Bertukang Hukum Berbeda dengan Berprofesi Hukum

ARTIKEL HUKUM
Terdapat sindiran bagi kalangan sarjana hukum, baik mereka yang berprofesi sebagai pengacara, notaris, konsultan hukum, dsb. Mengapa mereka membuat surat gugatan/akta yang menjelimet dengan bahasa canggih yang sukar dicerap oleh masyarakat awam termasuk bagi klien-nya sendiri?
Jawab: Agar terlihat canggih, terlihat sudah bekerja keras sehingga dinilai layak atas honor yang tinggi, dan terutama agar sang klien tidak dapat komplain terhadap isinya sekalipun secara substansi surat gugatan/akta tersebut amat sangat buruk dari segi kualitas namun gemuk kuantitas jumlah halaman. Hal ini lumrah penulis jumpai dalam praktik. Sama halnya dengan konsultan hukum yang merancang kontrak demikian tebal. Atau notaris/PPAT yang menyodorkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) guna proses pembebanan Hak Tanggungan meskipun dapat langsung APHT tanpa didahului SKMHT yang tentunya hanya menjadi ekonomi biaya tinggi mubazir bagi debitor.
Praktik-praktik kecurangan demikian berkelindan dengan karakter kalangan pengusaha yang serba “pragmatis” sekalipun mengingkari hukum negara. Pengusaha-pengusaha tersebut cenderung tampil dengan citra baik di depan publik, namun di balik layar mereka selalu memburu “celah hukum” (loophole) untuk bermain dan mengambil keuntungan—yang pastilah disaat bersamaan ada pihak lain yang dirugikan karenanya, seperti penghindaran pajak yang semestinya dapat digunakan negara untuk pembiayaan proyek umum sehingga merugikan rakyat, atau praktik-praktik pemerasan dan pengamputasian hak-hak normatif karyawan, penciptaan berbagai badan hukum perseroan demi mengelabui otoritas dan konsumen seolah terdapat kompotitor yang sejatinya hanyalah boneka guna mematikan pesaing atau mengkamuflasekan praktik monopoli usaha, serta berbagai celah hukum lain.
Dari pengalaman penulis berpraktik sebagai praktisi maupun konsultan hukum, salah satu profesi yang patut kita waspadai ialah: pengusaha. Berbagai tabiat tipu daya, manipulatif, intimidasi, “lempar batu sembunyi tangan”, hingga modus-modus kotor dengan mudah mereka lakukan demi kepentingan korporasi dan keuntungan pribadi pengusaha. Bila selama ini pemberitaan media massa marak memberitakan aksi tindak pidana perampok, pembunuhan, tindakan asusila, maka modus-modus kotor kalangan pengusaha serta korporasi seakan tidak ter-endus hukum terlebih terkena tindakan tegas oleh hukum. Kalangan pengusaha bagaikan “kebal hukum”. Tidak kita pungkiri, tiada satupun kode etik bagi profesi kalangan pengusaha, maka tiada majelis etik yang dapat menegakkan etika berbisnis yang sehat bagi para kalangan ini.
Ketika sarjana hukum nakal berkolaborasi dengan pengusaha nakal, jadilah agen kejahatan kerah putih yang sukar terlacak dan tertangkap, meski dampak kerusakan yang mereka buat dapat kita rasakan secara kasat mata layaknya kebakaran hutan yang masih beberapa waktu lampau oleh kalangan pengusaha perkebunan yang (jelas-jelas) membakar lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan. Tidak tersentuh hukum.
Sarjana hukum yang alergi terhadap teori dan falsafah yang bekerja dibalik setiap evolusi hukum, hanyalah sekadar tukang yang bergelar “Sarjana Hukum”. Tukang ini dapat dibungkus nama konsultan hukum, notaris, pengacara, dosen, regulator, bahkan hakim, dan berbagai julukan lain, yang sejatinya hanya sekedar sebagai “tukang” hukum.
