Masyarakat Konsumen Dibiarkan Seorang Diri Menghadapi
Penjual Nakal, Modus Seller Penipu yang (justru) Dipelihara oleh Marketplace TOKOPEDIA
Modus Kejahatan di Marketplace TOKOPEDIA yang Banyak
Menumbalkan Konsumen sebagai Korban Penjual Nakal
Negara Tidak Pernah Benar-Benar Hadir di Tengah Masyarakat, Kecuali Saat Memungut Pajak serta Denda Tilang
Secara falsafah, pemerintah memungut pajak dari masyarakat, dan sebagai resiprosikalnya ialah negara melindungi masyarakatnya. Namun, lihatlah faktanya, masyarakat dibiarkan seorang diri mencari jalan keluar ketika, semisal, berhadapan dengan pedagang-pedagang nakal. Marketplace bernama Tokopedia, sudah kerap dan banyak memakan korban, penulis adalah salah satunya, mungkin juga Anda pernah mengalaminya, dimana seolah terkesan sistem yang sengaja dirancang dan dibangun Tokopedia adalah untuk memelihara pedagang-pedagang nakal. Sama sekali tidak ada prinsip meritokrasi berupa “reward” dan “punishment” di Tokopedia. Pengalaman pribadi penulis berikut ini ternyata telah banyak dialami korban-korban konsumen lainnya, dan akan terus berjatuhan korban-korban baru lainnya.
Sebagai konsumen, sebisa
mungkin menghindari berbelanja di Marketplace yang tidak menerapkan “sistem
merit” seperti Tokopedia. Sebaliknya, bila Anda adalah seorang “seller jahat”
maupun “seller nakal”, maka berjualanlah di Tokopedia karena Tokopedia
memelihara penjual-penjual jahat dan nakal. Mengapa? Karena adalah fakta bahwa
“penjual nakal” berjualan Tokopedia diberi ruang bebas untuk “memasang
perangkap” serta “iseng-iseng (berbuat jahat) berhadiah”. Berikut inilah modus
sang “pedagang nakal” di Tokopedia, akibat lemahnya pengawasan pemerintah
disamping tiadanya “political will”
penyelenggara negara maupun tiadanya itikad baik penyelenggara sistem Marketplace
Tokopedia itu sendiri.
Para “penjual nakal” memasang
iklan, foto produk, serta deskripsi yang mengecoh, menjebak, tidak sesuai
kenyataan, menutupi cacat tersembunyi, membuat “polesan” kata maupun tampilan,
dimana produk yang tiba pada konsumen sama sekali berbeda antara apa yang
ditawarkan dan apa yang dalam kenyataannya dikirimkan. Secara hukum, segala
akibat dibalik “cacat tersembunyi” maka ditanggung oleh pihak penjual. Atas
dasar falsafah apakah? Bila dari sejak awal kita (selaku konsumen)
mengetahui bahwa produk yang dijual oleh pihak penjual senyatanya mengandung
“cacat tersembunyi” atau bahkan “cacat vulgar”, maka kita tidak akan bersedia
untuk membelinya.
Bila pihak penjual beralasan
bahwa ia mendapat stok produk “cacat” dari distributor, maka itu bukanlah
urusan pembeli, namun “resiko usaha” pihak penjual. Pembeli telah
profesional dengan membayar dengan uang yang utuh, bukan uang yang “cacat”
karena semisal “separuh utuh”, dimana juga pihak penjual tidak akan mau
memusingkan bagaimana repotnya pihak pembeli mencari uang untuk membeli dan
membayar. Kecuali, sedari sejak awal pihak penjual secara transparan
menyampaikan “cacat” produknya dan memberi pemahaman secara terbuka bahwa karena
itulah harga yang ditawarkan menjadi sedemikian rendah dari harga pasaran
produk baru yang utuh. Bila ada kesepahaman, barulah dapat disebut kesepakatan
tanpa adanya “cacat kehendak”. Keduanya, antara penjual dan pembeli, sama-sama
ikhlas tanpa ada yang dirugikan, diperas, maupun diperdaya.
Ironisnya, pemerintah merasa seolah
sudah “bekerja” dan sudah selesai melaksanakan perannya sebagai regulator
dengan membuat segudang peraturan terkait “perlindungan konsumen”. Kita sebut
saja semisal:
- Ketentuan Pasal 9 ayat (1)
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa pelaku usaha
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa
secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a. Barang tersebut telah
memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu,
gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
b. Barang tersebut dalam
keadaan baik dan/atau baru.
c. Barang dan/atau jasa
tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan
tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu.
d. Barang dan/atau jasa
tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau
afiliasi.
e. Barang dan/atau jasa
tersebut tersedia.
f. Barang tersebut tidak
mengandung cacat tersembunyi.
g. Barang tersebut merupakan
kelengkapan dari barang tertentu.
h. Barang tersebut berasal dari
daerah tertentu.
i. Secara langsung atau tidak
langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
j. Menggunakan kata-kata
yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau
efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
k. Menawarkan sesuatu yang
mengandung janji yang belum pasti.
