Jangan Pernah Menantang ataupun Melawan Negara yang Memiliki Comparative Advantages
Comparative Advantages sebagai Faktor Kunci SURVIVAL OF THE FITTEST
Negara yang kali pertamanya mengkampanyekan, menggaungkan, mempromosikan “perdagangan bebas” (free trade), ialah Amerika Serikat sebagai pionir dan motor penggeraknya. Kini, yang melanggarnya dengan mengatas-namakan ketimpangan neraca perdagangan, ialah Amerika Serikat. Yang menjadi falsafah dibalik cara kerja “perdagangan bebas”, ialah menjadikan pasar dalam negeri di negara lain (pengimpor) sebagai pangsa pasar produsen negara asal (pengekspor). Alhasil, secara langsung maupun tidak langsung, neraca perdagangan negara target menjadi defisit dan neraca perdagangan negara pengekspor menjadi surplus. Comparative advantages yang dibangun dari dua unsur utama, yakni persilangan antara harga dan kualitas, menjadi kata kunci dibalik pergerakan “perdagangan bebas”, dimana pilihan konsumen menjadi raja serta hakimnya.
Zaman berubah, perkembangan dan
dinamika kemajuan teknologi maupun ekonomi juga turut berubah dari sejak kali
pertama Amerika Serikat mengusung “perdagangan bebas”. Kini, comparative advantage dikuasai oleh produsen-produsen
di China, membuat Amerika Serikat mulai “gerah” karena kian tersisih dari pasar
lokal maupun global yang kian kompetitif dari segi kecanggihan teknologi, mulai
dari ponsel hingga kendaraan bermotor. Buruk wajah, cermin dibelah, itulah Amerika
Serikat yang kini justru mengkhianati ideologi perdagangan yang semula diusung
olehnya, alias “mau menang sendiri” (ber-standar ganda) ketika produk-produk “Made in USA” tidak lagi mendominasi
pasar global maupun dalam negerinya sendiri. Pada prinsipnya, tidak ada
negara yang dengan senang hati dijadikan pangsa pasar oleh produsen-produsen dari
negara asing, dengan neraca perdagangan yang “berdarah-darah” karena lebih
banyak mengimpor daripada mengekspor.
Yang paling berbahaya dari
sikap diskriminatif dari Amerika Serikat yang jelas-jelas dan nyata-nyata mengingkari
semangat “perdagangan bebas” ialah, negara-negara global kelak akan meniru
langkah Amerika Serikat, yakni menerapkan kebijakan “hambatan / restriksi tarif”
terhadap barang-barang modal maupun barang-barang konsumsi dari luar negeri yang
masuk ke negara mereka, dalam rangka menyeimbangkan neraca perdagangan. Bila seluruh
negara global terjangkit oleh pergerakan antinomi dari “perdagangan bebas” yang
berbalik menjadi proteksionisme demikian, akibatnya akan semakin sedikit arus
perdagangan lintas batas negara. Alhasil, sekalipun Indonesia memiliki
komoditas unggulan semacam Crude Palm Oil (CPO), batubara, hingga nikel, tetap
saja neraca perdagangan dalam negeri negara pengimpor komoditas tersebut akan
mencatatnya sebagai “defisit” yang berakibat pada terdorongnya “hambatan tarif”
bagi produk-produk lainnya yang akan masuk ke pasar mereka.
Bila selama ini, swasembada /
berdikari / kedaulatan dimaknai sebagai ketahanan ekonomi dengan mampu
memproduksi sendiri di dalam negeri, tanpa mengandalakan importasi, dimana
Kepala Negara kita begitu mengidolakan dan membangga-banggakan ideologi
swasembada pangan dan energi, sebagai pencapaian tertinggi suatu negara
berdaulat, maka tampaknya tidak lama kemudian perlu didefinisikan ulang menjadi
juga mampu bertahan tanpa mengekspor produk-produk dalam negeri ke pasar di luar
negeri—alias menjadi negara yang tertutup atau setengah tertutup, dimana tidak
mengimpor namun juga tidak mengekspor sehingga seluruh negara memiliki kondisi
equilibrium yang sejatinya kembali ke keadaan pra “perdagangan bebas”, yakni
neraca perdagangan stagnan : tidak surplus juga tidak defisit sebagai basis
patokannya.
Bila kita merujuk pada
redefinisi demikian di atas, maka bukankah itu akan menyerupai negara yang
selama ini dikucilkan dari pergaulan ekonomi dunia, baik karena di-embargo
secara politik maupun secara ekonomi, seperti Korea Utara, Iran, maupun Rusia? Katakanlah
Indonesia tidak menghiraukan tekanan Amerika Serikat dengan tidak menghiraukan
sanksi “tarif resiprokal” sehingga tidak lagi masuk ke pangsa pasar di Amerika
Serikat, lalu pasar tersebut justru dipenetrasi oleh produsen-produsen dari negara
yang dikenai tarif rendah oleh Amerika Serikat, maka pada gilirannya negara
pengekspor tersebut memiliki neraca perdagangan “surplus” karena mengambil-alih
“kue” yang ditinggalkan oleh produsen di Indonesia. Ketika neraca perdagangan Amerika
Serikat VS. Indonesia telah menjelma stagnan, maka apakah artinya “hambatan
tarif” tidak lagi menjadi relevan?
