ARTIKEL
HUKUM
Apakah
Penyakit / Musibah Bersumber dari Tuhan?
Tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya menggugat pihak-pihak yang secara
“sok tahu” hendak “mengkriminalisasi” Tuhan dengan menyatakan bahwa Virus
Corona (Corona Virus Disease,
COVID-19) adalah “ciptaan Tuhan”—suatu pujian yang akan membuat Tuhan merasa “tersanjung”
ataukah sebaliknya, diskredit terhadap keluhuran figur sekaliber Tuhan? Pernyataan
demikian bukanlah disampaikan secara implisit juga bukan seolah-olah, namun
secara seketika dan penuh kesadaran diutarakan oleh tidak sedikit warga di Indonesia
yang merasa dirinya “agamais” dan cukup mengenal Tuhan.
Seorang tokoh yang tidak lagi penulis dapat ingat namanya, pernah menyampaikan
tanggapan dalam perspektif yang lebih simpatik terhadap Tuhan, bahwasannya musibah-musibah
seperti gempa bumi dan gunung meletus, merupakan fenomena alam yang alamiah /
natural saja sifatnya (nature and by nature), sehingga tidak lagi
menjadi relevan dengan ada atau tidaknya keterlibatan Tuhan. Mungkin yang
paling keliru dalam paradigma “kelirumologi”, ialah terminologi dalam Bahasa Inggris
“the act of God”.
Bumi terbentuk dari benturan antar lempeng tektonik, sehingga gunung
vulkanik serta gempa bumi adalah warisan dari sejarah pembentukan bumi. Hal itu
sama alamiahnya dengan perubahan dari malam hari yang temaram gelap-gulita
menjadi terang-benderang oleh sinar mentari di pagi dan siang hari. Sama
alamiahnya pula dengan proses evolusi segala jenis makhluk hidup, tidak
terkecuali evolusi virus yang bermula dari SARS, MERS, hingga bermutasi dan
berevolusi menjelma COVID-19.
Sehingga, kelak dikemudian hari akan muncul varian atau mutasi terbaru
dari virus ini, adalah “konsekuensi logis” semata sifatnya (bukan sesuatu hal
yang aneh lagi sifatnya), yakni pasti akan terjadi, cepat ataupun lambat
hanya perihal waktu, seperti cepat atau lambatnya akan terjadi gunung meletus
dan gempa bumi yang pasti akan dapat dan tetap terjadi sepanjang Planet Bumi
ini masih eksis dan berputar. Jika kita menghendaki tiadanya mutasi yang
memungkinkan timbulnya ancaman virus varian baru, sama artinya kita menolak
evolusi, sementara kita ketahui bahwa “homo
sapiens” adalah hasil dari evolusi itu sendiri. Mutasi, adalah bagian dari “hukum
perubahan”, yakni hukum alam itu sendiri.
Setelah membuat kesimpulan secara gegabah bahwa “Virus Corona diciptakan
oleh Tuhan”, sang komentator tersebut lagi-lagi membuat kesimpulan dengan
“lompatan logika” yang terlampau “ambisius”, yakni dengan menyatakan bahwa
untuk bisa keluar dari kemelut wabah serta pandemik yang menghantam ekonomi
makro maupun mengancam keselamatan warga, maka jalan keluarnya ialah dengan
cara “beriman” lewat “beribadah”.
Jika segala sesuatu dapat diselesaikan dengan cara “beriman”, maka untuk
apakah para ilmuan dan peneliti kita mendesak pemerintah untuk segera
menurunkan anggaran untuk melakukan penelitian dan riset guna menemukan vaksin
maupun obat untuk mengatasi wabah virus mematikan satu ini? Pemerintah Indonesia
tergolong lamban dari segi riset, lebih kerap pasif menunggu hasil penelitian
dari negara lain dan hanya bersedia menerima data-data hasil penelitian dari
pihak lain. Mungkin karena itulah, pemerintah kita berpikir bahwa solusinya terletak
di kaum pemuka agama ketimbang para peneliti dan ilmuan medik. Faktanya,
sekalipun sejak dua milenium lampau telah lahir dan mulai dikenal berbagai agama-agama
besar yang kita kenal sekarang ini, tetap saja kondisi kehidupan umat manusia
menghadapi ancaman dan bencana yang sama dengan yang dialami oleh nenek moyang
kita yang notabene “tidak beragama”.
