Mabuk dan Kecanduan Ideologi KORUP bernama PENGHAPUSAN DOSA—Ideologi KORUP-BERACUN yang Begitu Adiktif dan Membuat Pemeluknya Mabuk dan Kecanduan
Tuhan yang Lebih PRO kepada KORUPTOR DOSA, Umat AGAMA
DOSA
Question: Ada agama, yang mengajarkan kepada umatnya untuk
kompromistik terhadap dosa dan maksiat, dimana setiap tahunnya melakukan ritual
“kembali fitrah”, lalu selama setahun berikutnya kembali kompromistik terhadap
dosa-dosa dan maksiat, kembali dilanjutkan dengan ritual “kembali fitrah”,
kembali berkubang dalam dosa dan maksiat-maksiat, dilanjutkan dengan ritual
“kembali fitrah”, kembali menimbun diri dengan segunung dosa dan maksiat, dilanjutkan
dengan ritual “kembali fitrah” setahun sekali, dan begitu seterusnya. Itukah yang
disebut “taubat”, ataukah “tobat sambal”? Bukankah artinya itu merupakan ajaran
“Agama DOSA”, karena justru mempromosikan gaya hidup penuh dosa alih-alih
mengkampanyekan cara hidup higienis dari dosa dan maksiat?
Bila jadi penjahat (pendosa
yang berdosa) saja masuk surga karena ritual “kembali fitrah” setahun sekali,
maka untuk apa jadi orang baik-baik, orang yang bertanggung-jawab atas
perbuatan buruknya sendiri, ataupun menjadi orang suci yang terlatih dalam
disiplin diri ketat bernama “mawas diri” (self-control)?
Jika memang ada yang namanya “kembali fitrah”, maka untuk apa menjadi sekadar
“pencuri sandal”, mengapa tidak menjadi seorang “koruptor kelas hiu dan kelas
paus”? Bukankah yang hebat, ialah mereka yang berjiwa ksatria dengan menegakkan
prinsip meritokrasi egaliter bernama siap-berani bertanggung-jawab atas
perbuatan-perbuatannya sendiri?
Bukankah prinsip emas sudah mengajarkan, “jangan perlakukan orang lain sebagaimana kita tidak ingin diperlakukan, dan perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan”? Bila tidak ada seorang pun diantara kita yang ingin dijadikan KORBAN, maka mengapa menjadikan orang lain sebagai KORBAN yang dilukai, disakiti, maupun dirugikan, lalu secara tidak bertanggung-jawab sang pelaku (pendosa) melakukan ritual “kembali fitrah” alias lari dari tanggung-jawabnya? Bukankah hanya seorang pendosa yang tidak bertanggung-jawab yang berharap serta memohon “PENGHAPUSAN DOSA”?
Brief Answer: Vonis hidup seorang “PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN
DOSA”, ialah hidup dari DOSA dan mati sebagai “KORUPTOR DOSA”. Mereka,
merupakan kaum pemalas yang begitu pemalas untuk menanam benih-benih Karma Baik
untuk mereka petik sendiri buah manisnya dikemudian hari—justru lebih sibuk
meminta, mengemis, dan memohon—serta disaat bersamaan merupakan kaum pengecut
yang begitu pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk
mereka sendiri yang selama ini telah pernah atau masih sedang dan masih akan
kembali menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak-pihak lainnya. Mereka lebih
sibuk ritual “PENGHAPUSAN DOSA”, ketimbang sibuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya
kepada pihak korban. Namun, masih juga berdelusi sebagai kaum paling superior
yang merasa berhak menghakimi kaum lainnya?