- Pasal 1321 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata : "Tiada
sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan."
- Pasal 1504 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata : “Si
penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang
dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud, atau
yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga, seandainya si pembeli
mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak
akan membelinya selain dengan harga yang kurang.”
- Pasal 1506 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata : “Ia
diwajibkan menanggung terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia sendiri
tidak mengetahui adanya cacat itu, kecuali jika ia, dalam hal yang demikian,
telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apa
pun.”
Dalam cara apakah, Marketplace Tokopedia
memelihara “seller-seller nakal”? Sekalipun terjadi komplain dari konsumen,
konsumen kecewa karena jelas-jelas dan nyata-nyata ditipu, rugi ongkos kirim,
rugi waktu, rugi tenaga, rugi pikiran, namun konsumen yang mengajukan retur
tidak diberi hak untuk membuat “ulasan” (semacam “testimoni”) pada “etalase”
produk sang “penjual nakal” sebagai pengingat bagi calon konsumen lain agar
berhati-hati dan tidak turut terkena tipu. Sebaliknya, tidak jarang penulis
alami, Tokopedia justru mempromosikan produk-produk “seller jahat” dalam
halaman beranda website ataupun aplikasinya, akibat atau sebagai cerminan
tiadanya sistem “reward” dan “punishment”.
Konsumen yang tertipu, dipaksa
(dan diperas) oleh Tokopedia untuk tetap membeli dan membayar harga produk,
barulah diberi hak untuk membuat “ulasan” berupa bintang paling kecil disertai
deskripsi pengalaman buruk membeli dari “seller penipu” bersangkutan. Bila konsumen memilih retur
barang, maka konsumen “rugi separuh” karena rugi ongkos, waktu, serta tenaga. Ketika
konsumen memilih tetap membayar demi membuat “ulasan negatif” terhadap produk,
maka konsumen yang “altruis” tersebut rugi sepenuhnya demi menolong calon
konsumen lain agar tidak menjadi korban—yang semestinya menjadi tanggung jawab
moral Tokopedia selaku marketplace
pemilik platform, bukan menumbalkan dana pribadi konsumen yang telah tertipu.
Bayangkan, bila produk yang
mengandung unsur penipuan seharga jutaan rupiah, Anda selaku konsumen harus
membayar seharga itu hanya demi bisa memberi “ulasan” pembeli. Oleh karena itu,
“seller-seller nakal” yang berkeliaran di platform Tokopedia, rata-rata justru
memiliki “bintang” hampir sempurna (empat atau lima bintang). Sebaliknya, ada
kalanya harga produk tidak jauh berbeda dengan harga produk barang, sehingga
konsumen yang telah tertipu menjadi “serba salah” dan “serba rugi”, diretur
maka rugi ongkos kirim, dan bila tetap dibayar maka yang diuntungkan ialah sang
“seller nakal” dan lagi-lagi Tokopedia. Sehingga, Anda tidak perlu merasa
heran, mengapa Anda bisa tertipu justru oleh seller yang “bintang” memiliki
peringkat tinggi hampir sempurna—karena memang konsumen-konsumen yang telah
tertipu selama ini tidak diberi kesempatan membuat “ulasan” di etalase produk
sang “seller penipu” ataupun memberikan feedback jumlah “bintang” bagi reputasi
sang penjual.
Bila konsumen mengajukan
komplain, meminta retur barang dan refund
harga pembelian, maka konsumen dipersulit oleh sistem “moderasi’ Tokopedia
maupun Customer Service yang ditengarai berupa “tenaga kerja BOT” (adalah dusta
Tokopedia menyerap “tenaga kerja manusia”, yang terjadi ialah “padat modal”
alih-alih “padat karya”). Setelah berdebat sengit dengan pihak penjual yang
ngotot dirinya “jujur”, berkelit sedemikian rupa sehingga menyukarkan konsumen
yang sekadar menuntut haknya, pihak admin Tokopedia selaku moderator kerap
membuat penilaian yang “asbun” (asal bunyi). Alhasil konsumen dibuat sibuk berhari-hari
berdebat dengan sang “penjual penipu”, barulah komplain diterima dan disetujui
oleh pihak Tokopedia. Namun, apakah artinya konsumen telah “menang” dan
“dimenangkan”? Tidak ada istilah “konsumen menang” dalam kamus Tokopedia—itulah
fakta pahit yang harus konsumen hadapi sebagai konsekuensi membeli di
Marketplace Tokopedia.
