Jenis & Sifat Amar Putusan serta Penetapan Hakim Pengadilan

ARTIKEL HUKUM
Di berbagai undang-undang, kita dapat menjumpai istilah hukum seperti “demi hukum”. Pertanyaan yang kerap terlontar, yang dimaksud dengan “demi hukum” itu sifatnya otomatis tanpa butuh medium perantaraan pengadilan, atau tetap butuh putusan hakim sekadar untuk penegasan semata?
Dalam kesempatan ini, SHIETRA & PARTNERS akan mengupas secara falsafah peraturan perundang-undangan perihal makna klausula “demi hukum”, guna meluruskan persepsi salah-kaprah yang bahkan terjadi dalam tingkat para hakim di Mahkamah Konstitusi RI, tidak terkecuali praktik para Hakim Agung di Mahkamah Agung RI—suatu fakta yang kami tarik setelah menelaah berbagai putusan MK RI maupun ribuan putusan MA RI.
Yang disebut dengan terminologi “demi hukum” dalam perspektif falsafah hukum, sifatnya terjadi berdasarkan mandat dan imperatif undang-undang, bukan “demi hakim”, bukan juga demi “demi syarat non yuridis” apapun. Mengingat hakekat makna “demi hukum” memiliki karakteristik norma yang diperintahkan dan ditentukan keberlakuannya oleh undang-undang, maka tidak dibutuhkan medium “tangan hakim” ataupun syarat tambahan lain untuk terjadinya sesuatu yang telah diatur secara “demi hukum”, dikarenakan sifatnya memang terjadi secara seketika dan normatif imperatif, bukan fakultatif—sehingga sejatinya tidaklah dibutuhkan penegasan apapun dari Lembaga Yudikatif ataupun Lembaga Eksekutif (dengan kata lain sejatinya tidak dibutuhkan adanya penetapan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan perihal perubahan status Pekerja dari Pekerja Kontrak menjadi Pekerja Tetap, dsb).
Dalam Undang-Undang tentang Kepailitan, sekalipun debitor memiliki lebih dari dua kreditor, dan kesemua hutangnya telah jatuh tempo, sepanjang tiada satupun kreditor yang mempermasalahkan tunggakan sang debitor, maka sang debitor tetap dalam kondisi “solvensi”. Mengapa? Karena Undang-Undang tentang Kepailitan tidak menyatakan “demi hukum debitor jatuh dalam keadaan pailit dan insolvensi ketika memiliki dua kreditor dan salah satunya telah jatuh tempo”.
Berangkat dari pola berpikir tersebut, maka sifat kepailitan dalam Undang-Undang tengan Kepailitan ialah fakultatif, bukan imperatif. Karena sifat kepailitan terjadi berdasarkan permohonan yang diajukan kreditornya sebagai “syarat mutlak pailitnya debitor”, maka kepailitan tidak terjadi secara seketika dengan sendirinya, namun dibutuhkan syarat adanya permohonan penetapan pailit oleh salah satu kreditornya. Apa yang kemudian menjadi sifat penetapan Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang “menyatakan debitor dalam keadaan pailit”?
Dalam konteks perkara kepailitan, karena tiada frasa “demi hukum” dalam hal pailitnya debitor, maka amar penetapan hakim bersifat constitutief, bukan declaratief. Sehingga, dari keadaan solvensi, sang debitor jatuh dalam keadaan insolvensi. Sifatnya tidaklah otomatis, namun butuh penetapan untuk menjatuhkan keadaan hukum baru bagi sang debitor, sehingga amar penetapan Hakim Pengadilan Niaga bukanlah sebentuk “penegasan”, namun membuat “keadaan hukum baru”.
Kini, mari kita simak tiga jenis sifat karakter amar putusan maupun penetapan hakim pengadilan, yakni amar / penetapan yang bersifat:
1. Condemnatoir, yakni amar putusan / penetapan yang bersifat menghukum, baik hukuman untuk bersifat pasif (semisal untuk tidak lagi melakukan suatu kegiatan yang menimbulkan polusi suara), hukuman untuk bersifat aktif (semisal untuk mengerjakan sesuai sesuai isi kontrak), hukuman untuk memberikan sesuatu (semisal memberikan sejumlah dokumen sesuai isi amar putusan), hukuman untuk membayar sejumlah ganti-rugi denda, bunga, pokok hutang (biasanya dalam sengketa perdata), atau bisa berupa penghukuman untuk menjalani hukuman penjara / kurungan, denda, dan uang pengganti (biasanya dalam perkara pidana Tipikor);
2. Constitutief, yakni amar putusan / penetapan yang bersifat membuat keadaan hukum baru (semisal dari tidak memiliki hak milik atas tanah menjadi menjadi sebagai pemilik atas sebidang tanah, bisa pula terjadi ketika seseorang hendak mengadopsi seorang anak), atau dapat pula berupa merubah keadaan hukum semula menjadi keadaan hukum baru (semisal seorang berstatus sebagai pegawai dipecat dan dinyatakan oleh hakim sebagai telah diputus hubungan kerjanya, sehingga sejak saat amar putusan dijatuhkan itulah, dirinya bukan lagi berstatus sebagai seorang pekerja. Bisa juga ketika seseorang yang dalam ikatan perkawinan, dinyatakan putus karena perceraian).
