Break the Shackle of Karmic Law : Akhir dari Dukkha serta Jalan Menuju Berakhirnya Dukkha [Mirachle of Dhamma by Buddha Siddhatta Gotama]
Hidup adalah Dukkha (Siklus Tumimbal Lahir Tiada
Berkesudahan, Never Ending Stories
yang Menjemukan dan Membosankan) Vs. Hidup adalah Nikmat (Dunia Manusia hanyalah
Persipangan Menuju Alam Baka Surgawi)
Question: Dewasa ini, trennya para umat agama-agama samawi seperti islam maupun nasrani, membuat klaim bahwa ada ayat-ayat di alquran maupun alkitab yang menyebut-nyebut soal kelahiran kembali manusia yang meninggal dunia. Apakah itu benar adanya?
Brief Answer: Ada bukti tidak terbantahkan, bahwa agama-agama samawi
tidak mengenal serta tidak mengakui adanya “kelahiran kembali” (tumimbal lahir,
reborn ataupun “born again”). Dalam dogma-dogma agama samawi, disebutkan bahwa “hidup
adalah nikmat”. Itu bertolak-belakang dengan apa yang diungkap oleh Sang
Buddha, bahwa “hidup adalah dukkha”—mengingat setiap makhluk hidup, tanpa
terkecuali, telah pernah terlahr di alam dewa, alam manusia, alam hewan, alam
hantu, alam asura, hingga alam neraka. Juga setiap makhluk hidup, telah pernah
serta masih akan kembali terlahir dalam kondisi sakit, miskin, terpuruk,
terlecehkan, buruk rupa, cacat, gagal, teraniaya, tersisihkan, malang, miskin, tertindas,
terhina, maupun derita-derita lainnya, dimana kelahiran-kelahiran kembali
tersebut sudah tidak terhitung lagi jumlahnya dimana tulang-belulang kita dikehidupan-kehidupan
sebelumnya bila ditumpuk maka gunung tertinggi pun akan kalah tinggi, tetesan
air mata kita dikehidupan-kehidupan sebelumnya bila dikumpulkan maka samudera
terbesar pun kalah banyaknya, serta kabar buruk terbesarnya ialah : selama
makhluk tersebut masih terbelenggu rantai karma, maka ia akan terus-menerus
bertumimbal-lahir layaknya “never ending
stories” yang tidak berkesudahan, membosankan, serta menjemukan.
Lalu, pertanyaan terbesarnya ialah, apa makna hidup semacam demikian? Itulah
sebabnya, jalan paling utama yang ditunjukkan oleh Sang Buddha ialah, adanya “akhir
dari dukkha” serta jalan menuju “berhentinya dukkha”, yakni ketika kita mampu
untuk “break the shackle of karmic law”,
memutus belenggu rantai karma. Itulah sebabnya, untuk menempuh jalan yang
ditunjukkan oleh Sang Buddha, langkah pertama ialah menyadari, memahami, serta
mengakui kebenaran esensi dibalik fakta “hidup adalah dukkha” serta “penyebab /
akar dari dukkha”. Bahkan, Sang Buddha dalam sutta membabarkan bahwa tidak
jarang musuh-musuh ataupun orang-orang yang berkonflik dengan kita di kehidupan
sebelumnya, cenderung terlahir kembali sebagai anggota keluarga kita di
kehidupan berikutnya seperti menjadi anak, menjadi orangtua, menjadi saudara kandung,
dan sebagainya. Itulah sebabnya tidak jarang ada fenomena ketidak-cocokan
antara orangtua dan anak, bahkan menjadi selayaknya “musuh bebuyutan”.
Sebaliknya, umat-umat agama samawi justru di-dogma bahwa “hidup adalah nikmat
/ anugerah”, karenanya tidak akan pernah mampu terbebas dari belenggu rantai
karma, terlebih merealiasi pandangan langsung dengan menembus kebenaran
mengenai adanya kehidupan-kehidupan lampau yang sudah tidak terhitung lagi
jumlahnya serta yang akan dihadapi paska kematian. Ibarat serial drama di
televisi, bila serangkaian episodenya tidak pernah ada kata “final episode” ataupun “ending”-nya, maka kita akan mulai
memahami betapa menjemukan dan membosankannya mengikuti serangkaian drama semacam
ini, dan tidaklah layak untuk terus-menerus mengikutinya dengan terus-menerus
menampilkan sajian di layar “to be
continue...”. Dalam sutta pula, Sang Buddha pernah membuat para makhluk
dewata di alam surga merinding ketakutan ketika Sang Buddha dengan kesaktiannya
muncul di alam surga untuk membabarkan Dhamma bahwa dewa sekalipun akan
meninggal dunia ketika tabungan karma baiknya menipis / habis dan akan kembali
terlahir ke alam-alam rendah, ke alam neraka.