Apakah Bangsa Indonesia merasa belum cukup “agamais” dengan berbagai kegiatan
ibadah, tempat ibadah yang berdiri dengan hanya saling berjarak beberapa ratus
meter antar tempat ibadah, ibadah yang “membahana”, makanan maupun gaya hidup
serba “ala halal-lifestyle”, busana
“agamais”, sinetron “agamais”, slogan-slogan sampai partai politik dengan
kemasan “agamais”, hingga dikenal sebagai negara dengan jumlah terbanyak
pengiriman jemaah haji dan umroh? Bukankah artinya, kebijakan pemerintah yang
menghimbau agar berbagai tempat ibadah tidak dikunjungi bagi umat yang hendak beribadah,
menjadi kontraproduktif terhadap seruan agar “beriman” guna mengatasi serangan
dan penyebaran penularan COVID-19?
Disaat bersamaan, pernyataan warga “yang merasa belum cukup agamais”
tersebut seolah hendak berkata secara sangat melecehkan dan menyayat hati
orang-orang yang keluarganya menjadi korban jiwa infeksi COVID-19, bahwa semua
orang yang terkena Virus Corona dan bahkan sampai meninggal dunia, adalah
cerminan konkret bahwa diri yang bersangkutan “tidak beriman” atau “tidak
memiliki iman”? Asumsi yang berujung pada penghakiman, tidak pernah dapat
diterima oleh akal sehat, kecuali oleh “akal sakit milik orang sakit”.
Ketika mengajukan pertanyaan semacam itu, penulis menjadi teringat pada
sebuah teori klasik perihal “hukum alam” yang sejatinya dipakai oleh orang-orang
pada zaman prasejarah, yakni untuk membuktikan seseorang berdusta atau
tidaknya, sebagai contoh, maka manusia kemudian mencoba “mendikte alam” (dalam
arti yang sesungguhnya) alih-alih beradabtasi dengan fenomena alam, dengan
berspekulasi secara berani bahwa jika seseorang tersebut tidak terbakar ketika
dimasukkan ke bara api yang menyala, maka artinya diri bersangkutan adalah
orang jujur, dan bila dirinya justru terbakar oleh jilatan api maka artinya
diri bersangkutan telah berkata dusta atau telah berbohong. Beranikah Anda mencobanya,
“mendikte alam”? Alam bekerja dengan hukumnya sendiri, bukan dengan perintah Anda.
Bukankah dengan demikian, sejatinya kita telah kembali ke masa-masa zaman
prasejarah, dimana manusia mencoba “mendikte alam” alih-alih beradabtasi dengan
fenomena alam? Yakni semudah membuat “lompatan logika” yang sangat cacat serta
“kelewat berani”, dengan mengatakan bahwa “Virus Corona diciptakan oleh Tuhan”
(premis mayor) karenanya solusinya ialah dengan cara “beriman dan beribadah”
(premis minor), yang oleh karenanya pula dapat kita tarik kesimpulan silogisme
dari kedua premis tersebut “orang-orang yang terkena infeksi Virus Corona ialah
orang-orang yang tidak beriman dan tidak beribadah”.
Untuk itu, tepat kiranya seseorang melakukan “uji nyali-keberanian”,
dengan cara berinteraksi dekat dengan pasien yang dinyatakan positif mengidab
COVID-19 tanpa melakukan “physical
distancing”, cukup berbekal kepercayaan diri yang tinggi perihal betapa
rajin dirinya beribadah dan beriman, menantang maut dengan berspekulasi, yakni
jika perlu bersalaman serta berpelukan dengan pasien yang positif mengidap
COVID-19 tanpa diperlindungi oleh masker pernafasan atau alat pelindung diri
apapun, juga tanpa bekal asuransi. Jika diri bersangkutan tidak tertular, maka
itu menjadi kesimpulan bahwa diri yang bersangkutan adalah seorang “agamais
tulen” yang memiliki iman dan rajin beribadah telah teruji. Kembali lagi,
menjadi pertanyaan tantangan dari penulis, beranikah Anda? Selalu terdapat perbedaan
secara kontras antara sebuah keberanian dan bersikap bodoh (tidak bijaksana).
Maka menjadi aneh, ketika para koruptor justru tidak terkena penularan
wabah Corona Virus? Mengapa pemerintah melarang para umat untuk beribadah di
tempat ibadah? Mengapa otoritas negara Arab Saudi justru menutup diri dari
jemaah umroh, bahkan otoritas Arab telah melaporkan bahwa negaranya tidak luput dari pandemik
COVID-19? Berarti pula dapat kita tarik kesimpulan yang lebih logis,
bahwasannya orang-orang yang menginginkan vaksin dan obat, adalah orang-orang
yang tidak beriman serta tidak suka beribadah, dan disaat bersamaan sifat dari
vaksin maupun obat sejatinya adalah telah melawan kuasa dan kehendak Tuhan? Pemerintah
telah mengumandangkan, Virus Corona tidak memandang suku, etnik, ras, maupun
agama, tanpa terkecuali.
