Tidak Penting Namanya Koperasi ataukah Korporasi, yang Terpenting dapat Memakmurkan Masyarakat Luas
DI China, terdapat sebuah desa dimana para penduduk desa tersebut makmur secara ekonomi, karena mereka memiliki konsep yang menyerupai koperasi, yakni “korporasi / perusahaan dimana seluruh penduduk desa memiliki saham atas perusahaan” yang ada di desa itu. Korporasi tersebut menjelma raksasa, memiliki berbagai bisnis pada berbagai sektor. Sudah sejak lama, masyarakat di sana tidak lagi membuat dikotomi antara korporasi dan koperasi. Korporasi yang “merakyat”, dimana seluruh penduduk desa menjadi pemegang sahamnya, sejatinya merupakan koperasi yang sesungguhnya. Nama tidaklah penting, yang penting tujuan utamanya tercapai. Seperti pernyataan seorang tokoh di China : Tidak penting apa warna kucingnya, hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus.
Sebenarnya kita di Indonesia telah
lama memiliki konsep yang menyerupai “korporasi merakyat” seperti desa di China,
yakni koperasi dimana anggotanya menjadi pemegang saham dengan “hak suara”. Sayangnya,
Mahkamah Konstitusi RI justru membatalkan Undang-Undang Koperasi terbaru,
mengakibatkan Undang-Undang Koperasi yang lama kembali berlaku sebagai “hukum
positif”. Terdapat kelemahan laten pada konsepsi koperasi pada Undang-Undang Koperasi
yang lama, mengakibatkan koperasi sukar untuk bertumbuh, terutama dari faktor
pemodalan, mengingat sebanyak apapun seorang anggota menyetorkan modal,
suaranya tetap dihitung “satu”, karenanya akan kalah dalam setiap voting saat
rapat mengingat terdapat banyak anggota yang bersuara lain / berbeda meskipun
modal yang mereka setorkan tergolong minim dan tidak seberapa sekalipun
digabungkan.
Berbeda dengan konsep saham
sebagaimana lazim dijumpai pada perseroan atau korporasi, dimana jumlah
kepemilikan saham menentukan besaran hak suara. Satu orang pemegang saham dapat
begitu dominan, bila menguasai lebih dari lima puluh persen dari total saham
yang diterbitkan perseroan. Itulah sebabnya, mudah bagi perseroan untuk
mengumpulkan modal baik dari investor langsung maupun dari penawaran di bursa efek
perdagangan saham. Sebaliknya, koperasi selalu dihantui oleh masalah klise :
keterbatasan modal, semata karena tidak ada investor yang berminat untuk
berinvestasi dalam jumlah besar karena suaranya hanya dihitung “satu” sebanyak atau
sesedikit apapun modal ia setorkan (one
man one vote).
Lantas, apakah perseroan yang
melantai di bursa efek, sejatinya merupakan koperasi karena menawarkan saham
untuk dibeli oleh publik? Rata-rata saham yang diperjual-belikan di bursa efek,
merupakan saham dengan seri “tanpa hak suara”, karenanya sebanyak apapun investor
membeli saham perseroan di bursa efek, mereka tidak dapat membuat keputusan
apapun dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS PT. Tbk.). Bahasa sederhananya,
koperasi merupakan korporasi dengan jumlah pemegang saham yang bersifat massal
disertai “hak suara”.
Terdapat salah kaprah di tengah
masyarakat kita, termasuk oleh para akademisi dan pemerhati, seolah-olah korporasi
identik dengan jumlah pemegang saham yang terbatas kuantitasnya, sementara
koperasi anggotanya masif. Tidak terkecuali para negarawan dan cendekia kita di
Indonesia yang begitu mengagung-agungkan koperasi, bila tidak dapat disebut membutakan
diri dari realita. Bung Hatta, sebagai salah seorang founding father Negara Indonesia, mendewakan koperasi. Akan tetapi tengoklah
kondisi koperasi kita di Indonesia sejak dahulu hingga saat kini, seolah mati
suri dan tidak berkembang. Kalaupun ada yang sempat meraksasa, biasanya karena
modus “skema ponzi piramida”.
Pertanyaannya, mengapa selama
ini kita di Indonesia selalu memusingkan, mewacanakan, mempolemikkan,
meributkan, serta membenturkan antara koperasi dan korporasi, seakan keduanya
adalah dua entitas yang saling bertolak-belakang. Faktanya, desa di China telah
membuktikan, perusahaan dimiliki sahamnya oleh segenap warga desa, dan terbukti
mampu mendongkrak ekonomi warga dimana perusahaan menjelma perusahaan raksasa
yang menggurita sektor bisnisnya. Rakyat di China tidak pernah memusingkan apa
yang sesungguhnya tidak perlu diperdebatkan, mereka cukup berfokus pada
esensinya.
Bila ada diantara Anda yang
meragukan fakta-fakta di atas, cobalah tanyakan kepada mereka yang mengaku
sebagai pakar koperasi, apa beda antara koperasi dan “korporasi yang saham
dengan ‘hak suara’-nya dimiliki oleh masyarakat satu desa atau satu kampung”? Dimanakah
juga letak perbedaan antara deviden dan “bagi hasil usaha”? Bila konsep
koperasi masih mempertahankan paradigma “kolot” semacam “one man one vote”, dapat dipastikan koperasi kita di Indonesia akan
selalu menjumpai vonis hidup sebagaimana periode sebelumnya, yakni : berjalan
di tempat. Akibat frustasi, pemerintah kita kian melenceng dari jalurnya,
dimana koperasi didirikan dengan berlandaskan asas “top to down” yang tidak ada bedanya dengan Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD). Kita perlu mulai menggemakan semboyan : dari dan untuk pemegang saham.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.