Makna Asas Legalitas yang Tidak
Diketahui para Sarjana Hukum : YOU ASKED FOR IT!
Sudah ada Larangan, masih juga Dilanggar. Jika Dihukum karena Melanggar, Salah Siapa?
Sering kita dengar berita, terpidana yang dipidana karena melakukan kejahatan, semisal korupsi, ketika dijatuhi vonis pidana penjara cukup lama, sang terpidana kemudian berseru lantang : “Hakim mau membuat saya mati membusuk di penjara!” Pertanyaannya, sudah tahu yang bersangkutan sudah berusia uzur, namun masih juga menantang hukum dengan secara sengaja melakukan Tindak Pidana Korupsi. Maka, ketika yang bersangkutan dihukum karena secara sengaja melanggar, dengan melakukan aksi korupsi, dan benar-benar divonis “mati membusuk di penjara”, menjadi salah siapa? Yang bersangkutan, faktanya, telah menyalahgunakan usia sepuhnya yang telah paruh baya. Bagaimana mungkin, seorang kriminal berlindung dibalik usianya, dengan harapan divonis ringan agar dapat kembali menghirup udara segar?
Begitupula para kriminal yang
menyalah-gunakan konsep-konsep hak asasi manusia (HAM), semisal hak untuk
hidup, dengan melakukan kejahatan-kejahatan yang diancam hukuman mati. Sejatinya,
sang pelanggar yang “meminta dihukum mati”, bukan sedang “divonis mati”. Dengan
kemampuan melihat perbedaan atau membuat distingsi pemisah yang kontras dan
tegas antar keduanya, kita menjadi mahfum, bahwa hidup adalah pilihan. Ketika terpidana
memang patut divonis mati, karena itulah aturan “hukum positif” di negara
tersebut, maka tidak boleh ada pihak eksternal yang berkeberatan, semisal dari organisasi
yang mengaku sebagai pejuang HAM (meski tidak jarang justru menjadi aktor
pelanggaran HAM itu sendiri, dengan memungkiri hak untuk hidup kalangan korban
dari perbuatan sang terpidana).
Ada perbedaan kontras antara “dihukum”
dan “minta dihukum”. Diksi “dihukum”, lebih menyerupai suatu konstruksi dimana
sang terhukum dijatuhi hukuman diluar kemauan yang bersangkutan, sifatnya “up
to down”. Sebaliknya, “minta dihukum” berarti mencakup sebentuk “informed
consent” sehingga bermaka : sudah tahu ada aturan yang melarangnya, lengkap
dengan ancaman hukumannya, namun masih juga secara sengaja melanggarnya—dan itulah
makna atau esensi dari “asas legalitas”. Kita ambil contoh lain, pemberitaan
kerap memberitakan adanya menteri ataupun kepala daerah yang tertangkap-tangan
melakukan aksi korupsi, yang biasanya memakai modus yang sudah lazim dan klise
untuk kita uraikan dalam kesempatan ini. Akan tetapi pertanyannya kemudian
ialah : mengapa kepala daerah berikutnya dari daerah yang sama, menteri dari
kementerian yang sama seperti menteri sebelumnya yang diamankan aparatur
penegak hukum, kembali terjatuh di lubang yang sama, yakni terjerat hukum atas
kasus korupsi serupa?
Mungkin ada diantara anggota masyarakat
yang ber-alibi, bahwa ada pasal-pasal tertentu yang dalam satu Undang-Undang yang
sama, yang di-anak-emas-kan dan ada juga beberapa pasal yang di-anak-tiri-kan,
sehingga betul bahwa norma dalam Undang-Undang bersifat “law in abstracto”
yang bisa jadi tidak diterapkan secara efektif di tengah masyarakat. Akan tetapi
ketika “law in concreto”-nya sudah sangat masif dan contoh-contoh
preseden (best practice persidangan) berupa berbagai putusan pengadilan
sudah begitu nyata dan terbukti diberlakukan secara efektif dengan menjerat
pelaku pelanggarnya, maka atas alibi apakah lagi sang pelaku pelanggarnya
berkelit, semisal : tidak tahu ada norma hukum yang mengatur dan melarangnya
disertai ancaman sanksi bagi yang melanggarnya, bisa jadi pasal-pasal anu selama
ini di-peti-es-kan (semisal berbagai Peraturan Daerah yang mengandung ancaman
sanksi pidana, mayoritas diantaranya hanya menjelma atau berakhir sebagai “macam
kertas”), tidak punya unsur kesengajaan, dsb.
