Hidup adalah SENI, Menguasai SENI HIDUP, HIDUP YANG BERSENI

ARTIKEL HUKUM

Berdikari dalam Pikiran, artinya Menyadari bahwa Kita Selalu Punya Daya Tawar serta Pilihan Bebas untuk Dipilih dan Memilih

Banyak hal yang penting, seperti keterampilan dasar hidup dan “seni” untuk menjalani hidup, justru tidak diajarkan pada kita dalam bangku pendidikan formal, di rumah, maupun di bangku sekolah, namun akan dapat kita pelajari dan mematangkan pengetahuan serta keterampilan dasar hidup pada Universitas Kehidupan, dimana praktik di lapangan menjadi laboratoriumnya, baik sebagai pemain maupun sebagai pengamat yang mengobservasi fenomena sosial yang terjadi. Penulis menyebutnya sebagai, “intuisi”, suatu seni untuk memandang kehidupan dalam realita.

Sejatinya segala pengetahuan dan keterampilan dasar hidup, dapat diajarkan baik dalam pendidikan formal maupun pendidikan non-formil tidak terkecuali pada lingkup dibawah atap rumah-tangga, bila dibicarakan dari “hati ke hati”. Kita dapat belajar, tidak hanya dengan cara mengalaminya secara langsung (karena umur dan waktu hidup kita tidak akan pernah cukup untuk mengalaminya sendiri seorang diri. Karenanya, ilmu pengetahuan dan teknologi dibangun dari hasil penemuan dan observasi para pendahulu kita), namun kita pun dapat belajar dari pengalaman orang lain. Ketika tiada siapapun yang bersedia mengajari kita bekal keterampilan serta pengetahuan dasar hidup ini, maka mengasah “intuisi” menjadi kata kunci terpenting dalam proses pembelajaran di Universitas Kehidupan.

Yang menjadi inspirasi bagi penulis untuk menyuguhkan ulasan singkat perihal “pembelajaran dari kehidupan” ini, bermula ketika penulis amat sangat terpaksa mendatangi sebuah kantor cabang suatu perbankan guna menarik sejumlah dana uang kartal sebagai dana keperluan berbelanja di pasar tradisional. Ada kisah yang menarik untuk dapat penulis kisahkan dalam medium ulasan ini, sebagai objek perenungan, dengan hasil pembelajaran dari Universitas Kehidupan ini, bahwasannya:

KITA JANGAN BERSIKAP SEOLAH-OLAH SAMA SEKALI TIDAK PUNYA ‘DAYA TAWAR’ DAN TIDAK MEMILIKI PILIHAN BEBAS UNTUK MEMBUAT PILIHAN DAN MEMBUAT KEPUTUSAN OLEH SERTA UNTUK DIRI KITA SENDIRI. CUKUP BERFOKUS PADA PRIORITAS, YAKNI MENGURUSI URUSAN ‘URUSAN KITA’ SENDIRI, BERSIKAP PROFESIONAL TERHADAP DIRI SENDIRI, MENYADARI DAN MENDAHULUKAN YANG TERPENTING. BERSIKAPLAH SEOLAH-OLAH KITA SELALU PUNYA ‘DAYA TAWAR’, SEKECIL APAPUN ITU, SERTA SELALU MEMILIKI KEHENDAK BEBAS UNTUK MEMILIH SERTA UNTUK MEMBUAT KEPUTUSAN TANPA MEMBIARKAN DIRI KITA TER-DIKTE ATAUPUN DI-DIKTE OLEH ORANG LAIN, DALAM KONDISI APAPUN.”