3. Declaratief, yakni amar putusan / penetapan yang sifatnya hanya penegasan dan pernyataan belaka, namun bukan menjadi prasyarat mutlak untuk keberlakuan suatu keadaan hukum, sekalipun tanpa adanya amar putusan / penetapan pengadilan, karena sifatnya hanya pernyataan penegasan belaka (semisal menyatakan bahwa akta perjanjian adalah sah dan tidak terdapat cacat kehendak para pihak di dalamnya, atau berupa pernyataan bahwa Penggugat / Tergugat-lah yang merupakan ahli waris yang sah dan sebagai pemilik sah atas sebidang tanah warisan).
Dalam implementasinya, bila kita taat asas, sifat / hakekat dari terminologi “demi hukum” bersifat otomatis. Sebagai contoh, bila status seorang pekerja yang diikat oleh pengusaha dengan jenis Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT, alias Pekerja Kontrak), sementara ternyata jenis pekerjaan bersifat tetap, maka menurut Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan kondisi demikian “demi hukum” menjadikan hubungan industrial antara sang Pekerja dan Pemberi Kerja menjadi bersifat ikatan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT, alias Pekerja Tetap / Permanen).
Bila sang pekerja masih harus disyaratkan adanya penetapan dari Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan (yang kerap terjadi dalam praktik, ialah: diabaikan dan ditelantarkannya aduan / laporan banyak kalangan pekerja di Tanah Air, sehingga sangatlah tidak efektif mengajukan aduan kepada Dinas Tenaga Kerja cq. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan, sampai-sampai saat kini tersiar kabar bahwa Pengawai Pengawas Ketenagakerjaan digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara oleh buruh karena tidak kunjung menerbitkan penetapan nota pegawai pengawas), ataupun statusnya baru berubah dari PKWT menjadi PKWTT bila sudah ada putusan dari hakim Pengadilan Hubungan Industrial.
Bila masih disyaratkan adanya putusan pengadilan ataupun penetapan dari instansi pemerintah, maka hal demikian bukanlah bermakna “demi hukum”, tapi menjelma “penuh syarat”—alias diamputasinya supremasi “demi hukum”—yang mana hakekat “demi hukum” tidaklah membutuhkan syarat tambahan apapun, karena “demi hukum” bukanlah “demi hakim yang ketuk palu”, serta bukan juga “demi itikad baik instansi pemerintah” yang bisa jadi menyalah-gunakan kewenangan dengan tidak menghiraukan permohonan / aduan masyarakat (potensi penelantaran dan pengabaian).
Bila kalangan pekerja / buruh masih disyaratkan untuk mengadu ke Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan ataupun masih disyaratkan untuk menggugat pihak pemberi kerja ke pengadilan, hanya demi untuk mengubah statusnya dari Pekerja Kontrak menjadi Pekerja Tetap—meski undang-undang telah mengamatkan lewat frasa “demi hukum”—sama artinya merusak hubungan harmonis antara pihak pekerja dan pengusaha, yang pada ujungnya justru syarat tambahan demikian akan “mengadu-domba” kalangan pekerja dan kalangan pengusaha. Seorang hakim yang tidak memahami konsep mendasar ilmu psikologi sosial, dipastikan tidak akan mampu menyentuh afeksi dan empati sampai sejauh itu.
Contoh lain, sebagai ilustrasi sederhana yang menggambarkan cara bekerjanya terminologi “demi hukum”, ialah dalam ranah Undang-Undang terkait usia pensiun Aparatur Sipil Negara. Tidak dibutuhkan penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menyatakan sang Pegawai Negeri Sipil telah pensiun. Undang-Undang telah mengatur usia pensiun setiap aparatur sipil negara, sehingga yang kemudian terjadi ialah “otomatis pensiun” ketika usia pensiun dirinya mencapai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tidak dibutuhkan putusan ataupun penetapan apapun dari instansi tempatnya bernaung, karena sifatnya ialah “demi hukum”, MESKI / SEKALIPUN UNDANG-UNDANG TERKAIT APARATUR SIPIL NEGARA TIDAK MENCANTUMAN SECARA TEGAS FRASA “DEMI HUKUM” PERIHAL PENSIUNNYA PEGAWAI BERSANGKUTAN SAAT MEMASUKI USIA PENSIUN.
Artinya pula, dapat kita tarik kesimpulan, tidak harus terdapat frasa “demi hukum” dalam setiap peraturan perundang-undangan untuk dapat kita maknai sebagai berlaku secara “demi hukum”, sama seperti tidak terdapatnya frasa “secara melawan hukum” dalam setiap pasal pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tidak mengakibatkan setiap pasal pidana tersebut dimaknai tanpa adanya unsur “secara melawan hukum”. Frasa “secara melawan hukum” selalu dimaknai melekat dalam setiap pasal pemidanaan.
