KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Perbedaan FIAT EKSEKUSI dan PARATE EKSEKUSI, bahkan Mahkamah Konstitusi RI pun Tidak Mampu Memahami Perbedaan Keduanya

LEGAL OPINION
Eksekusi Jaminan Fidusia Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, MK RI bahkan TIDAK DAPAT MEMBEDAKAN ANTARA LEASING DAN KREDIT, Menghasilkan Putusan yang Tidak Sesuai Proporsi
Lex neminem cigit ad impossibilta.
Undang-undang tidak memaksakan seseorang untuk melakukan sesuatu yang MUSTAHIL
Question: Jadi, sebenarnya sekarang ini bagaimana kepastian hukum bagi kreditor pemegang jaminan fidusia ketika hendak mengeksekusi agunan ketika debitor menunggak dan cidera janji (setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 terkait uji materiil Undang-Undang Fidusia, dimana Mahkamah Konstitusi RI dalam putusannya menyatakan : “...di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri.”)?
Namanya juga lelang eksekusi, jika debitor (secara) sukarela serahkan itu kendaraan yang dijadikan agunan dengan diikat sebagai jaminan fidusia yang artinya disaat bersamaan juga mengakui telah menunggak cicilan pelunasan, maka buat apa juga dijual lelang di Kantor Lelang Negara yang dikenakan bea lelang, akan lebih efisien dan lebih efektif bila debitor atas izin kreditor lalu menjualnya (secara) “dibawah-tangan” objek kendaraan miliknya itu untuk melunasi hutang. Jika diserahkan secara sukarela, mengapa namanya masih disebut lelang EKSEKUSI?
Putusan Mahkamah Konstitusi ini juga ada menyatakan, adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur, atau atas dasar gugatan kreditor terhadap debitornya agar pengadilan menyatakan telah terjadinya cidera janji oleh sang debitor. Hal demikian membingungkan kalangan kreditor ketika mencoba mengaplikasikan logika putusan Mahkamah Konstitusi dalam praktiknya, semisal jika memang kreditor harus terlebih dahulu gugat debitornya agar pengadilan mengatakan bahwa betul debitor telah wanprestasi, pertanyaannya wanprestasi terhadap apa? Jelas (wanprestasi) terhadap Akta Kredit, dan bukankah dalam Akta Kredit dari semula sudah pernah diatur dan disepakati kapan perbuatan ataupun lalainya debitor dinyatakan sebagai wanprestasi? Lantas, untuk apa lagi disepakati ulang saat kondisi debitor telah “macet” pelunasan hutangnya? Tidak logis dan tidak masuk akal.
Bukankah sudah disepakati apa dan kapan itu terjadinya wanprestasi saat semua pihak tanda-tangan akad kredit? Jika sedari awal sudah sepakat semisal menunggak cicilan bulanan artinya wanprestasi, lantas apanya lagi yang perlu disepakati? Silahkan saja bila debitor hendak menggugat kreditor, seperti yang selama ini terjadi, namun mengapa beban ini harus diputar dimana kreditor yang kemudian dibebani kewajiban untuk menggugat debitornya?
Kendaraan objek kredit artinya bisa dinikmati hingga bertahun-tahun dikuasai oleh debitor meski nyata-nyata menunggak hutang, hingga putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap) di kasasi? Mengapa jadi beban menggugat ini, kini dialihkan jadi beban kreditor yang harus direpotkan menggugat debitornya jika ingin bisa eksekusi fidusia? Lantas, dimana dan apa bedanya antara eksekusi jaminan fidusia dan menang gugatan lalu sita eksekusi via pengadilan? Jika begitu, untuk apa lagi ada yang namanya jaminan fidusia? Mengapa tidak sekalian bubarkan saja undang-undang fidusia ini, terlebih disebut sabagai jaminan atau agunan?
Brief Answer: Berjalan seperti biasa saja, seperti saat sebelum terbitnya putusan MK RI perihal uji materiil Undang-Undang Fidusia), mengingat asas utama ilmu hukum terletak pada adagium : “Hukum tidak dapat mengatur hal yang mustahil untuk dijalankan oleh warganegaranya.” Tidak jarang, putusan Mahkamah Konstitusi RI justru dianulir oleh praktik peradilan konkret oleh Mahkamah Agung RI dan jajaran pengadilan dibawahnya, karena dianggap sebagai putusan yang tidak rasional, sehingga Mahkamah Agung RI kerap dalam putusan tingkat kasasi menyatakan dalam putusannya bahwa : “Putusan Mahkamah Konstitusi RI bersifat ‘law in abstracto’, sementara putusan Mahkamah Agung RI bersifat ‘law in concreto’.”
Bahkan, sinyalemen dari Mahkamah Agung RI kecenderungannya ialah memberi “lampu hijau” bagi kreditor pemegang jaminan Fidusia untuk mengabaikan keberlakuan putusan Mahkamah Konstitusi RI yang tidak beralasan untuk diterapkan secara mutlak. Telah ternyata pula, Mahkamah Konstitusi RI kita tidak mampu membedakan antara “fiat eksekusi” dan “parate eksekusi”, disamping tidak juga mampu membedakan antara “leasing” dan “kredit” meski perbedaannya telah demikian kontras, kentara, dan tidak bisa saling dipertukarkan.
Yang mengajukan permohonan uji materiil dalam perkara tersebut, ternyata ialah konsumen dari “lembaga pembiayaan” (leasing) yang tidak membutuhkan Fidusia karena objek masih atas nama perusahaan leasing. Namun, Mahkamah Konstitusi RI justru mengamputasi kewenangan “lembaga keuangan” (kredit, seperti perbankan) terkait keberlakuan Undang-Undang Fidusia.