Terhadap dosa dan maksiat,
begitu kompromistik. Namun, disaat bersamaan, terhadap dosa dan maksiat, mereka
demikian intoleran. Mereka, para PENDOSA PEMALAS PENGECUT PENJILAT PECANDU PENGHAPUSAN DOSA
tersebut, karenanya, sejatinya merupakan kasta paling rendah dan paling hina
di muka bumi ini. Di mata kaum suciwan dan ksatriawan, ideologi KORUP
bernama “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN” maupun “PENEBUSAN DOSA” merupakan
iming-iming yang begitu menjijikkan, kotor, hina, dangkal dan tercela,
disamping “toxic” dan “adiktif”
(membuat candu bagi para pendosa pemeluknya)—sehingga menjadi mengherankan
ketika para pendosa justru termakan dan memakan kotoran-kotoran beracun
tersebut.
PEMBAHASAN:
“Kembali ke fitrah” berarti kembali kepada
kesucian, kemurnian, dan asal kejadian. Dalam konteks Islam, kembali ke fitrah
berarti kembali kepada fitrah Islamiyah setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
Fitrah sendiri bermakna kembali seperti seseorang pertama kali lahir, yaitu
bersih dan suci. Masalahnya, Islam tidak memiliki apa yang disebut sebagai
“perspektif KORBAN”—namun semata hanya memiliki perspektif seorang PENDOSA
pelaku kejahatan yang mengobarkan / menumbalkan orang lain untuk kepentingan
dirinya sendiri.
Bukankah menjadi ironis, ketika ada kaum NON yang
turut menyebut Idul Fitri atau Lebaran / Ramadhan sebagai hari “KEMENANGAN”?
“Kemenangan” bagi siapa? “Kabar gembira” bagi pendosa, sama artinya “kabar
buruk dan duka” bagi kalangan korban-korban dari sang pendosawan. Fenomena sosial
di banyak negara, tidak terkecuali Indonesia zaman era Nusantara Abad ke-15
Kerajaan Majapahit, baik sang pelaku (PENDOSA) maupun korban-korbannya (nenek-moyang
para Buddhist Tanah Air), sama-sama “dungu”—kedua-duanya sama-sama tidak sadar
terhadap bahaya dibalik ideologi KORUP bernama “PENGHAPUSAN DOSA”. Sekalipun, nyata-nyata,
bahkan ideologi yang dilarang dan terlarang seperti Komun!sme sekalipun
tidak pernah mengajarkan ideologi SEKORUP “PENGHAPUSAN DOSA” dan agama-agama “berhala”
sekalipun tidak sampai mencium-cium batu hitam. [Untuk selengkapnya, lihat
Kitab Jawa DHARMO GHANDUL dan artefak berisi sejarah Walisongo dalam KOPRAK
VERARA.]
Jangankan
pada saat Bulan Ramadhan, dalam kesehariannya saja, para pemabuk yang kecanduan
“PENGHAPUSAN DOSA” tersebut justru lebih sibuk memohon “PENGHAPUSAN DOSA”
alih-alih lebih sibuk memperbaiki diri ataupun sibuk bertanggung-jawab atas
perbuatan-perbuatan mereka sendiri—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
- No.
4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
- No.
4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No.
4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No.
4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk
Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian
disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini
warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku
rizki).”
- No.
4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya
saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha
Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu
memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
“Standar
moral” semacam apakah, yang menjadi sunnah nabi rasul Allah? Telah ternyata
berupa teladan MABUK dan MENCANDU PENGHAPUSAN DOSA, bahkan dalam derajat yang lebih
akut daripada umat pengikutnya sendiri—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:
- No.
4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah
tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah
menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa
sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan
yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang
do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah
bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya
bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu
maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]
Ketika Anda membuat kejahatan atau perbuatan yang
dapat dicela oleh para bijaksanawan, maka pilihannya hanya ada dua : 1.)
bertanggung-jawab kepada Korban alias menjadi seorang ksatriawan; atau 2.)
menjelma menjadi seorang KORUPTOR DOSA alias tidak berani mengambil sikap
bertanggung-jawab alias menjadi seorang PENDOSA PENGECUT PECANDU PENGHAPUSAN
DOSA alias tetap saja masuk neraka sebagaimana para pendosa lainnya yang tidak bertanggung-jawab
atas dosa-dosanya sendiri.
