bernama Jaya Surya, pernah membuat putusan dengan kalimat yang sangat tegas serta tepat mengena pada jantung masalah yang kerap dihadapkan kepada pengadilan untuk diputuskan, yakni : “Akal sehat ialah SOP tertinggi.”—yang mana bila kita elaborasi secara lebih progresif, “Akal sehat ialah hukum acara tertinggi” bila kita berbicara konteks prosedur penegakan hukum, baik perdata maupun pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan SOP induk atau prosedur operasional standart yang paling umum diberlakukan pada setiap lembaga penegak hukum, dimulai dari tingkat penyelidikan dan penyidikan oleh Kepolisian maupun penyidik pada institusi Pegawai Negeri Sipil, hingga penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum serta dalam menjalankan eksekusi terhadap putusan hakim pengadilan, termasuk kewenangan dan limitasi bagi hakim dan lembaga peradilan dalam menetapkan lamanya masa tahanan bagi tersangka yang disidangkan, maupun koridor hukum dalam melakukan upaya hukum bagi pihak Penuntut Umum maupun Terpidana.

Fokus bahasan dalam kesempatan ini, penulis mengajak pada pembaca untuk mengkaji ulang keganjilan yang selama ini dijadikan hal lumrah dan lazim dalam praktik hukum acara pidana, seolah tanpa ada pihak-pihak yang melihat ambiguitas dibaliknya, terutama terkait kewajiban disampaikannya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh penyidik Kepolisian kepada pihak Kejaksaan, sebagaimana tertuang dalam norma Pasal 109 Ayat (1) KUHAP “dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.”

Sejumlah kalangan menilai, ketentuan dalam norma hukum KUHAP di atas terkesan hanya merupakan “imbauan” kepada penyidik untuk memberitahukan telah dimulainya penyidikan kepada lembaga Kejaksaan, atau sekadar formalitas tanpa adanya sebentuk sanksi sebagai ancamannya bila dilalaikan, sehingga tidak memiliki kepastian hukum karena sifatnya (seolah) fakultatif, boleh diberitahukan dan boleh juga tidak, sehingga tidak imperatif keberlakuan normanya. Begitupula fakta lapangan bahwasannya tidak sedikit kejadian dimana penyidik pada lembaga Kepolisian baru menyampaikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum setelah pihak Penyidik betul-betul merasa yakin bahwa dugaan terjadinya tindak pidana yang disidik olehnya akan dinaikkan atau diproses lebih lanjut oleh lembaganya ataukah tidak, karena memang bukti-bukti masih dalam “on process” atau “on going” untuk dihimpun dan dicari. Fenomena demikian tersebut dinilai membawa merugikan bagi pihak Korban Pelapor maupun pihak Tersangka itu sendiri atas ketidakjelasan “nasib” (penetapan status sebagai Tersangka) mereka.

Praktik pada lembaga Kepolisian terkait ketidakpastian dan kejelasan kewajiban Penyidik Kepolisian untuk menyampaikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), bermuara pada diajukannya uji materiil (judicial review) warga terhadap ketentuan Pasal 109 Ayat (1) KUHAP di atas ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI (MK RI). Dalam putusannya, MK RI mengabulkan permohonan pihak pemohon, sebagaimana putusan MK RI Nomor 130/PUU-XIII/2015, dengan amar pada pokoknya menyatakan:

”Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.”

Sejumlah pengamat hukum seakan ber-euforia, memberitakan bahwa terbitnya putusan MK RI tersebut menghadirkan kepastian hukum kepada pencari keadilan, bahwa penyampaian SPDP kepada penuntut umum bersifat wajib, dan harus segera dilakukan dalam tempo waktu tertentu, sehingga imperatif sifat keberlakuan normanya—seolah-olah norma hukum tidak bersifat imperatif layaknya norma sosial diluar hukum. Alasan yang melatar-belakangi euforia demikian, ialah semata argumentasi rapuh bawasannya dengan disampaikan SPDP oleh penyidik Kepolisian kepada pihak Kejaksaan, maka lembaga Kejaksaan akan bisa mengontrol perkembangan penyidikan perkara yang sedang ditangani oleh lembaga Kepolisian, termasuk juga memantau kemungkinan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari penyidik.

