KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Dalam Kasus Korupsi, Negara Selalu Kalah. Mengapa?

Anda Pilih EFEKTIF ataukah EFISIEN?

Ketika korupsi telah terjadi, maka sekalipun dilakukan langkah kuratif seperti penegakan hukum dan pelakunya dijerat vonis pemidanaan sebagai hukumannya, negara selalu kalah. Mengapa dan alasan apakah? Dalam kesempatan ini, kita akan mendalami problematika “momok” dibalik penegakan hukum. Sebagai contoh, terjadi korupsi berupa penambangan ilegal yang mengakibatkan kerusakan alam, dimana biaya untuk memulihkan lingkungan yang rusak akibat penambangan ilegal membutuhkan biaya satu miliar rupiah untuk satu hektarnya, sebagai contoh. Akan tetapi, para pelaku koruptif (para koruptor), menjual murah mineral-mineral tambang hasil ekstraktif dari lokasi tambang tersebut dengan harga yang hanya sekian ratus juta rupiah untuk satu hektarnya.

Akibatnya, saat para pelakunya disidangkan untuk dimintakan pertanggung-jawaban, mereka berkelit, menyatakan bahwa nilai kerugian “perekonomian negara” yang diakibatkan oleh para terdakwa tidaklah sebesar nilai yang di-klaim oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), akan tetapi hanya sebesar nilai nominal hasil kejahatan mereka (illicit enrichment), yakni hanya sebesar ratusan juta rupiah per hektarnya. Muaranya, sekalipun para pelakunya divonis “pidana uang pengganti”—butuh “political will” Lembaga Yudikatif selaku hakim yang menyidangkan dan memutuskan perkara agar juga menjatuhkan pidana tambahan berupa penghukuman pembayaran sejumlah “uang pengganti”—maka terjadi dilematika, memakai nilai nominal pihak JPU ataukah pihak terdakwa dimana hasil analisa dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) memang menunjukkan bahwa para terdakwa hanya menerima “illicit enrichtment” sejumlah ratusan juta rupiah per hektarnya?

Problematika kedua, dapat dipastikan para terdakwa memilih untuk “pasang badan”, dalam artian memilih untuk tetap ditahan dalam penjara untuk selama kurun waktu tertentu (kurungan sebagai pengganti hukuman “uang pengganti”) alih-alih secara sukarela membayar “uang penganti” atau bila sekalipun pihak kejaksaan selaku eksekutor mengeksekusi amar putusan perihal “uang pengganti” dimana harta kekayaan terpidana disita dan dijual dilelang untuk membayar “uang pengganti” bila sang terpidana tidak secara sukarela membayarnya, tetap saja harta kekayaan hasil “illicit enrichment” sang terpidana tidak sebesar kerugian “perekonomian negara” yang mereka timbulkan akibat bisnis ilegal-koruptif yang bersangkutan.

Alhasil, “best case scenario”-nya ialah sekalipun pihak terpidana kooperatif secara sukarela membayar seluruh “uang pengganti”, tetap saja harta-kekayaannya tidak mencukupi untuk menutupi kerugian negara maupun kerugiaan “perekonomian negara”, bahkan jauh dibawah itu. Kita belum berbicara “worst case scenario”-nya dimana pihak terpidana memilih untuk “pasang badan” dengan tidak secara sukarela dan tidak secara kooperatif patuh terhadap amar penghukuman atau vonis pemidanaan yang dijatuhkan terhadap mereka. Namun, dengan mudahnya Kepala Negara kita sesumbar ke hadapan publik : “Bagi para koruptor, kembalikan saja uang korupsinya diam-diam...”—bagaimana caranya memulihkan kerusakan lingkungan ke kondisi semula, semudah membalik telapak tangan? Itulah tipikal Kepala Negara yang tidak paham “manajemen tata negara” yang berkesinambungan.

Adapun “moral hazard” dibalik setiap kasus-kasus koruptif yang melibatkan kerusakan alam ialah, adanya nilai-nilai intrinsik yang hampir mustahil dinilai dengan nilai nominal mengingat sifatnya yang “tidak ternilai harganya”—sebagai contoh, keragaman flora dan fauna, sumbar mata air bersih, hingga kepunahan satwa atau tumbuhan endemik tertentu, kehidupan sumber pencaharian bagi warga setempat, terputusnya budaya masyarakat dari tanah adat leluhur mereka, dan lain sebagainya. Terdapat adagium Suku Indian, bahwa kita tidak mewariskan alam lingkungan hidup kepada generasi penerus, kita sedang sekadar meminjamnya dari mereka. Apakah badan sekaliber BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sekalipun, mampu secara akurat menentukan nilai kerugian berupa “kerusakan alam”? Ibarat tangan Anda patah akibat ditabrak pengemudi, lalu biaya pengobatan Anda ditanggung oleh sang pelaku, tetap saja Anda merugi karena luka dan derita Anda tidak dapat pulih sepenuhnya seperti sedia kala.

