Kecerdasan Hukum dalam Menempatkan Teks pada Konteksnya

ARTIKEL HUKUM
Apa yang dimaksud dengan, dalam satu subjek hukum dapat melekat dua entitas hukum disaat bersamaan? Guna menjawab pertanyaan demikian, penjelasan lewat suatu ilustrasi akan lebih mudah untuk dipahami sekaligus memberi contoh konkretnya. Seorang warga yang berprofesi sebagai seorang anggota satuan kepolisian, menyalah-gunakan senjata api yang disandang olehnya untuk mem-bully dan mengancam warga lain di sekitar kediaman sang polisi. Terhadap kejadian / insiden demikian, menjadi pertanyaan, dirinya akan diancam sanksi disipliner kepolisian ataukah justru akan dikategorikan pidana umum sebagai warga negara yang menggunakan senjata api secara ilegal?
Mayoritas pendirian praktik peradilan selama ini, masih bersikap “gagal memilah”, dengan selalu memaknai si pelaku sebagai anggota polisi berhak menyandang senjata api dan hanya saja menggunakannya secara menyimpangi kode etik kepolisian. Namun, penulis memiliki pandangan yang cukup berbeda. Apakah betul, sesederhana itu yang tampak di permukaan?
Sang anggota polisi, sekalipun betul bahwa dirinya berprofesi sebagai salah seorang anggota satuan kepolisian, dalam dirinya juga melekat status sebagai warga sipil biasa yang tidak berbeda dengan warga sipil lainnya, yang hanya saja dirinya kebetulan berprofesi sebagai seorang anggota kepolisian.
Ketika sang pelaku justru menyalah-gunakan senjata api yang disandangnya untuk mem-bully ataupun untuk mengancam warga lainnya, hal tersebut terjadi dalam konteks diluar tugas dinas sang pelaku, sehingga perbuatannya tidak dalam rangka berstatus sebagai seorang polisi yang sedang menjalankan tugasnya (terlebih seorang polisi “pemakan gaji buta” yang hanya sibuk “berelur” dan “mengerami telur” di rumahnya), namun semata sebagai seorang warga negara sipil yang menggunakan senjata api secara melawan hukum dan ilegal.
Dengan memahami pemilahan status yang melekat pada seorang subjek hukum, kita dapat secara mudah menentukan delik pidana manakah yang paling tepat untuk digunakan menjerat sang pelaku. Begitupula dalam kejadian seperti seorang anggota militer pasukan pemberontak yang tertangkap tentara pemerintah, lalu dijadikan tahanan perang, tidaklah dapat si tahanan diperlakukan secara tidak manusiawi selama penahanan, mengingat dirinya pun selain melekat status sebagai “kombatan”, juga berstatus sebagai warga negara atau penduduk dari negara bersangkutan, sehingga hak-hak sipilnya pun tetap perlu dijunjung dan diakui. Ketika segala instrumen persenjataan dari dirinya telah dilucuti, pada saat itulah sifat warga sipil dari dirinya selaku tahanan menampilkan perannya.
Ilustrasi sederhana lainnya, seorang guru saat mengajar di kelas, menghardik seorang peserta didik, bahwa muridnya tersebut adalah siswa yang “bodoh” karena malas belajar, selalu tertidur sepanjang mata pekajaran di kelas, dan nilai ujiannya tidak pernah jauh-jauh dari “telur puyuh”. Namun ketika jam pelajaran usai, ketika sang guru dalam perjalanan pulang dari gedung sekolah bertemu kembali dengan sang siswa, sang guru kembali mengatai sang siswa sebagai seorang yang “bodoh”, maka perilaku sang guru patut dijerat pemidanaan “perbuatan tidak menyenangkan” (bila norma delik tersebut masih berlaku dan belum dibatalkan. Tidak bisa juga dijerat sebagai pelaku “penghinaan”, mengingat faktanya sang siswa memang “bodoh”). Mengapa? Tidak lain status sang guru berakhir ketika jam pelajaran telah usai, sehingga perilaku sang guru diluar jam sekolah dapat dikategorikan sebagai “perudungan” alias “bullying”.
Semisal seoarang pejabat penyusun kebijakan negeri ini melakukan negosiasi dalam forum resmi di kantor, atau bahkan diliput pers, maka perbuatannya dalam rangka pekerjaannya yang berprofesi sebagai pejabat negara. Namun ketika sang pejabat negara di luar jam kerja dan diluar hari kerja, pada sebuah restoran di luar kantor, secara privat melakukan deal-deal dan negosiasi bisnis maupun politik terkait jalannya pemerintahan, maka status dirinya bukanlah seorang pejabat dalam rangka profesi pejabat kenegaraan, namun sebagai sipil yang mencoba untuk memanipulasi jalannya negara.
Tempat, waktu, dan konteks, itulah tiga elemen paling mendasar yang menyusun suatu konstruksi status, fungsi, serta peranan dari seorang warga negara (subjek hukum pengembang hak dan kewajiban) yang bisa jadi memiliki rangkap entitas baik sebagai sipil maupun sebagai penyelenggara negara, sebagai anggota kepolisian, sebagai anggota kemiliteran, sebagai juga bagian dari “warga dunia”, ataupun peranan-peranan lainnya.