Konsumen harus tetap direpotkan
membayar pulsa internet, biaya bensin menuju gerai ekspedisi, membayar ongkos
kirim, barulah dana pembelian dikembalikan minus ongkos kirim dan ongkos-ongkos
lainnya. Tidak ada “reward” dan “punishment” ala sistem egalitarian
diberlakukan terhadap seller-seller yang
berjualan di Tokopedia. Sekalipun moderator dari admin Tokopedia menyatakan
penjual benar telah berjualan secara tidak jujur karena pembeli berhasil
membuktikan komplainnya, tetap saja pihak “seller nakal” tidak diberikan
“penalti” ataupun “punishment”
apapun. Terbukti, ongkos kirim retur barang / produk pun tetap ditanggung
oleh pembeli. Alhasil, tiada “ejek jera” bagi “seller-seller nakal” yang
berkeliaran dan bercokol ataupun berliang dan nyaman berkubang dalam
Marketplace Tokopedia, sekalipun telah tebukti menipu konsumennya.
Moral hazard pun terbangun oleh sistem Tokopedia, dimana berjualan secara “nakal” dan
“jahat” ibarat “iseng-iseng berhadiah”—mengingat memang tiada sistem “reward” maupun “punishment” oleh Tokopedia. Pihak admin Tokopedia maupun sistemnya
yang “tidak padat karya” (konsumen sendiri yang harus “klik ini” dan “klik itu”
alias “self service untuk mencari
solusi”) sama sekali tidak solutif, selalu menguntungkan pihak “pedagang
nakal”. Bagaimana dengan “Chat BOT” Tokopedia, mengingat konsumen tidak dapat
menghubungi “CS manusia” di Tokopedia? Tanya A, atau komplain B, dijawab
Z—alias sama sekali “tidak nyambung”.
Semisal, Anda selaku konsumen
justru komplain lanjutannya (akibat solusi yang tidak solutif dari pihak Tokopedia)
ialah berupa kerugian ongkos kirim—Anda yang ditipu dan terkena tipu “seller
nakal”, namun juga Anda yang dirugikan ongkos kirim—namun Anda tidak akan mampu
menyampaikan aspirasi ataupun substansi komplain tersebut kepada pihak Tokopedia.
Anda dibenturkan dengan sistem yang terbuat dari sistem itu sendiri, tanpa
adanya “human touch”. Anda dipaksa
untuk “klik ini” dan “klik itu” namun dibuat berputar-putar seorang diri tanpa
jalan keluar dan tanpa menemukan “manusia” di Tokopedia. Itulah unsur “cost” terbesar bila Anda berbelanja di Tokopedia,
waktu yang terbuang percuma tidak sebanding dengan efisiensi harga produk yang
ditawarkan Tokopedia.
Yang terlebih ganjil, dari
sejak awal membeli Anda diberi opsi “sukar”, karena menyerupai “beli kucing
dalam karung”, berupa “biaya tambahan asuransi”. Kita tidak pernah tahu, apakah
pihak “seller” adalah jujur atau tidak, akan tetap jujur atau tidaknya. Bila
ternyata produk yang dikirim dan tiba adalah “hasil penipuan pihak penjual”,
dan Anda mengajukan komplain, “memenangkan” tuntutan untuk retur dan refund
dana pembelian, maka tanpa pembayaran “biaya tambahan asuransi” maka ongkos
kirim ditanggung oleh pihak Anda selaku pembeli. Sebaliknya, bila Anda di awal
membayar “biaya tambahan asuransi”, maka ongkos kirim retur barang ditanggung
oleh pihak asuransi—lagi-lagi, terhadap kejahatan dan niat jahat ataupun
kelalaian pihak “penjual nakal”, sama sekali tidak terdapat sistem “reward” maupun “punishment”, pembeli (korban penipuan seller di Tokopedia) yang selalu dirugikan karena harus menanggung
ongkos krim dimana “biaya asuransi merupakan ongkos kirim retur barang terselubung”
itu sendiri.