Sebagaimana dapat kita bedakan antara “tukang gigi” dan “dokter gigi”. Yang membedakan “tukang” dan “profesional”, ialah pada tataran etika profesi alias penghayatan peran disiplin ilmu dan tanggung-jawabanya.
Contoh, sarjana hukum yang sekadar rutinitas menyusun akta, mengurus perizinan usaha, rutinitas pelaporan kegiatan usaha ke Badan Koordinasi Penanaman Modal, rutinitas mendirikan perseroan terbatas, rutinitas mengurus sertifikat tanah. Tipe tukang yang menyepelekan bahkan merendahkan fungsi dan peran teori (dengan menyatakan bahwa mempelajari dan mendalami teori adalah “buang-buang” waktu dan tidak berguna)., tipe-tipe tukang demikian tidak cocok diserahkan tanggung-jawab untuk menjadi cendekia, ilmuan, akademisi (pengajar), reforman (terlebih kritisi), maupun regulator. Mereka lebih cocok menangani tugas rutinitas, sebatas “tukang”. Mereka tidak akan mampu menyusun dalil-dalil guna meruntuhkan peraturan perundang-undangan yang tidak solid lewat mekanisme uji materil.
Uji materiil (judicial review) “bermain” dalam ranah falsafah. Lihat bagaimana penulis membangun struktur elaborasi terhadap teori dan konsep-konsep dasar hukum ketika mengajukan uji materiil terhadap salah satu ketentuan dalam Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2010 sebagaimana diputus oleh Mahkamah Agung dalam Perkara Hak Uji Materiil RegisterNo. 38 P/HUM/2015 tanggal 23 Maret 2015.
Hukum dibentuk berdasarkan berbagai pilar fondasi berupa teori dan falsafah. Ia menjadi demikian kokoh berkat sumbangsih para pemikir dan cendekia abad demi abad, generasi demi generasi. Adalah mustahil memahami hukum tanpa memahami falsafah dan fondasi yang menopangnya. Contoh, konsep badan hukum seperti yayasan, koperasi, dan perseroan terbatas, tak muncul begitu saja tanpa sumbangsih para cendekiawan hukum yang memperkenalkan konsep “asas fiksi” berupa lembaga rechtspersoon, dimana suatu badan hukum dapat memiliki kewenangan serta harta kekayaan sendiri layaknya manusia alami.
“Tukang” hukum tidak akan mau memahami hal tersebut, mereka hanya sibuk menggemukkan pundi dan mengurus administrasi serta rutinitas dengan semangat pragmatisnya. Akan sangat berbahaya jika pandangan-pandangan para “tukang” hukum ini didengar para penyusun kebijakan. Penulis mendapati fakta di lapangan, para praktisi hukum yang berupa “tukang” ini, cenderung membela mati-matian asas kebebasan berkontrak dalam arti mutlak absolut. Para tukang ini tidak akan mau pusing dengan apa yang disebut “kontrak sosial”, bahkan menertawakannya.
“Tukang” hukum yang tertawa.
Kalangan “tukang” hukum akan memandang kebebasan berkontrak ialah kebebasan berkontrak, dimana bagi pihak yang membuat dan menandatanganinya akan tunduk pada Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Coba kita lakukan uji kelayakan disini. Bila Anda selaku pembaca memiliki latar belakang sarjana hukum, setujukan Anda bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya?
Bila Anda jawab “Ya”, maka Anda sejatinya hanya sekedar “tukang”, bukan profesional dibidang hukum. Seorang profesional dibidang hukum akan mengetahui sejarah latar belakang terbentuknya asas kebebasan berkontrak yang dianut Code Napoleon, latar belakang abad ke 18 ketika Adam Smith memperkenalkan konsep The Invisible Hand-nya, masa gelap era Revolusi Industri yang menuai demonstrasi besar-besaran kaum proletar dengan lahirnya pujangga Karl Marx yang memberikan reaksi keras terhadap praktik liberalisme yang berkelindan erat dengan kapitalisme. Konsep negara modern tidak lagi menganut paham rechtsstaat dimana fungsi negara hanyalah sebagai “penjaga malam”, namun sebagai negara yang intervensionist serta proteksionis (welfare state) dalam setiap sendi kehidupan bangsanya sehingga memastikan dan menjamin kemakmuran rakyatnya.
