SENI HIDUP Berani untuk MEMINTA Apa yang Menjadi HAK Kita, serta Berani untuk MENOLAK Apa yang Bukan Menjadi KEWAJIBAN Kita

ARTIKEL HUKUM

KURIKULUM UNIVERSITAS KEHIDUPAN, Edisi Tips dan Trik Sederhana SENI HIDUP Mengubah Petaka Menjadi Berkah

Selamat datang kembali pada kurikulum “Universitas Kehidupan” yang dipersiapkan bagi para “Sarjana Kehidupan”, dibawakan secara khusus oleh Konsultan Shietra bagi para “Pembelajar Kehidupan”. Topik bahasan spesifik pada kesempatan hari ini, ialah mengupas dua falsafah “Seni Kehidupan”, yakni : Pertama, berani-lah untuk memperjuangkan serta menuntut apa yang memang menjadi HAK kita, atau dengan kata lainnya ialah berani untuk meminta pertanggung-jawaban atas apa yang menjadi KEWAJIBAN orang lain terhadap kita. Kedua, berani untuk berkata “TIDAK” terhadap apa yang bukan kewajiban kita.

Kita disamping mengenal istilah “hard skill” seperti keterampilan dan pengetahuan praktikal, dikenal pula peristilahan semacam “soft skill”—yakni semacam seni kehidupan yang sifatnya tidak mekanistis, namun membutuhkan daya observasi dan analisa pertimbangan dalam alam pikiran disertai “ketajaman” yang diasah lewat pengalaman interpersonal, baik “pengalaman manis” maupun “pengalaman pahit” di masa lampau, dimana juga kita tidak perlu mengalami seluruh pengalaman tersebut secara langsung, hal mana sejatinya dapat kita pelajari lewat belajar dari penuturan kisah pengalaman orang lain yang sudah ada sebelumnya.

Fokus mata pelajaran “Kurikulum Kehidupan” kali ini, ialah mengupas “soft skill” bernama “mengubah petaka menjadi berkah”, dengan ilustrasi contoh konkret pengalaman pribadi penulis yang selama ini berprofesi sebagai seorang Konsultan Hukum di Indonesia dalam menghadapi berbagai sikap yang kurang “fairness” dari sebagian kalangan klien pengguna jasa, dengan harapan para pembaca cukup mempelajari pengalaman-pengalaman penulis berikut di bawah ini tanpa perlu membuang banyak sumber daya waktu dan kesempatan dengan “trial and errors” mandiri lewat kejadian yang dialami sendiri secara langsung. Itulah arti pentingnya pendidikan, “transfer of knowledge and experiences”.

Dahulu sekali, lama sebelum ini, ketika penulis baru memulai bersolo karir sebagai “self-entrepreneur” penyedia jasa konsultasi seputar hukum di Indonesia, masih “hijau pengalaman” sebagai Konsultan Hukum independen yang masih harus “trial and errors” (meraba-raba dalam kegelapan) dalam pendekatan terhadap klien maupun untuk mampu mengenali jenis-jenis perilaku klien yang tidak selalu ideal adanya, penulis pada kala itu demikian bersikap “takut-takut” untuk menagih pelunasan tarif konsultasi sekalipun telah menuntaskan sesi konsultasi secara tatap-muka dengan klien pengguna jasa, dan baru akan menagihkannya beberapa hari setelah itu dengan “berbaik sangka” (positive thinking) bahwa sang klien akan memiliki “beban moril” untuk menepati janji akan membayar, meski pengalaman buruk telah sering berkata sebaliknya, dimana klien ternyata berulang-kali ingkar janji untuk membayar dan melunasi tarif jasa yang menjadi HAK-HAK penulis selaku penyedia jasa.

Berulang-kali terjadi dan berulang-kali terulang, klien demi klien ingkar janji untuk melunasi seluruh tarif jasa penulis meski penulis telah melaksanakan kewajiban profesi penulis sesuai kesepakatan dan memberikan jasa secara tuntas (bahkan tidak jarang melampaui kewajiban). Seolah tidak belajar dari pengalaman buruk yang sudah kerap terjadi, hal demikian terus berlangsung dalam tahun-tahun pertama penulis mulai merintis karir pribadi sebagai seorang Konsultan Hukum.

