Kepailitan yang Menyandera Debitor untuk Seumur Hidup, Kepailitan yang Bagaikan Vonis Mati secara Ekonomi

LEGAL OPINION
Actio Pauliana yang justru Mengorbankan dan Menumbalkan Kepentingan Kreditor Lain, serta ORANG YANG PERNAH PAILIT (JAUH SEBELUMNYA) DILARANG NEGARA UNTUK MENIKAH
Question: Setelah dinyatakan atau diputus pailit, apakah orang yang pernah pailit artinya tidak boleh lagi bangkit mencari nafkah dan mengumpulkan harta kekayaan, karena dapat ditagih lagi oleh kurator meski kapailitan sudah lama kejadiannya (bertahun-tahun yang lampau)? Jika begitu sama artinya kepailitan menjadi vonis seumur hidup, karena ketika orang yang pernah jatuh pailit kemudian kembali berusaha dan sukses dengan karirnya, sewaktu-waktu kurator dapat kembali tampil dan menagih, padahal kepailitan sudah lama berlalu, apa ini bukan “moral hazard”?
Brief Answer: JIka ada masa dimana kepailitan secara resmi dinyatakan “dibuka”, maka ada masa pula ketika kepailitan secara resmi dan secara hukum dinyatakan “ditutup”, SEKALIPUN PIUTANG PARA KREDITOR BELUM TERLUNASI SELURUHNYA. Adalah melanggar asas kepailitan, bila proses kepailitan menjadi berlarut-larut tanpa kepastian dibuka dan ditutup. Kepailitan tidak berlangsung untuk seumur hidup debitor Termohon Pailit, namun hanya sebatas masa kerja pemberesan boedel pailit oleh kurator, dimana hak dan kewenangan kurator berakhir ketika kurator bersangkutan menyerahkan laporan pertanggung-jawaban pemberesan kepada Pengadilan Niaga.
Perlu diingat pula, kewenangan kurator tidak permenan dalam arti tanpa batas waktu, karena jika tetap diartikan demikian, maka sama artinya pihak kurator bersangkutan melanggar ketentuan organisasi profesi kurator yang melarang kurator untuk disaat bersamaan menangani banyak kasus kepailitan. Logika hukumnya sangat sederhana, yakni sesederhana pihak mantan Debitor Pailit membantah dengan menyatakan bahwa sang Kurator untuk seumur hidup profesinya hanya boleh pernah menjadi Kurator Kepailitan untuk beberapa perkara kepailitan saja, karena sifatnya seumur hidup Debitor Pailit. Karenanya, asas “kepastian hukum” tidak pernah dapat berdiri berdampingan dengan suatu “standar ganda”.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah kasus dimana terjadi penyimpangan yang sangat kentara nyatanya terhadap aturan normatif hukum kepailitan, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa gugatan Actio Pauliana register Nomor 461 K/Pdt.Sus-Pailt/2019 tanggal 3 Juli 2019, perkara antara:
- Kurator SARDJANA ORBA MANULLANG, S.H., M.H., M.Kn., sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; terhadap
1. ROSALYA SRI WULANDARI; 2. PT BANK PERKREDITAN RAKYAT MADANI SEJAHTERA ABADI, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Tergugat; Dan
1. ALOYSIUS YOSSI ARIWIBOWO, S.T., M.H., M.Kn., Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); 2. BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN SLEMAN, selaku Para Turut Termohon Kasasi, semula sebagai Para Turut Tergugat.
Bermula ketika Debitor Pailit pernah jatuh dalam keadaan pailit, lalu lama berselang setelah terjadinya kepailitan, sang mantan Terpailit ini kemudian menikah dan kembali memiliki aset harta-kekayaan yang menjadi “harta bersama” antara sang suami-istri. Sekalipun telah lama terjadinya kepailitan, pihak Kurator masih juga mengejar segala aset milik sang mantan Terpailit, yang kini dijadikan agunan pelunasan hutang oleh kreditor lainnya dan telah diikat sempurna dengan Hak Tanggungan—sehingga seolah sifat aktif pihak Kurator justru bertolak-belakang terhadap kepentingan kreditor dari pihak Debitor Terpailit.