Kutipan di atas itulah, pelajaran yang dapat penulis petik dari Universitas Kehidupan, bahkan dari suatu kejadiaan ataupun momen-momen keseharian kita yang tampak sederhana, yang membuktikan juga ternyata banyak hal dapat diajarkan serta “transfer of knowledge” secara tertulis maupun lisan dalam pendidikan “parenting” di rumah, pendidikan sekolah formal maupun nonformal, sebagaimana terbukti dapat penulis tuangkan dalam ulasan secara tertulis ini. Pelajaran dari “Kehidupan”, dapat kita dapatkan sepanjang kita mencoba untuk lebih “peka”, lebih menyadari, lebih memuka mata, serta lebih membuka telinga lebar-lebar, disamping lebih jujur kepada diri kita sendiri dengan suara nurani yang jernih.

Kutipan saripati dari pengalaman penulis tersebut di atas, adalah “TEKS”. Kini, mari kita membuatnya dapat dipahami dengan cara meng-komplomenter-kannya dengan “KONTEKS” yang melatar-belakanginya hingga saripati pelajaran tersebut dapat penulis himpun dan serap serta petik. Kita, seringkali, baru dapat memahami “TEKS dari pelajaran kehidupan”, ketika kita mengetahui “KONTEKS” yang melatar-belakanginya—itulah yang jarang diketahui kalangan orangtua maupun kalangan pendidik di Tanah Air, terlebih bila pengalaman hidup seorang anak masih sangat minim. Berbagai kalangan pendidik, atau bahkan orangtua kita, hanya pandai “melarang” atau “memerintah” (TEKS), tanpa pernah terampil dalam meng-komunikasikan “KONTEKS” yang melatar-belakanginya. Yang kemudian terjadi ialah sekadar “kepatuhan” monoton linear yang satu arah, bukan “pemahaman”. Memberi pemahaman, lebih efektif daripada melarang atau memberi larangan, demikian metode Sang Buddha dalam membabarkan Dhamma.

Terkadang, kita lupa bahwa kita selalu punya pilihan bebas untuk dipilih dan diputuskan oleh diri kita sendiri secara mandiri dan independen—karena ini menyangkut konsekuensi terhadap hidup diri kita sendiri. Itulah yang mulanya terjadi, karena keadaan yang demikian terjadi secara “mendadak” sehingga terjadi “distraksi” (teralihkan fokus sumber daya perhatian pikiran kita). Karenanya, penting untuk melatih ketahanan mental, dengan cara senantiasa mampu untuk “berdikari” (singkatan dari istilah “berdiri di atas kaki sendiri”) di atas pikiran, pendapat, kesimpulan, serta keputusan kita sendiri—tanpa bergantung pada orang lain untuk memberitahu kita apa yang tengah terjadi ataupun terhadap penafsiran atas suatu peristiwa, dengan senantiasa menyadari bahwa belum tentu orang lain berlaku jujur ataupun bersikap “apa adanya” terhadap kita.

Kembali pada kisah ketika penulis terpaksa mengunjungi sebuah kantor cabang suatu perbankan, yang tetap saja menutup pintu dan jendela serta menghidupkan Air Conditioner (AC) meski pada kesempatan sebelumnya telah penulis minta agar sebaiknya membuka pintu dan jendela guna sirkulasi udara disamping mematikan AC karena bahaya ancaman penularan wabah lebih tinggi pada ruang tertutup ber-AC tanpa sirkulasi udara, namun tidak memberi tanggapan secara positif dengan tetap bersikap seolah “pura-pura tidak ada wabah”, mendadak ketika baru memasuki pintu masuk kantor cabang perbankan bersangkutan, mental penulis telah dikejutkan oleh teguran satpam seolah penulis adalah “hacker” yang telah membobol rekening bank mereka, meminta penulis untuk menghadap dan berbicara dengan petugas yang duduk dibalik meja Customer Service.

Secara bertele-tele dan membuang-buang waktu penulis yang artinya semakin lama penulis ditahan oleh “udang dibalik batu” pihak petugas bank yang saling berkomplot tersebut, maka semakin besar bagi penulis untuk tertular virus menular mematikan yang seolah dibuat sendiri oleh pihak bank dengan kondisi ruang tertutup secara penuh, ternyata sekadar hendak menjadikan penulis sebagai “mangsa empuk” dari nasabah penabung menjadi menjelma debitor “kartu kredit”. Bodohnya penulis pada saat itu, penulis bersedia membuang-buang waktu sejenak untuk meladeni “omong kosong” dengan asumsi memberi mereka “respek” dan lupa bahwa keadaan sedang “wabah” dimana prioritasnya ialah “just cut the crap!” dan menjaga diri sendiri dengan baik menghadapi para “serigala berbulu manusia”.