Ternyata, dikemudian hari barulah penulis mulai menyadari, bahwa masalah terbesar pada diri penulis selaku Konsultan Hukum “pemula” pada kala itu dibidang penyedia jasa, ialah sikap yang “takut-takut” untuk menagih apa yang menjadi HAK penulis atau setidaknya bersikap “takut-takut” menuntut apa yang menjadi KEWAJIBAN pengguna jasa, yakni membayar dan melunasi tarif layanan jasa sebagaimana telah disepakati di muka—suatu ketakutan yang sangat tidak logis serta irasional. Yang semestinya takut “membawa mati hutang” ialah mereka yang memiliki hutang, terlebih bila kita menghitung “bunga atas hutang”. Sebaliknya, pemilik piutang tetap dapat menagihnya di “alam baka”, disertai “bunga”, tentunya.

Kini, sebagai seorang Konsultan Hukum profesional yang membawakan sesi konsultasi secara profesional, maka penulis pun tidak pernah lagi segan ataupun sungkan untuk menuntut apa yang memang sudah menjadi HAK dari penulis. Profesional mana juga yang bersikap “takut-takut” untuk menagih apa yang memang sudah menjadi HAK-HAK-nya? Profesional artinya bukan hanya menjadi profesional terhadap orang lain selaku pengguna jasa, namun juga profesional terhadap diri kita pribadi selaku penyedia jasa. Penulis telah belajar untuk berani meminta serta menuntut apa yang memang sudah menjadi HAK dari profesi penulis serta HAK atas jasa penulis berupa kompensasi sejumlah tarif layanan sebagaimana telah disepakati sebelumnya dengan pihak klien pengguna jasa. Menagih tanpa hak, barulah melanggar moralitas.

Sehingga, ketika sesi konsultasi telah usai dan tuntas, maka pada tempat itu dan pada saat itu juga sudah harus dilunasi tatkala yang berhutang masih berada tepat di hadapan kita. Mengapa juga harus malu dan takut, terlebih sungkan, untuk memperjuangkan apa yang memang sudah merupakan HAK-HAK diri dan profesi kita? sungguh sebuah ketakutan yang irasional, dimana yang seharusnya merasa takut ialah mereka yang menunggak dan ingkar janji, karena tercela secara moralitas, juga itu sama artinya berhutang serta wanprestasi alias ingkar janji secara hukum.

Kalimat berikut di bawah inilah yang akan penulis lontarkan dengan penuh ketegasan saat menutup sesi konsultasi, tanpa menyiratkan nada keraguan terlebih sungkan sedikit pun untuk bersikap profesional pula terhadap diri sendiri dengan bersikap berani menuntut apa yang memang sudah menjadi HAK-HAK diri kita, terlepas dari siapapun yang hadir mendampingi pihak klien pada saat itu, namun semata berfokus pada apa yang memang telah menjadi HAK-HAK diri kita, daripada mengadalkan kesadaran pribadi klien maupun untuk menunggu sang klien tidak lagi diketahui entah berada di mana sehingga sukar ditagih realisasi janjinya dikemudian hari: (ingatlah selalu, perihal uang untuk pembayaran dan pelunasan, kalangan klien berlatar-belakang Warga Negara Indonesia sangat sukar ditagih realisasi janji yang telah disepakati, sehingga merangkaplah sebagai seorang “debt collector” yang profesional dan dapat diandalkan bagi profesi diri kita sendiri)

Apa yang menjadi kewajiban saya sudah saya tuntaskan. Kini, saya meminta realisasi HAK-HAK saya terkait pelunasan tarif jasa, wajib dilunasi saat kini juga, di sini, dan sekarang juga. Boleh dilunasi secara tunai maupun dengan ‘mobile banking’. Apapun alasannya, saya tidak ingin menagih di kemudian hari, karena Anda selaku pengguna jasa sudah mengetahui dan sepakat tarif jasa yang harus Anda bayarkan serta lunasi sehingga Anda sudah seharusnya siap untuk melunasi saat sesi konsultasi usai, yakni sekarang ini. Bersikaplah profesional atas HAK dan KEWAJIBAN masing-masing.

