Pengunduran Diri Dicabut Pekerja

LEGAL OPINION 
Question: Apakah surat pengunduran diri dapat dicabut kembali oleh karyawan suatu perusahaan? Saya berencana menggugat perusahaan ke PHI dengan meminta pesangon, sementara jika dihitung mengundurkan diri maka karyawan tidak mendapat hak atas pesangon, lagipula pengunduran diri tersebut bersumber dari tekanan yang dilakukan management, bukan dari kemauan pribadi saya selaku karyawan yang tidak tahan dengan intimidasi atasan.
Brief Answer: Sepanjang dapat dibuktikan pengunduran diri adalah bentuk tekanan pengusaha terhadap Anda selaku karyawan, maka Anda dapat mengajukan gugatan pembatalan surat pengunduran diri dengan disertai permintaan pendamping seperti agar dipekerjakan kembali atau dinyatakan putus hubungan kerja dengan disertai pesangon sebesar dua kali ketentuan pesangon normal.
PEMBAHASAN:
Terdapat peristiwa yang cukup menggugah dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Medan register perkara Nomor 230/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Mdn tanggal 7 Maret 2016, sengketa hubungan industrial antara:
- EDDY SUSILO, selaku Penggugat; melawan
- PT. BELAWAN INDAH, sebagai Tergugat.
Penggugat merupakan karyawan pada Tergugat dengan jabatan mekanik dan supir selama lebih dari 11 (sebelas) tahun, yang berlangsung secara terus-menerus dan tidak terputus, maka Hubungan Kerja yang terbentuk secara diam-diam adalah berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) alias karyawan tetap sebagaimana ditentukan Pasal 60 dan Pasal 63 Undang-Undang R.I. Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan pekerjaan yang menjadi pokok tugas Tergugat sebagai mekanik dan supir adalah merupakan bagian dari pekerjaan yang menetap dalam perusahaan Tergugat, maka sesuai dengan Pasal 66 ayat (1) dan (4) UU Ketenagakerjaan, demi hukum status Hubungan Kerja bersifat hubungan kerja tetap, sehingga bila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Tergugat harus tunduk dan wajib melaksanakan ketentuan mengenai kompensasi pesangon.
Sudah menjadi kebiasaan pola kerja Penggugat dalam melakukan tugas pekerjaan di Perusahaan Tergugat, Penggugat tanpa perintah atasan apabila supir perusahaan menelepon Penggugat untuk mengganti ban mobil yang bocor, Penggugat langsung menggantinya agar pekerjaan supir tidak terganggu. Keesokan harinya, Tergugat menyalahkan Penggugat karena langsung mengganti ban mobil tanpa koordinasi dengan atasannya, dan akibatnya Penggugat tidak diperbolehkan lagi melakukan pekerjaan di luar kantor dan akhirnya Penggugat bekerja di dalam lingkungan kantor saja dengan pekerjaan hanya diberikan menempel ban-ban yang sudah bocor.
Menurut klaim Penggugat, kebiasaan Penggugat melakukan pekerjaan di luar perusahaan mendapat penghasilan tambahan, namun sejak Penggugat dilarang melakukan pekerjaan diluar, penghasilan Penggugat menjadi berkurang. Sejak Penggugat melakukan pekerjaan di dalam lingkungan kantor, Penggugat sering mendapat perlakuan yang kurang baik dari atasan, baik melalui perkataan maupun perbuatan yang tidak menghargai Penggugat, sehingga Penggugat dalam melakukan pekerjaan di dalam perusahaan sudah tidak nyaman lagi.
Penggugat menemui bagian HRD perusahaan dengan tujuan agar Tergugat di-PHK saja oleh Tergugat. Akan tetapi permintaan Penggugat tersebut tidak direspon oleh Tergugat, malahan Tergugat langsung mengetik Surat Pengunduran Diri Penggugat dan kemudian menyuruh Penggugat untuk menandatangani surat tersebut pada hari itu juga, tertanggal 20 Oktober 2015.