PEMBAHASAN:
Ada bukti litelatur konkret yang tidak
terbantahkan bahwa agama-agama samawi seperti islam maupun nasrani, sama sekali
tidak mengenal ataupun mengakui fenomena tumimbal lahir (reborn atau rebirth), sebagaimana
terungkap lewat khotbah
Sang Buddha dalam “Aṅguttara
Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi
oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun
2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:
11 (1) Verañjā
Demikianlah yang kudengar. Pada
suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Verañjā di bawah pohon mimba Naḷeru. Kemudian Brahmana Verañjā [173] mendatangi
Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ia telah mengakhiri
ramah-tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:
“Aku telah mendengar, Guru
Gotama: ‘Petapa Gotama tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua,
terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; Beliau
juga tidak bangkit untuk mereka atau menawarkan tempat duduk kepada mereka.’
Hal ini memang benar, karena Guru Gotama tidak menghormat para brahmana yang
sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap
akhir; Beliau juga tidak bangkit untuk mereka atau menawarkan tempat duduk kepada
mereka. Hal ini tidak selayaknya, Guru Gotama.”
“Brahmana, di dunia ini bersama
dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini dengan para petapa dan
brahmana, para deva dan manusia, Aku tidak melihat seorang yang padanya Aku
harus memberi hormat, atau yang padanya Aku harus berdiri, atau yang padanya
Aku harus menawarkan tempat duduk. Karena jika Sang Tathāgata memberi hormat
kepada siapa pun, atau berdiri untuknya, atau menawarkan tempat duduk
kepadanya, maka kepala orang itu akan pecah.”
“Guru Gotama tidak memiliki
rasa.”
[Kitab Komentar : Arasarūpo bhavaṃ Gotamo. Brahmana itu, karena kurangnya kebijaksanaan,
tidak mengenali Sang Buddha sebagai yang tertua di dunia. Sama sekali tidak
ingin menerima pernyataan Sang Buddha, ia berkata demikian, dengan merujuk pada
‘rasa kerukunan’ (sāmaggirasa), yang
di dunia ini berarti memberi hormat, berdiri dengan hormat, salam hormat, dan
perilaku sopan. Untuk melunakkan pikirannya, Sang Buddha menghindari secara
langsung membantahnya; sebaliknya Beliau mengatakan bahwa sebutan itu berlaku
untuk Beliau, tetapi dalam makna berbeda. Sang Buddha mengatakan tentang ‘rasa’
sebagai kepuasan dalam kenikmatan indria yang muncul pada kaum duniawi—bahkan
pada mereka yang dianggap terbaik dalam hal kasta atau kelahiran kembali—yang menyukai,
menyambut, dan bernafsu pada objek-objek seperti bentuk, dan sebagainya.]
“Ada, Brahmana, satu cara yang
dengannya seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama
tidak memiliki rasa.’ Sang Tathāgata telah meninggalkan rasaNya pada bentuk-bentuk,
suara-suara, bau-bauan, rasa-rasa kecapan, dan objek-objek sentuhan; Beliau
telah memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem,
melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Adalah dengan cara
ini seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama tidak
memiliki rasa.’ Tetapi engkau tidak mengatakan sehubungan dengan ini.” [174]
(2) “Guru Gotama tidak ramah.”
[Kitab Komentar : Nibbhogo bhavaṃ Gotamo. Brahmana itu bermaksud mengatakan ini dalam
makna bahwa Sang Buddha tidak memiliki “kenikmatan kerukunan” (sāmaggiparibhogo, kebersamaan), yang
dengannya sekali lagi ia merujuk pada isyarat hormat seperti memberi hormat
kepada sesepuh, dan sebagainya. Tetapi Sang Buddha menjawab dengan merujuk pada
kenikmatan indriawi yang muncul pada makhluk-makhluk biasa.]