Keterampilan di atas, tidak akan terasah dan terjadi secara sendirinya bila kita tidak melatih diri sendiri dan berlatih, mencoba, menyadari arti pentingnya, dan membiasakan diri kita sendiri. Penulis bahkan sering melatih kalimat di atas, lengkap dengan intonasi suara yang tegas tanpa menyisakan keraguan ataupun rasa sungkan sedikit pun, dengan menyadari bahwa apakah yang perlu kita takutkan ataupun merasa malu untuk menuntut apa yang memangsudah menjadi HAK-HAK kita, terlebih segala kewajiban telah kita penuhi dan tuntaskan? Disebut serakah, jika bukan hak-hak kita namun masih juga mengambil dan memintanya, atau ketika melampaui apa yang menjadi batasan hak-hak kita. Yang serakah, justru ialah mereka yang tidak menunaikan KEWAJIBANNYA namun masih juga menikmati HAK, sekalipun telah sepakat sebelumnya.

Atau, bila tetap merasa sukar untuk menguatkan mental diri, maka lakukan “re-framing” diri atau “setting” ulang persepsi di kepala kita, untuk melihatnya sebagai keberanian untuk menuntut realisasi apa yang menjadi KEWAJIBAN-KEWAJIBAN para pengguna jasa kita. Menuntut KEWAJIBAN pengguna jasa, bilamana pengguna jasa tetap tidak memenuhi segala KEWAJIBAN-nya, atau bahkan ingkar janji, maka orang bersangkutan itulah yang patut disebut sebagai manusia serakah dan tercela, bukan pihak yang menuntut HAK. Latih-lah kalimat di atas secara lisan dengan mengucapkannya lewat mulut disertai eksperimen berbagai mode nada suara serta intonasi—tidak perlu khawatir disebut sudah “gila” karena berbicara sendiri, karena orang-orang jenius memiliki kebiasaan “unik” seperti kerap berbicara seorang diri dengan dirinya sendiri, yang mana sejatinya sedang berupaya menata ulang (“defragmen”) struktur berpikirnya sekaligus berlatih keterampilan kosakata linguistik dan komunikasi lisan.

Bukanlah satu atau dua klien yang bersikap “curang” atau mencoba “mencurangi” terhadap konsultan hukumnya di Tanah Air, tidak terkecuali sebagaimana kerap penulis alami dan hadapi tipe-tipe klien semacam itu. Kita, selaku penyedia jasa yang profesional, harus bersikap proporsional dan juga profesional terhadap profesi dan diri kita sendiri, dalam artian “berikan reward kepada yang patut diberi reward” dan “berikan punishment kepada yang patut diberi punishment”—BUKAN SEBALIKNYA, sehingga terkesan tidak adil serta mengkhianati diri kita sendiri akibat memiliki cara berpikir yang irasional, terlebih tidak mampu bersikap adil terhadap diri kita sendiri. JADILAH LAWYER BAGI DIRI KITA SENDIRI! Percaya atau tidak, Lawyer Terbaik ialah DIRI KITA SENDIRI, sehingga sudahlah cukup bila kita didampingi oleh diri kita sendiri dengan bekal kesadaran atas HAK dan KEWAJIBAN masing-masing.

Sebagai contoh, suatu waktu ketika penulis memulai sesi konsultasi menghadap satu orang yang menjadi klien dimana yang bersangkutan pada ruang pertemuan didampingi tiga orang asing sebagai audiens yang turut menghadiri pada ruang meeting, telah penulis sampaikan agar mencatat apa yang menurut klien perlu untuk dicatat dari ulasan yang penulis suguhkan. Secara tidak adil, sang klien pada akhir sesi konsultasi ketika penulis hendak menutup dan mengakhiri sebelum mengundurkan diri untuk meninggalkan ruang acara, sang klien meminta penulis untuk memberikan catatan (notulen) terkait apa yang telah penulis bicarakan selama sesi konsultasi, dengan alasan dirinya tidak mencatat, bahkan secara tidak etis dan melanggar privasi berulang-kali memaksa catatan pada buku catatan pribadi milik penulis untuk mereka fotokopi.