Mungkin hanya terjadi di Indonesia, “Menteri (urusan) Sepak-Bola” merangkap “Menteri BUMN”, dimana yang bersangkutan justru sibuk mengurusi organisasi basket dan sepakbola, ketimbang fokus sibuk FULL TIME untuk urusan yang paling esensial dari sebuah negeri serta terkait dengan pengelolaan uang negara, yakni Badan Usaha Milik Negara (Badan Usaha Milik Negara). Sebagaimana kita ketahui, selama ini pemasukan negara lebih mengandalkan sektor penarikan pajak penghasilan dari masyarakat maupun pelaku usaha, dimana pemasukan dari sektor BUMN masih minim sifatnya—bahkan konon disebutkan berbagai BUMN kita produktif mencetak berbagai kerugian, dimana bahkan ada beberapa diantaranya terjerat hutang dan pailit. Negeri sekaya Indonesia, yang sumber daya alamnya (SDA) melimpah, namun pemasukan dari sektor BUMN terkait SDA justru minim, ironis.

Disini, terdapat sang pejabat Menteri BUMN yang semestinya sadar bahwa jabatan tersebut seharusnya diampu oleh pihak yang lebih kompeten dan siap FULL TIME mengelola, mengawasi, mengoptimaliasi, mereformasi, serta meregulasi berbagai BUMN serta mencetak berbagai BUMN baru lainnya seperti untuk membuka lapangan pekerjaan baru, menghidupkan perekonomian daerah terpencil dan pelosok, penciptaan industri padat karya, hilirisasi, serta masuk sebagai pemain baru di pasar yang selama ini didominasi oleh pelaku usaha yang “itu-itu saja” semisal segmen “marketplace” maupun semacam “aplikasi pengemudi dan penumpang secara daring”. Alih-alih mengundurkan diri, sang pejabat “Menteri BUMN” kini “bersembunyi” ketika BUMN yang mengurusi urusan “hajat hidup orang banyak” semisal BBM (bahan bakar minyak) tertangkap aparatur penegak hukum karena kasus “Mega Korupsi”.

Ketika Kepala Pemerintahan justru menciptakan lembaga baru semacam “Super Holding BUMN”, secara sendirinya menegasikan peran dan fungsi Menteri BUMN—dimana “Super Holding” semacam itu tidak perlu ada bilamana sang Kepala Pemerintahan mengganti pejabat Menteri BUMN dengan pejabat baru yang kompeten serta siap-sedia FULL TIME menjadi seorang Menteri BUMN. “Super Holding” mana, menyerupai “Pusat Data Nasional”, yang telah ternyata juga dikelola oleh pejabat yang tidak kompeten, alhasil terjadi kebocoran data “semesta penduduk Indonesia”. Bukan hanya kabinet presiden kita yang “gemuk”, BUMN kita pun strukturnya kembali dibuat lebih “gemuk-berlemak”—alias tidak efisien—dengan hadirnya “Holding BUMN” lalu dibentuk pula “SUPRA Holding BUMN”.

Tampaknya Kepala Negara kita tidak memahami makna dibalik pepatah : jadikan efektif, bukan efisiensikan. Tidak ada efisiensi tanpa efektivitas. Dapat Anda bayangkan, apa yang akan terjadi ketika “Super Holding” semacam itu “bobol”, sementara aparatur penegak hukum tidak dapat mengawasi, mengaudit, ataupun melakukan “law enforcement” terhadap lembaga “SUPER BODY” dimaksud, maka sempurnalah apa kata Bang Napi : “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat jahat, namun juga karena ada KESEMPATAN.” Ironisnya, Bangsa Indonesia yang selama ini bergelar “Warga IQ 78” menganggap bahwa urusan sepak-bola jauh lebih penting daripada masalah korupsi—negara digerogoti “tikus-tikus”, tidak masalah, sepanjang kesebelasan Tim Nasional masuk ke dalam putaran berikutnya dari Piala Dunia dan menjadi juara Piala Asia. Kita tunggu tanggal mainnya, dimana untuk urusan populer semacam sepak-bola, sang “Menteri BUMN” akan kembali jumpa pers bak “pahlawan kesiangan”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.