“Ada, Brahmana, satu cara yang
dengannya seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama
tidak ramah.’ Sang Tathāgata telah meninggalkan keramahan pada bentuk-bentuk,
suara-suara, bau-bauan, rasa-rasa kecapan, dan objek-objek sentuhan; Beliau
telah memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem,
melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Adalah dengan cara
ini seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama tidak
ramah.’ Tetapi engkau tidak mengatakan sehubungan dengan ini.”
(3) “Guru Gotama adalah seorang
penganut tidak-berbuat.”
[Kitab Komentar : Akiriyavādo bhavaṃ Gotamo. Doktrin tidak-berbuat, seperti yang diungkapkan
oleh para penganutnya, menyangkal adanya perbedaan antara baik dan buruk. Brahmana
itu mengatakan ini dengan maksud bahwa Sang Buddha tidak berbuat sesuai
kebiasaan, seperti memberi hormat kepada sesepuh, dan sebagainya. Tetapi Sang Buddha
menjawab dengan merujuk pada tidak-berbuat perbuatan buruk melalui jasmani,
ucapan, dan pikiran.]
“Ada, Brahmana, satu cara yang
dengannya seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama
adalah seorang penganut tidak-berbuat.’ Karena Aku mengajarkan tidak-berbuat
buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; Aku mengajarkan tidak-berbuat berbagai
jenis perbuatan buruk yang tidak bermanfaat. Adalah dengan cara ini
seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama adalah
seorang penganut tidak-berbuat.’ Tetapi engkau tidak mengatakan sehubungan
dengan ini.”
(4) “Guru Gotama adalah seorang
penganut pemusnahan.”
[Kitab Komentar : Ucchedavādo bhavaṃ Gotamo. Para penganut pemusnahan menyatakan
“pemusnahan, kehancuran, dan pembinasaan” atas seorang yang benar-benar ada
pada saat kematian. Brahmana itu bermaksud untuk menuduh bahwa Sang Buddha
berusaha memusnahkan kebiasaan menghormati para sesepuh, dan sebagainya yang
telah lama ada, tetapi Sang Buddha menjawab dengan merujuk pada pemusnahan
segala kekotoran dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat melalui empat jalan
mulia.
“Ada, Brahmana, satu cara yang
dengannya seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama
adalah seorang penganut pemusnahan.’ Karena Aku mengajarkan pemusnahan
nafsu, kebencian, dan delusi; Aku mengajarkan pemusnahan berbagai jenis kualitas
buruk yang tidak bermanfaat. Adalah dengan cara ini seseorang dapat dengan
benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama adalah seorang penganut
pemusnahan.’ Tetapi engkau tidak mengatakan sehubungan dengan ini.”
(5) “Guru Gotama adalah seorang
penolak.”
[Kitab Komentar : Jegucchī bhavaṃ Gotamo. Brahmana itu menyebut Sang Bhagavā seorang
‘penolak’ (jegucchī); ia berpikir
bahwa karena Sang Buddha menolak (jigucchati)
perilaku sopan seperti menghormati para sesepuh, maka Beliau tidak melakukan
perbuatan demikian. Tetapi Sang Bhagavā mengakui hal ini dalam makna metafora. Beliau
menolak perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran dan berbagai
kualitas buruk yang tidak bermanfaat, seperti halnya seseorang yang menyukai
perhiasan akan menolak dan jijik pada kotoran tinja.]
“Ada, Brahmana, satu cara yang
dengannya seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama
adalah seorang penolak.’ Karena Aku menolak perbuatan buruk melalui jasmani,
ucapan, dan pikiran; Aku menolak berbagai jenis kualitas buruk [175] yang tidak
bermanfaat. Adalah dengan cara ini seseorang dapat dengan benar mengatakan
tentang Aku: ‘Petapa Gotama adalah seorang penolak.’ Tetapi engkau tidak
mengatakan sehubungan dengan ini.”
(6) “Guru Gotama adalah seorang
pembasmi.”