Saat itu, penulis dengan merasa sungkan menolak, bahkan karena berulang-kali didesak oleh sang klien dan rekan-rekannya, pada akhirnya penulis bersikap mengalah-pasrah seolah tidak berdaya, dengan bersedia “merugi sendiri” dengan menjanjikan akan memberikan “Legal Opinion” secara tertulis meski selama ini penulis menagih tarif jasa pembuatan “Legal Opinion” tertulis dengan skema “hourly based fee” lama waktu pengerjaan dan pengetikan. Orang berusaha, bukan untuk merugi, namun dalam rangka mencari nafkah.

Dengan kata lain, penulis merugi sendiri, akibat sikap sungkan dan “takut-takut”. Jauh setelah momen itulah, penulis merenungkan pengalaman ketidak-adilan demikian, dan baru mulai menyadari, makna kata “profesional” artinya ialah tidak bersedia ketika profesi diri kita dieksploitasi, atau bahkan “dibodohi”, dimanipulasi, hingga diperdaya oleh klien sendiri. Profesional artinya proporsional, seimbang antara hak dan kewajiban diri sendiri serta hak dan kewajiban pengguna jasa. Jika saja dapat kembali mengulang waktu, maka berikut di bawah inilah yang akan penulis nyatakan dengan nada suara serta intonasi yang penuh ketegasan tanpa rasa sungkan ataupun ragu sedikit pun, dimana kini telah penulis latih keterampilan oral demikian secara tajam dan terasah baik:

“Saya berhak MENOLAK APA YANG BUKAN KEWAJIBAN SAYA, dan dengan ini saya memilih untuk MENOLAK permintaan Anda, karena itu bukanlah kewajiban saya. Dari awal saya telah sampaikan, silahkan catat yang perlu bagi Anda dan yang penting untuk dicatat menurut Anda. Di ruang meeting ini saya dikerubungi empat orang, namun kesemuanya hanya sibuk memborbardir diri saya dengan berbagai pertanyaan bertubi-tubi Anda-Anda sekalian. Mengapa tidak ada satu pun dari Anda yang berbagi tugas untuk mencatat atau sebagai notulen? Jika sudah seperti itu, lantas menjadi beban moril atau kesalahan siapa? Saat sekarang ini saya dibayar hanya sebatas jasa sesi konsultasi LISAN, bukan pembuatan ‘Legal Opinion’ yang tertulis. ATAU, jika Anda menghendaki dalam bentuk tertulis pula, maka Anda dapat menggunakan opsi layanan jasa yang juga dapat saya tawarkan berupa ‘Legal Opinion’ dengan basis tarif pengerjaan berdasarkan ‘hourly based’. Bagaimana, Anda bersedia dengan tawaran saya?”

Kita bisa juga menghadapi “orang rusak” dengan memakai teknik yang bernama “teknik KASET RUSAK”, dengan dialog sebagai berikut sebagai alternatif skenario yang sama seperti kasus di atas, namun dengan sedikit ragam pendekatan yang berbeda:

Saya minta diberikan yang tertulis juga.

Tidak bisa, tarif saya dibayar untuk konsultasi LISAN, bukan tertulis. Mengapa Anda tadi tidak mencatat?

Saya minta diberikan yang tertulisnya juga.

TIDAK, tarif saya dibayar untuk konsultasi lisan, bukan tertulis. Mengapa Anda tadi TIDAK mencatat? Jadi, salah siapa?

Saya minta diberikan yang tertulisnya juga.

TIDAK, tarif saya dibayar untuk konsultasi lisan, bukan tertulis. Mengapa Anda tadi TIDAK mencatat? Atau, jika Anda mau, bisa membayar layanan tambahan berupa tarif pembuatan ‘legal opinion’ secara tertulis berdasarkan ‘hourly based fee’. Bagaimana?”, dan begitu seterusnya, sampai yang bersangkutan merasakan dahsyatnya teknik “KASET RUSAK”, agar dirinya menyadari pula bahwa dirinya tidak berbeda dengan “KASET RUSAK” dan tidak punya HAK untuk menuntut apa yang bukan KEWAJIBAN penyedia jasa. Jadilah “KASET RUSAK” ketika menghadapi seorang “KASET RUSAK”.

