KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Terdakwa Bersikap Sopan di Persidangan, namun Ganas terhadap Korban saat Melakukan Aksi Kejahatan

Ketika Melakukan Aksi Kejahatan Ibarat “ISENG-ISENG BERHADIAH” : Jika Ketahuan, maka (Semudah) Kembalikan Kerugian Korban Lalu Disebut “Restorative Justice”. JIka Tidak Ketahuan, Nikmati Hasil Kejahatannya

Semestinya, bersikap jujur dan kooperatif yang dapat menjadi “keadaan yang meringankan kesalahan pidana” seorang terdakwa saat didakwa dan dituntut serta akan dijatuhi vonis hukuman pidana di peradilan, sebagai bentuk insentif ala “reward and punishment”. Sebaliknya, terdakwa yang bersikap berbelit-belit, patut serta layak diberikan dis-insentif berupa “keadaan yang memberatkan kesalahan pidana” sang terdakwa. Akan tetapi, yang selama ini terjadi dalam praktik persidangan perkara pidana di Indonesia, “terdakwa bersikap sopan di persidangan” dikategorikan juga sebagai “keadaan yang meringankan kesalahan pidana” bagi seorang terdakwa—sekalipun, secara falsafah pemidanaan, paradigma berhukum kalangan hakim perkara pidana demikian tidak memiliki landasan sosiologis sebagai basis pijakannya.

Realita lapangan menunjukkan, saat sang pelaku melakukan aksi kriminalitas terhadap korbannya, entah kejahatan seperti penganiayaan, premanisme, penipuan, perampokan, pencurian, pemerasan, korupsi, pemerkosaan, begal, dan kejahatan-kejahatan lainnya, sang pelaku begitu galak, beringas, ganas, radikal, buas, bertaring tajam, tidak kompromistis, tidak toleran, begitu pamer kekuatan dan kekuasaan, serta premanis terhadap sang korban, bak seekor anjing yang terjangkit “rabies”. Namun, giliran ditangkap dan dijerat oleh ancaman hukuman pidana di depan penyidik yang melakukan BAP (berita acara pemeriksaan) maupun di depan persidangan yang ditatap oleh tiga pasang mata milik hakim, para kriminil tersebut “mendadak alim”, memohon-mohon belas-kasihan seperti “merupakan tulang-punggung keluarga yang masih harus menafkahi istri, anak, dan orangtua”, punya tiga orang anak yang masih kecil, istri dan keluarga menunggu di rumah, orangtua sakit butuh biaya, mengemis-ngemis pemaafan, berbusana agamais, mengaku “menyesali” perbuatannya—sekalipun saat melakukan kejahatan, niat batinnya ialah niat jahat dalam derajat “sengaja sebagai maksud”—serta memasang wajah “innocent” bagaikan seorang anak Sekolah Dasar yang masih lugu dan polos.

Kini, kita akan masuk kedalam “dark psychology” (psikologi manipulasi) yang patut ditengarai terjadi di ruang persidangan perkara pidana. Ambil contoh seorang terdakwa kasus tambang yang merusak bentang alam sehingga merugikan keuangan negara maupun perekonomian negara mencapai raturan triliunan rupiah. Sejak awal, sang terdakwa telah bersekutu atau bermufakat dengan “mafia hukum” yang bersekongkol dengan Majelis Hakim yang ditunjuk untuk memeriksa dan memutus perkara. Mengetahui bahwa dirinya hanya akan divonis rendah serendah-rendahnya, maka opsi paling rasional serta paling realistis ialah bagi sang terdakwa ialah, bersikap sopan di persidangan. Dengan begitu, membuka peluang bagi Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus perkara untuk menjadikan kondisi tersebut sebagai “alibi sempurna” dalam rangka mem-vonis ringan sang pelaku kejahatan. “Bersikap sopan di persidangan”, korting atau diskon vonis hukumannya dapat mencapai bertahun-tahun lamanya, bukankah itu tampak menguntungkan bila dikalkulasi oleh otak culas sang penjahat?

Tidak tertutup kemungkinan, hakim yang korup karena menyalah-gunakan kekuasaan dan kewenangannya memutus perkara—lebih tepatnya disebut melakukan aksi “kolusi”—akan memberikan “nasehat” bagi sang pelaku, untuk berakting “sopan” di depan persidangan, agar rencana jalan menuju vonis rendah menjadi “mulus”. Hal kedua yang juga tidak jarang—bahkan kerap terjadi—kita jumpai dalam persidangan perkara pidana ialah, pelaku kejahatan mengembalikan hasil kejahatannya, dinilai sebagai “keadaan yang meringankan kesalahan pidana terdakwa”, yang muaranya sang pelaku divonis “pidana masa percobaan” alias tidak benar-benar dipidana kurungan maupun penjara. Pandangan berhukum demikian, sangatlah mengandung “moral hazard” disamping tidak membawa efek jera bagi sang pelaku, disamping menjadi preseden atau teladan buruk bagi masyarakat yang tergoda untuk turut “mencoba-coba”.