Kurator mencoba “memburu” harta gono-gini yang kini dimiliki bersama istri sang mantan Terpailit, sekalipun fakta hukumnya ialah kepailitan terjadi jauh sebelum terjadinya perkawinan, dimana harta gono-gini dimiliki jauh setelah kepailitan terjadi. Terhadap “harta bersama”, maka harus ada persetujuan suami-istri terkait “harta bersama”, semisal untuk menjual atau mengagunkannya. Sama halnya, pihak ketiga yang hendak menggugat terkait “harta bersama”, wajib turut menggugat debitor berserta pasangan istri / suaminya. Tidak terkecuali, untuk dipailitkannya debitor, wajib pula mempailitkan pihak pasangan (suami / istri) dari sang debitor—karena terkait “harta bersama”.
Terhadap gugatan “actio pauliana” yang diajukan oleh sang Kurator (diajukan pada tahun 2018, sementara kepailitan terjadi jauh sebelumnya yakni pada tahun 2011), Pengadilan Niaga Semarang kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 13/Pdt.Sus-Actio Pauliana/2018/PN.Smg. juncto Nomor 07/Pdt.Sus-Pailit/2011/PN.Smg., tanggal 12 November 2018, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Putusan Pengadilan Niaga telah taat pada koridor hukum yang berlaku, dimana “actio pauliana” dalam Kepailitan berbeda konsep dibandingkan dengan upaya hukum “actio pauliana” gugatan perdata biasa diluar konteks Kepailitan. Adapun normatif hukum “actio pauliana” dalam Kepailitan, diatur dalam:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 2004
TENTANG
KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
Pasal 41
(1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang.
Pasal 42
Apabila perbuatan hukum yang merugikan Kreditor dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan Debitor, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2), dalam hal perbuatan tersebut:
a. merupakan perjanjian dimana kewajiban Debitor jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat;
b. merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan/atau belum atau tidak dapat ditagih;
c. dilakukan oleh Debitor perorangan, dengan atau untuk kepentingan:
1) suami atau istrinya, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga;
2) suatu badan hukum dimana Debitor atau pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1) adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.
d. dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum, dengan atau untuk kepentingan:
1) anggota direksi atau pengurus dari Debitor, suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota direksi atau pengurus tersebut;
2) perorangan, baik sendiri atau bersama-sama dengan suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada Debitor lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut;
3) perorangan yang suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada Debitor lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.
e. dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau untuk kepentingan badan hukum lainnya, apabila:
1) perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua badan usaha tersebut adalah orang yang sama;
2) suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan anggota direksi atau pengurus Debitor yang juga merupakan anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
3) perorangan anggota direksi atau pengurus, atau anggota badan pengawas pada Debitor, atau suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, baik sendiri atau bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut, atau sebaliknya;
4) Debitor adalah anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
5) badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama baik bersama, atau tidak dengan suami atau istrinya, dan atau para anak angkatnya dan keluarganya sampai derajat ketiga ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kedua badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50% (lima puluh persen) dari modal yang disetor.
f. dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap badan hukum lain dalam satu grup dimana Debitor adalah anggotanya;
g. ketentuan dalam huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f berlaku mutatis mutandis dalam hal dilakukan oleh Debitor dengan atau untuk kepentingan:
1) anggota pengurus dari suatu badan hukum, suami atau istri, anak angkat atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota pengurus tersebut;
2) perorangan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam pengendalian badan hukum tersebut.
Pasal 43
Hibah yang dilakukan Debitor dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan, apabila Kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan Debitor mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.