Keesokan harinya pada tanggal 21 Oktober 2015, Penggugat membuat Surat Pencabutan Pengunduran Diri dan telah diajukan Penggugat kepada Tergugat, akan tetapi Tergugat sama sekali tidak merespon Surat Pencabutan Pengunduran Diri tersebut, dan sejak tanggal 21 Oktober 2015 hingga gugatan ini diajukan, Tergugat tidak melakukan upaya pemanggilan kepada Penggugat untuk penyelesaian hak-hak Normatif Penggugat, tapi malahan Tergugat merasa benar dan tidak bersalah dengan sengaja mendiamkannya agar Tergugat tidak melakukan kewajiban Hukumnya untuk membayar hak-hak Penggugat sebagai akibat putusnya hubungan kerja.
Perbuatan Tergugat mem-PHK Penggugat dengan cara Tergugat menyuruh Penggugat untuk menandatangani Surat Pengunduran Diri, adalah tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan PHK sepihak dari pihak perusahaan yang bertentangan dengan syarat-syarat dan prosedur PHK sebagaimana diatur dalam Pasal 150—155 UU Ketenagakerjaan.
PHK sepihak tanpa penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah merupakan perbuatan yang menyimpang dari kaidah hukum ketenagakerjaan. Oleh karena upaya penyelesaian secara ”bipartit” deadlock untuk membuat persetujuan bersama, maka Penggugat menempuh upaya Mediasi di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Propinsi Sumatera Utara, akan tetapi tidak tercapai kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat. Oleh karenanya Mediator mengeluarkan Surat Anjuran, dengan substansi: agar pimpinan Perusahaan memberikan kepada Pekerja sesuai dengan Pasal 162 jo. Pasal 156 ayat 4 Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Dikarenakan tindakan Tergugat melakukan PHK dengan cara menyuruh Penggugat untuk menandatangani Surat Pengunduran Diri adalah tidak patut serta bertentangan dengan jiwa dari hukum ketenagakerjaan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 163 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, dikarenakan Tergugat tidak bersedia menerima Penggugat di perusahaannya, maka Penggugat meminta agar PHI memerintahkan Tergugat membayar uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2).
PHK yang menyalahi prosedur hukum demikian menjadi dasar bagi Penggugat meminta agar PHI memerintahkan Tergugat membayar upah selama proses penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Medan merujuk pada Surat Keputusan Mahkamah Agung R.I Nomor: 026/KMA/SK/II/2012 tanggal 9 Februari 2012 Tentang Standar Pelayanan Pengadilan,yang didasarkan keadilan dan kepatutan upah proses selama 6 (enam) bulan.
Atas gugatan tersebut, Majelis Hakim memberi pertimbangan hukum sebelum tiba pada amar putusan, dengan rincian:
“Menimbang, bahwa tentang pemutusan hubungan kerja berdasarkan alasan karena pekerja/buruh mengundurkan diri telah diatur secara limitatif  dalam ketentuan Pasal 154 butir b dan Pasal 162 ayat (3) UU No. No. 13 Tahun 2003, yang pada pokoknya mengatur sebagai berikut :
1. Pasal 154 butir b : “Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan / intimidasi dari pengusaha ...”;
2. Pasal 162 ayat (3) : “Pekerja/ buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas;
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
“Menimbang, bahwa terhadap tindakan Tergugat yang memutuskan hubungan kerja dengan Penggugat dalam perkara a quo dipertimbangkan beberapa fakta sebagai berikut :
• Bahwa berdasarkan bukti T-2, Penggugat telah mengajukan surat pernyataan pengunduran diri kepada Tergugat tertanggal 20 Desember 2010;
• Bahwa Penggugat mengajukan surat pengunduran diri kepada Tergugat tertanggal 20 Oktober 2015 dan Penggugat mulai tidak bekerja lagi pada Tergugat tertanggal 20 Oktober 2015, dan itu artinya bahwa pengunduran diri Penggugat tidak memenuhi tenggang waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja atau sekurang-kurangnya 1 (satu) hari kerja bila ditafsirkan secara a contrario;
• Bahwa Penggugat secara nyata–nyata tidak memiliki ikatan dinas dengan pihak Tergugat;
