Faktor Penyebab Tingginya Kriminalitas dan Kejahatan di Indonesia

ARTIKEL HUKUM

Penipuan merupakan Delik Formil

Mencoba Menipu Sekalipun Calon Korban Tidak Tertipu, Tetap Dipidana sebagai Percobaan Penipuan

Terdapat sebuah isu hukum klasik, yang tampaknya kini mulai terang-benderang salah satu faktor penyebab mengapa begitu tingginya tingkat kriminalitas di tengah-tengah masyarakat di Indonesia. Yakni, disamping karena faktor kerap absennya (abainya) aparatur penegak hukum yang diberi mandat serta kewenangan monopolistik untuk menegakkan hukum pidana serta memberantas pelaku kejahatan demi melindungi dan mengayomi masyarakat serta publik, dimana fakta realitanya ialah “negara senantiasa tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat” sehingga secara langsung maupun tidak langsung menyuburkan sekaligus memelihara praktik kalangan premanisme yang berkeliaran tanpa penindakan berarti oleh negara, terdapat sebuah faktor utama lainnya yang baru penulis pahami ketika pandemik akibat wabah Virus Corona merebak menjadi “global pandemic” sekaligus menjadi momok di Indonesia yang tidak pernah berhasil mengendalikan penyebaran wabah.

Ketika puluhan ribu warga (sesama warga di Indonesia) tewas akibat terjangkit dan tertular wabah, tenaga kesehatan bertumbangan, jutaan penduduk di Indonesia telah pernah terpapar dengan sedikit atau banyaknya derita serta kerugian, kesehatan serta ekonomi bertumbangan satu per satu, tetap saja sebagian besar anggota masyarakat kita di negeri serba “agamais” ini bersikukuh menyatakan dan meyakini bahwa wabah tidaklah ada, menolak ditertibkan untuk patuh pada “protokol kesehatan”, secara arogan serta gegabah, sembrono, angkuh, sombong, masih juga sengaja membawa resiko penularan terhadap orang lain yang bisa jadi berdampak fatal karena mengalami gejala berat (atau si tertular membawa pulang wabah sebelum kemudian menulari anggota keluarganya di rumah) saat terdampak wabah dimana para “manusia arogan” tersebut menjadi agen penularannya dan tanpa rasa bersalah mencelakai banyak jiwa di tengah masyarakat. Jiwa nasionalisme Bangsa Indonesia, karenanya, patut kita ragukan.

Singkatnya, terhadap berita dan fakta empirik yang saintifik demikian gencar sosialisasinya oleh kalangan medik, akademisi, maupun pemerintah yang mereka pilih sendiri saat “pesta demokrasi”, tetap saja sebagian diantara masyarakat kita di Indonesia meyakini seyakin-yakinnya bahwa wabah tidak eksis dan tiada ada pernah ada pandemik, sebelum kemudian menghasut warga lain dan mempropagandakan sikap-sikap yang kontra-produktif serta kontra-narasi terhadap program-program pemerintah sehingga keadaan pandemik kian keruh tidak terkendali. Yang oleh para pengamat disebutkan, “Masyarakat kita di Indonesia, belum percaya jika belum merasakan sendiri sebagai korban dan bergejala hebat hingga meninggal dunia ketika terpapar dan tertular oleh wabah ini atau ketika ia menularkannya kepada orang-orang terdekatnya dan berakibat fatal.”

Sudah tidak terhitung lagi jumlahnya vonis pemidanaan bagi pelaku pemalsuan surat maupun penipuan, serta tidak terhitung lagi jumlahnya narapidana kasus pemalsuan maupun penipuan yang dijebloskan ke dalam penjara, namun salah satu “maksiat” yang paling primitif dan klasik, seperti pemalsuan surat dalam rangka penipuan, masih juga dapat kita jumpai dewasa ini, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana register Nomor 1244 K/Pid/2016 tanggal 08 Desember 2016, dimana Terdakwa didakwakan karena telah mencoba melakukan perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 53 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo. Pasal 368 ayat (1) KUHP.

Terdakwa merupakan seorang warga yang tidak mempunyai penghasilan tetap, kemudian pada awal bulan Maret 2016 Terdakwa membaca surat kabar di Banyumas yang memberitakan mengenai dugaan penyimpangan anggaran pada Pemda Kabupaten Banyumas, sehingga Terdakwa timbul niat buruknya (modus) membuat surat palsu tertanggal 12 Februari 2016 yang seolah-olah Terdakwa sebagai anggota BIN (Badan Intelijen Negara) yang diperintahkan oleh Wakil Ketua BIN Republik Indonesia untuk memonitor situasi di daerah Republik Indonesia.

Pada tanggal 15 Maret 2016, Terdakwa mendatangi Kantor Pemda Kabupaten Banyumas dengan tujuan menemui Sekretaris Daerah Kabupaten Banyumas menanyakan permasalahan dugaan penyimpangan anggaran pada Pemkab Kabupaten Banyumas yang sedang dilaporkan, karena Sekda sedang sibuk, kemudian Terdakwa ditemui oleh Kabag Humas Kabupaten Banyumas di ruang kerja Kabag, dan menanyakan identitas Terdakwa. Terdakwa menyebutkan namanya, lalu pihak Kabag kembali bertanya “Dari mana?“ Terdakwa menjawab ”Purbalingga.” Terdakwa lalu mengaku-ngaku dari BIN dimana Terdakwa menunjukkan surat tugas dari BIN (yang Terdakwa buat sendiri, alias palsu) kepada sang Kabag.