Sarjana hukum selain dapat berprofesi sebagai pengacara, konsultan, politisi, inhouse counsel, juga dapat berwujud kalangan notaris/PPAT. Banyak pandangan yang memberi kemuliaan pada profesi notaris sebagai pihak yang netral dan cerdas. Benarkah demikian?
Dalam praktik, jamak penulis jumpai fakta yang berkebalikan: notaris amat jarang hadir di persidangan ketika dipanggil juru sita, sangat pelit keterangan di depan persidangan, tidak pernah memberi kesempatan salah satu pihak untuk membaca atau dibacakan isi akta, tidak pernah memberi kebebasan bernegosiasi kepada salah satu pihak yang terikat oleh akta dan hanya cenderung memihak vendornya, bahkan tidak ragu untuk memberikan advice menyesatkan dengan menyalahgunakan instrumen-instrumen hukum yang sejatinya melecehkan dan menyalahgunakan kewenangannya membentuk akta otentik lengkap dengan cap lambang negara yang dilekatkan di akta. Bbahkan ketika negara dan Pemda membutuhkan jasa PPAT (monopoli usaha pertanahan), kalangan PPAT ini justru berbicara "persenan" yang berujung pada umpatan "persetan" oleh seorang gubernur yang tesinggung oleh praktik swasta menyerupai "perampok" uang negara yang berkedok dibalik undang-undang tanpa mau menyadari bahwa kepatutan itu sendiri dasar falsafah adalah hukum perdata (vide Pasal 1337 KUHPerdata).
Bila seorang penjahat dihukum karena kejahatannya, maka bagaimana dengan seseorang sarjana hukum yang berwenang membentuk akta otentik lengkap dengan hak penggunaan cap lambang negara, membuat irah-irah dalam akta pengakuan hutang, disumpah jabatan, namun telah menyalahgunakan kewenangan tersebut yang acapkali merugikan salah satu pihak dalam akta? Apa hukuman yang cocok diberlakukan bagi kalangan profesi yang telah melecehkan fungsi akta otentik demikian?
Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian formil yang sempurna, yang mana bila pembuatnya terlibat dalam suatu persekongkolan / modus, maka kalangan profesi notaris sejatinya memiliki alat / instrumen hukum yang demikian riskan disalah gunakan, menjurus pada law as a tool of perfect crime !
Dalam berbagai kesempatan penulis menjumpai, kalangan notaris memberi saran serta masukan agar calon kreditor alih-alih menggunakan lembaga jaminan kebendaan bernama Hak Tanggungan, notaris acapkali menyarankan praktik “main hakim sendiri” (eigenrichting) bernama “Akta Pemberian Kuasa Untuk Menjual” yang bersifat kuasa mutlak, dimana kreditor akan membalik nama hak kepemilikan agunan milik debitor keatas nama sang kreditor sendiri ketika debitor wanprestasi melunasi hutang meski jumlah nilai hutang jauh lebih rendah dari nilai objek agunan.
Salah satu notaris terkenal di Jakarta bahkan membuat seminar yang secara vulgar mempromosikan instrumen akta notaril untuk melanggengkan praktik “main hakim sendiri” demikian. Sungguh ironis dan disayangkan. Kalangan hukum itu sendiri yang ternyata menjadi agen kejahatan.