• Bahwa Penggugat tidak lagi melaksanakan kewajibannya terhitung sejak surat pengunduran diri diajukan pada tanggal 20 Oktober 2015, dan itu artinya bahwa begitu Penggugat mengajukan pengunduran diri kepada Tergugat, Penggugat tidak lagi melaksanakan kewajibannya sebagai pekerja/buruh pada perusahaan Tergugat;
“Menimbang, bahwa terhadap ketentuan yuridis dihubungkan dengan fakta-fakta persidangan, maka terhadap tindakan PHK yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat dipertimbangkan sebagai berikut :
• Bahwa pada pokoknya syarat dan ketentuan hukum tentang pengunduran diri atas kemauan sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 154 dan 162 UU No. 13 Tahun 2003, adalah bersifat kumulatif, yang artinya bahwa jika satu syarat tidak terpenuhi maka pengunduran diri atas kemauan sendiri haruslah dianggap tidak sah dan batal demi hukum;
• Bahwa benar Penggugat mengajukan surat pengunduran diri atas kemauan sendiri kepada Tergugat tertanggal 20 Oktober 2015, akan tetapi oleh karena secara prosedur pengunduran diri Penggugat tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 162 ayat (1) huruf a dan c, maka konsekuensinya surat pengunduran diri Penggugat kepada Tergugat haruslah dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum;
“Menimbang, bahwa oleh karena setelah dipertimbangkan bahwa surat pengunduran diri Penggugat kepada Tergugat tidak memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka tindakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat berdasarkan alasan karena Penggugat telah mengundurkan diri atas kemauan sendiri, dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum;
“Menimbang, bahwa sekalipun tindakan PHK yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum sehingga secara prinsip kedudukan Penggugat haruslah dipulihkan kembali sebagai pekerja / buruh pada perusahaan Tergugat, akan tetapi oleh karena faktanya para pihak telah menghendaki pemutusan hubungan kerja, maka Majelis Hakim karena jabatannya memutuskan hubungan kerja antara Tergugat dengan Penggugat;
“Menimbang, bahwa putusnya hubungan kerja antara Tergugat dengan Penggugat adalah terhitung sejak putusan pengadilan ini;
“Menimbang, bahwa sebagai konsekuensi dari putusnya hubungan kerja antara Tergugat dengan Penggugat, Majelis Hakim mewajibkan Tergugat untuk membayar hak–hak Penggugat berupa uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja (PMK) sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa selain dari pada itu beranjak dari ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 yang kemudian dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 37/PUU-IX/2011, tanggal 19 September 2011, yang esensinya bahwa sepanjang PHK belum mendapatkan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka para pihak wajib untuk menjalankan kewajibannya masing–masing, dan atas pertimbangan itu Majelis Hakim mewajibkan Tergugat untuk membayar upah Penggugat sejak September s/d Desember 2015 dan upah selama proses perkara yang diperkirakan 6 (enam) bulan, total 9 (sembilan) bulan upah;
“Menimbang, bahwa setelah segala sesuatunya dipertimbangkan dengan seksama, maka hak–hak yang wajib dibayarkan oleh Tergugat kepada Penggugat adalah sebagai berikut:
• Pesangon, 2 x 9 x Rp. 2.282.000.- = Rp.41.076.000.-
• PMK, 4 x Rp. 2.282.000.- = Rp. 9.128.000.- = Rp. 50.204.000.-
• Penggantian hak, 15% x 50.204.000.- = Rp. 7.530.600.-
Sub total = Rp. 57.734.600.-
• Upah selama proses perkara, 9 x Rp. 2.282.000.- = Rp. 20.538.000.-
Total = Rp. 78.272.600.- (Tujuh puluh delapan juta dua ratus tujuh puluh dua ribu enam ratus rupiah);