Kita ambil contoh lain, berupa kejahatan-kejahatan
yang bersifat atau tergolong primitif, semisal pembunuhan, pencurian,
perampokan, pemerkosaan, penipuan, penggelapan, penadahan, perjudian,
perusakan, penganiayaan, pemerasan, dan lain sebagainya, dimana jumlah
terpidana yang pernah mendekam di penjara akibat melakukan pelanggaran atas kejahatan-kejahatan
yang sudah pernah dikenal sejak zaman batu-purbakala tersebut, mengapa masih
juga terjadi dan terdapat pelanggar-pelanggar baru saat kini dan tampaknya
masih juga akan bermunculan pelanggar-pelanggar baru lainnya dikemudian hari? Apakah
betul mereka “tidak tahu” ataukah “tidak mau tahu”, ataukah mungkin juga berupa
derajat “sengaja untuk tidak mau tahu”?
Kita ambil contoh kejahatan obat-obatan
terlarang, mereka patut curiga karena diiming-imingi atau dijanjikan upah besar
ketika berhasil mengirimkan paket-paket yang patut dicurigai barang ilegal,
dari satu tempat ke daerah lainnya. Sang kurir, ketika aksinya mengantarkan paket-paket
tersebut sebagai kurir, terlacak oleh petugas dan yang bersangkutan berhasil diamankan,
sang terdakwa di depan persidangan berupaya berkelit ketika dimintakan pertanggung-jawaban
atas perbuatannya yang tergolong bagian mata-rantai dari sindikat gelap, menolak
vonis hukuman mati terhadapnya, mengatas-namakan faktor “terpaksa” akibat desakan
ekonomi karenanya bersedia menjadi kurir.
Sejatinya, sang pelaku
pelanggaran tahu betul konsekuensinya menjadi kurir, yang bila tertangkap, konsekuensinya
fatal dan tidak dapat diremehkan, bisa berupa hukuman mati atau penjara seumur
hidup bila tidak ancaman puluhan tahun mendekam di balik jeruji sel. Telah
ternyata terdapat pola khas paradigma berpikir dalam benak para pelaku demikian,
yakni : tidak apa-apa jika tidak ketahuan (maka akan kembali melakukan kejahatan
serupa dikemudian hari untuk kesekian kalian), dan barulah akan dipermasalahkan
ketika ketahuan dan tertangkap (dengan alibi “menyesali perbuatannya dan
berjanji tidak akan mengulanginya” di depan persidangan). Standar ganda paradigma
berpikir demikian, sudah lama penulis amati dari fenomena di ruang persidangan,
namun sangat amat jarang kalangan hakim menyadarinya saat merumuskan putusan.
Ketika sang terhukum memekik
protes mendapati vonis hukuman yang dijatuhkan hakim terhadapnya dinilai berat,
“Hakim pemeriksa dan pemutus perkara ingin membuat saya mati membusuk di
penjara!?”, maka patutlah bagi sang hakim untuk menimpali secara tegas : “KAMU
SENDIRI YANG MEMINTANYA, DENGAN SENGAJA MELANGGAR HUKUM!” Aparatur penegak
hukum bertugas menegakkan hukum. Ketika hukum tidak ditegakkan, maka hukum
hanyalah kaedah-kaedah normatif yang tidak memiliki makna. Ketika hukum ditegakkan,
maka yang tidak patuh terhadap hukum menjadi patut untuk menerima konsekuensi
yuridisnya.
Yang tidak dapat dibenarkan
ialah, ketika suatu waktu tidak diberlakukan, lalu secara mendadak
diberlakukan, dan kembali tidak diberlakukan, atau sebaliknya, maka itu
menyerupai norma-norma hukum jebakan, yang dikenal oleh masyarakat awam sebagai
“tebang pilih” alias ditegakkan secara “pilih-pilih”—yang juga kita kenal
dengan anekdot “kriminalisasi dalam konotasi negatif”. Yang patuh, dilindungi
oleh hukum. Yang tidak patuh, ditindak. Bukankah itu menyerupai prinsip egalitarian?
Begitulah, benang merah antara asas legalias dan prinsip egaliter, yang
keduanya tidak dapat saling dipisahkan satu sama lainnya. Bukankah kajian di
atas, tampak sederhana untuk dicerna? Realitanya, sangat amat jarang Sarjana
Hukum maupun praktisi hukum yang memahami konsep yang terlampau sederhana
tersebut.
© Hak Cipta HERY
SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.