KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Ambiguitas dan Ambivalensi FREE TRADE Vs. Proteksionisme Hambatan Tarif

Jangan Pernah Menantang ataupun Melawan Negara yang Memiliki Comparative Advantages

Comparative Advantages sebagai Faktor Kunci SURVIVAL OF THE FITTEST

Negara yang kali pertamanya mengkampanyekan, menggaungkan, mempromosikan “perdagangan bebas” (free trade), ialah Amerika Serikat sebagai pionir dan motor penggeraknya. Kini, yang melanggarnya dengan mengatas-namakan ketimpangan neraca perdagangan, ialah Amerika Serikat. Yang menjadi falsafah dibalik cara kerja “perdagangan bebas”, ialah menjadikan pasar dalam negeri di negara lain (pengimpor) sebagai pangsa pasar produsen negara asal (pengekspor). Alhasil, secara langsung maupun tidak langsung, neraca perdagangan negara target menjadi defisit dan neraca perdagangan negara pengekspor menjadi surplus. Comparative advantages yang dibangun dari dua unsur utama, yakni persilangan antara harga dan kualitas, menjadi kata kunci dibalik pergerakan “perdagangan bebas”, dimana pilihan konsumen menjadi raja serta hakimnya.

Zaman berubah, perkembangan dan dinamika kemajuan teknologi maupun ekonomi juga turut berubah dari sejak kali pertama Amerika Serikat mengusung “perdagangan bebas”. Kini, comparative advantage dikuasai oleh produsen-produsen di China, membuat Amerika Serikat mulai “gerah” karena kian tersisih dari pasar lokal maupun global yang kian kompetitif dari segi kecanggihan teknologi, mulai dari ponsel hingga kendaraan bermotor. Buruk wajah, cermin dibelah, itulah Amerika Serikat yang kini justru mengkhianati ideologi perdagangan yang semula diusung olehnya, alias “mau menang sendiri” (ber-standar ganda) ketika produk-produk “Made in USA” tidak lagi mendominasi pasar global maupun dalam negerinya sendiri. Pada prinsipnya, tidak ada negara yang dengan senang hati dijadikan pangsa pasar oleh produsen-produsen dari negara asing, dengan neraca perdagangan yang “berdarah-darah” karena lebih banyak mengimpor daripada mengekspor.

Yang paling berbahaya dari sikap diskriminatif dari Amerika Serikat yang jelas-jelas dan nyata-nyata mengingkari semangat “perdagangan bebas” ialah, negara-negara global kelak akan meniru langkah Amerika Serikat, yakni menerapkan kebijakan “hambatan / restriksi tarif” terhadap barang-barang modal maupun barang-barang konsumsi dari luar negeri yang masuk ke negara mereka, dalam rangka menyeimbangkan neraca perdagangan. Bila seluruh negara global terjangkit oleh pergerakan antinomi dari “perdagangan bebas” yang berbalik menjadi proteksionisme demikian, akibatnya akan semakin sedikit arus perdagangan lintas batas negara. Alhasil, sekalipun Indonesia memiliki komoditas unggulan semacam Crude Palm Oil (CPO), batubara, hingga nikel, tetap saja neraca perdagangan dalam negeri negara pengimpor komoditas tersebut akan mencatatnya sebagai “defisit” yang berakibat pada terdorongnya “hambatan tarif” bagi produk-produk lainnya yang akan masuk ke pasar mereka.

Bila selama ini, swasembada / berdikari / kedaulatan dimaknai sebagai ketahanan ekonomi dengan mampu memproduksi sendiri di dalam negeri, tanpa mengandalakan importasi, dimana Kepala Negara kita begitu mengidolakan dan membangga-banggakan ideologi swasembada pangan dan energi, sebagai pencapaian tertinggi suatu negara berdaulat, maka tampaknya tidak lama kemudian perlu didefinisikan ulang menjadi juga mampu bertahan tanpa mengekspor produk-produk dalam negeri ke pasar di luar negeri—alias menjadi negara yang tertutup atau setengah tertutup, dimana tidak mengimpor namun juga tidak mengekspor sehingga seluruh negara memiliki kondisi equilibrium yang sejatinya kembali ke keadaan pra “perdagangan bebas”, yakni neraca perdagangan stagnan : tidak surplus juga tidak defisit sebagai basis patokannya.

Bila kita merujuk pada redefinisi demikian di atas, maka bukankah itu akan menyerupai negara yang selama ini dikucilkan dari pergaulan ekonomi dunia, baik karena di-embargo secara politik maupun secara ekonomi, seperti Korea Utara, Iran, maupun Rusia? Katakanlah Indonesia tidak menghiraukan tekanan Amerika Serikat dengan tidak menghiraukan sanksi “tarif resiprokal” sehingga tidak lagi masuk ke pangsa pasar di Amerika Serikat, lalu pasar tersebut justru dipenetrasi oleh produsen-produsen dari negara yang dikenai tarif rendah oleh Amerika Serikat, maka pada gilirannya negara pengekspor tersebut memiliki neraca perdagangan “surplus” karena mengambil-alih “kue” yang ditinggalkan oleh produsen di Indonesia. Ketika neraca perdagangan Amerika Serikat VS. Indonesia telah menjelma stagnan, maka apakah artinya “hambatan tarif” tidak lagi menjadi relevan?