Anda mau bukti, bahwa dosa-dosa tidak dapat
dihapuskan? Tidak perlu jauh-jauh mencari seorang Indigo untuk mengetahui bahwa
Akashic Records (gudang data universal berisi setiap detail isi pikiran dan detail
setiap perbuatan setiap manusia yang pernah ada) tidak dapat dihapuskan. Juga tidak
perlu jauh-jauh menunggu ajal menjemput Anda untuk membuktikan bahwa
satu-satunya alam akherat yang terbuka para pelaku kejahatan hanyalah “neraka”,
dan bahwa “neraka” akan dialami oleh si pelaku kejahatan. Sang Buddha
bersabda: [dikutip dari Dhammapada dan Aṅguttara Nikāya]
316. Barangsiapa malu
terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang
memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
317. Juga, barangsiapa takut
terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang
memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
318. Barangsiapa menganggap
tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela;
mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
319. Sebaliknya, barangsiapa
menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai
yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam
bahagia.
“Para bhikkhu, ada empat jenis
orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang
yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah
menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan
yang tinggi.
(1) “Dan apakah orang yang
mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan
perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.
(2) “Dan apakah orang yang
melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau
melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan,
menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual
yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.
Apakah lima ini?
(1) Tanpa menyelidiki dan
tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.
(2) Tanpa menyelidiki dan
tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah
dibawa ke sana. Apakah lima ini?
(1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang
layak dicela.
(2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang
layak dipuji.
Kini, Anda mau bukti bahwa umat-umat agama samawi
tersebut, yang mabuk dan kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA” atau istilah-istilah
KORUP sejenis lainnya (abolition of sins),
sejatinya merupakan kaum yang PALING TIDAK PERCAYA DAN TIDAK MENG-IMAN-I ALLAH
YANG MEREKA SEMBAH SENDIRI? JIka umat agama samawi percaya bahwa segala sesuatu
adalah atas kuasa, rencana, seizin, serta kehendak Allah, termasuk detak
jantung setiap manusia, maka untuk apa juga mereka memohon dan mengharap
“PENGHAPUSAN DOSA”? Berikut Sang Buddha membabarkan kerancuan cara
berpikir para umat agama samawi [dikutip dari Aṅguttara Nikāya, Sutta Pitaka, Tipitaka]:
“Para bhikkhu, ada tiga doktrin
sektarian ini yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para
bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak
berbuat. Apakah tiga ini?
“Ada para petapa dan brahmana
lainnya yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami
orang ini — apakah menyenangkan, menyakitkan, atau
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan — semuanya disebabkan oleh
aktivitas Tuhan pencipta.’
“Kemudian, para bhikkhu, Aku
mendatangi para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan
seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini —
apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan
— semuanya disebabkan oleh aktivitas Tuhan pencipta,’
“Dan Aku berkata kepada mereka:
‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’
“Ketika Aku menanyakan hal ini
kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau
begitu, adalah karena aktivitas Tuhan pencipta maka kalian mungkin melakukan
pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan aktivitas seksual,
berbohong, mengucapkan kata-kata yang memecah-belah, berkata kasar, bergosip;
maka kalian mungkin penuh kerinduan, memiliki pikiran berniat buruk, dan
menganut pandangan salah.’
“Mereka yang mengandalkan
aktivitas Tuhan pencipta sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan
[untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan]
apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini.
“Karena mereka tidak
memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak
boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka
sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar
ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang ke dua atas para
petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.”