Antara “Leasing” dan “Kredit” adalah dua instrumen hukum yang saling berbeda dengan konsekuensi yang berlainan satu sama lainnya, tidak bisa disaling-pertukarkan, mengingat “Leasing” tidak pernah membutuhkan ikatan Fidusia, juga tiada istilah “eksekusi”, sebab “mengambil barang milik sendiri” bukanlah sebuah eksekusi terlebih untuk meminta izin dari pengadilan.
Hanyalah “Kredit” yang mengenal istilah, baik “fiat eksekusi” maupun “parate eksekusi”. Irah-irah yang merupakan “titel eksekutorial” yang dapat dieksekusi secara “serta-merta” tanpa peran jurusita pengadilan, selain tertuang dalam Sertifikat Hak Tanggungan, Sertifikat Fidusia, juga dapat kita jumpai pada “Surat Paksa Kantor Pajak”, sekalipun kemungkinan besar sang wajib pajak akan menolak dituduh telah “mengemplang” pajak sejumlah perhitungan / estimasi sendiri sepihak dari pihak investigator otoritas pajak. Karenanya, perlu dibedakan antara “Lelang EKSEKUSI” dimana tiada terdapat kesukarelaan dari tereksekusi, dan “Lelang SUKARELA” yang dilandasi kesukarelaan oleh pihak debitor, dimana SOP Kantor Lelang Negara membedakan perlakuan terhadap keduanya.
PEMBAHASAN:
Hakim lewat putusannya, bisa saja mengadili dan memberikan keadilan, namun disaat bersamaan terbuka potensi mencelakai kepentingan publik hingga hajat hidup orang banyak, ketika sang hakim tidak benar-benar kompeten dalam bidangnya saat memutus suatu perkara hukum yang pada era modern ini menjelma “rimba belantara hukum”, sehingga tidak lagi relevan adagium “ius curia novit” (hakim dianggap mengetahui segala hukum) dikala era hukum modern telah kian kompleks dan terspesialisasi.
Apa yang menjadi “Event of Default” dapat dipastikan sudah terdapat dan disepakati di awal saat sang debitor bersama kreditornya menanda-tangani Akad Pembiayaan / Kredit, mengapa kemudian oleh Hakim Konstitusi dinyatakan bahwa “wanprestasi baru disepakati di belakang” alias post factum? Menjadi terbalik logika hukum yang dimainkan oleh para Hakim Konstitusi RI. Prestasi dan wanprestasi sifatnya disepakati di awal, tujuannya agar tidak terjadi pelanggaran baik oleh debitor maupun sang kreditor.
Jika sudah melakukan pelanggaran, pelanggar manakah yang akan secara sukarela mengaku dan sepakat bahwa dirinya telah melangggar? Yang ada selama ini ialah, debitor yang justru bersikap “lebih galak” dengan menggugat kreditornya sendiri meski telah wanprestasi. Perjanjian, isinya ialah “prestasi” (untuk menyerahkan sesuatu, untuk melakukan sesuatu, dan/atau untuk tidak melakukan sesuatu) itu sendiri, dimana pelanggaran terhadap “prestasi” yang telah disepakati disebut sebagai wanprestasi.
Jika prestasi dan wanprestasinya baru disepakati di akhir alias post factum, lalu isi Perjanjian Pembiayaan / Kredit yang mengandung muatan prestasi serta “Event of Default”, itu disebut sebagai apa? Untuk apa juga membuat kesepakatan diawal dan lalu juga perlu disepakati kembali dalam kejadian post factum, yang justru menjadi saling tumpang-tindih? Wanprestasi adalah konsekuensi logis sekaligus konsekuensi yuridis pelanggaran atas “prestasi” yang telah sebelumnya disepakati dalam Perjanjian Pembiayaan / Kredit, bukan justru baru disepakati pasca terjadinya pelanggaran terhadap perjanjian.
Kalangan kreditor di Tanah Air dengan jaminan pelunasan hutang yang diikat Fidusia, sempat digemparkan sejak terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi RI dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia register Nomor 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020, judicial review mana dimohonkan oleh sepasang suami-istri Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo.
Pemohon merupakan debitor (“Pemberi Fidusia”) sebagaimana Sertifikat Jaminan Fidusia yang mengklaim telah mengalami kerugian secara langsung akibat dari penarikan objek jaminan fidusia yang dilakukan oleh Penerima Fidusia, diangagp telah merugikan hak konstitusional sang debitor, dengan argumentasi bahwa “kekuasaan yang berlebihan” dan tanpa kontrol mekanisme hukum yang sewajarnya, pihak kreditor telah menyetarakan kedudukan Sertifikat Jaminan Fidusia dengan “putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap”, mengakibatkan tindakan sewenang-wenang pihak kreditor untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia, bahkan dengan “menghalalkan segala macam cara” serta tanpa melalui prosedur hukum yang benar.
Tindakan sewenang-wenang dimaksud, dilakukan dengan cara menyewa jasa “debt collector”, untuk mengambil-alih objek fidusia yang dipegang oleh sang debitor tanpa melalui “prosedur hukum yang benar”. [Note SHIETRA & PARTNERS : Apakah yang dimaksud dengan “prosedur hukum yang benar” dalam konteks eksekusi jaminan fidusia? Itulah isu hukum paling utama dari uji materiil ini. Hukum telah membedakan mekanisme “fiat eksekusi titel eksekutorial” dan “parate eksekusi” terhadap jaminan yang diikat baik dengan Fidusia maupun Hak Tanggungan, dimana kegagalan pemahaman pihak debitor ternyata tidak disadari oleh para Hakim Konstitusi RI yang disaat bersamaan membuktikan betapa Mahkamah Konstitusi RI tidak menguasai berbagai bidang hukum namun tetap berani menjatuhkan putusan.]