Tiga orang petugas Customer Service perbankan mengerubungi penulis, dengan maksud agar penulis tergerak hatinya untuk menjadi debitor “kartu kredit” dengan segudang iming-iming khas marketing perbankan. Ketika kemudian penulis renungkan sepulangnya dari kantor cabang perbankan tersebut, semestinya penulis secara tegas dari sejak semula hanya berfokus pada prioritas, yakni “cepat-cepat pulang dan keluar dari ruang tertutup kantor cabang perbankan ini”, dengan seketika itu juga berseru : “Ada apa? Jangan bertele-tele, langsung saja! ... Kalian tawarkan Kartu Kredit? TI-DAK!!!”, dan seketika itu juga pergi berlalu ke bagian teller untuk penarikan dana tunai, tanpa lagi menghiraukan segala “OMONG KOSONG” pihak petugas bank. Mengapa juga tidak cukup membuat “banner” atau iklan tempel semacam spanduk, untuk promosi demikian dikala wabah, alih-alih menyita dan membawa resiko bagi nasabah pengunjungnya sendiri (durhaka)?

Ketika penulis telah berada di lantai atas untuk menarik dana dari teller, salah satu dari petugas bank di lantai bawah yang sebelumnya menyita waktu penulis ternyata berpura-pura naik ke lantai dua menghadap teller seolah hendak menukar uang berupa satu lembaran uang nominal kecil (apakah tidak ada modus yang lebih cerdik?), ternyata kembali lagi mengganggu penulis dengan maksud “mencuci otak” penulis agar bersedia menjadi debitor “kartu kredit” mereka, dengan berulang kali mendekati penulis sembari berkata dengan sorot matanya yang menyerupai “serigala kelaparan hendak memangsa korban buruannya” : “Sayang loh Pak, tawaran kartu kredit ini bila tidak diambil, segala biaya tahunan ditanggung pihak bank seumur hidup, bla bla bla...”

Sebenarnya penulis sama sekali tidak ingin menjawab apapun, namun merasa terpaksa dan terdesak untuk berkata “Kartu Kredit itu artinya BERHUTANG”, semata agar sang pengganggu itu tidak lagi mengganggu penulis, seolah-olah penulis tidak punya daya tawar ataupun opsi pilihan untuk diam bungkam dan tidak meladeni yang bersangkutan, dimana ternyata sang pengganggu masih juga mengganggu dengan kembali berujar, “Kan bisa langsung dibayar dan dilunasi sehabis pakai Kartu Kredit.” Tidak heran, bila perbankan satu ini kurang diminati masyarakat setempat dan sepi nasabah.

Ternyata, petugas bank mungkin memang “bodoh” atau juga mungkin mencoba membodohi nasabahnya sendiri, seolah-olah nasabahnya tidak punya daya tawar untuk menarik semua dananya dan hijrah ke bank lain, dalam hati penulis berpikir : “Jika bisa langsung dibayar lunas, untuk apa juga berhutang dengan Kartu Kredit?” Itulah akibat, dari sejak awal penulis bersikap seolah-olah tidak punya daya tawar ataupun pilihan bebas untuk seketika pergi dan berlalu tanpa membiarkan waktu tersisa dengan menghadapi ancaman wabah menular dalam ruang tertutup.