Seolah, masalah selesai sampai disitu. Justru, secara pribadi penulis melihat adanya bahaya dibalik ketentuan demikian, karena menjadi cenderung bersifat prosedural formil yang tidak sarat makna disamping kentalnya nuansa intervensi politis dibaliknya, sekalipun kita ketahui bahwa kedua lembaga dimaksud, baik Kepolisian maupun Kejaksaan ialah saling interdependen—serta pula independen dalam tataran tertentu—satu sama lainnya. Sebagai contoh, logika sederhana telah cukup menjelaskan tanpa perlu pembuktian lebih lanjut, bahwasannya dalam Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru sebatas berbentuk perintah dimulainya penyidikan, sehingga praktis belum ada dokumen hukum apapun hasil penyidikan dan belum ada pula semacam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) baik pihak saksi maupun terlapor, terlebih alat bukti pendukung lainnya seperti dokumen, dan lain sebagainya—alias, belum benar-benar “matang”, karenanya wajar bila hasil penyidikan masih “nihil” semisal baru mengantungi satu alat bukti sementara itu untuk dapat dituntutnya seorang warga ialah minimum dua alat bukti.

Sehingga, adalah ganjil serta janggal adanya, ketika pihak Kejaksaan justru melakukan intervensi politis dengan (secara analogis) semacam menerbitkan kondisi “P-19” (yakni mengembalikan seluruh berkas perkara yang dilimpahkan Kepolisian kepada pihak Kejaksaan, kembali kepada pihak penyidik Kepolisian untuk dilengkapi ataupun dinyatakan tidak layak dimajukan sebagai dakwaan). Ketika pihak Kejaksaan melakukan intervensi politis—mustahil berupa intervensi yuridis, mengingat bahkan pihak Kejaksaan belum memiliki bekal atau modal apapun berupa dokumen perkara pidana yang dilimpahkan semacam BAP ataupun alat bukti lainnya, sehingga baru sebatas berupa asumsi belaka, dimana pula pihak Kepolisian belum memajukan dan melimpahkan perkara, sehingga menjadi absurd ketika lembaga Kejaksaan secara “PREMATUR” telah membuat prasangka negatif bahwa perkara “tidak layak” untuk disidik oleh penyidik Kepolisian.

Barulah ketika seluruh berkas hasil pemeriksaan perkara, dinyatakan lengkap oleh lembaga Kepolisian dan dilimpahkan perkaranya kepada pihak Kejaksaan, maka Kejaksaan dapat melakukan langkah yuridis berupa menerapkan kebijakan “P-21” (melanjutkan proses perkara ke tingkat dakwaan hingga proses penuntutan) ataupun “P-19” (mengembalikan berkas perkara kepada pihak penyidik Kepolisian). Bahkan, pihak Kejaksaan dan Jaksa Agung memiliki kewenangan berdasarkan Undang-Undang terkait Kejaksaan, yakni hak prerogatif untuk melakukan “manuver” (tanpa modal bukti apapun) berupa penghentian proses penuntutan terhadap seorang Terdakwa.