Terdapat beberapa momentum tindakan paksa, tanpa menunjukkan bukti dan dokumen resmi, tanpa kewenangan, dengan menyerang diri pribadi, kehormatan, harkat dan martabat, serta mengancam akan membunuh, demikian klaim sang debitor. Terhadap tindakannya demikian, telah terdapat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 345/PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel yang menyatakan bahwa tindakan Penerima Fidusia semacam itu dikategorikan sebagai “perbuatan melawan hukum”, serta diberi sanksi berupa membayar denda baik Materiil maupun Immateriil, dengan amar selengkapnya:
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea), dan T3 (M. Halomoan Tobing) telah MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM yang merugikan PEMOHON I;
3. Menghukum T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea), dan T3 (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar kerugian materiil kepada penggugat sebesar Rp. 100.000,-;
4. Menghukum T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea), dan T3 (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar ganti rugi kerugian immateriil kepada penggugat sebesar Rp. 200.000.000,-;
5. Menghukum TT (Otoritas Jasa Keuangan) untuk mematuhi isi putusan ini.”
Note SHIETRA & PARTNERS : Sejatinya, sang debitor telah membuat dalil “palsu”, yang ternyata termakan pula oleh kesembilan Hakim Mahkamah Konstitusi RI yang nyata-nyata gagal untuk mampu membedakan antara “Leasing” dan “Kredit”. PT. Astra Sedaya Finance merupakan “lembaga pembiayaan” yang tunduk pada Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Pembiayaan, BUKAN “lembaga keuangan” yang tunduk pada Undang-Undang tentang Perbankan. “Kredit”, objek kredit telah atas nama “debitor”, karenanya dibutuhkan ikatan Fidusia sebagai jaminan. Sebaliknya, kontras dengan itu, objek “Leasing” masih atas nama Lessor, alias perusahaan leasing, sehingga TIDAK dibutuhkan ikatan Fidusia, mengingat objek masih atas nama kepemilikan pihak perusahaan leasing. Sehingga, FAKTA HUKUM yang luput dan juga diabaikan oleh pihak Mahkamah Konstitusi RI, ialah bahwa OBJEK MASIH ATAS NAMA LESSOR, alias PERUSAHAAN LEASING.
Kembali pada dalil sang pemohon uji materiil, meskipun telah ada putusan Pengadilan terkait perselisihan antara Pemberi dan Penerima Fidusia tersebut di atas (yang ternyata tidak dikabulkannya “putusan serta merta” sehingga belum berkekuatan hukum tetap), Penerima Fidusia tetap mengabaikannya dengan tetap melakukan penarikan terhadap objek jaminan Fidusia pada tanggal 11 Januari 2019, dengan mendasarkan bahwa Perjanjian Fidusia dianggap telah “berkekuatan hukum tetap” dengan memakai justifikasi berupa ketentuan pasal Undang-Undang Fidusia yang sedang dimohonkan uji materiil, yang memberikan justifikasi kepada penerima fidusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan atau paling tidak menafsirkan pasal-pasal di dalam Undang-Undang Fidusia untuk bertindak sewenang-wenang dengan menindas harkat dan martabat serta kehormatan konsumennya akibat (causalitas) keberlakuan pasal-pasal yang sedang dimohonkan uji materiil, yakni ketentuan Pasal 15 Ayat (2) dan Ayat (3) UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang berbunyi:
- Pasal 15 Ayat (2) : “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” [Note SHIETRA & PARTNERS : Ayat inilah yang disebut sebagai ‘fiat eksekusi’, merujuk pada ‘irah-irah’ dalam Sertifikat Jaminan Fidusia.]
- Pasal 15 Ayat (3) : “Apabila debitur cidera janji Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.” [Note SHIETRA & PARTNERS : Ayat inilah yang dikenal dengan istilah ‘parate ekseksusi’, merujuk pada kuasa menjual dalam Akta Pembebanan Jaminan Fidusia yang dilekatkan bersama dengan Sertifikat Jaminan Fidusia.]
Dengan menyamakan kekuatan eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Fidusia), karenanya dalam Sertifikat Jaminan Fidusia tercantum irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” layaknya sebuah putusan pengadilan. [Note SHIETRA & PARTNERS : Akan tetapi, pihak Pemohon tidak menyadari bahwa Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Fidusia tidak mendasari kewenangannya pada irah-irah (titel eksekutorial), namun “parate eksekusi”.
Sang debitor melanjutkan, pengaturan dalam Pasal 15 Ayat (3) di atas, hanya berfokus untuk memberikan kepastian hukum atas hak Penerima Fidusia (Kreditur) dengan jalan dapat melakukan eksekusi Objek Fidusia secara “serta merta”, dimana pelaksanaannya yang dapat melanggar hak hak Pemberi Fidusia (Debitur), sehingga undang-undang abai untuk memberikan kepastian hukum yang adil, jaminan, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta perlindungan terhadap hak milik pribadi Pemberi Fidusia (Debitur). Akibatnya, pengaturan semacam demikian luput untuk menjelaskan tentang kedudukan Sertifikat Jaminan Fidusia jika dihadapkan dengan Putusan Pengadilan, mekanisme dan prosedur penyitaan Objek Fidusia, serta mekanisme untuk menentukan tindakan cidera janji debitur.
Sang debitor berpendirian, frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan”, menimbulkan ketidakpastian hukum, dimana frasa “kekuatan eksekutorial” maupun frasa “sama dengan putusan pengadilan” dapat dimaknai secara tidak sama dan berbeda beda. Pertama, ketentuan demikian memberikan kekuasaan / legitimasi kepada penerima fidusia (kreditur) untuk secara langsung melakukan eksekusi terhadap objek fidusia dalam hal dianggap telah melakukan cidera janji. Mekanisme eksekusi itu bisa dilakukan secara “serta-merta” tanpa melalui prosedur hukum yang benar dengan orientasi pengambil-alihan objek fidusia.