Sama halnya ketika penulis selaku penyedia dituntut untuk tepat waktu hadir pada tempat pertemuaan sesi konsultasi, namun tidak jarang pihak klien sekalipun sesi konsultasi diadakan pada kantor pihak klien pengguna jasa, dan penulis telah hadir tepat waktu, ternyata sang klien ingkar janji kesepatan pukul mulai sesi konsultasi yang semestinya sudah dimulai saat penulis hadir dan tiba tepat waktu, dengan alasan masih belum selesai “meeting”. Dahulu kala, penulis selalu mengalah atas kondisi yang tidak menguntungkan demikian. Namun kini, penulis akan menitipkan pesan pada pihak resepsionis sebagai berikut:

“Tolong sampaikan pesan pada Beliau, sesi konsultasi tetap akan dihitung dimulai dari pukul saat kini, yakni pukul yang telah disepakati oleh Beliau dan saya sebagai waktu mulai sesi konsultasi. Kini, saya telah tiba, apapun alasannya, sesi konsultasi akan tetap saya hitung saat kini juga, karena saya juga menghargai waktu milik saya sendiri. Semakin Beliau terlambat memulai sesi konsultasi, sama artinya semakin berkurang kuota waktu Beliau atas waktu sesi konsultasi yang tersisa, karena kesepakatan waktu telah disepakati sehingga tidak dapat diubah secara sepihak.” Singkat kata, makna implisitnya agar masing-masing pihak saling bersikap PROFESIONAL. Bila hendak diperlakukan secara profesional, maka bersikaplah secara profesional, maka barulah patut disikapi secara profesional.

Pengalaman buruk menghadapi klien-klien “nakal”, perlu dijadikan pelajaran, untuk tidak lagi terjatuh pada “lubang yang sama”, dimana bahkan seekor keledai pun bisa jadi akan menertawakan kebodohan diri kita bila sampai mengulangi pengalaman buruk yang sama seolah tidak belajar dari berbagai pengalaman buruk yang kita alami. Seperti yang pernah diutarakan oleh Albert Einstein, “Adalah gila, mengharap hasil yang berbeda namun dengan tetap menggunakan cara-cara lama yang sama seperti sebelumnya.

Kerap terjadinya klien tidak melunasi hutang tarif konsultasi yang menjadi HAK penulis selaku penyedia jasa alias KEWAJIBAN klien selaku pengguna jasa, memaksa penulis membuat SOP (prosedur standar) bagi diri dan bagi profesi penulis pribadi. Teknik “seolah-olah kita terpaksa tunduk dan patuh pada sebuah SOP” (sekalipun SOP tersebut adalah buatan kita sendiri secara pribadi) merupakan alibi “perlindungan diri” (proteksi) bagi profesi kita yang sangat ampuh.

Semisal, calon klien bersikukuh meminta agar melunasi / membayar nanti saja sesudah sesi konsultasi diakhiri atau saat esok-esok harinya, maka akan penulis tanggapi secara sederhana saja : “Sudah jadi SOP saya untuk meminta klien terlebih dahulu deposit tarif konsultasi secara PENUH di muka.” Bila klien hendak menegosiasi “Syarat dan Ketentuan” layanan jasa yang telah kita tentukan, dimana telah kita rancang agar profesi kita tidak “dibodohi” oleh klien yang “curang”, maka memakai alibi “Sudah menjadi SOP saya untuk...”, selalu menjadi cara “menangkis” yang cukup atau bahkan selalu jitu. Ditambah dengan “racikan” teknik “KASET RUSAK”, jadilah “SOP KARET RUSAK” yang sangat efektif menghadapi calon klien berlatar-belakang mana pun yang hendak membuat “aturan main”-nya sendiri—sekalipun kita ketahui, konsumen atau pihak pengguna jasa yang tunduk pada “Term and Conditions” penyedia jasa, tidak pernah sebaliknya.