Konstruksi kejadian berikut benar-benar terjadi dalam realita praktik persidangan di Indonesia. Seorang pelaku kejahatan pencurian dan penadahan, pada mulanya menikmati hasil kejahatannya. Beberapa waktu kemudian, penyidik kepolisian berhasil melacak siapakah para pelakunya, dan satu per satu pelakunya pun terungkap seta tertangkap. Giliran ditetapkan sebagai tersangka dan didakwa di depan persidangan sebagai terdakwa, mendadak para pelakunya menjadi “orang baik”, dengan mengembalikan hasil kejahatannya kepada korban. Alhasil, Majelis Hakim terkecoh, dan menjatuhkan vonis paling rendah, yakni “pidana masa percobaan”, karena dianggap sebagai “restorative justice” ketika sang pelaku memulihkan kerugian korban—sekalipun tidak dilandasi kesukarelaan maupun kesadaran pribadi para pelakunya, mengingat mereka tidak bertanggung-jawab atas perbuatannya ketika pelakunya belum terungkap dan tidak akan memulihkan kerugian korban jika mereka tidak berhasil dilacak keberadaannya oleh pihak berwajib ataupun ketika pelakunya tidak terungkap untuk diketahui siapa gerangan.

Melakukan aksi kejahatan, karenanya, menyerupai “iseng-iseng berhadiah” alias “permainan untung-untungan”. Ketika seusai melakukan kejahatan, namun polisi tidak berhasil menangkap maupun mengetahui siapa pelakunya, maka sang pelaku tidak perlu bertanggung-jawab, dan bebas menikmati hasil kejahatannya, sementara sang korban hanya bisa “gigit jari”. Sebaliknya, ketika polisi mulai berhasil menemukan jejak maupun petunjuk siapa pelakunya, maka para pelakunya “mendadak penuh tanggung-jawab” dengan seketika mengembalikan atau memulihkan kerugian sang korban—dalam rangka “membungkam” korban agar seolah korban tidak lagi menderita kerugian apapun yang karenanya para pelakunya layak dan patut dibebaskan dari jerat hukum pidana.

Tidak kalah “PHP”-nya (pemberi harapan palsu) ketika Anda selaku korban, mengadu ataupun melapor kepada Tuhan ketika Anda disakiti, dirugikan, ataupun dilukai oleh warga lainnya. Dosa dan maksiat, dilarang, seolah pelakunya akan dihukum secara setimpal oleh Tuhan. Namun yang seringkali tidak disadari oleh Anda maupun orang kebanyakan ialah, Tuhan lebih PRO terhadap pendosa (penjahat), yang karenanya hakim di pengadilan tidak semestinya meniru ataupun meneladani sikap yang tidak memiliki “perspektif korban” sebagaimana sikap Tuhan—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

Babi, disebut “haram”. namun, dogma-dogma KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA” disebut “halal” serta dijadikan “halal lifestyle”—sekalipun hanya seorang PENDOSA yang butuh “PENGHAPUSAN DOSA”. PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci, baik, mulia, lurus, adil, luhur, serta agung? Itu menyerupai ORANG BUTA yang hendak menuntun para butawan lainnya, neraka pun dipandang sebagai surga, berlomba-lomba dan berbondong-bondong dengan bangga penuh percaya-diri mereka terperosok menuju lembah-jurang-nista yang begitu gelap nan kelam. Terhadap dosa dan maksiat, begitu kompromistik. Akan tetapi terhadap kaum yang berbeda keyakinan, begitu intoleran.

“PENGHAPUSAN DOSA” (abolition of sins), sifatnya selalu bundling / komplomenter dengan “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN”, dimana hanya seorang PENDOSA yang butuh ideologi KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA” demikian. “Kabar gembira” bagi pelaku kejahatan (pendosa), sama artinya “kabar buruk dan duka” bagi kalangan korban. Dogma KORUP semacam “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN DOSA” maupun “PENEBUSAN DOSA”, sejatinya hanya dinikmati oleh kalangan “KORUPTOR DOSA”, namun masih juga berdelusi sebagai kaum paling superior yang berhak menceramahi disamping berdelusi dengan merasa sebagai “polisi moral” yang berhak menghakimi kaum lainnya—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]