Model pemaknaan semacam itu, dapat memunculkan kesewenang-wenangan penerima fidusia (kreditur) dalam melakukan eksekusi objek fidusia seperti halnya yang dialami oleh pihak Pemohon Uji Materiil. Penerima Fidusia, menggunakan segala macam cara untuk melakukan penyitaan terhadap objek fidusia.
Adapun model pemaknaan Kedua, frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan”, dapat dimaknai bahwa apakah prosedur eksekusi terhadap Sertifikat Jaminan Fidusia dilakukan sama seperti prosedur dan mekanisme eksekusi sebagaimana pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pengadilan? [Note SHIETRA & PARTNERS : Sejatinya pertanyaan Pemohon telah terjawab oleh Undang-Undang yang dimohonkan uji materiil itu sendiri, yakni pertanyaan sederhana, jika ketentuan Pasal 15 Ayat (2) tentang “fiat eksekusi” adalah sama atau serupa dengan ketentuan Pasal 15 Ayat (3) tentang “parate eksekusi”, maka untuk apa regulator pembentuk Undang-Undang membedakan mekanisme eksekusi menjadi dua ayat berbeda? Sama seperti pertanyaan, apakah sebuah “Surat Kuasa Menjual Tanah” dari notaris, hanya dapat dieksekusi / dijalankan oleh pihak jurusita pengadilan? “Parate eksekusi” sejatinya serupa dengan itu, namun sifatnya ialah “bersyarat tangguh”, yakni ditangguhkan sampai ketika terpicunya “Event of Default” sebagaimana sebelumnya telah disepakati bersama di muka saat membuat perjanjian kredit.]
Dengan cukup terampil, pihak Pemohon beragumentasi bahwa  materi muatan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang dimaksud, seharusnya tidak berhenti pada ketentuan yang mempersamakan antara “sertifikat fidusia” dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” tanpa mengatur lebih lanjut bagaimana prosedur eksekusi itu dapat dilaksanakan agar sesuai juga dengan mekanisme eksekusi atas putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, yakni hukum acara perdata.
Kurang lengkapnya materi muatan Pasal 15 Ayat (2) demikian, berimplikasi pada pengabaian terhadap asas kepastian hukum (legal certainty) dan asas keadilan hukum (legal justice), karena lebih cenderung melindungi Penerima Fidusia daripada melindungi kepentingan konsumen (pemberi fidusia), dimana menurut Pemohon, dengan mempersamakan “sertifikat fidusia” dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, maka prosedur pelaksanaan eksekusi objek fidusia juga seharusnya dipersamakan atau paling tidak serupa dengan prosedur eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yaitu mengikuti ketentuan hukum acara perdata dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 196 Herzien Inlandsch Reglement (HIR), yang mengatur:
“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.”
Note SHIETRA & PARTNERS : Secara salah-kaprah, titel eksekutorial “fiat eksekusi” terhadap irah-irah muaranya ialah Pasal 224 HIR :
Surat asli dari pada surat hipotek dan surat hutang yang diperkuat di hadapan notaris di Indonesia dan yang kepalanya memakai perkataan ‘Atas nama Undang-undang’ berkekuatan sama dengan putusan hakim, jika surat yang demikian itu tidak ditepati dengan jalan damai, maka perihal menjalankannya dilangsungkan dengan perintah dan pimpinan ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya orang yang berhutang itu diam atau tinggal atau memilih tempat tinggalnya dengan cara yang dinyatakan pada pasal-pasal di atas dalam bagian ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksaan badan itu hanya dapat dilakukan, jika sudah diizinkan dengan keputusan hakim. Jika hal menjalankan keputusan itu harus dijalankan sama sekali atau sebahagian di luar daerah hukum pengadilan negeri, yang ketuanya memerintahkan menjalankan itu, maka peraturan-peraturan pada pasal 195 ayat kedua dan yang berikutnya dituruti.”
Pasal 224 HIR dengan demikian telah menggariskan, surat-surat yang dianggap mempunyai kekuatan yang pasti untuk dieksekusikan seperti surat keputusan hakim yaitu:
- surat utang memakai hipotik (kini Hak Tanggungan).
- surat utang yang dilakukan di hadapan notaris (akte notaris) yang kepalanya memakai perkataan-perkataan dahulu “Atas nama Raja”, kemudian berturut-turut diubah menjadi “Atas nama Republik Indonesia”, “Atas nama Undang-undang” dan sekarang berdasarkan pasal 4 UU Pokok Kehakiman No. 14/1970 menjadi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Apabila surat-surat yang tersebut di atas itu tidak ditepati dengan jalan damai, maka akan dijalankan seperti keputusan hakim biasa, yaitu dilangsungkan dengan perintah dan pimpinan ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya orang yang berhutang itu diam atau tinggal atau memilih sebagai tempat tinggalnya.
Kembali kepada dalil sang debitor, adapun model pemaknaan Ketiga, frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan” dapat dimaknai bahwa apakah Sertifikat Jaminan Fidusia dapat mengesampingkan putusan pengadilan atas perjanjian turunan dan perjanjian pokoknya, meskipun belum memiliki kekuatan hukum mengikat?
Jika ada kepastian hukum atas pertanyaan sebagaimana model pemaknaan ketiga itu, maka seharusnya kasus yang menimpa Pemohon tidak akan terjadi. Karena ketiadaan kepastian hukum atas pemaknaan pasal dimaksud, para Pemohon mengalami tindakan penyitaan objek fidusia secara melawan hukum. Bahkan ketika telah ada putusan pengadilan yang menyatakan tindakan penarikan objek fidusia itu dinilai sebagai tindakan yang salah dan merupakan perbuatan melawan hukum, Penerima Fidusia tetap melakukan penarikan terhadap objek fidusia. Bahkan dalam praktik, menunjukkan ketiadaan prosedur yang jelas dan tanpa mekanisme hukum yang baku.