Sama seperti ketika amar putusan yang salah satu butirnya menyatakan bahwa seorang terdakwa yang ditahan selama proses persidangan, dinyatakan sah dan meyakitkan bersalah sebagaimana tuntutan Jaksa, sehingga dihukum penjara, sekalipun butir dalam amar putusan tidak menyatakan secara eksplisit bahwa terpidana dengan demikian dinyatakan pula untuk “tetap ditahan”, maka sejatinya terpidana tetap dimaknai sebagai “harus tetap ditahan (secara demi hukum)”.
Contoh implementasi lainnya, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa dalam hal “tertangkap tangan”, maka hukum acara pidana perihal prosedur penangkapan, penggeladahan, maupun penyitaan, tidak perlu diberlakukan secara formil prosedural. Tidak dibutuhkan penetapan pengadilan untuk pihak berwajib secara seketika menangkap dan menggeledah serta menyita dari sang pelaku yang “tertangkap basah” demikian, karena sifatnya ialah “demi hukum”—alias telah diberi mandat oleh undang-undang, yang bahkan dapat menganulir syarat mutlak adanya izin ketua pengadilan untuk menyita.
Dengan memahami hal demikian, menjadi jelas bahwa ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang sepenuhnya untuk menangkap dan mendakwa seorang pelaku karena “tertangkap basah” saat KPK melakukan pengembangan penyidikan terhadap terdakwa lainnya, hukum prosedural “demi hukum” dapat disimpangi, bahkan tidak perlu secara prosedural menetapkan pelaku secara hierarkhi tersangka—terdakwa, bila alat bukti telah cukup memadai. Seorang hakim praperadilan yang gagal memahami hal sederhana demikian, terlebih bila sang hakim adalah hakim senior, menjadi amat memprihatinkan dan menjadi indikasi kuat adanya penyalah-gunaan wewenang, alias “peradilan sesat”.
Seorang polisi, sekalipun tanpa putusan pengadilan yang memerintahkan algojo untuk menghukum mati seorang pelaku, berwenang secara “demi hukum” untuk menembak dan melumpuhkan hingga tewas seorang pelaku yang akan mengancam keselamatan hidup orang banyak. Sifat dari “demi hukum” demikian, meski tidak dinyatakan secara tegas dalam hukum pidana materiil, namun karakter “demi hukum” demikian dianggap secara logis yuridis tetap melekat secara implisit dalam KUHP maupun KUHAP, sehingga demikian kewenangan untuk menembakan senjata api kepada pelaku dengan ancaman yang sangat nyata dan dekat demikian, adalah bersifat “mandat” dari undang-undang.
Dengan telah memahami berbagai ilustrasi sederhana diatas, kita menjadi mafhum, bahwa jenis amar putusan / penetapan pengadilan dalam konteks peristiwa “demi hukum”, semata hanya bersifat “declaratoir”, alias semata hanya berfungsi sebagai “penegasan” belaka.
Dengan kata lain, tanpa adanya penetapan ataupun putusan tersebut sekalipun, sifat keberlakuannya terjadi secara “otomatis” yang diterapkan secara imperatif oleh peraturan perundang-undangan, tanpa memerlukan medium tangan hakim untuk keberlakuannya.
Dengan telah dipahaminya pola maupun cara kerja jenis amar putusan / penetapan ketika berkelindan dengan keberlakuan karakter “demi hukum” suatu norma imperatif dalam hukum materiil, penulis harapkan tidak lagi terjadi “tragedi hukum” ataupun “kecelakaan hukum” yang dapat menimbulkan blunder baru tidak berkesudahan dikemudian hari yang menjelma “benang kusut”. Benang kusut tersebut perlu kita urai, dengan cara satu per satu salah kaprah kita urai untuk kita pahami duduk persoalan sebenarnya, untuk kemudian membuat pemahaman secara utuh dan logis secara “taat asas”. Hukum dan praktik negara maupun peradilan yang baik, dicirikan oleh keberlakuan supermasi “taat asas” atau tidaknya.
Sebagai penutup, ilustrasi berikut dapat menjadi tahap evaluasi bagi kita untuk menguji apakah kita telah memahami konsepsi falsafah perihal “demi hukum” atau belum sepenuhnya memahami, dengan menjawab pertanyaan sederhana berikut: Apakah seorang pelaku penipuan, “demi hukum” dipenjara?
Jawaban yang tepat ialah: “Tidak terjadi secara otomatis.” Mengapa? Karena “delik aduan” mengakibatkan keberlakuan ancaman pidana tidak diberlakukan secara “demi hukum”, dengan parameter adanya “syarat mutlak” berupa “aduan korban” sebagaimana diatur dalam beberapa pasal dalam hukum pidana materiil (KUHP). Syarat mutlak itulah yang menjadi ciri utama apakah suatu kaedah normatif hukum berlaku secara “demi hukum” atau “demi syarat lainnya”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.