“Menimbang, bahwa beranjak dari asumsi dasar posisi pekerja / buruh secara ekonomi, sosial dan politik jauh sangat lemah dibanding pengusaha sehingga fungsi hukum haruslah ditafsirkan sebagai instrumen untuk memproteksi hak–hak pekerja/buruh, juga setelah mempertimbangkan bahwa pada pokoknya uang paksa (dwangsom) merupakan hak diskresi bagi hakim, maka gugatan Penggugat agar Majelis Hakim menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) pada prinsipnya dikabulkan, akan tetapi besarnya uang paksa (dwangsom) yang dikabulkan tersebut adalah sebesar Rp. 250.000.- (Dua ratus lima puluh ribu rupiah) setiap hari secara tunai dan sekaligus, apabila Tergugat tidak melaksanakan putusan perkara yang telah berkekuatan hukum tetap hingga dilaksanakan secara tuntas dan sempurna;
“Menimbang, bahwa oleh karena pada pokoknya segala sesuatu yang berkaitan dengan status Penggugat telah dipertimbangkan secara seksama, maka tuntutan Penggugat pada petitum 2 (dua) yakni agar menyatakan dan menetapkan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat adalah pekerja tetap (PKWTT), dinyatakan dikabulkan;
“Menimbang, bahwa selanjutnya oleh karena dalam pertimbangannya Majelis Hakim telah menyatakan tindakan Tergugat yang melakukan PHK kepada Penggugat tidak sah menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka tuntutan Penggugat pada petitum 3 (tiga) yakni agar menyatakan PHK yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat adalah tidak sah dan bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, dinyatakan dikabulkan;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim dalam pertimbangannya juga telah mewajibkan Tergugat untuk membayar hak–hak Penggugat berupa pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak dan upah yang belum dibayar serta upah selama proses perkara yang diperhitungkan total sebesar Rp. 78.272.600.- (Tujuh puluh delapan juta dua ratus tujuh puluh dua ribu enam ratus rupiah), maka pada prinsipnya tuntutan Penggugat pada petitum 4 (empat) dan 5 (lima) dinyatakan dikabulkan;
“Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan bahwa uang paksa (dwangsom) merupakan bentuk proteksi terhadap pekerja / buruh yang secara ekonomi, sosial dan politik sangat lemah dibanding pengusaha juga merupakan hak diskresi bagi hakim, maka atas dasar dan pertimbangan itu tuntutan Penggugat agar menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsoom) pada pokoknya dikabulkan, akan tetapi setelah dipertimbangan secara adil, bahwa uang paksa (dwangsoom) hanya dikabulkan sebesar Rp. 250.000.- (Dua ratus lima puluh ribu rupiah) setiap hari secara tunai dan sekaligus, apabila Tergugat tidak melaksanakan putusan perkara yang telah berkekuatan hukum tetap hingga dilaksanakan secara tuntas dan sempurna;
M E N G A D I L I :
Dalam Pokok Perkara:
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
• Menyataan tindakan Tergugat yang memutuskan hubungan kerja dengan Penggugat berdasarkan alasan karena Penggugat mengundurkan diri atas kemauan sendiri tidak sah dan batal demi hukum;
• Menyatakan hubungan kerja antara Tergugat dengan Penggugat putus karena diputuskan oleh pengadilan;
• Menghukum Tergugat untuk membayar hak–hak Penggugat berupa pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak, upah yang belum dibayar dan upah selama proses perkara yang diperhitungkan total sebesar Rp. 78.272.600.- (tujuh puluh delapan juta dua ratus tujuh puluh dua ribu enam ratus Rupiah).
• Membebankan segala biaya yang timbul dalam perkara kepada negara sebesar Rp. 266.000,- (dua ratus enam puluh enam ribu rupiah)
• Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Putusan Majelis Hakim PHI terkesan amat keras dan tajam, sampai-sampai menjatuhkan dwangsom yang menurut kebiasaan praktik peradilan tidak dapat diberikan bila gugatan perdata menyangkut permintaan ganti-rugi. Penggugat menuntut Upah Proses selama 6 (enam) bulan, namun PHI memberi Upah Proses 9 (sembilan) bulan.
Namun bila ditilik dari sudut pandang penjeraan terhadap praktik kalangan pengusaha yang bersikap tidak etis terhadap pekerjanya, putusan ini menjadi salah satu putusan yang menarik untuk digaris-bawahi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.