Namun, ketika perkara baru berupa Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan seketika itu pula di-“veto” atau diamputasi secara sepihak oleh pihak Kejaksaan, maka menjadi tanda-tanya besar bagi publik maupun pihak penyidik Kepolisian itu sendiri, yakni pertanyaan : Atas dasar apakah atau atas dasar bukti disamping pertimbangan apakah, sekalipun Kejaksaan belum mengantungi berkas perkara apapun dari pihak penyidik Kepolisian, namun telah secara serta-merta mengintervensi dan menganulir proses penegakan hukum berupa penyidikan yang belum tentu pula akan dimajukan ke tingkat proses pelimpahan perkara dari Kepolisian kepada lembaga Kejaksaan, mengingat pula penyidik Kepolisian berwenang menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan)? Tentu mudah menganulir proses penyidikan, semata karena pada permulaan penyidikan pihak penyidik dapat dipastikan belum mengantungi dua alat bukti—masih proses pencarian dan penyidikan terhadap perkara maupun alat-alat bukti. Masih proses baru dimulai dan belum berjalan secara memadai, sudah diintervensi dan diamputasi.

Memang SOP dalam norma hukum acara pidana yang tidak diindahkan oleh aparatur penegak hukum, dapat dianulir proses hukum yang terjadi, lewat mekanisme (gugat) praperadilan ke pengadilan oleh pihak Terlapor, semisal telah ternyata Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) belum juga kunjung dilaporkan oleh penyidik Kepolisian kepada pihak Kejaksaan, sehingga statusnya sebagai Tersangka dan Tersidik dapat dianulir oleh pengadilan dalam praperadilan—meski, secara politis kita dapat bertanya-tanya, dapat darimanakah sang Tersidik mengetahui bahwa Kejaksaan belum menerima laporan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) terkait dirinya dari pihak penyidik Kepolisian? Bisa jadi, itulah “ruang bermain” antara Kejaksaan dan pihak Terlapor untuk berkelit dari proses penegakan hukum, ruang bermain yang justru dibuka sendiri peluangnya oleh hukum acara pidana.

Kesemua blunder demikian, ialah tiada maknanya sama sekali, bahkan dapat penulis sebut bahwa ketentuan sejenis dan semacam itu dapat saja dihapus sama sekali tanpa adanya dampak ataupun resiko hukum apapun dalam proses penegakan hukum acara pidana, yang dalam beberapa aspek tertentu lebih menyerupai “duri dalam daging” yang hanya membuat proses penegakan hukum pidana demikian prosedural yang tidak sarat makna, meletihkan, dan tidak efisien. Untuk menghentikan proses pemidanaan, lembaga Kejaksaan telah memiliki kewenangan serta mekanismenya sendiri berdasarkan Undang-Undang untuk menghentikan penuntutan dimiliki oleh Penuntut Umum.

Mengenai penghentian penuntutan, pengaturannya telah diakomodir lewat ketentuan Pasal 140 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan bahwa penuntut umum ”dapat menghentikan penuntutan” suatu perkara, belum lagi kewenangan prerogatif Jaksa Agung untuk menerbitkan “seponering / deponering” (Undang-Undang tentang Kejaksaan menyebutkan, Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk menghentikan perkara pidana “demi kepentingan umum”), sehingga sudah cukup akomodatif bagi kepentingan masyarakat umum bila kepentingan umum memang menghendaki dihentikannya proses penuntutan. Karenanya menjadi prematur, ketika “belum apa-apa” Kejaksaan sudah menganulir proses penyidikan yang dilakukan pihak penyidik Kepolisian semata karena alasan belum / abai dilaporkan, meski pada gilirannya tetap saja penyidik Kepolisian “mau tidak mau” serta “cepat atau lambat” harus melimpahkan berkas perkara kepada lembaga Kejaksaan untuk proses dakwaan dan penuntutan.

Sebagai contoh, sekalipun SPDP atau “Spindik” demikian dianulir dan dibatalkan oleh hakim perkara praperadilan sebagaimana permohonan pihak Tersangka / Tersidik, maka pihak penyidik Kepolisian sebagai solusinya cukup menerbitkan Sprindik baru atas nama Tersangka yang sama, dan bermuara pada proses judicial / ajudikasi berupa masuknya perkara yang dilimpahkan Kepolisian kepada pihak Kejaksaan untuk diproses ke tahap dakwaan dan penuntutan sebagaimana segala manuver hukum mega-koruptor Setya Novanto yang tetap saja pada muaranya dihukum mendekam di penjara.