Telah ternyata, setelah penulis
mencoba menelusuri pengalaman buruk serupa di media sosial, telah banyak
konsumen Tokopedia yang mengalami pengalaman serupa, ditipu “seller nakal”
namun ongkos kirim retur barang justru ditanggung pihak konsumen. Terdapat
komentar netizen di sebuah media sosial, terkait sistem Tokopedia yang tidak
etis serta tidak tertib terhadap prinsip bangsa beradab, dengan kutipan sebagai
berikut:
“I just had this happen to
me. I don’t understand why I didn’t receive a refund on the shipping cost when the seller was the one that made the ‘mistake’
and sent me the wrong item. In most other countries I’ve lived in, the seller
is liable for the shipping cost if they made the error.”
Sejak berbagai pengalaman buruk
menjadi konsumen produk-produk yang ditawarkan Marketplace Tokopedia, sekalipun
acapkali harga yang ditawarkan tergolong lebih murah daripada pasar / swalayan
/ toko konvensional, saat kini penulis mulai membatasi pembeli produk-produk
dari Marketplace bernama Tokopedia (dan mungkin mulai terpikirkan untuk melirik
platform marketplace lainnya), serta
lebih memilih membeli produk-produk dengan kembali ke cara klasik, offline. Berpikir untuk kesekian kalinya
terlebih dahulu bila hendak memesan ke “toko online” yang tidak menghargai konsumennya sendiri dan memelihara
“penjual-penjual nakal”. Ibarat “membeli kucing dalam karung”, awalnya hendak
berhemat berbelanja di marketplace
bernama Tokopedia, namun pada ujung muaranya justru “nombok” ongkos kirim, rugi
waktu, rugi pikiran, rugi sebagainya.
Jika kita evaluasi lebih
mendalam, sudah sejak lama sistem yang dibangun oleh Tokopedia memang terkesan
melindungi dan memelihara “seller-seller nakal” yang bergentayangan dan
berkeliaran di Tokopedia menebarkan jaring-jaring produknya untuk menipu dan
memangsa konsumen. Untuk itulah, penulis memprediksi bahwa Tokopedia cepat atau
lambat akan tumbang seiring banyaknya konsumen-konsumen Tokopedia yang
bertumbangan dimangsa “seller-seller nakal” yang memang dipelihara oleh sistem Tokopedia,
marketplace yang bergeming dengan
kesombongannya tanpa mau memahami psikologi, perasaan, maupun trauma yang
dialami oleh konsumennya. Roda terus berputar, hanya perihal waktu. Yang jelas,
kekuatan konsumen (customers power)
dapat berdaya dengan cara melakukan “boikot”.
Betul bahwa membeli di toko
konvensional pun tidak menjamin tidak akan ditipu oleh pihak penjual, namun
modus penipuan di “toko online” potensi penipuannya terlampau vulgar. Sebagai
contoh, pada toko konvensional, kita dapat melihat dan mengamati produknya
sebelum dibeli. Namun, pembelian lewat “toko online”, kita dapat dikirimkan
produk yang sama sekali berbeda dengan iklan, bahkan produk yang rusak sama
sekali sekalipun kemasan “packing”
luarnya utuh. Negara harus hadir melindungi masyarakat konsumen, atas dasar
falsafah apakah? Kita tahu, bahwa Bangsa Indonesia merupakan bangsa “agamais”
yang menganut dogma “penghapusan dosa”, karena itulah orang jahat lebih galak
daripada korbannya.
Sampai-sampai, korban yang
harus mengemis-ngemis pertanggung-jawaban sang penjahat, tidak terkecuali
konsumen yang tidak akan mampu meminta pertanggung-jawaban “penjual jahat” bisa
sang “penjual jahat” pasang badan atau bahkan “maling teriak maling”. Sudah sejak
lama, penulis mencoba berbagai cara memberikan feedback kepada pihak Tokopedia untuk memperbaiki sistemnya
tersebut, namun telah ternyata tidak ada perbaikan hingga saat kini—alias
memang tiadanya “political will”
pihak Tokopedia itu sendiri, dengan tetap mempertahankan kebijakan “memelihara seller-seller
nakal” (marketplace arogan yang
angkuh dengan kesombongan finansialnya).
Berikut inilah, identitas salah
satu “seller penipu” di Marketplace Tokopedia, mengirim produk yang cacat rusak
parah namun bersikukuh telah “berdagang secara jujur” serta “maling teriak
maling”, agar masyarakat berhati-hati dan tidak lagi ada korban berjatuhan:
Nama Toko : alba29
Alamat : Jl Jati 1 No. 36 Rt. 005 Rw. 012
Kel. Cengkareng Timur Kec. Cengkareng,
Cengkareng, Jakarta Barat, DKI Jakarta - 11730
Nomor Handphone : 087888360807.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.