Pasal 44
Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah tersebut merugikan Kreditor, apabila hibah tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
Pasal 45
Pembayaran suatu utang yang sudah dapat ditagih hanya dapat dibatalkan apabila dibuktikan bahwa penerima pembayaran mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit Debitor sudah didaftarkan, atau dalam hal pembayaran tersebut merupakan akibat dari persekongkolan antara Debitor dan Kreditor dengan maksud menguntungkan Kreditor tersebut melebihi Kreditor lainnya.
Pasal-pasal di atas telah demikian eksplisit mengatur, “actio pauliana” dalam konteks Kepailitan hanya mungkin terjadi untuk perbuatan hukum sang debitor sebelum Kepailitan efektif dijatuhkan kepada yang bersangkutan, bukan setelah kepailitan terjadi dan berakhir—sehingga “berlaku surut”-nya pembatalan ialah dihitung mundur maksimum 1 (satu) tahun sejak penetapan Kepailitan terjadi, bukan justru setelah “post factum” Kepailitan, sehingga berbeda secara kontras dengan “actio pauliana” dalam konteks gugatan perdata biasa yang dapat ditarik-mundur tanpa limitasi batas waktu.
Pihak Kurator mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan yang akan menjadi “blunder” dikemudian hari karena merusak sistem “kepastian hukum” dalam konteks hukum harta kekayaan, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan alasan kasasi tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti memori kasasi tanggal 21 November 2018 dan kontra memori kasasi masing-masing tanggal 6 Desember 2018 dan 11 Desember 2018, dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang telah salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Tergugat I adalah istri sah dari Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko yang beralamat sama dengan Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko yaitu di Bromonilan RT.008 / RW.003 Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta;
- Bahwa Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko sebelum menikah dengan Tergugat I telah diputus Pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 07/Pailit/2011/PN.Niaga.Smg., tertanggal 12 Oktober 2011 juncto Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 807 K/Pdt.Sus/2011, tertanggal 24 Januari 2012 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 208 PK/Pdt.Sus/2012, tanggal 28 Januari2 013;
- Bahwa Tergugat I selama dalam pernikahan dengan Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko pada tanggal 5 Desember 2014 membeli sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 13795/Purwomartani, seluas 3.266 m², yang kemudian oleh Tergugat I dijadikan jaminan utangnya kepada Tergugat II berdasarkan Perjanjian Kredit Nomor 83, tertanggal 10 November 2017 dengan nilai kredit sebesar Rp1.200.000.000,00; Perjanjian Kredit tersebut diberikan persetujuan Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko selaku suami sah Tergugat I;
[Note SHIETRA & PARTNERS : Simak kronologi perjalanan waktu, dimana Kepailitan terjadi jauh sebelumnya, yakni pada tahun 2011.]
- Bahwa Perjanjian Pranikah antara Tergugat I dengan suaminya Sdr. Dayu Handoko tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Nikah, sehingga hanya berlaku kepada mereka berdua yang menandatangani perjanjian itu serta tidak berlaku mengikat kepada pihak ketiga, dengan demikian mengakibatkan harta yang diperoleh selama perkawinan mereka menjadi harta bersama, sehingga menjadi harta boedel pailit bagi Debitur Sdr. Dayu Handoko;
[Note SHIETRA & PARTNERS : Seolah para Hakim Agung tidak memahami hukum perkawinan, fakta hukum utamanya ialah perkawinan terjadi / berlangsung jauh setelah Kepailitan mempelai pria terjadi, sehingga harta bersama BUKANLAH boedel pailit.]