Seseorang penyedia jasa, tidak akan pernah mendapat “respek” dari pengguna jasa, ketika sang penyedia jasa bersikap “lunak”, “lembek”, mudah diatur, mudah didikte, mudah di-“setir”, mudah diperdaya, mudah dieksploitasi, mudah dimanipulasi, hingga mudah “di-bodohi” dan “gampangan” atau “mudahan”. Sebaliknya, kita selaku penyedia jasa baru akan mendapat penghormatan dan penghargaan ketika kita mampu menjunjung tinggi harkat dan martabat diri kita sendiri, tidak terkecuali HAK dan KEWAJIBAN masing-masing, sehingga dikenal tidak kompromistis perihal profesionalisme yang karenanya para pengguna jasa tidak memiliki pilihan lain selain juga sama-sama bersikap profesional yang penuh profesional antar para pihak—saling bersikap profesional, perlu dimulai dari diri kita sendiri terlebih dahulu selaku penyedia jasa, barulah asas “bertimbal-balik” (prinsip resiprositas / resiprokal) akan tercipta dan terbentuk atmosfernya.

Perhatikan kembali contoh kalimat di atas, terutama pada kalimat : “Atau, jika Anda menghendaki dalam bentuk tertulis pula, maka Anda dapat menggunakan opsi layanan jasa yang saya tawarkan berupa ‘Legal Opinion’ dengan basis tarif pengerjaan berdasarkan ‘hourly based’. Bagaimana, Anda bersedia dengan tawaran saya?”, itu adalah contoh aplikasi “soft skill” yang penulis kembangkan dan latih sebagai sarana untuk “survive” ketika harus menghadapi dan berhadapan dengan klien yang masuk dalam golongan “serakah” alias “hendak mengambil keuntungan diatas kerugian penyedia jasa”, yakni semata membalik keadaan “petaka menjadi berkah”, semudah menantang menantang sang klien untuk berani membayar lebih atas permintaannya yang berlebihan. Teknik “mengubah petaka menjadi berkah”, atau “mengubah klien yang hendak bersikap curang menjadi menguntungkan bagi kepentignan profesi kita”.

Kata kunci komunikasi yang efektif, ialah “KETEGASAN”, “KETEGASAN”, serta “KETEGASAN”. Tegas dari awal, tegas di pertengahan, serta tegas pada menjelang akhir dan pada bagian akhir penutup. Semakin kita tegas, semakin kita dihormati dan mendapat penghargaan sebagai seorang profesional—itulah uniknya seni “soft skill” selaku seorang penyedia jasa yang profesional, serupa paradoks, meski pada mulanya berasumsi bahwa bersikap “tegas” tidak akan membawa keuntungan bagi diri kita karena tidak disukai lawan bicara terlebih di telinga para calon klien pengguna jasa.

Yang dimaksud dengan “ketegasan” disini, bukan bermakna bersuara secara “menggelegar”, namun intonasi serta nada suara yang tidak gentar, kokoh, tidak tergoyahkan, tiada keraguan setitik pun, serta penuh kepastian, disamping konsisten sejak awal hingga akhir. Nada suara lembut dan pelan bagaikan sedang “bersiul” sekalipun, bisa merupakan komunikasi yang tegas, sepanjang tidak menyiratkan bahasa nonverbal berupa keraguan ataupun sikap sungkan dan “takut-takut” terlebih kompromistis dan “mudah diatur” perihal hal-hal yang prinsipil sifatnya.

Sehingga, tidak memberi harapan “semu” kepada lawan bicaca kita untuk memborbardir terlebih repetisi dengan maksud tujuan untuk menyetir arah keputusan dan pendirian diri kita, terlebih untuk mendikte “aturan main” serta merekayasa proporsional “hak dan kewajiban” masing-masing. Ketika lawan bicara kita telah mendapat isyarat nonverbal bahwasannya kita adalah profesi yang profesional karena penuh ketegasan, mereka pun tidak akan lagi merasa terpanggil untuk “mencoba-coba” untuk maju mengintervensi terlampau jauh terhadap profesi kita—karena tidak akan ada gunanya mendikte ataupun mencoba menyimpangi seseorang yang penuh ke-“tegas”-an.