Bila memang Virus Corona adalah pemberian Tuhan, dimana bangsa “agamais”
kita telah pula mengakui bahwasannya Virus Corona diciptakan oleh Tuhan, maka
jika demikian mengapa para umat “agamais” kita justru mendengarkan himbauan
pemerintah agar menghindari tempat ibadah ketika hendak beribadah? Sehingga,
menjadi rancu sekaligus absurd ketika bangsa “agamais” kita hendak membentengi
dirinya dari “cobaan” maupun kuasa Tuhan dengan cara mencari dan meminta vaksin
ataupun obat penyembuh dari infeksi Virus Corona? Cukuplah rajin beribadah,
dengan demikian seluruh dokter dan rumah sakit akan bangkrut, tidak terkecuali
perusahaan asuransi kesehatan.
Jika begitu pula halnya, mengapa juga harus bersikap anti atau menjauhkan
diri terhadap apa yang menjadi “pemberian Tuhan” berwujud COVID-19? Maka
bukankah vaksin dan obat “penangkal” maupun “penyembuh” sejatinya juga sedang
mencoba MELAWAN kehendak dan kuasa Tuhan? Mungkin adalah penulis pribadi yang terlampau
bodoh karena tidak pernah mampu memahami cara berpikir kaum “agamais” yang
demikian abstrak dan sekaligus mengklaim sebagai ber-SQ (spiritual quotien, kecerdasan spiritual) tinggi. Namun, bukankah
untuk dapat mendekatkan diri pada Tuhan, kita semestinya mendekat pada “cobaan”
dari Tuhan, alih-alih menjauhinya, “merengek” menolak cobaan dengan menyatakan “tidak
sanggup lagi”, terlebih memusuhi kekuasaan Tuhan?
Istilah “beriman” atau tidaknya, bisa menjadi sebentuk “penghakiman” itu
sendiri, dan dapat sangat melukai perasaan orang-orang yang menjadi korban jiwa
wabah maupun bagi sanak keluarga yang ditinggalkan oleh almarhum. Itu sama
artinya bila terdapat kalangan koruptor yang ternyata lolos dari ancaman wabah
mematikan ini, karena tidak hanya tidak terancam keselamatan jiwanya, namun
sama sekali “negatif” dari penularan virus dimaksud, maka sang koruptor merasa
dirinya tenyata adalah seorang “agamais” yang “spirituil” dan “penuh iman” yang
ternyata juga “sudah rajin beribadah” sehingga kebal dan resisten dari ancaman
Virus Corona. Sang koruptor pun kemudian akan menggugat negara, “Mengapa saya justru dikurung dalam penjara,
sekalipun saya telah terbukti seorang agamais tulen?” Menjadi “lucu”, bila
ada yang mencoba untuk membantahnya.
Sayangnya, dan sekaligus yang menjadi kabar buruknya, orang-orang yang
tewas (korban jiwa) akibat terpapar penularan COVID-19, sudah terbujur kaku di
lubang galian dua kali empat meter dan tertutup oleh peti yang tertutup rapat,
sehingga tidak lagi dapat memberikan kesaksian ataupun testimoni apakah dirinya
sejatinya “agamais” atau tidaknya. Bisa jadi, dirinya yang sudah menjadi korban
jiwa, masih juga dihakimi sebagai “tidak beriman” sehingga tidak resisten dari
ancaman penularan COVID-19. Itulah yang penulis maksudkan dengan “hukum alam
yang primitif”, yang ternyata masih diwarisi oleh paradigma berpikir sebagian
kalangan di negeri ini—pemikiran yang sangat picik, dangkal, sekaligus sempit
disamping tidak bertanggung-jawab karena telah “memfitnah” Tuhan lewat segala
tuduhan demikian disamping mendiskreditkan para korban musibah.
Sama seperti ketika terlontar komentar bahwa pengusaha dari etnik
Tionghua “maunya hanya untung” dengan tidak membiarkan karyawannya libur tidak
masuk kerja saat terjadinya wabah. Jika memang dirinya berkeberatan, mengapa
tidak memilih pindah kerja ke pengusaha / pemberi kerja lain dari etnik
“pribumi”, sekalipun dirinya selalu memiliki pilihan bebas untuk itu? Mengapa
dirinya justru menolak dan berkeberatan ketika diputus hubungan kerjanya
sehingga bisa menikmati “merumah” tanpa batas waktu? Jangankan begitu,
dirumahkan tanpa diberi upah pun kalangan buruh kita melakukan keberatan.