Pihak Kabag kembali bertanya, “Maksud tujuan saudara datang ke sini, ada apa?” Terdakwa menjawab ”Saya sudah kenal lama dengan Pak Sekda, beliau orangnya baik, dan saya tidak mau namanya tercoreng, KPK mau turun kalau permasalahan yang ada sekarang tidak diselesaikan terkait berita adanya dugaan SPPD Perjalanan Dinas diduga fiktif yang sekarang akan ditangani oleh pihak Kejaksaan Banyumas dan saat ini sudah muncul di media cetak koran harian lokal Banyumas, agar kasus ini dipending.”

Lalu sang Kabag bertanya lagi, “Caranya bagaimana?” Dijawab, “Dengan menggunakan finansial.” Kabag bertanya lebih lanjut, ”Berapa?” Dijawab oleh Terdakwa, “Antara Rp20.000.000,00 sampai dengan Rp25.000.000,00.” Kabag bertanya, “Pakai transfer atau kas?” dijawab “Kas, siang ini ada uangnya masalah selesai.” Kemudian Labag keluar ruangan, dan Terdakwa ditinggal sendiri.

Saat Kabag keluar dari ruangan kerjanya, untuk menghubungi Kasi Intel Kejaksaan Negeri Purwokerto untuk mengkroscek status Terdakwa, maka datanglah Kasi Intel Kejari Purwokerto dan Kasat Intel Polres Banyumas. Telah ternyata, Terdakwa bukan anggota BIN (alias gadungan), selanjutnya Terdakwa digelandang ke Polres Banyumas untuk diproses sebagaimana mestinya.

Dalam Dakwaan Alternatif Kedua, Terdakwa didakwa karena telah mencoba melakukan perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP jo. Pasal 378 KUHP.

Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 83/Pid.B/2016/PN.PWT tanggal 28 Juni 2016, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa R.S. ANGGRITA bin RADEN SINGAGRIP telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Percobaan Melakukan Penipuan”;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun;

3. Menetapkan lamanya masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan supaya Terdakwa tetap berada dalam tahanan.”

Dalam tingkat banding, yang menjadi putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 206/Pid/2016/PT.SMG. tanggal 16 Agustus 2016, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

1. Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum;

2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Purwokerto tanggal 28 Juni 2016 Nomor 83/Pid.B/2016/PN.Pwt. yang dimintakan banding tersebut;

3. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan.”

Pihak Kejaksaan mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa putusan Pengadilan Negeri Purwokerto tidak mempertimbangkan perbuatan Terdakwa yang sering melakukan penipuan ke berbagai kantor pemerintahan Kabupaten Banyumas dengan mengaku sebagai anggota Badan Intelijen Negara, dimana perbuatan Terdakwa jelas-jelas telah meresahkan di setiap kantor pemerintahan Kabupaten Banyumas, sehingga putusan Pengadilan Negeri Purwokerto dinilai belum memenuhi rasa keadilan di masyarakat disamping tidak menimbulkan efek jerah bagi Terdakwa.

Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi Pemohon Kasasi / Jaksa Penuntut Umum tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

1. Bahwa alasan kasasi Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum dalam mengadili Terdakwa dalam perkara a quo. Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Semarang yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Purwokerto yang menyatakan Terdakwa R.S. ANGGRITA bin RADEN SINGAGRIP telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “percobaan melakukan penipuan”, dan karena itu Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun berdasarkan pertimbangan hukum yang benar. Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana percobaan penipuan berdasarkan fakta-fakta bahwa Terdakwa R.S ANGGRITA dengan membawa surat perintah “BIN”, seolah-olah surat tersebut adalah resmi dan seolah-olah ia adalah anggota BIN (Badan Intelijen Negara) berupa ya memanfaatkan kasus hukum yang terjadi di Pemkab Banyumas yang sedang ditangani Kejaksaan yang berkaitan dengan perjalanan fiktif, Terdakwa menawarkan diri membantu agar proses hukum tersebut tidak berlanjut asalkan disediakan uang untuk itu, namun maksud Terdakwa tidak kesampaian karena kemudian diketahui Terdakwa adalah anggota BIN gadungan;

2. Bahwa alasan kasasi Penuntut Umum yang memohon Majelis Hakim agar menjatuhkan pidana yang berat kepada Terdakwa berupa pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan tidak dapat dibenarkan karena penjatuhan berat ringan pidana merupakan wewenang Judex Facti, bukan wewenang Judex Juris, bukan alasan formal dan objek kasasi kecuali jika Judex Facti kurang memiliki pertimbangan hukum dalam penjatuhan pidana terhadap Terdakwa, melanggar prinsip-prinsip dan aturan pemidanaan atau melampaui kewenangannya dalam pemidanaan Terdakwa. Judex Facti telah mempertimbangkan pemidanaan Terdakwa secara tepat dan benar dengan mempertimbangkan hal-hal memberatkan dan hal-hal meringankan secara proporsional sebagaimana ditentukan Pasal 197 KUHAP;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi /Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Purwokerto tersebut.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.