Ketika umat agama samawi memohon dan mengharapkan
“PENGHAPUSAN DOSA”, maka disaat bersamaan mereka tidak benar-benar meyakini
bahwa Allah yang mereka sembah adalah “Maha Kuasa”, karena telah ternyata umat
manusia mampu dan sanggup melakukan sesuatu diluar rencana, kehendak, maupun
kuasa dan seizin sang Allah, karenanya mampu menjadi “berdosa”, dosa-dosa
mana kemudian dinegasikan sendiri oleh Allah lewat dogma-dogma bagi para
pendosawan yang tentunya bernama “PENGHAPUSAN DOSA”.
Kini Anda tahu, mengapa puluhan nabi rasul Allah
gagal total menghapus satu pun maksiat paling primitif yang pernah dikenal
dalam peradaban umat manusia di muka bumi ini, karena Allah sengaja menciptakan
serta butuh ‘DOSA dan MAKSIAT”, agar umatnya memakan dan termakan iming-iming
KORUP bernama “PENGHAPUSAN DOSA”. Kini juga Anda menjadi tahu, mengapa Allah
menciptakan “buah terlarang”, semata agar dimakan oleh Adam dan Hawa, sehingga
para “anak Adam” menjadi PECANDU “PENEBUSAN DOSA”. Itulah “grand design” berisi konspirasi antara Allah dan Iblis. Surah
Maryam ayat 83:
“Tidakkah engkau memperhatikan
bahwa Kami telah mengutus setan-setan kepada orang-orang kafir
untuk benar-benar menggoda mereka (berbuat maksiat)?” [NOTE : Perhatikan frasa “KAMI”
di atas, ingat bahwa itu adalah sebuah wahyu.]
Anda lihat, mereka yang berbuat dosa dan maksiat,
adalah KAFIR yang menghamba pada setan-setan. Kini, Anda mau bukti,
bahwa “Agama SAMAWI” merupakan “Agama DOSA” alih-alih “Agama SUCI”? Untuk
membuktikannya, maka Anda cukup menjawab dua pertanyaan singkat berikut ini,
sekaligus menguji level IQ Anda dan disaat bersamaan Anda akan memahami kaitan
erat antara tingkat IQ seseorang dan SQ yang bersangkutan:
1.) Daging babi, HALAL ataukah
HARAM?
2.) PENGHAPUSAN DOSA, HARAM
ataukah HALAL?
Bung, untuk memuliakan Tuhan, ialah dengan
cara menjadi manusia yang MULIA yang tidak tercela di mata bijaksanawan, bukan
dengan menjadi seorang PENDOSA—PENDOSA mana justru hendak berceramah
perihal akhlak, hidup jujur, bersih, murni, mulia, baik, suci, luhur, serta
terpuji?
Ketika ORANG BUTA hendak menuntun para butawan
lainnya, maka tidak perlu heran ketika mereka berbondong-bondong terperosot ke
lembah-jurang-nista bernama “neraka”—neraka mana dipandang sebagia “surga”.
Para PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA, alias para PENGECUT tersebut, akan
termotivasi untuk berlomba-lomba memproduksi segudang dosa, berkubang dalam
lautan dosa, serta mengoleksi berbagai dosa dan maksiat. “BUAT DOSA, SIAPA
TAKUT, ADA PENGHAPUSAN DOSA!”—rahmatan lil alamin, keluar dari zaman
“jahiliah”? Jangan lupa, tugas utama Iblis ialah mempromosikan neraka agar
tampak seperti “surga”.
Ibrahim / Abraham, demi bisa bersetubuh dengan
puluhan bidadari berdada montok yang selaput daranya dapat didaur-ulang, tanpa
berpikir dua kali, tega mengorbankan dan menumbalkan anak kandungnya sendiri (ishaq
/ Ismail) alias merampas kebahagiaan dan hak hidup orang lain yang bahkan anak
kandung sendiri demi keegoisan pribadi sang ayah, terlebih terhadap orang lain
yang bukan anak kandungnya? Bahkan, para umat agama samawi merayakannya,
memuji, menyanjung, serta meneladani sang PSIKOPAT egosentris tersebut. Seorang
ayah yang tidak membiarkan dirinya dibutakan oleh LIBIDO nafsu, akan lebih
memilih untuk dilemparkan ke neraka demi memberikan kehidupan bagi sang anak
terkasih atau menyembelih lehernya sendiri sebagai penggantinya.