Kejaksaan, secara yuridis disebut sebagai “dominus litis”. Secara etimologi, istilah di atas berasal dari bahasa Latin, “dominus” yang bermakna “pemilik” dan “litis” yang berarti “perkara”. Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa asas “dominus litis” merupakan pemilik atau pengendali perkara. Karena kejaksaan telah secara yuridis (dan secara politis) telah memiliki profil sebagai lembaga yang begitu berkuasa sebagai penentu paling akhir akan dimajukan atau tidaknya seorang Tersangka ke proses penuntutan, maka menjadi tiada lagi urgensi bagi pihak Kejaksaan untuk “belum apa-apa” telah mengintervensi, menginterupsi, serta mengamputasi proses penegakan hukum oleh pihak penyidik Kepolisian yang mana proses hukum baru berupa Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang mana bahkan sama sekali belum terdapat adanya BAP saksi dan terlapor apapun.

Kembali kepada ketentuan KUHAP maupun putusan MK RI yang telah kita bahas bersama di muka, menjadi tumpang-tindih atau overlaping terhadap “Asas Oportunitas” yang selama ini secara yuridis telah dimiliki oleh lembaga Kejaksaan—asas dimana penuntut umum tidak diwajibkan untuk menuntut seseorang jika penuntutannya akan merugikan kepentingan umum. Asas ini hanya berlaku dalam hal kepentingan umum benar-benar dirugikan dan terdapat kriteria tertentu yang dimaksud merugikan kepentingan umum, yang artinya bila penyidik Kepolisian telah benar-benar melimpahkan berkas perkara kepada pihak Kejaksaan.

Namun kriteria bagi Kejaksaan untuk mengamputasi Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), bagaimana mungkin disebut sebagai “demi kepentingan umum” sementara itu pihak Kejaksaan belum dibekali “modal” berkas perkara apapun untuk dipelajari dan dipertimbangkan serta diputuskan layak atau tidaknya seseorang warga disidangkan dan divonis pidana atau tidaknya, sekalipun itu dapat dilakukan Kejaksaan saat penyidik Kepolisian telah melimpahkan berkas perkara kepada Kejaksaan? Toh, sekalipun perkara benar-benar dilimpahkan Kepolisian, berlanjut pada penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, pada gilirannya hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara, apakah betul dan layak ataukah tidaknya seorang Terdakwa layak divonis bersalah dan dijatuhi vonis pemidanaan atau tidaknya.

Menjadi lebih prematur lagi, ketika Jaksa Agung telah pula menerbitkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Begitu kompleks, berjenjang, dan proseduralnya penegakan hukum pidana di Indonesia, mengakibatkan lebih banyak perkara dan laporan / aduan korban pelapor ataupun laporan masyarakat umum kita yang gagal berlanjut pada tingkat penyidikan, penuntutan, terlebih penjatuhan vonis pidana di pengadilan, alias “justice denied” itu sendiri, akibat pengabaian, penelantaran, kelalaian, hingga intervensi dan amputasi yang dibuka ruangnya (justru) oleh hukum acara pidana kita, baik oleh pihak penyidik Kepolisian maupun oleh pihak Kejaksaan.

Itulah ketika, negara tidak benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat, dimana para pelaku aksi premanisme maupun aksi-aksi para kriminil seolah “dilestarikan” dan “dipelihara” oleh negara dan berkeliaran menjadi raja-raja jalanan yang meresahkan masyarakat. Sungguh kecil, peluang sebuah laporan masyarakat maupun aduan korban pelapor, yang benar-benar berlanjut pada tahap penyidikan, hingga penuntutan, maupun vonis pemidanaan, bila mencermati aturan norma hukum acara pidana maupun praktik penegakan hukum pidana di Indonesia.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.