[Kitab Komentar : Venayiko bhavaṃ Gotamo. Venayika,
dari kata kerja vineti (mendisiplinkan,
melenyapkan), dapat berarti “seorang yang menjatuhkan disiplin, seorang yang
melatih orang lain.” Tetapi pada masa Sang Buddha kata venayika tampaknya juga bermakna “seorang yang menyesatkan,” yang
mengarahkan seseorang menuju kehancuran. Dalam pandangan si brahmana, sebagai vināseti, “menghancurkan.” Tetapi
Sang Buddha menegaskan hal ini dalam makna bahwa Beliau mengajarkan Dhamma
untuk pelenyapan nafsu dan kekotoran lainnya (rāgādīnaṃ vinayāya).]
“Ada, Brahmana, satu cara yang
dengannya seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama
adalah seorang pembasmi.’ Karena Aku mengajarkan Dhamma untuk membasmi
nafsu, kebencian, dan delusi; Aku mengajarkan Dhamma untuk membasmi berbagai
jenis kualitas buruk yang tidak bermanfaat. Adalah dengan cara ini
seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama adalah
seorang pembasmi.’ Tetapi engkau tidak mengatakan sehubungan dengan ini.”
(7) “Guru Gotama adalah seorang
penyiksa.”
[Kitab Komentar : Tapassī bhavaṃ Gotamo. Seorang tapassī biasanya
adalah seorang petapa yang menekuni praktik menyiksa-diri. Kata ini diturunkan
dari kata kerja tapati, “membakar,
memanaskan.” Si brahmana, menggunakan kata ini dalam makna seorang yang
menyiksa para sesepuh dengan tidak menunjukkan penghormatan selayaknya kepada
mereka. Tetapi Sang Buddha menggunakan kata ini dalam makna bahwa Beliau
membakar habis kualitas-kualitas tidak bermanfaat.]
“Ada, Brahmana, satu cara yang
dengannya seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama
adalah seorang penyiksa.’ Karena Aku mengajarkan bahwa kualitas-kualitas buruk
yang tidak bermanfaat – perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran –
harus dibakar habis. Aku mengatakan bahwa seseorang adalah penyiksa ketika ia
telah meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang harus
dibakar; ketika ia telah memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon
palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Sang Tathāgata
telah meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang harus
dibakar habis; Beliau telah memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul
pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan.
Adalah dengan cara ini seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku:
‘Petapa Gotama adalah seorang penyiksa.’ Tetapi engkau tidak mengatakan
sehubungan dengan ini.”
(8) “Guru Gotama sedang
pensiun.”
“Ada, Brahmana, satu cara yang
dengannya seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama
sedang pensiun’ Karena Aku mengatakan bahwa seseorang pensiun ketika ia
telah meninggalkan produksi penjelmaan baru, tempat tidur rahim di masa
depan; ketika ia telah memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon
palem, melenyapkannya sehingga [176] tidak muncul lagi di masa depan. Sang
Tathāgata telah meninggalkan produksi penjelmaan baru, tempat tidur rahim di
masa depan; Beliau telah memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon
palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Adalah
dengan cara ini seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa
Gotama adalah seorang yang sedang pensiun.’ Tetapi engkau tidak mengatakan
sehubungan dengan ini.”
“Misalkan, Brahmana, ada seekor
ayam betina dengan delapan, sepuluh, atau dua belas butir telur yang ia tutupi,
ia erami, dan ia pelihara dengan baik. Anak ayam pertama di antara anak-anak ayam
itu menusuk cangkangnya dengan ujung cakar atau paruhnya dan menetas dengan
selamat, apakah ia disebut yang tertua atau yang termuda?”
“Ia disebut yang tertua, Guru
Gotama. Demikianlah ia adalah yang tertua di antara anak-anak ayam itu.”
“Demikianlah pula, Brahmana, dalam
populasi yang terbenam dalam ketidak-tahuan, menjadi seperti sebutir telur,
sepenuhnya terbungkus, Aku telah menusuk cangkang ketidak-tahuan. Aku adalah
satu-satunya orang di dunia ini yang telah tercerahkan hingga pencerahan
sempurna yang tiada taranya. Maka Aku adalah yang tertua, yang terbaik di dunia
ini.
“KegigihanKu, Brahmana,
telah dibangkitkan tanpa mengendur; perhatianKu ditegakkan tanpa kekacauan;
tubuhKu tenang tanpa gangguan; pikiranKu terkonsentrasi dan terpusat. Dengan
terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak
bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan
kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan
pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, Aku masuk dan berdiam
dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran,
dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran
dan pemeriksaan. [177] Dengan memudarnya sukacita, Aku berdiam seimbang dan, dengan
penuh perhatian dan memahami dengan jernih, Aku mengalami kenikmatan pada jasmani;
Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia
seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan
meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan
dan kesedihan, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan
menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui
keseimbangan.