Terlebih tidak jarang terjadi, meski sesi konsultasi telah usai sesuai waktunya, dan telah pula penulis nyatakan usai sekalipun belum seluruh ulasan selesai pada kesempatan sesi konsultasi tersebut, masih saja klien bersikap curang dengan kembali memborbardir dengan segudang pertanyaan demi pertanyaan. Pada mulanya ketika masih sangat “hijau” dibidang layanan jasa konseling seputar hukum, penulis merasa daya tawar seorang penyedia jasa amatlah sangat lemah di hadapan klien pengguna jasa.

Bila ditolak segala kemauannya, meski sejatinya sang klien telah mencurangi dan merugikan hak-hak profesi kita, maka dapat berakibat kontraproduktif terhadap profesi kita dikemudian hari—namun penulis pada saat itu tidak menyadari bahaya dibalik sikap kompromistis demikian, karena akan tercipta labelisasi (labeling atau stigma) bahwa penulis adalah penyedia jasa yang tidak profesional, semata karena “gampangan”, “mudah diatur”, “mudahan”, “gampang didikte”, “tidak bisa perhitungan” (karenanya bersikap penuh “perhitungan” menjadi penting ketika berprofesi), “bisa disetir”, “penuh kompromistis”, “tidak perhitungan”, dan “tidak pandai menjunjung hak dan kewajiban”, “toleran meski dirugikan”, hingga “bersedia dilecehkan hak-hak profesinya”.

Pada akhirnya adaptasi pendekatan dalam rangka “survival of the fittest” sehingga tidak selalu harus menghadapi kerugian sekalipun ber-profesi tujuannya ialah untuk mencetak profit-laba alih-alih merugi kerugian, perlu penulis kedepankan, sampai pada akhirnya mengembangkan “soft skill” terhadap kejadian-kejadian serupa dikemudian hari, dimana akan dengan santai saja penulis berikan tanggapan bernada tenang namun profesional dan mengandung ke-“tegas”-an makna implisitnya ke benak sang klien yang mencoba bersikap “curang”:

“Sayang sekali, waktunya barusan telah saya nyatakan usai, sekarang sudah tepat pukul ... , sehingga sesi konsultasi otomatis telah berakhir sesuai kesepakatan, meski tentunya kita ingin bersama-sama meneruskan. Anda bisa bertanya lebih lanjut saat sesi konsultasi berikutnya. ATAU, bisa kita lanjutkan sesi konsultasi saat kini juga, dengan memasuki hitungan sesi baru sehingga mohon pembayaran untuk penambahan sesi dilakukan di muka, baik tunai maupun via transfer dana secara digital.”

Sebagai kesimpulan, kita bukan hanya perlu berlatih serta memulai belajar untuk berani, tidak segan, serta tidak sungkan untuk menagih serta meminta bahkan menuntut apa yang memang sudah menjadi HAK-HAK kita—dimana disaat bersamaan, sejatinya kita sedang menagih serta menuntut realisasi KEWAJIBAN-KEWAJIBAN orang lain terhadap kita. Menagih hutang, tidak pernah menjadi cela dari segi moralitas, namun yang terjadi justru sebaliknya, yang berhutanglah yang semestinya tercela serta patut dicela bila tidak bersedia melunasi atau bahkan ingkar janji.

Kedua, kita selalu perlu belajar dan memulai mencoba untuk selalu mengingat, bahwa kita memiliki hak untuk MENOLAK terhadap apa yang bukan kewajiban kita, terlebih ketika dibebankan kewajiban secara tidak adil serta tidak proporsional atau tidak seimbang. Bila Sang Buddha pernah bersabda : “Perbuatan baik artinya, tidak menyakiti orang lain juga tidak menyakiti diri sendiri”, maka definisi usaha yang baik sebagai pelaku usaha yang profesional dan baik ialah : Tidak merugikan orang lain serta TIDAK PULA MERUGIKAN DIRI SENDIRI.

Dengan memegang teguh kedua keterampilan berpikir demikian, dan mengasahnya lewat latihan serta “trial and failure”, maka kita akan mampu membalikkan keadaan semacam “dari petaka menjadi berkah”—terutama ketika menghadapi klien-klien yang sukar dihadapi dan memiliki watak yang sedikit banyak bersikap “curang” dimana gemar mencurangi hak-hak penyedia jasa secara tidak proporsional terhadap terhadap kewajiban-kewajiban hukum tidak terkecuali kewajiban morilnya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.