Kondisi yang sama berlaku terhadap ketentuan Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Fidusia, khususnya menyangkut frasa “cidera janji”, yang tidak menunjukkan kejelasan indikator dan penilaian terhadapnya, karena tidak mengatur secara eksplisit siapa yang berwenang dan mempunyai hak memberikan penilaian bahwa debitur telah melakukan tindakan “cidera janji”. Ketiadaan mekanisme mana, menyebabkan penilaian subyektif dan sepihak dari kreditur (penerima fidusia) dengan mengabaikan pertimbangan pemberi fidusia (debitur) bahkan tanpa mempertimbangkan “itikad baik atau niat baik” debitur.
Mengingat kaedah Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Fidusia menyamakan kedudukan “Sertifikat Perjanjian Fidusia” dengan “Putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap”, telah mengabaikan prosedur hukum untuk menentukan dugaan apakah benar telah terjadi tindakan “cidera janji” oleh pemberi fidusia (debitur) atau tidak. Kebenaran pembuktian telah terjadi tindakan “cidera janji” menjadi diabaikan dan dianggap tidak lagi penting dalam konstruksi realita praktik-lapangannya.
Pengaturan dalam ketentuan semacam itu, dinilai telah menunjukkan ketidak-setaraan di hadapan hukum antara kreditur dan debitur, disamping ketiadaan pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sementara bagi pihak penerima fidusia (kreditur), diberikan hak eksklusif untuk melakukan eksekusi terhadap objek fidusia tanpa melalui mekanisme hukum yang jelas, seolah ketiadaan aturan teknisnya diartikan memberikan hak eksklusif kepada kreditur untuk melakukan eksekusi objek fidusia bahkan sama kedudukannya dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, tanpa mekanisme dan prosedur penilaian yang jelas dalam melihat tindakan debitur yang dinilai “cidera janji”. Sedangkan pemberi fidusia (debitur), tidak diberikan mekanisme hukum yang setara untuk menguji kebenarannya.
Dimana terhadapnya, kesembilan orang Hakim Mahkamah Konstitusi RI membuat pertimbangan serta amar putusan dengan suara secara bulat, sebagai berikut:
“Menimbang, ... Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut:
Salah satu karakteristik dari perjanjian fidusia adalah adanya penyerahan hak milik barang yang menjadi jaminan dari debitur kepada kreditur sehingga secara yuridis seolah-olah barang yang dalam penguasaan debitur sesungguhnya sudah beralih menjadi hak milik kreditur, sementara itu penguasaan secara fisik terhadap barang jaminan tersebut tetap berada pada debitur berdasarkan asas kepercayaan.
Bahwa berkaitan dengan permasalahan konstitusionalitas Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang memberikan “titel eksekutorial” terhadap sertifikat fidusia dan “mempersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap” di dalamnya terkandung makna bahwa sertifikat fidusia mempunyai kekuatan eksekusi tanpa disyaratkan adanya putusan pengadilan yang didahului oleh adanya gugatan secara keperdataan dan pelaksanaan eksekusinya diperlakukan sama sebagaimana halnya terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dari kandungan makna sebagaimana yang tersirat dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 tersebut di atas secara sederhana dapat dipahami bahwa sertifikat fidusia memberikan hak yang sangat kuat kepada penerima fidusia, dalam hal ini kreditur, karena sertifikat fidusia langsung dapat bekerja setiap saat ketika pemberi fidusia, dalam hal ini debitur, telah dianggap cidera janji.
Argumentasinya adalah karena, secara hukum, dalam perjanjian fidusia hak milik kebendaan sudah berpindah menjadi hak penerima fidusia (kreditur), sehingga kreditur dapat setiap saat mengambil objek jaminan fidusia dari debitur dan selanjutnya menjual kepada siapapun dengan kewenangan penuh ada pada kreditur dengan alasan karena kekuatan eksekusi dari sertifikatnya telah dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Terlagi, Mahkamah Konstitusi RI telah salah kaprah. Objek yang diikat fidusia, ialah objek atas nama milik debitor, bukan atas nama milik kreditor. Fidusia, artinya “kepercayaan”—maksudnya, meski objek yang menjadi jaminan pelunasan hutang-piutang adalah atas nama milik debitor, namun objek jaminan tetap diizinkan untuk dikuasai oleh pihak debitor sebagai modal usaha berdasarkan KEPERCAYAAN oleh kreditornya. Ketika debitor ingkar janji, dan tetap menguasai objek jaminan, maka sama artinya debitor telah melanggar dan dengan itikad tidak baik menyalah-gunakan kepercayaan kreditornya. Jika objek sudah atas nama kreditor, maka itu artinya “sewa-menyewa” (lease, akar kata leasing yang bermakna “sewa guna usaha dengan hak opsi”), bukan fidusia. Sebuah perusahaan rental kendaraan, tidak pernah mengingat penyewanya dengan fidusia. Jika objek telah atas nama kreditor, maka untuk apa pula dijual lelang secara fidusia?]
Bahwa dalam perspektif kandungan makna sebagaimana diuraikan tersebut di atas nampak jelas dan terang benderang bahwa aspek konstitusionalitas yang terdapat dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 di atas tidak mencerminkan adanya pemberian perlindungan hukum yang seimbang antara pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia dan juga objek yang menjadi Jaminan Fidusia, baik perlindungan hukum dalam bentuk kepastian hukum maupun keadilan. Sebab, dua elemen mendasar yang terdapat dalam pasal a quo, yaitu “titel eksekutorial” maupun “dipersamakannya dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”, berimplikasi dapat langsung dilaksanakannya eksekusi yang seolah-olah sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh penerima fidusia (kreditur) tanpa perlu meminta bantuan pengadilan untuk pelaksanaan eksekusi.