Bila menjadi PENDOSA PEMALAS PENGECUT PENJILAT
PECANDU PENGHAPUSAN DOSA merupakan “standar moral tertinggi panutan umat
manusia”, maka pertanyaannya kemudian ialah : “standar motal terendah”-nya
seperti apa? Di mata dogma-dogma agama samawi, orang-orang baik, orang-orang
berjiwa ksatria, tidak terkecuali orang suci sekalipun, bila tidak menggadaikan
jiwanya menjadi “penjilat bokong Tuhan”, masuk neraka. Bung, neraka
merupakan MONUMEN KEGAGALAN TUHAN! Lagipula
orang-orang suci dan orang-orang baik maupun para ksatriawan tidak sama sekali pernah
berminat untuk dimasukkan ke dalam “surga tong sampah yang isinya dijejali para
KORUPTOR DOSA”—bahkan mereka akan menolak untuk disatukan dengan alam yang
dijejali para “PENDOSA MABUK PENGHAPUSAN DOSA”.
Dalam paradigma agama samawi, “aurat” ialah tubuh
manusia, karenanya perlu ditutupi busana dari ujung rambut sampai ujung kaki,
namun disaat bersamaan doa-doa dan ceramah-ceramah yang mengajarkan ideologi
KORUP bernama “PENGHAPUSAN DOSA” justru dikampanyekan dan dipertontonkan secara
vulgar tanpa rasa malu ataupun tabu lewat pengeras suara tempat ibadah mereka
kepada publik luas. Bertolak-belakang dengan itu, Buddhisme menjadikan
perbuatan buruk dan tercela sebagai “AURAT TERBESAR”—terlebih-lebih ideologi
KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA”. Sehingga, sejatinya mereka sedang memamerkan “AURAT
TERBESAR” ketika para agamais penuh dosa tersebut berdoa dan berkotbah memohon “PENGHAPUSAN
DOSA” lewat toa pengeras suara.
Tidak ada kompromi terhadap “kekotoran batin”
dalam Buddhisme. Ketika Anda meremehkan dan menantang “kekotoran batin” yang
bersarang dalam diri Anda sendiri, Anda pasti akan kalah dan DIPERBUDAK oleh
“kekotoran batin” Anda sendiri, sebagaimana kita telah diingatkan oleh khotbah Sang
Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical
Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
3 (3) Penderitaan
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini –
dalam kesusahan, kesengsaraan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani,
setelah kematian, suatu alam tujuan yang buruk menantinya. Apakah lima ini?
Di sini, seorang bhikkhu hampa
dari keyakinan, tidak memiliki rasa malu, dengan moralitas yang sembrono,
malas, dan tidak bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang
bhikkhu berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini – dalam kesusahan,
kesengsaraan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, suatu
alam tujuan yang buruk menantinya.
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu berdiam dengan bahagia dalam kehidupan
ini – tanpa kesusahan, kesengsaraan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani,
setelah kematian, suatu alam tujuan yang baik menantinya.
Apakah lima ini? Di sini,
seorang bhikkhu memiliki keyakinan, memiliki rasa malu, memiliki rasa takut,
dan bersemangat dan bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang
bhikkhu berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini – tanpa kesusahan, kesengsaraan,
dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, suatu alam tujuan
yang baik menantinya.”
~0~
4 (4) Seolah-olah Dibawa ke
Sana
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke
sana. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu hampa dari keyakinan, tidak
memiliki rasa malu, dengan moralitas yang sembrono, malas, dan tidak bijaksana.
Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu ditempatkan di neraka
seolah-olah dibawa ke sana. [4]
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu ditempatkan di surga seolah-olah
dibawa ke sana. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki
keyakinan, memiliki rasa malu, memiliki rasa takut, dan bersemangat dan
bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu ditempatkan
di surga seolah-olah dibawa ke sana.”
~0~
5 (5) Latihan
“Para bhikkhu, bhikkhu atau
bhikkhunī mana pun yang meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan
rendah mengundang lima kritik yang masuk akal dan landasan bagi celaan dalam
kehidupan ini. Apakah lima ini?
(1) ‘Engkau tidak memiliki keyakinan
dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.
(2) Engkau tidak memiliki rasa
malu dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.
(3) Engkau tidak memiliki rasa
takut dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.
(4) Engkau tidak memiliki
kegigihan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.
(5) Engkau tidak memiliki
kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.’
Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun
yang meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah mengundang lima kritik
yang masuk akal ini dan landasan bagi celaan dalam kehidupan ini.
“Para bhikkhu, bhikkhu atau
bhikkhunī mana pun yang menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan
murni, bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh
air mata, memperoleh lima dasar bagi pujian dalam kehidupan ini. Apakah
lima ini?
(1) ‘Engkau memiliki keyakinan
dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.
(2) Engkau memiliki rasa malu
dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.
(3) Engkau memiliki rasa takut
dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.
(4) Engkau memiliki kegigihan
dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.
(5) Engkau memiliki
kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.’ Bhikkhu atau
bhikkhunī mana pun yang menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni,
bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata,
[5] memperoleh lima dasar bagi pujian dalam kehidupan ini.”
~0~
6 (6) Memasuki
(1) “Para bhikkhu, tidak ada
memasuki apa yang tidak bermanfaat selama keyakinan secara kokoh menetap dalam
[melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. Tetapi ketika keyakinan telah lenyap
dan ketiadaan keyakinan mengobsesi seseorang, maka ada memasuki apa yang tidak
bermanfaat.
(2) “Tidak ada memasuki apa
yang tidak bermanfaat selama rasa malu secara kokoh menetap dalam [melatih]
kualitas-kualitas bermanfaat. Tetapi ketika rasa malu telah lenyap dan
ketiadaan rasa malu mengobsesi seseorang, maka ada memasuki apa yang tidak
bermanfaat.
(3) “Tidak ada memasuki apa
yang tidak bermanfaat selama rasa takut secara kokoh menetap dalam [melatih]
kualitas-kualitas bermanfaat. Tetapi ketika rasa takut telah lenyap dan
ketiadaan rasa takut mengobsesi seseorang, maka ada memasuki apa yang tidak
bermanfaat.
(4) “Para bhikkhu, tidak ada
memasuki apa yang tidak bermanfaat selama kegigihan secara kokoh menetap dalam [melatih]
kualitas-kualitas bermanfaat. Tetapi ketika kegigihan telah lenyap dan
kemalasan mengobsesi seseorang, maka ada memasuki apa yang tidak bermanfaat.
(5) “Para bhikkhu, tidak ada
memasuki apa yang tidak bermanfaat selama kebijaksanaan secara kokoh menetap
dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. Tetapi ketika kebijaksanaan telah
lenyap dan ketiadaan kebijaksanaan mengobsesi seseorang, maka ada memasuki apa
yang tidak bermanfaat.
~0~
7 (7) Kenikmatan Indria
“Para bhikkhu, sebagian
besar makhluk-makhluk terpikat oleh kenikmatan-kenikmatan indria. Ketika
seorang anggota keluarga meninggalkan arit dan tongkat pikulan dan meninggalkan
keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, maka ia
digambarkan sebagai seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan
keduniawian karena keyakinan.
Karena alasan apakah?