Sejatinya, kita selalu dapat memilih untuk tidak bersedia diberikan “resiko sampah yang tidak perlu” yang hanya menguntungkan pihak mereka secara “egoistik” dengan membawa resiko bagi diri kita. Ingatlah selalu, Sang Buddha bersabda, “Perbuatan baik artinya tidak merugikan orang lain juga tidak merugikan diri sendiri.” Menjadi orang yang tegas, demi kebaikan diri sendiri, adalah opsi terbaik sepanjang masa, tidak membuka ruang tawar-menawar, semata berfokus pada prioritas. Mengapa hal-hal semacam ini, tidak pernah diajarkan kepada kita di bangku sekolah hingga perguruan tinggi?

Tidak semua orang layak untuk kita berikan penghormatan, sebagai contoh orang-orang perbankan pada kasus nyata di atas, karenanya penting bagi diri kita untuk menaruh hormat kepada diri sendiri dan menghargai eksistensi diri kita sendiri (dengan cara “menjadi lawyer bagi diri kita sendiri”. Anda tidak perlu jauh-jauh mencari lawyer, lawyer ada di dalam diri kita sendiri), sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk merugikan dan memberikan “resiko yang tidak perlu” bagi diri kita sendiri dengan berlama-lama pada tempat yang menjadi resiko penularan “sarang penyakit”. Sama halnya, kita punya daya tawar, semisal ketika kurir pengantar paket hendak menyerahkan paket : “Pak, mohon pakai masker-nya ya, sebelum antar barang masuk ke dalam rumah ini.”

Sama halnya ketika kita perlu menagih piutang dari pihak lain yang berhutang kepada kita, kita tidak perlu tunduk pada perasaan inferior yang tidak logis, seperti rasa “sungkan” menagih sekadar “apa yang menjadi hak kita”, dan mulai belajar bersikap “seolah-olah kita selalu punya daya tawar dan pilihan / kehendak bebas untuk memilih dan membuat keputusan pribadi”—dengan begitu kita bisa mulai belajar menjadi “lawyer” bagi diri kita sendiri.

Rasa sungkan untuk menagih piutang, merupakan salah satu kesalahan yang banyak dijumpai kalangan pebisnis yang masih “hijau”—karena ia mengira dirinya tidak punya daya tawar apapun terhadap konsumennya. Bila kita sedang ber-BISNIS dan mencari nafkah dalam rangka profesi atau pekerjaan kita, maka tidak boleh ada kata “sungkan” terlebih terjebak pada mindset ke-sungkan-an. Bukanlah dosa, menuntut kompensasi berupa uang atas jasa atau barang yang kita jual, karena kita sedang ber-BISNIS / ber-DAGANG dan sedang “mencari uang”, sebagaimana diatur dan diakui oleh Konstitusi NKRI (UUD RI 1945). Justru barulah menjadi dosa, bila konsumen kita menikmati barang atau jasa yang kita jual tanpa membayar / melunasi—sehingga mereka yang memliki kewajiban moril untuk merasa “malu dan sungkan”, bukan kita yang sedang berdagang ataupun menjual jasa.

Sama pula, dalam hal “uang”, maka tiada istilah “sungkan” bila terkait “teman”, saudara, kerabat, dan sebagainya. Bicara perihal “uang”, maka kita bicara perihal “BISNIS”, bukan bicara perihal “kegiatan sosial”, karena konteksnya ialah kita sedang berdagang / berjualan / berbisnis alias mencari nafkah atau memungut kompensasi yang merupakan hak asasi manusia. Yang melarang Anda berdagang atau mencari nafkah, ialah PENJAJAH alias PERBUDAKAN MANUSIA. “’Kegiatan sosial’ adalah ‘kegiatan sosial’”, sementara “bisnis adalah bisnis”, tidak dapat dicampur-aduk terlebih dikeruhkan oleh kata “sungkan”.

Dirugikan dan (bisa jadi juga) “dibodohi” oleh orang lain yang memanfaatkan sikap penuh “sungkan” kita, ibarat memberikan “reward” kepada pelaku yang mengeksploitasi sifat “polos” dan “lugu” ataupun kebaikan hati diri kita—alih-alih diberikan “punishment”. Itulah pentingnya, menjadi lawyer bagi diri kita sendiri. Dapat dikatakan artikel singkat ini merupakan turorial bagaimana cara bagi kita semua untuk dapat menjadi atau tampil sebagai lawyer bagi diri kita sendir, suatu keterampilan penting yang akan sangat bermanfaat dalam kehidupan kita.