Hal tersebut menunjukkan, di satu sisi, adanya hak yang bersifat eksklusif yang diberikan kepada kreditur dan, di sisi lain, telah terjadi pengabaian hak debitur yang seharusnya juga mendapat perlindungan hukum yang sama, yaitu hak untuk mengajukan / mendapat kesempatan pembelaan diri atas adanya dugaan telah cidera janji (wanprestasi) dan kesempatan mendapatkan hasil penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar. Dengan kata lain, dalam hal ini, penilaian perihal telah terjadinya “cidera janji” secara sepihak dan eksklusif ditentukan oleh kreditur (penerima fidusia) tanpa memberikan kesempatan kepada deditur (pemberi fidusia) untuk melakukan sanggahan dan atau pembelaan diri.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Selama ini memang kerap terjadi gugatan oleh pihak debitor kepada kreditor pemegang jaminan Fidusia maupun Hak Tanggungan, semata bertujuan untuk menyukarkan pihak kreditor meski status “kredit macet” telah akut. Dibukanya kesempatan bagi setiap warganegara untuk mengajukan gugatan, sudah merupakan akomodasi bagi pihak debitor untuk melakukan sanggahan atau pembelaan diri. Justru, kesempatan untuk mengajukan gugatan kerap disalah-gunakan oleh kalangan debitor. Ketika dana pinjaman / kredit telah beralih dari kreditor kepada debitornya, sebenarnya posisi yang lebih rentan dan lebih lemah ialah pihak kreditor, karena berpotensi gagal bayar dan gagal terlunasi ketika debitornya beritikad tidak baik seperti menunggak sekian tahun, sehingga yang lebih patut mendapat perlindungan hukum ialah pihak kreditor, sepanjang aturan main yang adil diberlakukan secara etis.]
Menimbang bahwa berkenaan dengan pertimbangan perihal tidak adanya perlindungan hukum yang seimbang kepada kreditur dan debitur dalam perjanjian fidusia sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan sebelumnya, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan hal tersebut dengan prinsip adanya penyerahan hak milik objek jaminan fidusia dari debitur selaku pemberi fidusia kepada kreditur selaku penerima fidusia. Prinsip penyerahan hak milik yang berkenaan dengan objek fidusia tersebut mencerminkan bahwa sesungguhnya substansi perjanjian yang demikian secara nyata menunjukkan adanya ketidakseimbangan posisi tawar antara pemberi hak fidusia (debitur) dengan penerima hak fidusia (kreditur) karena pemberi fidusia (debitur) berada dalam posisi sebagai pihak yang membutuhkan.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Yang adanya penyerahan hak kepemilikan kepada kreditor, itu hanya terjadi dalam konteks LEASING, bukan kredit. Mahkamah Konstitusi RI terjebak dalam kesalahan redaksional dalam Undang-Undang Fidusia, meski Undang-Undang dimaksud telah menegaskan bawha objek jaminan fidusia ialah objek atas nama milik debitor. Ketika status calon debitor masih berupa “calon”, posisi sang calon konsumen jasa keuangan memang lemah daya tawarnya. Namun, ketika dana pinjaman telah beralih dari sang kreditor kepada pihak debitor, sejatinya posisi para pihak terbalik dari yang kuat menjadi yang lemah, dan sejak saat itu pula kedudukan / posisi kreditor menjadi riskan dan berpotensi tidak terlunasi akibat perbuatan debitornya yang dapat saja menunggak dikemudian hari. Karena itulah, jaminan pelunasan hutang sifatnya di muka, bukan di belakang hari ketika telah terjadi cidera janjinya debitor.]
Dengan kata lain, disetujuinya substansi perjanjian demikian oleh para pihak sesungguhnya secara terselubung berlangsung dalam “keadaan tidak bebas secara sempurna dalam berkehendak,” khususnya pada pihak debitur (pemberi fidusia). Padahal, kebebasan kehendak dalam sebuah perjanjian merupakan salah satu syarat yang fundamental bagi keabsahan sebuah perjanjian (vide Pasal 1320 KUHPerdata).
Bahwa dengan mencermati beberapa permasalahan yang berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang memberikan “titel eksekutorial” dan “mempersamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” telah ternyata dapat berdampak pada adanya tindakan secara sepihak yang dilakukan oleh kreditur yaitu kreditur melakukan eksekusi sendiri terhadap objek jaminan fidusia dengan alasan telah berpindahnya hak kepemilikan objek fidusia tanpa melalui proses eksekusi sebagaimana seharusnya sebuah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu seharusnya dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Entah logika hukum “sesat” apa yang digunakan kesembilan Hakim Konstitusi RI kita. Praktik “milik beding” telah lama dilarang oleh hukum (beralihnya kepemilikan objek jaminan ketika debitor wanprestasi untuk melunasi hutang-piutang kepada pihak kreditor). Parate eksekusi” bukanlah “main hakim sendiri” terlebih “milik beding”, namun dijual lelang di muka umum di Kantor Lelang Negara, bukan peralihan kepemilikan dari debitor kepada kreditornya, namun kepada pembeli lelang eksekusi. Adapun SOP mutlak eksekusi jaminan fidusia di Kantor Lelang Negara, kreditor pemohon lelang wajib telah menguasai fisik objek jaminan fidusia sebelum memohon lelang eksekusi. Sehingga ibarat “telur atau ayam yang terlebih dahulu”, eksekusi dahulu sebelum “merampas” fisik objek dari tangan debitornya, ataukah mengambil-alih fisik objek fidusia terlebih dahulu dari tangan debitornya sebelum mengajukan lelang eksekusi fidusia. Yang jelas, SOP pada Kantor Lelang Negara adalah sang kreditor WAJIB kuasai dahulu fisik objek fidusia sebelum memohon lelang eksekusi, sehingga kedudukan kreditor pemegang jaminan fidusia sejatinya terjepit “di tengah-tengah” dengan keadaan regulasi teknis yang ada di Kantor Lelang Negara.]