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi SARDJANA ORBA MANULLANG, S.H., M.H., M.Kn., tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 13/Pdt.Sus- Actio Pauliana/2018//PN.Smg., juncto Nomor 07/Pdt.Sus-Pailit/2011/PN.Smg., tanggal 12 November 2018, selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan amar sebagaimana akan disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi SARDJANA ORBA MANULLANG, S.H., M.H., M.Kn., tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 13/Pdt.Sus-Actio Pauliana/2018//PN.Smg., juncto Nomor 07/Pdt.Sus-Pailit/2011/PN,Smg., tanggal 12 November 2018;
MENGADILI SENDIRI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan sebidang tanah dan bangunan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 13795/Purwomartani, seluas 3.266 m², dengan diuraikan didalam Surat Ukur tanggal 15 Juni 2014, Nomor 00566/Purwomartani/2014, yang diatasnamakan Tergugat I adalah harta Pailit yang harus dimasukkan kedalam daftar harta (boedel) Pailit Nomor 07/Pailit/2011/PN.Niaga.Smg;
3. Menyatakan Perjanjian Kredit Nomor 83, tertanggal 10 November 2017 dan Akta Pemberian Hak Tanggungan Nomor 481/2017, tertanggal 16 November 2017, yang dibuat di hadapan Turut Tergugat I Aloysius Yossi Aribowo, S.T., S.H., M.Kn., selaku Notaris dan PPAT di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, antara Tergugat I dengan Tergugat II atas persetujuan Debitur Pailit Dayu Handoko, batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum;
4. Menyatakan Sertifikat Hak Tanggungan Nomor 00170/2018 yang diterbitkan Turut Tergugat II tidak mempunyai kekuatan hukum;
5. Menghukum Turut Tergugat II untuk mencoret catatan Hak Tanggungan dalam Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 13795/Purwomartani, seluas 3266 m², dengan Surat Ukur tanggal 15 Juni 2014, Nomor 00566/Purwomartani/2014 yang diatasnamakan Tergugat I;
6. Menghukum Tergugat II untuk menyerahkan kepada Penggugat Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 13795/Purwomartani atas nama Tergugat I dan Sertifikat Hak Tanggungan Nomor 00170/2018 kepada Penggugat;
7. Menghukum Turut Tergugat II untuk menerbitkan Sertifikat pengganti atas Sertifikat Hak Milik Nomor 13795/Purwomartani yang dikuasai Tergugat II serta menyerahkan kepada Penggugat apabila Tergugat II tidak tunduk dan patuh atas isi putusan ini;
8. Menghukum Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II patuh dan tunduk pada putusan Pengadilan Niaga Semarang dalam perkara ini;
9. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Putusan di atas ibarat membiarkan pihak Kurator memperjuangkan hak piutang para kreditor sang mantan Terpailit, namun disaat bersamaan “menumbalkan” / “mengorbankan” kepentingan dan hak pelunasan piutang kreditor lainnya, sehingga menjadi kontraproduktif terhadap asas kemanfaatan dalam hukum itu sendiri.
Kepailitan versi “kacamata Mahkamah Agung RI” demikian, menjadi semacam “vonis mati” (preseden buruk dikemudian hari), dimana seolah sang mantan Terpailit tidak dapat dan tidak boleh menikah (karena akan menjadikan “harta bersama” dengan istrinya akan beralih / menjelma menjadi “boedel pailit” yang sewaktu-waktu dapat dirampas oleh Kurator), dimana juga menjadi de-motivasi bagi sang mantan Terpailit untuk bangkit dan meraih sukses keberhasilan untuk bangkit secara ekonomi, kecuali jalan buntu untuk “pailit seumur hidup” yang sejatinya tidak pernah dikenal dalam Undang-Undang Kepailitan negara mana pun.
Kesalahan fatal kedua dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut di atas, sang istri menikahi suaminya, ialah dengan “tempus” yakni SETELAH / PASCA berakhirnya kepailitan, bukan sebelum terjadinya kepailitan, sehingga “harta bersama” yang mereka peroleh selama dalam masa perkawinan, merupakan murni “harta bersama” pasangan suami-istri, bukan boedel pailit, dimana juga sang istri terbukti tidak pernah turut dipailitkan, tidak juga pernah dimintakan tanda-tangan saat sang suami berhutang kepada para mantan kreditornya dahulu kala sebelum kepailitan terjadi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.