Bangsa ini tampaknya tidak paham “apa maunya sendiri”, terbukti dari
betapa ambigu sikap kalangan “pribumi” di negeri ini, disatu sisi mencela
pelaku usaha yang tidak meliburkan karyawannya, namun disisi lain para pelaku
usaha dari latar-belakan etnik “pribumi” justru berkeberatan terhadap kebijakan
“merumahkan diri”, “bekerja di rumah”, serta “belajar di rumah” dari pemerintah
karena dinilai membuat omzet penjualannya di perkantoran maupun di lingkungan
sekolahan menjadi merosot drastis tiada yang membeli dari yang biasanya laku
banyak pembeli oleh kalangan pekerja kantoran maupun anak sekolahan.
Pemerintah kita pun ternyata memberikan informasi yang simpang-siur,
terpolarisasi, parsial, serta saling bertumpang-tindih sehingga tiada kata-kata,
informasi, maupun penjelasan yang dapat dipegang dan dipahami betul oleh masyarakat
pencari informasi. Sebagai contoh, pemerintah menyatakan bahwa penularan
COVID-19 terjadi akibat percikan-percikan air liur maupun air mata dan hidung
ketika seseorang yang mengidab / terinfeksi sedang bersin atau sedang batuk
atau yang tertempel di benda-benda yang kemudian disentuh oleh orang lain
(sekalipun pemerintah menyebutkan pula bahwa virus akan mati dalam beberapa
menit bila di luar tubuh inang seperti benda-benda paket kiriman kurir (tanpa menyebutkan / merinci faktor-faktor eksternal kondisional dari paket kiriman tersebut seperti apakah kering ataukah basah), sehingga
menjadi terkesan simpang-siur). Faktanya, menurut kalangan medik, informasi
demikian hanya “betul separuh harga”, yang artinya ada penyesatan terhadap
publik alias membodohi publik.
Faktanya yang seolah coba ditutup-tutupi oleh pemerintah yang bermaksud
menenangkan warganya agar tidak panik sekalipun setiap penduduk berhak atas
informasi yang benar agar dapat melindungi diri, ialah bahwa percikan-percikan
air tubuh yang mengandung muatan virus dapat berpindah satu satu individu ke
individu lain tidak hanya lewat bersin ataupun batuk, namun dari nafas yang
paling normal sekalipun hembusannya.
Partikel halus uap udara yang kita hembuskan, disebut sebagai “bioaerosol”,
dapat juga mengandung muatan bakteri ataupun virus, yang dapat terlontar hingga
berjarak satu meter ketika kita bernafas secara biasa. Sehingga, untuk konteks
pasien terjangkit positif COVID-19 yang tanpa gejala sekalipun, yang tanpa
batuk dan tanpa bersin sekalipun, bila dirinya tidak menutupi hidung maupun
mulut dengan masker, maka orang lain akan terjangkit / tertular lewat hembusan
nafas orang yang terjangkit. Informasi ini memang pastilah mengejutkan masyarakat,
namun publik berhak tahu betul informasi penting ini agar dapat lebih waspada guna
menjaga diri serta guna menjaga agar orang lain tidak tertular bila ternyata
diri kita telah terjangkit.
Karenanya, guna faktor keamanan (preventif lebih baik daripada kuratif),
tips berikut cukup terkesan “sepele” namun “jangan diremehkan”. Sebagai contoh,
ketika mencuci piring maupun memasak, ada baiknya menggunakan masker, kerena dapat
dipastikan terjadi perpindahan virus keluar tubuh inangnya lewat pernafasan. Ingat,
sekali lagi, jarak tempuh virus yang keluar dari pernafasan ketika kita
menghembuskan nafas, ialah bisa mencapai satu meter, atau bahkan lebih ketika
angin berhembus. Cobalah perhatikan uap nafas kita di tempat-tempat tertentu,
akan tampak betapa nafas kita sejatinya sedang “melontar keluar” bagaikan
proyektil dari hidung kita.
Begitu pula ketika kita mengisi air galon ke atas dispenser atau alat
untuk menuangkan air minum lainnya, pastikan sebelumnya telah mengenakan masker
agar tidak terjadi perpindahan virus dimana udara dan hembusan nafas bisa
menjadi medium perpindahannya. Karenanya, menjadi penuh kalkulasi dan
perhitungan menjadi penting, jangan bersikap “masak bodoh”, terlebih bersikap serba
“meremehkan”. Hal terburuk dari infeksi wabah berupa virus, ia tidak hanya
dapat memakan jiwa si “orang masak bodoh”, namun si “orang masak bodoh” ini juga
dapat mencelakai orang lain lewat sikap masak bodohnya tersebut.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.