Sebagai konsekuensi logisnya, tindakan secara sepihak yang dilakukan oleh kreditur selaku penerima hak fidusia berpotensi (bahkan secara aktual telah) menimbulkan adanya tindakan sewenang-wenang dan dilakukan dengan cara yang kurang “manusiawi”, baik berupa ancaman fisik maupun psikis yang sering dilakukan kreditur (atau kuasanya) terhadap debitur yang acapkali bahkan dengan mengabaikan hak-hak debitur.
[3.16] Menimbang bahwa meskipun berdasarkan pertimbangan di atas sesungguhnya telah tampak adanya persoalan konstitusionalitas dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, oleh karena Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 berkait langsung dengan Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, selain karena permohonan para Pemohon a quo juga mendalilkan kaitan demikian dalam permohonannya, maka Mahkamah akan mempertimbangkan terlebih dahulu konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999.
Bahwa setelah dicermati dengan saksama telah ternyata ketentuan yang diatur dalam norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 merupakan lanjutan dari ketentuan yang diatur dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang secara substansi merupakan konsekuensi yuridis akibat adanya “titel eksekutorial” dan “dipersamakannya sertifikat jaminan fidusia dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap” sebagaimana substansi norma yang terkandung dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Itulah akibatnya, ketika seorang hakim merasa mengetahui betul seluruh bidang disiplin ilmu meski sejatinya mustahil seorang Sarjana Hukum mampu menguasai seluruh bidang disiplin ilmu. Menjadi terbukti sudah, ternyata kesembilan orang Hakim Konstitusi RI tidak mampu membedakan antara “fiat eksekusi” dan “parate eksekusi”, mencampur-adukkannya, dan menyamakan apa yang berbeda.]
Bahwa substansi norma dalam Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 berkaitan dengan adanya unsur debitur yang “cidera janji” yang kemudian memberikan hak kepada penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri. Persoalannya adalah kapan “cidera janji” itu dianggap telah terjadi dan siapa yang berhak menentukan? Inilah yang tidak terdapat kejelasannya dalam norma Undang-Undang a quo. Dengan kata lain, ketiadaan kejelasan tersebut membawa konsekuensi yuridis berupa adanya ketidakpastian hukum perihal kapan sesungguhnya pemberi fidusia (debitur) telah melakukan “cidera janji” yang berakibat timbulnya kewenangan yang bersifat absolut pada pihak penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang berada dalam kekuasaan debitur.
Dengan demikian, telah ternyata bahwa dalam substansi norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, juga terdapat permasalahan konstitusionalitas turunan yang tidak dapat dipisahkan dengan permasalahan yang sama dengan ketentuan yang substansinya diatur dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, yaitu ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi dan kepastian tentang waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi), apakah sejak adanya tahapan angsuran yang terlambat atau tidak dipenuhi oleh debitur ataukah sejak jatuh tempo pinjaman debitur yang sudah harus dilunasinya.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Bila memang demikian, lantas untuk apa Akta Kredit secara panjang-lebar mengatur pasal-pasal terkait “EVENT OF DEFAULT”? Sungguh amat berbahaya, hakim yang tidak memahami konsep mendasar dari “legal drafting”, lantas merasa mampu memutus uji materiil terkait sengketa kontraktual.]
Ketidakpastian demikian juga berakibat pada timbulnya penafsiran bahwa hak untuk menentukan adanya “cidera janji” dimaksud ada di tangan kreditur (penerima fidusia). Adanya ketidakpastian hukum demikian dengan sendirinya berakibat hilangnya hak-hak debitur untuk melakukan pembelaan diri dan kesempatan untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Pertanyaannya amat sangat sederhana, “debitor nakal” manakah yang akan mengakui bahwa dirinya telah menunggak dan wanprestasi? Bahkan, sang debitor kerap lebih “galak” daripada kreditornya ketika ditagih. Analogikan KPR (kredit Pemilikan Rumah) yang dapat mencapai tempo kredit selama 20 tahun, maka apakah artinya sang debitor dibenarkan dan dibolehkan untuk menunggak selama 20 tahun? Logika sesederhana ini, ternyata gagal dipahami oleh hakim sekaliber Hakim Konstitusi RI yang berkuasa menafsirkan Konstitusi secara monopolistik?]
[3.17] Menimbang bahwa tidak adanya kepastian hukum, baik berkenaan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi maupun berkenaan dengan waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi), dan hilangnya kesempatan debitur untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar, di samping sering menimbulkan adanya perbuatan “paksaan” dan “kekerasan” dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang debitur, dapat bahkan telah melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penerima fidusia (kreditur) serta merendahkan harkat dan martabat debitur.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Mahkamah Konstitusi RI terkesan sekadar mengambil-alih segala klaim Pemohon Uji Materiil, sang debitor. Lelang eksekusi jaminan fidusia, hanya dapat dilakukan dan ditempuh via Kantor Lelang Negara, dijual kepada umum secara lelang, sehingga asas transparansi maupun akuntabilitas dapat dipertanggung-jawabkan.]