“Restriksi tarif” bukanlah solusi jangka panjang bagi negara manapun. Bisnis dan niaga membutuhkan kepastian dan komitmen jangka panjang, bukan spekulasi ataupun asumsi dibalik “hambatan tarif”. Dinamikanya begitu cair, tidak rigid, sehingga neraca perdagangan selalu naik dan turun. Sekali lagi, bila ingin mewujudkan neraca perdagangan yang betul-betul seimbang, sementara tidak ada negara manapun yang bersedia untuk dieksploitasi dengan dijadikan pangsa pasar oleh produsen-produsen di negara asing, maka proteksionisme menjadi “escape scenario”-nya. Ketika seluruh negara di dunia global menerapkan sistem neraca perdagangan stagnan—tidak surplus juga tidak defisit—maka ekonomi dan inovasi menjadi “lesu” kehilangan gairah, karena “mentok” pada sebatas swasembada dimana hanya menargetkan konsumen dalam negeri belaka, tanpa lagi dapat berharap menembus pasar global. Namun, jangan lupakan “kekuatan konsumen” alias faktor “daya tawar” itu sendiri, dan itulah yang akan kita bahas lebih lanjut. Anda tahu, mengapa Amerika Serikat begitu percaya diri menerapkan “tarif masuk” begitu tinggi kepada Indonesia, tanpa takut dilakukan pembalasan oleh Indonesia?

“Perang dagang” antara Amerika Serikat dan China yang memberikan balasan tarif masuk yang sama tingginya dengan yang diterapkan oleh Amerika Serikat terhadap produk-produk dari China, cepat atau lambat akan diikuti langkahnya oleh negara-negara lainnya ketika tidak ada kompromi oleh Amerika Serikat dengan mengingkari prinsip utama “perdagangan bebas” yang meng-“haram”-kan “restriksi tarif”. Berikut inilah skenario yang akan terjadi ketika seluruh negara menerapkan “restriksi tarif”, negara yang memiliki comparative advantage berupa persilangan antara harga dan kualitas barang, akan menang menghadapi “perang dagang”. Mengapa? Karena tetap saja negara-negara akan mengimpor produk-produk yang berharga terjangkau namun dengan harga lebih murah. Ketika otoritas negaranya memaksakan diri menerapkan “tarif masuk” yang tinggi, pada gilirannya “daya beli” warga lokal dalam negerinya akan melemah dan itu dapat menjatuhkan PDB negara tersebut—salah satunya ialah Indonesia yang bertopang pada pola konsumtif masyarakatnya.

Terdapat seorang penulis yang menuliskan, bahwa yang disebut dengan “swasembada yang sempit”, artinya mampu memproduksi sendiri, sekalipun harga yang dilepas ke pasar dalam negeri lebih tinggi daripada memilih opsi mengimpor dengan kualitas yang sama namun dengan harga yang bisa lebih murah untuk dilepas ke pasar. Bukankah yang terpenting ialah, warga lokal mampu mengakses barang tersebut di pasar, tanpa kelangkaan, dan harga yang terjangkau? Ambil contoh komoditas keledai, petani lokal dalam negeri kita mampu memproduksinya, namun dengan harga yang tinggi karena produksinya saat panennya yang minim, sehingga bila kita menutup keran importasi terhadap keledai dengan membalas “tarif masuk” yang tinggi, konsumen tetap dapat menemukan keledai lokal di pasar namun dengan harga yang tidak terjangkau. Apakah itu, swasembada yang kita inginkan? Karenanya, Amerika Serikat sudah memprediksi, Indonesia “mati langkah”, tidak akan berani membuat perlawanan berarti.

Cepat atau lambat, warga lokal di Amerika Serikat itu sendiri yang terkena imbasnya, yakni mereka harus membayar lebih mahal, atas produk dengan kualitas yang sama dengan yang biasanya selama ini mereka temukan dan peroleh di pasar. Singkatnya, bila dapat kita sederhanakan, “the invisible hand”-nya Adam Smith mungkin ialah merujuk faktor comparative advantage. Selebihnya, mekanisme pasar itu sendiri yang menentukan, dimana konsumen adalah raja sekaligus hakimnya. Cobalah bayangkan bila pemerintah Indonesia bersikeras menerapkan “swasembada keledai” sebagai balasan atas “restriksi tarif” Amerika Serikat, bisa dipastikan produsen dan konsumen tahu dan tempe, yang akan melakukan demonstrasi menekan pemerintahan sendiri untuk melonggarkan kebijakan demikian.

Bagaimana cara memenangkan hati konsumen (pasar) di negara target, maka ialah yang akan menang, dan itulah yang dimiliki oleh negara-negara yang memiliki comparative advantage. Sebagaimana kata-kata bijak dari seorang tokoh dari China : “Tidak penting kucing warna putih ataupun hitam, yang penting dapat menangkap tikus.” Tidak penting barang itu impor ataupun buatan dalam negeri, yang penting berkualitas dan terjangkau. Bahkan, kita dapat membuat simpatisan-konsumen di negara target menjadi daya tekan atau daya tawar itu sendiri, sehingga secara tidak langsung “hambatan tarif” bukanlah lagi menjadi isu yang relevan ketika konsumen dalam negerinya memberontak men-demo pemerintahnya yang memberlakukan “hambatan tarif” bagi produk-produk yang biasanya mereka konsumsi. Seni dagang dan seni perang (the art of war), tidak sama namun serupa.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.