Bila yang kita hadapi bersikap “manipulatif-eksploitatif”, dengan berkata bahwa kita bersikap “perhitungan”, maka dengan semboyan “bersikaplah seolah-olah kita selalu memiliki daya tawar serta pilihan bebas”, maka kita dapat menjawab dengan tegas penuh kepercayaan diri : “Memang, saya HARUS perhitungan, karena saya seorang profesional. Jika tidak begitu maka saya bisa ditipu dan ‘dimakan’ oleh pelanggan saya sendiri, dan saya sedang ber-BISNIS. Mana ada orang berbisnis untuk merugi? Tidak ada kewajiban bagi saya untuk merugi karena dicurangi bila tidak perhitungan. BISNIS yang PROFESIONAL wajib PERHITUNGAN. PERHITUNGAN, wajib hukumnya dalam BISNIS. Saya punya tanggung jawab terhadap keluarga dan diri saya sendiri. Dalam hal ini, saya perlu mengambil tanggung-jawab terhadap profesi saya sendiri. Memangnya Anda mau menanggung kerugian saya?

Dengan filosofi “bersikap seolah-olah kita selalu punya daya tawar serta kehendak bebas”, kita menjadi tidak sungkan untuk “tidak bersedia menjawab”, menolak dengan berkata “TIDAK”, bahkan untuk menyatakan keberatan serta pertidak-setujuan terhadap orang lain, atau bahkan melakukan perlawanan dengan gigih. Percaya atau tidak percaya, kita baru akan dihargai dan dihormati oleh orang lain, bila kita menampilkan wajah “bersikap seolah-olah kita selalu punya daya tawar serta pilihan bebas”. Ketika kita bersikap seolah-olah sebaliknya, yakni “seolah-olah tidak punya daya tawar serta tidak punya pilihan bebas”, kita bahkan tidak menaruh respect terhadap diri kita sendiri, maka bagaimana orang lain terhadap diri kita? “Gampangan”, “murahan”, orang-orang yang “tidak punya daya tawar”, dan “yes man”, siapa yang akan menaruh hormat?

Selama sekian lama penulis berkecimpung dalam profesi Konsultan Hukum yang menjual jasa konseling seputar hukum, penulis selalu menemukan fakta, bahwa ketika kita merasa tidak memiliki daya tawar di hadapan seorang klien atau calon klien, justru yang terjadi kemudian ialah “eksploitasi” terhadap profesi penulis. Karenanya, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman, penulis merasa perlu untuk melakukan “evolusi” dalam pendekatan dalam menjual jasa, yakni kembali pada prinsip di atas, yakni “bersikap seolah-olah kita punya daya tawar dan pilihan bebas”, sekalipun itu ketika kita harus berhadapan dengan seorang klien atau calon klien.

Itulah mengapa, saat kini sebagai seorang Konsultan Hukum, bahkan penulis tidak menaruh sikap “sungkan” dalam menegur, menyatakan “tidak setuju”, keberatan, men-somasi, hingga MENOLAK klien maupun calon klien yang memiliki indikasi itikad tidak baik terhadap profesi penulis. Setidaknya, penulis masih memiliki harga diri di mata diri pribadi penulis, ada atau tidaknya klien pengguna jasa—dimana prinsip inilah yang terpenting sebagai buah dari pelajaran dalam Universitas Kehidupan. Jangan sampai kita tidak punya klien atau calon klien yang baik, namun kita pun “kehilangan diri sendiri”. Kita harus selalu punya “diri kita sendiri”, apapun perlakuan orang lain terhadap kita.