Kenikmatan-kenikmatan indria, apakah dari jenis ini atau itu, dapat diperoleh
seorang pemuda. Kenikmatan indria yang rendah, kenikmatan indria yang menengah,
dan kenikmatan indria yang tinggi semuanya dikenal hanya sebagai kenikmatan-kenikmatan
indria. [6]
“Misalkan seorang bayi kecil,
yang tidak tahu apa-apa, berbaring pada punggungnya, memasukkan sebatang kayu
atau kerikil ke dalam mulutnya karena kelengahan pengasuhnya. Pengasuhnya akan
segera merawatnya dan berusaha untuk mengeluarkannya. Jika ia tidak dapat
dengan cepat mengeluarkannya, maka ia akan merangkul kepala anak itu dengan
tangan kirinya dan, dengan menekukkan jari tangan kanannya, ia akan
mengeluarkannya bahkan jika ia harus melukainya hingga berdarah.
Karena alasan apakah? Anak itu
akan mengalami kesakitan – hal ini Aku tidak membantahnya – tetapi pengasuh
itu terpaksa melakukan itu demi kebaikan dan kesejahteraan anak itu, demi belas
kasihan padanya.
Akan tetapi, ketika anak itu telah tumbuh besar dan telah
memiliki akal yang cukup, pengasuh itu tidak akan prihatin padanya, dengan berpikir:
‘Anak itu sekarang dapat menjaga dirinya sendiri. Ia tidak akan menjadi
lengah.’
“Demikian pula, selama seorang
bhikkhu masih belum sempurna dalam keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas
bermanfaat, dalam rasa malu dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, dalam
rasa takut dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, dalam kegigihan dalam
[melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, dalam kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas
bermanfaat, maka Aku masih harus menjaganya.
Tetapi ketika bhikkhu itu telah
sempurna dalam keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat …
sempurna dalam kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, maka
Aku tidak prihatin padanya, dengan berpikir: ‘Bhikkhu itu sekarang dapat
menjaga dirinya sendiri. Ia tidak akan menjadi lengah.’”
[Kitab Komentar : “Ini dikatakan
sehubungan dengan seorang yang kokoh dalam buah memasuki-arus.”]
~0~
8 (8) Jatuh (1)
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati.
Apakah lima ini?
(1) Seorang bhikkhu yang hampa
dari keyakinan jatuh dan tidak kokoh [7] dalam Dhamma sejati.
(2) Seorang bhikkhu yang tidak
memiliki rasa malu …
(3) Seorang bhikkhu yang
memiliki moralitas yang sembrono …
(4) Seorang bhikkhu yang malas
…
(5) Seorang bhikkhu yang tidak
bijaksana jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati.
Dengan memiliki kelima kualitas
ini seorang bhikkhu jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati.
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu tidak jatuh melainkan kokoh dalam
Dhamma sejati. Apakah lima ini?
(1) Seorang bhikkhu yang
memiliki keyakinan tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati.
(2) Seorang bhikkhu yang memiliki
rasa malu …
(3) Seorang bhikkhu yang
memiliki rasa takut …
(4) Seorang bhikkhu yang
bersemangat …
(5) Seorang bhikkhu yang
bijaksana tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati.
Dengan memiliki kelima kualitas
ini seorang bhikkhu tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati.”
~0~
II. Kekuatan
11 (1) Belum Pernah Terdengar
Sebelumnya
“Para bhikkhu, Aku mengaku
telah mencapai penyempurnaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung sehubungan
dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya.6
[Kitab Komentar : Pubbāhaṃ bhikkhave ananussutesu dhammesu
abhiññāvosānapāramippatto paṭijānāmi. “Karena, melalui empat jalan, Aku telah
menyelesaikan enam belas tugas sehubungan dengan empat kebenaran [mulia], maka
Aku mengaku telah mencapai penyempurnaan dan kesempurnaan, setelah secara langsung
mengetahuinya; [yaitu,] Aku telah mencapai supremasi dalam menyempurnakan
tugas-tugasKu dengan menyelesaikan semua tugas.” Beliau menunjukkan moralitas
yang ia capai oleh diriNya sendiri di ambang pencerahan agung.]
