Bagi Anda yang baru belajar suatu topik atau bidang tertentu, hati-hatilah terhadap “jebakan mental” bernama “instan” lewat artikel ringkas, video ringkas, audio ringkas, dan segala sesuatu yang sifatnya pendek alias singkat.
Jangan pernah melakukan “penghakiman” ataupun “operasi”, bila bekal Anda hanyalah berupa hal-hal yang bersifat “ringkas-singkat”—karena Anda bukanlah figur yang terampil.
Bila Anda ingin menjadi seorang pakar atau ahli pada
suatu bidang disiplin ilmu tertentu, maka Anda perlu menekuninya secara
telaten, sabar, dan mendalam. Mendalam, artinya bukanlah harus belajar dan
menggali ilmu lewat membaca, mendengar, ataupun melihat sesuatu topik yang
bersifat bertele-tele—materi pembelajaran tetap harus padat, “to the point”, serta mudah dipahami sesuai
level audiens (mulai dari basic, intermediate, dan advance).
Kita ambil contoh siaran televisi atau radio, yang kerap
menyajikan para tokoh-tokoh bergelar profesor ataupun akademisi. Namun cobalah
perhatikan, sekalipun sepanjang waktu untuk seumur hidup Anda menjadi penonton
atau pendengar siaran radio ataupun televisi tersebut, tetap saja Anda belum
terampil dalam bidang disiplin ilmu tertentu—Anda hanya mengetahui “kulit”-nya
semata.
Mungkin Anda akan menjawab, buat apa belajar begitu lama,
jika lewat bantuan aplikasi AI, kita sudah bisa membuat video ataupun tulisan
yang panjang serta berhasil menjaring para “subscriber”?
Cobalah renungkan hal berikut secara lebih jujur kepada
diri Anda sendiri : Bila seluruh penduduk dunia, dapat mengakses aplikasi Ai “canggih”
yang selama ini Anda gunakan, atau bahkan AI yang lebih “canggih” lagi yang belum
Anda miliki, maka jutaan bahkan ratusan juta penduduk negeri kita ini juga
dapat membuatnya sendiri.
Lantas, dimana letak keunikannya yang membuat orang lain
tertarik terhadap “karya” Anda tersebut? Jawabannya ialah karena itu BUKANLAH
“karya” Anda, Anda hanyalah pengguna aplikasi Ai, alias “konsumen” AI, bukan
produser AI. Tidak ada yang “UNIK” dari “karya” Anda tersebut.
Disitulah letak “mudarat”-nya AI. Ia memang menawarkan
kemudahan bagi Anda, namun juga memberikan kemudahan bagi berbagai pelaku usaha
dan masyarakat luas pada umumnya, sehingga perusahaan maupun masyarakat tidak
lagi merasa perlu untuk menyewa jasa Anda untuk menjadi seorang seniman ataupun
pekerja seni lainnya.
Semua penduduk bisa menjadi “pengguna jasa AI”—bukan lagi
sebagai “pengguna jasa Anda”. Anda, secara personal, tidak “eksis” bila selama
ini Anda mengandalkan AI.
“Jebakan mental” kedua, Anda akan menjadi cenderung untuk
bersikap serba “instan”. Mentalitas “instan”—bahaya dibalik AI yang jarang
disadari masyarakat terutama kaum muda kita—membuat kita pada gilirannya
menolak segala sesuatu yang sifatnya membutuhkan pendalaman terhadap materi
pembelajaran.
Faktanya, sampai kapanpun itu—kecuali Anda punya talenta
atau bakat warisan dari kehidupan lampau Anda yang masih terbawa hingga ke
kehidupan saat kini—untuk bisa menjadi seorang ahli, pakar, atau terampil dalam
arti yang sesungguhnya, Anda butuh hal yang MENDALAM sifatnya, barulah Anda
memiliki keunikan atau talenta yang bersifat personal.
Contoh, dokter A dan dokter B, sekalipun lulusan yang
sama pada fakultas spesialisasi tertentu, bisa jadi dokter A lebih dikenal
sebagai ahli hebat yang banyak dicari oleh pasien dari berbagai daerah, berkat
keterampilan yang dibangun lewat kesediaan mendalami pada bidang
kompetensinya—tentu ada pengorbanan waktu, tenaga, serta biaya dibalik kesemua
itu.
Untuk bisa menekuni hal yang MENDALAM, maka kita perlu
pengabdian waktu bahkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Ibarat menapak
atau meniti anak tangga, satu anak tangga demi satu anak tangga berikutnya
sebelum bisa sampai ke “lantai kedua”, “lantai ketiga”, dan seterusnya. Tidak
ada cara instan.
Sampai saat kini, secara pribadi saya belum pernah
menggunakan aplikasi AI, sama sekali. Mengapa? Karena saya takut, kreativitas
saya menjadi tumpul sampai kemudian menjadi “inkompeten” akibat lebih
bergantung kepada aplikasi AI.
Alasan kedua, bila semua orang di dunia ini menggunakan
aplikasi AI, maka tiada lagi yang “unik”, semua seragam hasil “output” aplikasi
AI jutaan kompetitor kita.
Bila aplikasi AI dijadikan sekadar sebagai “alat bantu”,
itu mungkin masih OKE. Namun bila dijadikan andalan, maka itu bisa jadi akan
menjadi bumerang bagi diri kita sendiri di masa mendatang—karena kita masuk
kedalam jebakan mental “buat apa belajar MENDALAM, bila bisa membuatnya secara
instan lewat AI?”
Kembali, semua adalah pilihan masing-masing. Sadari
bahaya dibalik setiap tawaran dan opsi yang dapat kita pilih dalam hidup.
Selalu ada “harga” yang harus kita bayarkan dibalik setiap pilihan tersebut.
Sebagai penutup, Rene Descartes pernah berkata : “Bila saya berpikir, maka saya ada.”
Sebaliknya, bila tidak ada AI, maka tidak ada Anda. Bukankah itu “mimpi buruk”?
©
Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan
menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.