Negara Indonesia bagaikan negara tanpa hukum (stateless). Betapa tidak, dalam satu channel radio berita terkenal di Indonesia, mengudarakan pesan sponsor seorang pengusaha real estate yang menceritakan dan meng-“edukasi” pendengar agar menjadi pebisnis real estate dengan cara menghimpun dana modal membeli tanah lewat membentuk koperasi ataupun Badan Perkreditan Rakyat, dimana dana nasabah penabung dijadikan modal usaha real estate sang pemilik koperasi atau BPR tersebut.
Suatu advice dan praktik yang melanggar hukum, namun dikampanyekan secara terbuka pada publik tanpa rasa malu, tanpa rasa bersalah, dan tak tersentuh hukum meski diudarakan oleh stasiun radio berita papan atas di Indonesia! Regulator membisu, dan para penegak hukum bagaikan "mati semua".
Hukum melarang suatu lembaga penghimpun dana masyarakat untuk digunakan oleh grub usaha lembaga tersebut, terlebih bila digunakan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga keuangan non perbankan ataupun perbankan tersebut.
Pengusaha yang sama bahkan dengan bangga menceritakan dan menjanjikan akan membagi trik bagi yang mengikuti seminarnya bagaimana cara menjadi peserta lelang eksekusi Hak Tanggungan dengan harga murah likuidasi tanpa ada kompetitor yang mana trik-trik kotor tidak sehat tersebut tentunya akan merugikan debitor tereksekusi yang mana sudah jatuh tertimpa tangga karena usaha lesu agunan pun lepas dari tangan dengan harga jauh dibawah harga pasaran.
Biasanya, dalam praktik, calon pembeli lelang eksekusi akan menghubungi pihak pemohon lelang eksekusi, baik pemegang Hak Tanggungan maupun pihak balai lelang penyelenggara jasa pra-lelang eksekusi, untuk menyamarkan lokasi objek agunan yang akan dilelang eksekusi dengan tidak mencantumkan nama jalan secara utuh sehingga tiada anggota masyarakat yang dapat mengikuti lelang eksekusi karena tidak mengetahui lokasi pasti objek agunan yang akan dilelang eksekusi. Alhasil, lelang disetting agar hanya pihak tertentu saja yang mengikuti lelang sehingga dapat menawar seharga nilai terendah tanpa ada kompetitor yang dapat membuat harga nilai lelang naik.
Praktik penggelapan agunan nasabah debitor demikian jamak terjadi sejak puluhan tahun lampau, dengan berbagai modus canggih lainnya seperti modus “cetak/pengumuman terbatas” yang juga dilakukan oleh pejabat korup yang membidangi tender pengadaan barang dan jasa sehingga hanya peserta tender tertentu saja yang dapat mengikuti tender.
Penindakan terhadap kalangan sarjana hukum saja tidak akan cukup tanpa menindak secara tegas dan konsisten praktik-praktik tidak sehat kalangan pengusaha yang merupakan para “tukang” hukum dan “tukang” bisnis demikian. 
Bila mengingat masa lampau, ketika penulis masihlah seorang karyawan, atasan selalu mengatakan bahwa penulis tidak bersikap tidak profesional dengan menolak melayani klien yang notabene merupakan seorang penjahat. Apakah benar yang disebut profesional adalah membela mati-matian, maju tanpa gentar, membela pihak yang bayar? Jika kebetulan yang membayar adalah korban dari penjahat tersebut, maka siapa yang dibela? Jika keduanya membayar, maka siapa juga yang dibela?
Mengapa kalangan sarjana "tukang" hukum demikian memiliki standar definisi profesionalisme yang demikian menyimpang meski beliau notabene selain seorang pengacara juga merupakan seorang professor di perguruan tinggi hukum? Itulah akibatnya bila profesi hukum dicampur aduk dengan mental pengusaha, layaknya kalangan profesi kedokteran yang mencampuradukkan mental mediknya dengan mental kapitalis, yang terjadi ialah penyimpangan jiwa dan semangat profesi itu sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.