“Ada lima kekuatan Tathāgata
ini yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau mengaku
menempati posisi sapi jantan pemimpin, mengaumkan auman singaNya di dalam
kumpulan-kumpulan, dan memutar roda brahma.
Apakah lima ini? Kekuatan
keyakinan, kekuatan rasa malu, kekuatan rasa takut, kekuatan kegigihan, dan
kekuatan kebijaksanaan. Ini adalah kelima kekuatan Tathāgata yang dimiliki
oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau mengaku menempati posisi
sapi jantan pemimpin, mengaumkan auman singaNya di dalam kumpulan-kumpulan, dan
memutar roda brahma.” [10]
~0~
12 (2) Puncak (1)
“Para bhikkhu, ada lima
kekuatan dari seorang yang masih berlatih ini. Apakah lima ini? Kekuatan
keyakinan, kekuatan rasa malu, kekuatan rasa takut, kekuatan kegigihan, dan
kekuatan kebijaksanaan. Ini adalah kelima kekuatan dari seorang yang masih berlatih
itu.
Di antara kelima kekuatan dari
seorang yang masih berlatih ini, kekuatan kebijaksanaan adalah yang
terunggul, kekuatan yang mempertahankan kekuatan-kekuatan lainnya pada posisinya,
kekuatan yang menyatukannya.
Seperti halnya puncak atap
adalah bagian utama dari sebuah rumah beratap lancip, bagian yang
mempertahankan semua bagian lainnya pada posisinya, yang menyatukannya,
demikian pula di antara kelima kekuatan dari seorang yang masih berlatih ini, kekuatan
kebijaksanaan adalah yang terunggul, kekuatan yang mempertahankan
kekuatan-kekuatan lainnya pada posisinya, kekuatan yang menyatukannya.
“Oleh karena itu, para bhikkhu,
kalian harus berlatih sebagai berikut:
(1) ‘Kami akan memiliki
kekuatan keyakinan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih;
(2) kekuatan rasa malu, satu kekuatan
dari seorang yang masih berlatih;
(3) kekuatan rasa takut, satu
kekuatan dari seorang yang masih berlatih;
(4) kekuatan kegigihan, satu
kekuatan dari seorang yang masih berlatih;
(5) kekuatan kebijaksanaan,
satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih.’
Demikianlah, para bhikkhu,
kalian harus berlatih.”
Sang Buddha pernah menyatakan, apa yang dipandang sebagai “kenikmatan” di mata
mereka yang masih dibelenggu oleh kekotoran batin, merupakan “dukkha” di mata seorang
Buddha. Sebaliknya, para dunguwan tidak menyadari siapa yang sebetulnya paling “merugi”.
Selama ini, para umat agama samawi tidak jarang disakiti, dilukai, dan
dirugikan oleh umat agama samawi lainnya alias oleh sesama kaum / umatnya
sendiri. Namun, sang pelaku kemudian dihapus dosa-dosanya lewat ritual “PENGHAPUSAN
DOSA”.
Alhasil, para umat agama samawi sia-sia saja jika
mengadu ataupun melaporkan kepada Tuhan ketika sang umat agama samawi menjadi
KORBAN oleh sesama kaumnya sendiri. adalah “merugi” bila memilih untuk menjadi
orang baik terlebih menjadi orang suci, itulah “jebakan mental” yang selalu
dapat kita jumpai pada jiwa-jiwa sakit para umat agama samawi—sehingga akalnya
ialah “akal sakit milik orang sakit”, tidak lagi mengenal apa itu “akal sehat”
maupun “pikiran jernih”. “Kitab DOSA” pun dipandang sebagai “Kitab SUCI” lalu
memakan dan termakan oleh dogma-dogma KORUP didalamnya, masih juga berdelusi
masuk surga dan sebagai “suciwan”?