Kita perlu mulai belajar untuk menjadi cerdas dan berdikari dalam “alam pikir” diri kita sendiri tatkala berhadapan dengan orang lain yang kita jumpai, apapun kondisi dan situasinya, sehingga kita dapat senantiasa menjaga diri serta dapat menjadikan diri kita sendiri dapat kita andalkan saat keadaan “tidak bersahabat” terhadap diri kita, karena perlu kita sadari selalu : tidak semua orang yang kita hadapi memiliki itikad baik terhadap kita, dunia ini tidak seindah dunia dalam dongeng dimana semua penokohannya selalu mulia. Dalam kondisi yang paling kritis sekalipun, justru pada saat itulah kita benar-benar perlu tampil dan hadir bagi diri kita dengan cara “bersikap penuh seolah-olah selalu punya daya tawar serta pilihan bebas untuk dipilih dan diputuskan oleh diri kita sendiri”.

Para pembaca mungkin pada saat kini belum memahami seluruh makna implisit maupun eksplisit di dalam kandungan pesan penulis tersebut di atas, namun seiring perjalanan waktu, dapat dipastikan Universitas Kehidupan akan memberikan pelajaran yang sama berharganya seperti yang telah penulis temukan, dan mulai memahami maknanya secara utuh dan holistik. Mungkin, di Indonesia ini penulis dapat masuk dalam “museum rekor” sebagai Konsultan Hukum yang paling banyak menolak klien maupun calon klien. Untuk apa juga bersepakat, bila hanya “berat sebelah”? Bahkan penulis tidak jarang me-refund dana deposit klien yang penulis dapati itikad tidak baik terhadap konsultannya sendiri.

Sang Buddha telah lama bersabda, perbuatan baik artinya tidak menyakiti ataupun merugikan orang lain maupun diri sendiri. Artinya, menjadi profesional yang baik ialah menguntungkan klien dan juga diri sendiri. Bila prinsip resiprokal / resiprositas demikian ternyata dilanggar oleh pihak klien maupun calon klien, maka untuk apa memaksakan diri bersepakat ataupun untuk melanjutkan kerjasama? Kebaikan hati, toleransi, kompromi, kemurahan hati, tenggang rasa, semua itu bisa menjadi bumerang bagi kita, selama kita lupa, lupa untuk “bersikap seolah-olah kita selalu punya daya tawar serta pilihan bebas untuk memilih dan membuat keputusan”. Kompromi yang sehat ialah kompromi yang seimbang, bukan “timpang-sebelah”.

Ketika seseorang mencoba bersikap manipulatif dengan tanpa rasa bersalah hendak menjatuhkan mental kita yang sedang berbisnis, dengan berkata bahwa kita begitu “perhitungan sekali, tidak mau rugi”, maka jawablah dengan tegas, “MEMANG!”, serta tambahkan kalimat penutup berikut dengan tetap memegah teguh kepercayaan diri (menjunjung hak serta martabat diri sendiri, hak asasi manusia) : “Anda sadar saya sedang ber-BISBIS, mengapa masih ditanya? Mengapa tidak Anda sendiri yang merugi, mau? Mana ada orang usaha mau merugi? Jangan suruh saya membuka Panti Sosial, apa Anda mau menjadi penghuni Panti Sosial? Sudah jelas di sini bukanlah Panti Sosial, dan membuka usaha komersiel bukanlah dosa. Sejak kapan juga usaha yang legal untuk mengejar keuntungan dan profit, disebut sebagai dosa atau bahkan tercela? Silahkan Anda cari babysitter untuk mengganti pokok Anda, saya tidak bersedia, karena saya seorang profesional dibidang profesi saya.