Hal demikian jelas merupakan bukti adanya persoalan inkonstitusionalitas dalam norma yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999. Sebab, kalaupun sertifikat fidusia mempunyai titel eksekutorial yang memberikan arti dapat dilaksanakan sebagaimana sebuah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, prosedur atau tata-cara eksekusi terhadap sertifikat fidusia dimaksud harus mengikuti tata-cara pelaksanaan eksekusi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg. Dengan kata lain, eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri. Ketentuan Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg selengkapnya adalah:
‘Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.’
[Note SHIETRA & PARTNERS : Eksekusi jaminan fidusia tunduk pada Undang-Undang Fidusia sebagai “lex spesialis”. Jika Undang-Undang Fidusia telah membedakan antara “fiat eksekusi” dan “parate eksekusi”, lantas dinafikan oleh Mahkamah Konstitusi RI, maka sekalian saja bubarkan seluruh Undang-Undang Fidusia dan kembali kepada HIR semata.]
Bahwa lebih lanjut penting ditegaskan oleh Mahkamah, tanpa bermaksud mengabaikan karakteristik fidusia yang memberikan hak secara kebendaan kepada pemegang atau penerima fidusia (kreditur), sehingga pemegang atau penerima fidusia (kreditur) dapat melakukan eksekusi sendiri terhadap barang yang secara formal adalah miliknya sendiri, demi kepastian hukum dan rasa keadilan yaitu adanya keseimbangan posisi hukum antara pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima fidusia (kreditur) serta untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi, Mahkamah berpendapat kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh penerima hak fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak terdapat permasalahan dengan kepastian waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur secara suka rela menyerahkan benda yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Kepastian waktu kapan terjadinya cidera janji, telah diatur di muka lewat keberadaan Akta Kredit yang mengatur pasal-pasal terkati “EVENT OF DEFAULT”. Sementara perihal syarat bahwa sang debitor secara suka rela menyerahkan benda jaminan untuk dilakukan penjualan sendiri, maka itu namanya bukan “eksekusi”, namun penjualan secara “dibawah tangan”. Tidak akan ada debitor yang sebaik itu, terlebih tipe watak debitor semacam Bangsa Indonesia yang dikenal lebih “galak” daripda korbannya. Salah satunya wujud “lebih galak”, ialah “gugatan” uji materiil ini sendiri oleh kalangan debitor kepada kreditornya.]
Dengan kata lain, dalam hal ini, pemberi fidusia (debitur) mengakui bahwa dirinya telah “cidera janji” sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda yang menjadi objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan penjualan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur).
[Note SHIETRA & PARTNERS : Mengakui telah cidera janji? Mungkinkah, dilakukan oleh kalangan “debitor nakal”? Guna dilakuakn penjualan sendiri oleh kreditor? Sejak kapankah, “lelang eksekusi” disamakan dengan “lelang sukarela” yang mana keduanya jelas berbeda dan berlainan SOP-nya di Kantor Lelang Negara?
Bahwa dengan demikian telah jelas dan terang benderang sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi).
[Note SHIETRA & PARTNERS : Jika demikian, maka sang kreditor bukan memohon “Lelang EKSEKUSI” ke hadapan Kantor Lelang Negara, namun sebagai “Lelang SUKARELA”. Yang namanya EKSEKUSI, jelas terdapat pertidak-setujuan pihak debitor. Jika terdapat unsur persetujuan dan kesukarelaan, itulah “Lelang SUKARELA”, bukan EKSEKUSI. Sama seperti praktik hukum acara, aanmaning yang tidak diindahkan tergugat, berujung pada sita eksekusi.]
Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri. Dengan demikian hak konstitusionalitas pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara seimbang.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Singkat kata, bila putusan MK RI (Mahkamah Keblinger RI) demikian diterapkan secara membuta di republik ini, maka artinya kalangan “debitor nakal” berpesta pora “merampok” kalangan lembaga keuangan pemberi kredit, moral hazard yang dapat meruntuhkan sendi-sendi perekonomian bangsa.]
[3.18] Menimbang bahwa dengan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas telah cukup alasan bagi Mahkamah untuk menyatakan norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, khususnya frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang telah terjadinya “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.
Sementara itu, terhadap norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 khususnya frasa “cidera janji” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”, sebagaimana selengkapnya akan dituangkan dalam amar putusan perkara a quo;
“Bahwa pendirian Mahkamah sebagaimana yang akan ditegaskan dalam amar putusan perkara a quo tidaklah serta-merta menghilangkan keberlakuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia, sepanjang sejalan dengan pertimbangan dan pendirian Mahkamah a quo. Dengan demikian, baik eksekusi yang dilaksanakan oleh kreditur sendiri karena telah ada kesepakatan dengan pihak debitur maupun eksekusi yang diajukan melalui pengadilan negeri, tetap dimungkinkan bantuan dari kepolisian dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam proses pelaksanaan eksekusi. Bantuan demikian sudah merupakan kelaziman dalam setiap pengadilan negeri menjalankan fungsi dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata pada umumnya.
[3.19] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya inkonstitusional terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam norma Pasal 15 ayat (2) dan frasa “cidera janji” dalam norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, meskipun Pemohon tidak memohonkan pengujian Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 namun dikarenakan pertimbangan Mahkamah berdampak terhadap Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, maka terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam Penjelasan norma Pasal 15 ayat (2) dengan sendirinya harus disesuaikan dengan pemaknaan yang menjadi pendirian Mahkamah terhadap norma yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 dengan pemaknaan “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”, sebagaimana selengkapnya akan dituangkan dalam amar putusan perkara a quo. Oleh karena itu tata cara eksekusi sertifikat jaminan fidusia sebagaimana yang diatur dalam ketentuan lain dalam Undang-Undang a quo, disesuaikan dengan Putusan Mahkamah a quo;
M E N G A D I L I :
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknaiterhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
3. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwaadanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.
4. Menyatakan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknaiterhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
6. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.