“Ketika pikiranKu terkonsentrasi,
murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lentur, lunak, kokoh, dan
mencapai ketanpagangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan
lampau. Aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua
kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran,
dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh
kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak
kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa
penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: ‘Di sana Aku
bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananKu seperti ini,
pengalaman kenikmatan dan kesakitanKu seperti ini, umur kehidupanKu selama ini;
meninggal dunia dari sana, Aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana Aku
bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananKu seperti itu,
pengalaman kenikmatan dan kesakitanKu seperti itu, umur kehidupanKu selama itu;
meninggal dunia dari sana, Aku terlahir kembali di sini.’ Demikianlah Aku
mengingat banyak kehidupan lampauKu dengan aspek-aspek dan rinciannya.
“Ini, Brahmana, adalah
pengetahuan sejati pertama yang Kucapai pada jaga pertama malam itu.
Ketidak-tahuan tersingkirkan, pengetahuan sejati telah muncul; kegelapan tersingkirkan,
cahaya telah muncul, seperti yang terjadi pada seorang yang tekun, rajin, dan
bersungguh-sungguh. Ini, Brahmana, adalah penerobosanKu yang pertama,
seperti anak ayam yang menerobos keluar dari cangkangnya. [178]
“Ketika pikiranKu
terkonsentrasi, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lentur, lunak,
kokoh, dan mencapai ketanpagangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan
kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk, hina dan mulia, berpenampilan baik
dan berpenampilan buruk, kaya dan miskin, dan Aku memahami bagaimana
makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut:
‘Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani,
ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan
melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya
jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, di alam
tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang
terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak
mencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan kamma yang
berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian,
telah terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.’ Demikianlah
dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk
meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, berpenampilan baik dan berpenampilan
buruk, kaya dan miskin, dan Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara
sesuai kamma mereka. “Ini, Brahmana, adalah pengetahuan sejati ke dua yang
Kucapai pada jaga pertengahan malam itu. Ketidak-tahuan tersingkirkan, pengetahuan
sejati telah muncul; kegelapan tersingkirkan, cahaya telah muncul, seperti yang
terjadi pada seorang yang tekun, rajin, dan bersungguh-sungguh. Ini, Brahmana,
adalah penerobosanKu yang ke dua, seperti anak ayam yang menerobos keluar dari cangkangnya.
“Ketika pikiranKu
terkonsentrasi, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lentur, lunak,
kokoh, dan mencapai ketanpagangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan
hancurnya noda-noda. Aku memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’;
Aku memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; Aku
memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; Aku memahami
sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Aku memahami
sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; [179] Aku memahami sebagaimana
adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; Aku memahami sebagaimana adanya: ‘Ini
adalah lenyapnya noda-noda’; Aku memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan
menuju lenyapnya noda-noda.’
“Ketika Aku mengetahui dan
melihat demikian, pikiranKu terbebas dari noda indriawi, dari noda penjelmaan,
dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’
Aku secara langsung mengetahui ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan
spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan
kembali pada kondisi makhluk apa pun.’
“Ini, Brahmana, adalah
pengetahuan sejati ke tiga yang Kucapai pada jaga terakhir malam itu.
Ketidak-tahuan tersingkirkan, pengetahuan sejati telah muncul; kegelapan
tersingkirkan, cahaya telah muncul, seperti yang terjadi pada seorang yang
tekun, rajin, dan bersungguh-sungguh. Ini, Brahmana, adalah penerobosanKu yang
ke tiga, seperti anak ayam yang menerobos keluar dari cangkangnya.”
Ketika hal ini dikatakan,
Brahmana Verañjā berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama adalah yang tertua!
Guru Gotama adalah yang terbaik! Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru
Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah
Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi,
menunjukkan jalan kepada seseorang yang tersesat, atau memegang pelita di dalam
kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk.
Sekarang aku berlindung pada Guru Gotama, pada Dhamma, dan pada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama
menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung mulai hari ini
hingga seumur hidup.”