Bila sang “pemerkosa profesi” tanpa rasa malu ataupun rasa bersalah, menyuruh Anda “mati makan batu” dengan berkata secara jahat : “Anda MATA DUITAN” (benar-benar pernah penulis alami, oleh seorang “pemerkosa” profesi konsultan yang menuntut dilayani tanpa bersedia membayar tarif jasa sebagai kompensasi layanan SEPERAK PUN), maka jawablah dengan tidak membiarkan mental kita tergoyahkan sejengkal pun : “Yang MATA DUITAN ITU ANDA SENDIRI, LEBIH HINA DARIPADA PENGEMIS, PENGEMIS SAJA TIDAK MENCARI MAKAN DENGAN CARA MERAMPOK NASI DARI PIRING PROFESI ORANG LAIN. ANDA PERKOSA SAJA PROFESI ANDA ATAU PROFESI IBU ANDA! PENGEMIS, PUNYA MASALAH HUKUM?

Itulah Negeri Indonesia, dikenal “agamais”, mengaku “ber-Tuhan”, rajin beribadah, mampu menghafal ayat-ayat Kitab, tidak pernah absen menjalankan ritual harian, memakan makanan pilihan secara ketat (meng-halal-haram-kan), namun perihal ucapan, ternyata ironis dan membuat prihatin, ibarat “membalas air susu dengan perkosaan” terhadap profesi penulis—tiada yang lebih jahat dan lebih buruk daripada perilaku “perkosaan” demikian. Singkat kata, tanpa rasa malu serta tanpa rasa takut berbuat jahat terhadap orang lain yang sedang bekerja mencari nafkah secara legal.

Salah satu contoh teladan utama yang selalu menjadi rujukan utama penulis tentang sosok yang selalu menyadari adanya daya tawar secara laten dalam diri serta pilihan bebas dalam kondisi dan situasi apapun, ialah sang Guru Agung, Sang Buddha, guru dari para dewa dan para manusia. Sang Buddha tidak pernah memusingkan apakah dirinya memiliki ataukah sama sekali tidak memiliki pengikut, siswa, ataupun umat, begitu bebas, merdeka, dan independen, bahkan sejak semula sama sekali tidak berminat mengajarkan Dhamma sebelum kemudian dimohonkan oleh makhluk Brahma yang secara khusus turun ke alam manusia untuk memohon Sang Buddha membabarkan Dhamma dan memutar roda Dhamma. Yang terjadi kemudian ialah yang sebaliknya, para manusia dan para dewa yang memohon untuk dapat menjadi para siswa dari Sang Buddha, sekalipun Sang Buddha tidak pernah mengemis-ngemis terlebih membuat iming-iming ataupun bahkan ancaman-ancaman kepada umat manusia.

Mari kita aplikasikan keterampilan dasar hidup yang telah kita dapatkan dari ulasan tersebut di atas, dalam kasus konkret sehari-hari. Semisal, teman Anda tidak memakai masker saat berjumpa dikala wabah, dan teman Anda marah atau tersinggung ketika Anda tegur karena tidak mengenakan masker. Maka, ya sudah, cari teman baru, atau setidaknya tidak perlu bertegur sapa dan memilih untuk menjauh sembari bungkam. Atau, semisal pacar Anda tiba-tiba menelepon Anda yang sedang menyetir. Tentu, kita harus fokus pada kegiatan menyetir karena terkait keselamatan diri sendiri, penumpang, serta pengguna jalan lainnya, sehingga prioritasnya ialah pada kondisi jalan, bukan pada suara dering handphone yang mengganggu konsentrasi terlebih bila diangkat.

Namun, pacar Anda kemudian menjadi “tersinggung” karena Anda tidak mengangkat teleponnya. Maka, ya sudah, cari pacar baru. Jangan bersikap seolah-olah kita tidak pernah punya daya tawar ataupun pilihan bebas, bersikaplah seolah-olah kita selalu punya daya tawar serta pilihan bebas, karena ketika kita mampu menghargai eksistensi diri kita sendiri maka alam semesta pun akan turut menghargai keberadaan diri kita. itulah paradoks kehidupan, hargai dahulu eksistensi diri kita sendiri, barulah kita dapat dihargai oleh orang-orang di luar diri kita. Bersikaplah seolah-olah memiliki daya tawar dan pilihan bebas, apapun situasi dan kondisinya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.