Sebagai contoh lainnya, seorang hakim dilarang tata tertib disiplin hakim untuk memeriksa dan memutus perkara dimana kerabat yang bertalian darah dengan sang hakim ternyata menjadi salah satu dari pihak-pihak yang bertikai di pengadilan. Mengapa? Tentu saja untuk menghindari subjektivitas sang hakim, sebab bagaimana pun sang hakim memiliki entitas diri selaku warga sipil yang memiliki hubungan pertalian darah dengan salah satu pihak yang saling bersengketa di pengadilan demikian. Guna menghindari percikan conflict of interest, sebagai bahasa sederhananya.
Bagaimana bila terdapat seorang warga yang menghina seorang presiden, sebagai sosok tokoh pemimpin negara yang berwajah buruk rupa, apakah sang presiden yang berhak melaporkan penghinaan kepada si penghujat, ataukah sosok pejabat yang menjabat sebagai presiden itu secara pribadi yang berhak melaporkannya?
Tentu saja kita perlu memilah saat mencantumkan status pihak pelapor, apakah seorang prisiden, ataukah nama seseorang yang kebetulan juga berprofesi sebagai seorang presiden? Sebagai contoh lebih lanjutnya, Tuan A saat kini menjabat sebagai seorang presiden Negara X, lalu dirinya memiliki sengketa tanah ataupun sengketa pidana dengan orang lain yang dinilainya telah menyerobot tanah sang Tuan A, atau ketika terdapat seorang warga yang memiliki sengketa pribadi dengan Tuan A yang sama sekali tidak berhubungan dengan isu kepresidenan. Menjadi pertanyaan, dalam kolom nama atau status pelapor, siapakah yang menjadi subjek hukum pelapor, apakah seorang presiden ataukah nama dari Tuan A secara pribadi?
Sama seperti ketika masyarakat kita kerap membuat rancu antara konsepsi mengenai “pejabat” dan “jabatan” yang seringkali dicampur-aduk sehingga justru memperkeruh tertib hukum.  Sebagai contoh mobil dinas, kerap disalah-gunakan oleh seorang “pejabat” yang tetap menggunakan fasilitas milik negara untuk kepentingan pribadinya, semisal membawa keluarga berlibur ke luar kota dengan menggunakan mobil dinas “jabatan’.
Sama tidak terkecualinya ketika seseorang warga disaat bersamaan menjadi seorang pemegang saham pada suatu Perseroan Terbatas atau sekutu pasif pada suatu badan usaha CV, tidak mengakibatkan dirinya dapat secara serta-merta dimintai pertanggung-jawaban perdata oleh pihak ketiga yang memiliki hubungan bisnis maupun hutang-piutang dengan Perseroan Terbatas maupun badan usaha CV demikian.
Kemampuan untuk memilah dan mendudukkan setiap teks pada konteksnya, ternyata masih belum dikuasai oleh seluruh kalangan profesi hukum, bahkan seorang pengacara sekalipun di Indonesia (suatu fakta yang ironis), sekalipun pemilahan demikian sesuai konteksnya merupakan bekal keterampilan paling mendasar yang wajib dikuasai oleh kalangan profesi hukum.
Kita pun perlu memperjelas status dan kedudukan kita, terutama ketika kita memiliki rangkap status dan peranan—buatlah atau nyatakanlah secara eksplisit, atau setidaknya secara implisit. Sebagai contoh, ketika kita menanda-tangani suatu akta, kita perlu menegaskan status kita sebagai apakah? Sebagai pribadi individual untuk kepentingan sendiri, ataukah sebagai seorang hakim ketua pengadilan yang mengatas-namakan instansi pengadilan, seorang direksi mengatas-namakan atau untuk kepentingan perusahaan, ataukah apa? Hal tersebut penting untuk ditegaskan sejak semula, agar tidak terjadi salah kaprah dan salah paham ketika melakukan perbuatan hukum dengan pihak lainnya—guna menghindari sengketa yang tidak perlu dikemudian hari.
Jangan biarkan orang lain menerka-nerka bahwa kita sedang tampil “sebagai siapa”, mewakili siapa, dan untuk kepentingan siapa? Menempatkan teks pada konteksnya, itulah esensi yang penulis angkat dalam ulasan yuridis singkat ini. Ketika kita membiarkan orang lain “meraba-raba” siapakah “wajah” yang sedang kita tampilkan, sama artinya kita bukanlah seorang profesional yang layak untuk dihormati dan dihargai. Seorang profesional harus mampu untuk memilah dan mendudukkan teks sesuai konteksnya.
Profesi bagaikan sebuah topeng, lepaslah “topeng” itu ketika kita sedang tampil sebagai individu pribadi ketika terlibat dengan pihak lain, tanpa mencampur-adukkan ataupun membiaskan identitas pribadi kita dari profesi jabatan kita—setidaknya untuk menghindari post power syndrome. Jangan pula bersembunyi dibalik status jabatan kita, karena identitas paling hakiki bukan terletak pada sebuah jabatan apapun yang artifisial sifatnya. Keberanian bersumber dari diri pribadi, bukan jabatan yang sedang kita jabat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.