“Restriksi tarif” bukanlah
solusi jangka panjang bagi negara manapun. Bisnis dan niaga membutuhkan
kepastian dan komitmen jangka panjang, bukan spekulasi ataupun asumsi dibalik “hambatan
tarif”. Dinamikanya begitu cair, tidak rigid, sehingga neraca perdagangan
selalu naik dan turun. Sekali lagi, bila ingin mewujudkan neraca perdagangan
yang betul-betul seimbang, sementara tidak ada negara manapun yang bersedia
untuk dieksploitasi dengan dijadikan pangsa pasar oleh produsen-produsen di
negara asing, maka proteksionisme menjadi “escape
scenario”-nya. Ketika seluruh negara di dunia global menerapkan sistem
neraca perdagangan stagnan—tidak surplus juga tidak defisit—maka ekonomi dan
inovasi menjadi “lesu” kehilangan gairah, karena “mentok” pada sebatas
swasembada dimana hanya menargetkan konsumen dalam negeri belaka, tanpa lagi
dapat berharap menembus pasar global. Namun, jangan lupakan “kekuatan konsumen”
alias faktor “daya tawar” itu sendiri, dan itulah yang akan kita bahas lebih
lanjut. Anda tahu, mengapa Amerika Serikat begitu percaya diri menerapkan “tarif
masuk” begitu tinggi kepada Indonesia, tanpa takut dilakukan pembalasan oleh Indonesia?
“Perang dagang” antara Amerika
Serikat dan China yang memberikan balasan tarif masuk yang sama tingginya dengan
yang diterapkan oleh Amerika Serikat terhadap produk-produk dari China, cepat
atau lambat akan diikuti langkahnya oleh negara-negara lainnya ketika tidak ada
kompromi oleh Amerika Serikat dengan mengingkari prinsip utama “perdagangan
bebas” yang meng-“haram”-kan “restriksi tarif”. Berikut inilah skenario yang
akan terjadi ketika seluruh negara menerapkan “restriksi tarif”, negara yang
memiliki comparative advantage berupa
persilangan antara harga dan kualitas barang, akan menang menghadapi “perang
dagang”. Mengapa? Karena tetap saja negara-negara akan mengimpor produk-produk yang
berharga terjangkau namun dengan harga lebih murah. Ketika otoritas negaranya
memaksakan diri menerapkan “tarif masuk” yang tinggi, pada gilirannya “daya
beli” warga lokal dalam negerinya akan melemah dan itu dapat menjatuhkan PDB negara
tersebut—salah satunya ialah Indonesia yang bertopang pada pola konsumtif masyarakatnya.
Terdapat seorang penulis yang
menuliskan, bahwa yang disebut dengan “swasembada yang sempit”, artinya mampu memproduksi
sendiri, sekalipun harga yang dilepas ke pasar dalam negeri lebih tinggi daripada
memilih opsi mengimpor dengan kualitas yang sama namun dengan harga yang bisa
lebih murah untuk dilepas ke pasar. Bukankah yang terpenting ialah, warga lokal
mampu mengakses barang tersebut di pasar, tanpa kelangkaan, dan harga yang
terjangkau? Ambil contoh komoditas keledai, petani lokal dalam negeri kita
mampu memproduksinya, namun dengan harga yang tinggi karena produksinya saat panennya
yang minim, sehingga bila kita menutup keran importasi terhadap keledai dengan membalas
“tarif masuk” yang tinggi, konsumen tetap dapat menemukan keledai lokal di
pasar namun dengan harga yang tidak terjangkau. Apakah itu, swasembada yang
kita inginkan? Karenanya, Amerika Serikat sudah memprediksi, Indonesia “mati
langkah”, tidak akan berani membuat perlawanan berarti.
Cepat atau lambat, warga lokal
di Amerika Serikat itu sendiri yang terkena imbasnya, yakni mereka harus membayar
lebih mahal, atas produk dengan kualitas yang sama dengan yang biasanya selama
ini mereka temukan dan peroleh di pasar. Singkatnya, bila dapat kita
sederhanakan, “the invisible hand”-nya
Adam Smith mungkin ialah merujuk faktor comparative
advantage. Selebihnya, mekanisme pasar itu sendiri yang menentukan, dimana
konsumen adalah raja sekaligus hakimnya. Cobalah bayangkan bila pemerintah Indonesia
bersikeras menerapkan “swasembada keledai” sebagai balasan atas “restriksi
tarif” Amerika Serikat, bisa dipastikan produsen dan konsumen tahu dan tempe,
yang akan melakukan demonstrasi menekan pemerintahan sendiri untuk melonggarkan
kebijakan demikian.
Bagaimana cara memenangkan hati
konsumen (pasar) di negara target, maka ialah yang akan menang, dan itulah yang
dimiliki oleh negara-negara yang memiliki comparative
advantage. Sebagaimana kata-kata bijak dari seorang tokoh dari China : “Tidak penting kucing warna putih ataupun
hitam, yang penting dapat menangkap tikus.” Tidak penting barang itu
impor ataupun buatan dalam negeri, yang penting berkualitas dan terjangkau.
Bahkan, kita dapat membuat simpatisan-konsumen di negara target menjadi daya
tekan atau daya tawar itu sendiri, sehingga secara tidak langsung “hambatan
tarif” bukanlah lagi menjadi isu yang relevan ketika konsumen dalam negerinya
memberontak men-demo pemerintahnya yang memberlakukan “hambatan tarif” bagi produk-produk
yang biasanya mereka konsumsi. Seni dagang dan seni perang (the art of war), tidak sama namun
serupa.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.